terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 dan upaya diversi yang terdapat dalam BAB II pada Pasal 6-15 UU SPPA.
Terhadap UU ITE terkait dengan anak pelaku bullying melalui internet cyberbullying maka anak dapat dikenakan sanksi tindakan maupun sanksi
pidana sesuai dengan umur anak tersebut bahkan dapat dijatuhi tindak pidana penjara, yang mana merupakan upaya terakhir yang dapat diberikan terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum.
BAB III ALASAN ANAK DIJADIKAN SEBAGAI PELAKU DAN HAMBATAN
YANG DIHADAPI UNTUK MENARIK ANAK SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN INTERNET SEBAGAI MEDIA
BULLYING
A. ANAK SEBAGAI PELAKU BERDASARKAN UNDANG UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2012 DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
Pada KUHP di Indonesia terdapat makna bahwa suatu perbuatan pidana
harus mengandung unsur-unsur:
113
a. Adanya perbuatan manusia
b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
c. Adanya kesalahan
d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pada unsur tersebut dinyatakan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan salah yang memiki kententuan hukum dan pelaku perbuatan salah
tersebut harus dapat mempertanggugjawabkan perbuatannya tersebut. Pasal 2
113
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2010, Halaman 12
KUHP jelas menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam Indonesia melakukan sesuatu
perbuatan yang boleh dihukum peristiwa pidana”. Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa “setiap orang” yang melakukan tindak pidana dapat dihukum. KUHP tidak
menjelaskan pengertian “setiap orang”, namun didalam buku R.Soesilo dijelaskan bahwa pengertian “setiap orang” adalah siapa saja dengan tidak membedakan
kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, dan haruslah seorang manusia. Berdasarkan pengertian “setiap orang” tersebut maka anak juga dapat dijadikan
atau dinyatakan sebagai pelaku perbuatan pidana yang boleh dihukum. Dalam Pasal 45 KUHP menjelaskan bahwa seseorang yang belum dewasa
anak dapat dijatuhi hukuman oleh hakim, namun dalam Pasal tersebut juga dinyatakan bahwa hakim boleh memerintahkan supaya anak yang belum berumur
16 tahun agar tidak dikenakan sesuatu hukuman. Berdasarkan hasil wawancara terhadap KPAID SUMUT melalui Bapak
Muslim Harahap, Beliau mengatakan bahwa di Indonesia berlaku asas siapa yang melakukan perbuatan pidana maka dia dihukum, ketika anak melakukan suatu
perbuatan melawan hukum, anak tersebut dapat ditarik sebagai pelaku dan dijatuhi hukuman.
Anak yang melanggar norma dan aturan hukum dalam perbuatannya dapat menimbulkan korban. Pada kasus perbuatan anak yang menimbulkan korban
penegak hukum dapat menyerahkan kepada korban danatau keluarga korban untuk menempuh jalan damai atau jalur hukum. Penyelesaian secara damai berarti
korban danatau keluarganya telah merelakan yang telah terjadi, tetapi apabila korban danatau keluarganya keberatan, dapat mengajukannya kepada penegak
hukum agar anak yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut dapat dijadikan sebagai pelaku dan dapat dijatuhi sanksi hukum atau sanksi pidana.
114
Anak yang terbukti melakukan kesalahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, dapat dijadikan sebagai pelaku dan dijatuhi hukuman, dengan
tujuan untuk memenuhi rasa keadilan yang sesuai dengan kesadaran hukum, dengan melihat persoalan dari berbagai segi dan mempertimbangkan penyebab
kesalahan.
115
Atas dasar pertimbangan yang dilakukan, menarik anak sebagai pelaku serta menjatuhkan sanksi terhadap anak bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum dan mengedepankan yang terbaik bagi kepentingan anak. Menurut undang-undang Anak yang dijadikan sebagai pelaku dan dijatuhi
hukuman bertujuan untuk memberi kesempatan kepada anak memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab bagi diri,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
116
Berdasarkan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang melakukan perbuatan salah dan berhadapan dengan hukum,
dikenal dengan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Terdapat beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi anak melakukan perbuatan salah,
yaitu:
117
1. Faktor lingkungan
114
Imam Musbikin, Mengatasi Kenakalan Siswa Remaja, Zanafa Publishing, Riau, 2013, Halaman 231.
115
Wagiati Soetodjo, Op.cit, Halaman 44
116
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, Halaman 26 – 27.
117
M.Nasir Djamil, Op.cit, Halaman 34
2. Faktor ekonomisosial
3. Faktor psikologis
Pada saat ini internet telah menjadi salah satu faktor sosial yang menyebabkan anak dapat berbuat jahat, dengan segala kemudahannya internet
dapat mempermudah siapa saja termasuk anak untuk melakukan perbuatan jahat, terlebih lagi internet dapat digunakan dimana saja dan kapan saja.
Kejahatan yang dilakukan melalui internet cukup beragam, salah satu kejahatan yang saat ini sering terjadi dan dilakukan oleh anak melalui internet
adalah bullying melalui internet, atau yang dikenal dengan istilah cyberbullying. Kejahatan melalui interenet seperti cyberbullying saat ini telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE yang terdapat dalam Pasal 27 ayat 1, 3 dan 4, Pasal 28
ayat 2 dan Pasal 29. Pada UU ITE tersebut juga diatur sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku cyberbullying tersebut, yang diatur dalam Pasal 45 UU
ITE. Menurut UU ITE “setiap orang” termasuk juga anak dapat dijadikan sebagai pelaku dan dapat dijatuhi sanksi pidana ketika orang tersebut telah melakukan
perbuatan yang dilarang dan diatur dalam UU ITE tersebut. Pada UU ITE anak pelaku cyberbullying dapat dijatuhi sanksi pidana,
namun dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak harus merujuk pada Undang Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA.
Dalam Pasal 69 UU SPPA dinyatakan bahwa sanksi yang dapat diberikan terhadap anak tidak sebatas terhadap sanksi pidana saja, Pasal 69 UU SPPA juga
menyebutkan bahwa selain sanksi pidana terdapat pula sanksi tindakan.
Pasal 1 angka 6 UU SPPA menyebutkan mengenai keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelakukorban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan. Dalam Pasal 5 SPPA menyatakan bahwa pendekatan peradilan restoratif harus diutamakan pada sistem peradilan pidana
anak. Praktik restoratif memiliki tujuan memperbaiki kerusakan, pemulihan
kualitas hubungan dan memfasilitasi reintegerasi pelaku dalam konflik itu kedalam masyarakat. Terdapat sejumlah aspek utama praktek restoratif yaitu:
118
1. Perbaikan : merupakan aspek restoratif yang mengutamakan tentang
keadilan , aspek restoratif bukan mengenai siapa yang menang atau siapa yang mengalah
2. Pemulihan hubungan: dalam aspek ini bukan menganai hukuman
bagi pelaku, melainkan pelaku memikul suatu tanggung jawab atas perbuatannya dengan sejumlah cara. Melalui proses komunikasi
yang terbuka dan langsung antara korban dan pelaku beserta keluarga korban dan pelaku yang dapat mengubah cara berhubungan
antara korban beserta keluarganya dengan pelaku beserta keluarganya
3. Reintegrasi : adalah aspek yang menyatakan upaya restoratif
memberikan sarana bagi masyarakat untuk belajar mengenai
118
Helen Cowie Dawn Jennifer, Penanganan Kekerasan Disekolah, Indeks, Jakarta, 2009, Halaman 103-104
konsekuensi dari perilaku salah dan memahami dampak dari perilaku tersebut bagi orang lain
Pasal 1 angka 7 UU SPPA juga menyebutkan mengenai proses diversi, dimana diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari peradilan
pidana ke proses diluar peradilan pidana. Adapun yang menjadi tujuan diversi yaitu sebagai berikut :
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak
b. Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak
Dalam UU SPPA dinyatakan bahwa diversi wajib di upayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan. Pada
Pasal 8 UU SPPA dikatakan bahwa diversi dilakukan dengan cara musyawarah antara anak beserta orangtuawali, korban beserta orangtuawali, pembimbing
kemasyarakatan, peserta keadilan profesional yang dilakukan dengan berdasarkan pendekatan restorartif. Guna mencapai kesepakatan diversi, pada UU SPPA
dikatakan bahwa hasil dari kesepakatan diversi dapat berbentuk : a.
Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian b.
Penyerahan kembali kepada orang tuawali c.
Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama tiga bulan
d. Pelayanan masyarakat
Pada saat proses diversi berlangsung, tidak selamanya proses diversi dapat berjalan dengan baik atau berhasil, proses diversi juga bisa mengalami kegagalan,
Pasal 13 UU SPPA menyatakan bahwa ketika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksan, maka proses peradilan
pidana anak harus tetap dilanjutkan.
B. STUDI KASUS ANAK SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN