ratio atau menghitung manfaat bersih program kesehatan dengan menghitung net present value NPV dan internal rate of return IRR.
Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan advokasi terhadap pemerintah terkait kebijakan dan penyediaan anggaran untuk pengembangan
program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.
1.2 Permasalahan
1. Belum diketahui perbandingan manfaat program desa siaga aktif terhadap biaya yang dikeluarkan di Kabupaten Langkat selama tahun 2007
– 2011. 2. Belum diketahui sejauh mana pemahaman pengambil keputusan terhadap
pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat. 3. Belum tersedianya bahan advokasi dengan perhitungan ekonomis yang
mampu meyakinkan pemerintah Tim Anggaran Pemerintah Daerah TAPD dan legislative dalam hal pembuatan kebijakan dan penyediaan anggaran
untuk pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat, sehingga perlu dilakukan analisis biaya manfaat Cost Benefit Analysis pada
program tersebut di Kabupaten Langkat.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perbandingan manfaat program desa siaga aktif terhadap biaya yang dikeluarkan di Kabupaten Langkat selama tahun 2007
– 2011. 2. Mengetahui sejauh mana pemahaman pengambil keputusan terhadap
pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.
3. Membantu menyiapkan bahan advokasi dengan perhitungan ekonomis yang mampu meyakinkan pemerintah Tim Anggaran Pemerintah DaerahTAPD
dan legislative dalam hal pembuatan kebijakan dan penyediaan anggaran untuk pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Menambah referensi Ilmiah tentang evaluasi ekonomi kesehatan dengan menggunakan tehnik analisis biaya manfaat CBA.
2. Sebagai bahan masukan dan rekomendasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat dalam melakukan advokasi, menyusun kebijakan publik berbasis
UKBM, menyusun rencana pengembangan dan penganggaran program desa siaga aktif.
3. Sebagai pengembangan keilmuan dalam bidang kesehatan masyarakat.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekonomi Kesehatan 2.1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup
Ilmu Ekonomi menurut Samuelson 1995 adalah ilmu mengenai pilihan yang mempelajari bagaimana orang memilih sumber daya produksi yang
langkaterbatas, untuk memproduksi berbagai komoditi dan mendistribusikannya keanggota masyarakat untuk dikonsumsi saat ini atau dimasa mendatang. Ilmu ini
mengakaji semua biaya dan manfaat dari perbaikan pola alokasi sumber daya yang ada. Kegiatan yang dilaksanakan juga harus memenuhi kriteria efisiensi
Cost Effective.
Tjiptoherijanto 1994, menjelaskan ekonomi kesehatan merupakan ilmu ekonomi yang diterapkan dalam topik
– topik kesehatan. Mills dan Gillson 1999 mendefenisikan ekonomi kesehatan sebagai penerapan teori, konsep dan teknik
ilmu ekonomi dalam sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan berhubungan dengan: 1 alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan; 2 jumlah sumber
daya yang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan; 3 pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan; 4 efisiensi pengalokasian dan
penggunaan berbagai sumber daya serta 5 dampak upaya pencegahan,
pengobatan dan pemulihan kesehatan pada individu dan masyarakat.
Klarman 1968 menjelaskan bahwa ekonomi kesehatan itu merupakan aplikasi ekonomi dalam bidang kesehatan. Secara umum ekonomi kesehatan akan
berkonsentrasi pada industri kesehatan. Ada empat bidang yang tercakup dalam ekonomi kesehatan, yaitu : 1 peraturan regulation;, 2 perencanaan planning;
3 pemeliharaan kesehatan the health maintenance dan 4 analisis biaya cost dan manfaat benefit.
Mengutip tulisan Lubis 2009 tentang Ekonomi Kesehatan, PPEKI 1989 menyatakan bahwa ilmu ekonomi kesehatan adalah penerapan ilmu ekonomi
dalam upaya kesehatan dan faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal. Menyikapi keterbatasan sumber daya yang ada, mendorong masuknya disiplin ilmu ekonomi dalam perencanaan,
manajemen dan evaluasi sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan akan menjawab petanyaan
– pertanyaan berikut : 1 pelayanan kesehatan apa yang perlu diproduksi; 2 berapa besar biaya produksinya; 3 bagaimana mobilisasi dana
kesehatan siapa yang mendanai; 4 bagaimana utillisasi dana kesehatan siapa penggunanya dan berapa banyak serta 5 berapa besar manfaat benefit
investasi pelayanan kesehatan tersebut.
2.1.2 Karakteristik Komoditi Kesehatan
Menurut Tjiptoherijanto 1994, Gani 1994 dan Lubis 2009, aplikasi ilmu ekonomi pada sektor kesehatan perlu mendapat perhatian terhadap
karakteristiknya. Karakteristik tersebut menyebabkan asumsi – asumsi tertentu
dalam ilmu ekonomi tidak berlaku atau tidak seluruhnya berlaku apabila diaplikasikan untuk sektor kesehatan, yaitu :
a. Kejadian penyakit tidak terduga, tidak ada orang yang dapat memprediksi penyakit apa yang akan menimpanya dimasa yang akan datang, oleh karena
itu tidak mungkin dapat dipastikan pelayanan kesehatan apa yang dibutuhkan. Ketidakpastian uncertainty ini berarti seseorang menghadapai suatu resiko
akan sakit dan oleh karena itu ada juga resiko untuk mengeluarkan biaya untuk mengobati penyakit tersebut.
b. Consumer ignorance, artinya konsumer sangat tergantung pada penyedia provider pelayanan kesehatan. Ini disebabkan karena umumnya konsumen
tersebut tidak tahu banyak tentang jenis penyakit, jenis pemeriksaan dan jenis pengobatan yang dibutuhkannya. Dalam hal ini penyedialah yang menentukan
jenis dan volume pelayanan kesehatan yang perlu dikonsumsi oleh konsumen. c. Sehat dan pelayanan kesehatan sebagai hak. Makan, pakaian, tempat tinggal
dan hidup sehat adalah elemen kebutuhan dasar manusia yang harus senantiasa diusahakan untuk dipenuhi, terlepas dari kemampuan seseorang
untuk membayarnya. Hal ini menyebabkan distribusi pelayanan kesehatan sering kali dilakukan atas dasar kebutuhan need dan bukan atas dasar
kemampuan membayar demand. d. Eksternalitas, efek eksternal dalam penggunaan pelayanan kesehatan adalah
dampak positif atau negatif yang dialami orang lain sebagai akibat perbuatan seseorang. Misalnya imunisasi dari penyaki menular akan memberikan
manfaat kepada masyarakat banyak atau social marginal benefit yang diperoleh lebih besar dari private margial benefit. Pelayanan kesehatan yang
tergolong pencegahan akan mempunyai eksternalitas yang besar, sehingga dapat digolongkan seb
agai “komoditi masyarakat” atau public goods. Oleh karena itu program ini sebaiknya mendapat subsidi atau bahkan disediakan
oleh pemerintah secara gratis. Sedangkan untuk pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif akan mempunyai ekternalitas yang rendah ata
u “private good”hendaknya dibayar atau dibiayai sendiri oleh penggunanya atau pihak
swasta. e. Motif non-profit, umumnya pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan
motif sosial, namun sekarang terjadi perubahan orientasi, terutama setelah pemilik modal dan dunia bisnis melihat sektor kesehatan sebagai peluang
investasi yang menguntungkan. Pendapat yang dianut adalah “Orang tidak layak memperoleh keuntungan dari penyakit orang lain”.
f. Padat karya,
terdapat kecenderungan
spesialis dan
superspesialis menyebabkan komponen tenaga dalam pelayanan kesehatan semakin besar.
Komponen tersebut bisa mencapai 40 – 60 dari keseluruhan biaya.
g. Mixed output, paket pelayanan merupakan konsumsi pasien, yaitu sejumlah pemeriksaan diagnosis, perawatan, terapi dan nasehat kesehatan. Paket
tersebut bervariasi antar individu dan sangat tergantung kepada jenis penyakit.
h. Upaya kesehatan sebagai konsumsi dan investasi. Pembangunan sektor kesehatan sesungguhnya adalah investasi jangka pendek maupun panjang
karena orientasi pembangunan pada akhirnya adalah pembangunan manusia. i. Restriksi berkompetisi, artinya terdapat pembatasan praktek berkompetisi. Hal
ini menyebabkan mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan tidak bisa sempurna seperti mekanisme pasar untuk komoditi lain. Pada sektor kesehatan
tidak pernah terdengar adanya promosi discount atau bonus dalam pelayanan kesehatan.
2.1.3 Teori Demand For Health Capital Grossman, 1972
Tjiptoherijanto, dkk.1994, menyebutkan bahwa teori ini mengacu pada pendekatan investment models dan mengasumsikan bahwa masing
– masing individu melakukan penilaian manfaat atas pengeluaran untuk kesehatan yang
diperbandingkan dengan pengeluaran untuk komoditi – komoditi lainnya dalam
rangka memutuskan status kesehatannya yang optimal. Dalam hal ini, konsumen diasumsikan mempunyai pengetahuan tentang status kesehatannya sendiri, tingkat
depresiasi status kesehatannya dan fungsi produksi yang mengaitkan antara perbaikan kesehatan dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan.
Sejalan dengan kerangka fikir teori keputusan investasi yang umum, diasumsikan bahwa setiap individu akan memaksimumkan fungsi utilitinya yang
dibentuk dari flow jasa pelayanan kesehatan dan dari konsumsi barang lainnya untuk setiap tahun kehidupannya. Maksimasi ini akan menyebabkan individu tadi
menyamakan the marginal return on the asset dengan marginal
costnya. Return kepada individu dari terdiri atas marginal physical return dan marginal monetary return. Monetary return ditentukan oleh tiga komponen,
yaitu : upah harian, produk marginal kesehatan yang dihitung dalam jumlah hari sehat yang dihasilkan oleh satu unit stok kesehatan dan biaya marginal dari
„gross investment‟ dibidang kesehatan yang dibeli pada periode sebelumnya, termasuk
biaya waktu dan uang.
Prinsipnya, Grossman mendukung asumsi ekonomi makro, dimana produk marginal kesehatan menurun secara asimtomatis menuju nol sejalan dengan
peningkatan kesehatan. Hal ini ditunjukkan oleh Grossman pada return kesehatan yang diukur dengan hari sehat healthy days dan mempunyai batas 365 hari
pertahunnya. Return tersebut akan bisa menjawab persoalan debility Cullis JG
and West PA, 1979, hal.29-32 yang akan mempengaruhi tingkat upah.
Dengan stok kapital kesehatan yang optimal dapat dilakukan uji pengaruh usia dan income terhadap stok kesehatan. Pertama dengan memperhatikan aspek
usia dan mengasumsikan bahwa tingkat upah, marginal product dari stok kesehatan dan biaya marginal dari gross investmen adalah independen terhadap
usia. Pengaruh yang diasumsikan dari kenaikan usia adalah meningkatnya tingkat depresiasi kesehatan. Ini tidak berarti bahwa orang yang lebih tua akan kurang
sehat dibandingkan yang muda usia, tetapi untuk orang tertentu tingkat depresiasi kesehatannya pertahun akan menjadi lebih besar ketika usianya lebih tua.
Implikasi asumsi Grossman adalah peningkatan depresiasi menyebabkan konsumen memilih stok kesehatan yang lebih rendah dalam rangka meningkatkan
produk marginal kesehatan, juga menyamakan hasil marginal dengan biaya yang lebih tinggi telah diasumsikan bahwa besarnya produk marginal kesehatan akan
lebih kecil pada tingkat stok kesehatan yang lebih tinggi. Dengan demikian ketika dihadapkan kepada depresiasi kesehatan yang diketahui sudah cenderung
naik, model Grossman mengatakan bahwa seseorang akan memilih suatu status kesehatan yang lebih rendah pada setiap tahun berurutan successive year. Hal ini
akan mendorong orang tersebut terpaksa harus memilih usia hidupnya sendiri, mengingat stok kesehatannya yang optimal pada akhirnya akan turun hingga
dibawah life-supporting minimal yang dia perlukan, dan kalau hal itu sudah
tercapai berarti dia akan mati.
Pengaruh tingkat upah kepada stok kesehatan dan demand pelayanan kesehatan akan terdiri dari dua unsur. Produk marginal kesehatan, dihitung dari
healthy days, jelas akan lebih berharga pada tingkat upah yang lebih tinggi. Tetapi waktu yang dimiliki konsumen juga merupakan input bagi pelayanan kesehatan,
jika tingkat upah naik maka biaya pelayanan akan naik.
Penekanan public policy yang dapat ditunjukkan oleh model pendekatan Grossman ini adalah perlunya penyediaan informasi kesehatan yang memadai
bagi konsumen dan sekaligus para penyedia pelayanan kesehatan tentang pengaruh masing-masing input pelayanan kesehatan dan juga tentang efisiensi
dari mengkombinasikan input kesehatan yang diinginkan dari pada jika hanya informasi tentang pelayanan kesehatan saja.
2.1.4 Evaluasi Ekonomi dalam Pelayanan Kesehatan
Lubis 2009 menyebutkan bahwa teknik evaluasi ekonomi mampu menyediakan berbagai cara untuk menanggulangi masalah dengan menggunakan
berbagai pertimbangan pilihan masyarakat. Evaluasi ekonomi mempunyai peranan penting dalam menanggulangi berbagai masalah manajemen,
penekanannya terletak pada penentuan bagaimana penyediaan pelayanan kesehatan yang terbaik, bukan penentuan prioritas dalam investasi.
Masalah teknis yang selalu terjadi dalam evaluasi ekonomi adalah kurangnya informasi dan satuan dari dampak pelayanan kesehatan. Masalah lain
yang timbul adalah adanya perbedaan pendapat mengenai teknik yang digunakan dan perbedaan tentang strategi Primary Health Care PHC. Secara selektif, PHC
dianggap pelayanan yang paling efektif dari segi biaya dengan menggunakan teknik CBA.
Langkah – langkah yang harus dilalui dalam evaluasi ekonomi dalam
pelayanan kesehatan adalah : 1 identifikasi berbagai biaya dan berbagai konsekuensinya sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam memperhitungkan
kebutuhan kesehatan masyarakat dan konsekuensinya; 2 perhitungan biaya dan konsekuensi tersebut. Hal ini berkaitan dengan dampak terhadap status kesehatan
dan faktor – faktor yang mempengaruhinya. Pendekatan yang biasa dipakai adalah
penggunaan indikator kesehatan secara umum, yaitu tahun penyesuaian hidup berkualitas quality adjusted life years dan hari kehilangan hidup dalam keadaan
sehat healthy days of life lost dan pemilihan unit of effect yang sesuai dengan
luaran antara; 3 penilaian dan pengukuran biaya tersebut serta konsekuensinya dengan konsep opportunity cost dan teknik shadow pricing dan 4 penyesuaian
biaya dan konsekuensi untuk waktu yang berbeda, misalnya program pencegahan yang memiliki dampak yang lama, hasilnya tidak dapat dilihat langsung seperti
program pengobatan penyakit. Untuk itu dilakukan metode discounting dengan asumsi bahwa orang lebih menyukai manfaat yang cepat diperoleh dari pada yang
lama. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan
berdasarkan langkah tersebut adalah: 1 jumlah sumber daya yang tersedia untuk diteliti; 2 adanya suatu pilihan yang jelas dalam penggunaan sumber daya yang
akan dievaluasi; 3 penggunaan teknologi yang cukup dikenal sebagai dasar dalam menentukan pilihan; 4 tersedianya waktu yang cukup untuk penelitian
dan 5 pengambil keputusan diharapkan dapat menerima hasil penelitian dan tidak berubah
– ubah fikiran.
2.2 Analisis Biaya Manfaat Cost Benefit Analisis
2.2.1 Sejarah dan Pemanfaatannya
Analisis biaya manfaat merupakan bagian dari analisis ekonomi kesejahteraan modern, dibangun oleh Hicks 1943 dan Kaldor 1939.
Sebelumnya Pareto menyatakan kelayakan proyek dierima jika kesejahteraan sosial masyarakat meningkat social improvement dengan beberapa orang merasa
baik better off dan tidak ada yang merasa dirugikan worse off. Kondisi tersebut
dikenal sebagai Pareto Improvement. Prinsip kompensasi Hicks-Kaldor mengemukakan gainer dapat mengkompensasi loser untuk mencapai pareto
improvement potensial, karena tidak mungkin seseorang atau masyarakat akan kembali pada keadan semula setelah ada proyek Hafidh, 2010.
Kebanyakan ekonom menyatakan bahwa suatu penilaian kurang lengkap bila usaha untuk melihat penggunaan sumber daya dan hasil yang didapatnya
tidak dinyatakan dalam nilai uang. Analisis biaya manfaat CBA merupakan suatu alat yang paling penting untuk membantu pengambilan keputusan dalam
menentukan pilihannya, atau lazimnya metode ini akan menjamin pengambilan keputusan untuk dapat melakukan allocative efficiency Mooney, 1986. Sugiyono
2001 menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai banyak program yang harus dilaksanakan, sedangkan biaya yang tersedia sangat terbatas. Analisis ini dapat
membantu pemerintah dalam memilih program – program yang memenuhi kriteria
efisiensi dengan pertimbangan kesejahteraan masyarakat. Ada dua pihak yang menaruh perhatian pada analisis ini. Pertama praktisi teknis dan ekonom yang
berperan dalam mengembangkan metode analisis, pengumpulan data dan membuat analisis serta rekomendasi. Kedua, pemegang kekuasaan eksekutif yang
berwenang untuk membuat peraturan dan prosedur untuk melaksanakan
keputusan publik.
Pada dasarnya CBA menawarkan perbandingan antara seluruh biaya dan manfaat dari suatu program yang dibiayai dari dana masyarakat. Biaya yang
dikeluarkan termasuk juga rencana pengeluaran yang terlihat dalam anggaran.
Sedangkan manfaat diperoleh jika kerugian dimasa datang dapat dicegah karena keberhasilan program tersebut. Manfaat dari program-program kesehatan tidak
lain dari biaya yang bisa dicegah bila program tersebut berhasil, beberapa penulis menyarankan bahwa nilai manfaat mungkin saja diperoleh dengan menghitung
biaya ekonomi dari suatu penyakit. Oleh karena efek atau dampak dari suatu
program itu baru dapat terlihat setelah beberapa lama, maka nilai-nilai biaya dan manfaat program tersebut harus disesuaikan mengingat nilainya berubah menurut
perjalanan waktu. Dalam hal ini digunakan cara discounting. Discounting adalah cara penyesuaian nilai atau uang dengan menghitung berapa nilai uang saat
ini dikemudian hari dengan memperhitungkan bunga pada akhir setiap tahun. Untuk ini dipergunakan discount rate. Biaya discount rate disesuaikan dengan
interest rate atau suku bunga yang berlaku dalam peminjaman uang. Tjiptoherijanto,dkk.1994.
2.2.2 Langkah – Langkah Analisis Biaya Manfaat
Lubis 2009 menjelaskan secara ringkas, langkah-langkah yang dilakukan dalam CBA adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi para pengambil keputusan Langkah ini bertujuan untuk menetapkan siapa yang akan dilibatkan dalam
proses CBA, terutama untuk memberikan penilaian terhadap dampak suatu program atau alternativ kebijaksanaan secara menyeluruh.
b. Identifikasi alternatif Langkah ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas alternative-alternatif
apa yang tersedia dihadapan pengambilan keputusan, sehingga dapat dibandingkan baik biaya maupun manfat dari masing-masing alternatif tersebut.
c. Identifikasi biaya Biaya cost adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam
satuan uang, yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi. Biaya suatu program mencakup biaya itu sendiri dan dampak yang tidak diharapkan dis-benefit,
maupun “benefit yang hilang” oleh karena sumber daya tidak dialokasikan kepada alternative lain opportunity cost. Terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak
langsung. Biaya langsung adalah biaya yang melekat pada kegiatan dan operasional desa siaga aktif dan poskesdes, seperti pembentukan, pendirian
Poskesdes dan penyediaan alat kesehatan dan pelatihan bidan desa. Sedangkan biaya tidak langsung meliputi biaya rapat berkala yang diselenggarakan oleh
pengurus desa siaga. Jadi biaya total kegiatan tersebut bertindak sebagai pengukur untuk manfaat yang didapatkan. Dalam suatu perhitungan manfaat-biaya,
perbandingannya adalah antara pengeluaran tambahan yang ditujukan untuk pelayanan kesehatan dan antisipasi penurunan dari biaya
– biaya yang ada. d. Identifikasi manfaat
Manfaat juga terdiri atas manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan masyarakat secara langsung setelah
program desa siaga aktif berjalan, misalnya menurunnya angka kesakitan dan
pengurangan biaya operasional. Sedangkan manfaat tidak langsung adalah manfaat yang dirasakan masyarakat dalam jangka panjang 5-10 tahun setelah
program ini dijalankan, misalnya peningkatan pendapatan dan produktifitas, karena hari sehatnya lebih banyak. Untuk menghitung biaya langsung atau
manfaat langsung suatu program, biasanya tidak begitu sulit. e. Transformasi dampak kedalam nilai moneter
Semua biaya dan manfaat selanjutnya ditransformasi kedalam bentuk uang. Dalam hal ini diperlukan data
– data pendukung, seperti harga satuan perobatan dan UMR, sehingga nilai moneternya dapat diestimasi.
f. Discounting
Oleh karena efek dampak suatu program biasanya berlangsung lama, maka nilai-nilai biaya dan manfaat tadi harus disesuaikan. Oleh karena nilainya
memang berubah menurut perjalanan waktu. Hal ini dilakukan dengan tindakan
discounting, yakni dengan menggunakan discount rate yang sesuai. Dalam hal ini mengacu pada tingkat inflasi Mei 2012, berkisar 12 - 15 Waspada, 2012.
g. Penafsiran hasil cost benefit analysis Hasil perhitungan biaya dan manfaat selanjutnya ditafsirkan dengan
melakukan perhitungan lebih lanjut. Ada dua cara yang lazim dipakai, yakni menghitung rasio manfaat biaya benefit cost ratio dan menghitung manfaat
bersih net benefit program bersangkutan dengan menghitung Net Persent Value NPV atau menghitung Internal Rate of Return IRR .
2.2.3 Metode Analisis Biaya Manfaat
Pelaksanaan analisis pada proyek yang mempunyai umur ekonomis yang relatif panjang dan memberikan manfaat serta menimbulkan biaya pada saat yang
berbeda-beda harus memperhatikan konsep uang. Analisis harus dilakukan dengan menghitung seluruh manfaat dan biaya dari suatu proyek selama umur proyek
yang bersangkutan dan dihitung dalam nilai sekarang. Adanya faktor ketidak pastian tentang hal yang terjadi dimasa datang dan
diskonto, maka perlu ditentukan konsep uang yang akan datang future value dan nilai uang sekarang present value karena hampir semua proyek mempunyai
umur yang lebih panjang dari satu tahun dan manfaat proyek tersebut tidak diterima seluruhnya pada suatu saat. Biaya proyek juga dikeluarkan dalam waktu
yang berbeda-beda selama umur proyek yang bersangkutan. Diskonto biasanya disamakan dengan tingkat bunga, meskipun dalam analisis manfaat dan biaya
faktor diskonto tidak selalu sama dengan suku bunga. Konsep nilai uang yang akan datang dapat dihitung dengan menggunakan
rumus berikut : Pt =Po 1+ i
t
Dimana ; Pt
: nilai uang dimasa datang Po
: nilai uang sekarang i
: tingkat diskonto t
: tahun
Sedangkan konsep nilai uang sekarang, dapat dihitung dengan rumus : Po = Pt 1+ i
Pada dasarnya untuk menganalisis efisiensi suatu proyek langkah-langkah yang harus diambil adalah : 1 Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek
yang akan dilaksanakan; 2 Menghitung manfaat dan biaya dalam nilai uang dan 3 Menghitung masing-masing manfaat dan biaya dalam nilai uang sekarang.
Ada tiga metode untuk menganialisis manfaat dan biaya suatu proyek yaitu nilai bersih sekarang NPV =Net Present Value, Internal Rate of Return
IRR dan perbandingan manfaat biaya BCR = Benefit Cost Ratio Proyek yang efisien adalah proyek yang manfaatnya lebih besar dari pada
biaya yang diperlukan. Nilai bersih suatu proyek NPV merupakan seluruh nilai dari manfaat proyek dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang
bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat diskonto yang berlaku. Berdasarkan metode ini, proyek yang mempunyai NPV tertinggi adalah proyek
yang mendapat prioritas untuk dilaksanakan. Pemilihan proyek tergantung dari tingkat diskonto yang dipilih. Pemilihan tingkat diskonto haruslah mencerminkan
biaya oportunitas penggunaan dana. Metode IRR dapat mencari tingkat diskonto, sehingga menghasilkan nilai
sekarang suatu proyek sama dengan nol. Sedangkan metode BCR memilih proyek dengan kriteria perbandingan lebih besar dari satu. Metode BCR akan memberikan
hasil yang konsisten dengan metode NPV, apabila BCR 1 berarti pula NPV0. Perbandingan ketiga metode ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 Perbandingan Metode Analisis Biaya Manfaat Metode Analisis Biaya Manfaat
NPV IRR
BCR
Karakteristik Cerminan Skala Proyek
Tidak Tidak
Ya Mudah
Mengurutkan Proyek
Tidak Ya
Ya
Mudah Digunakan
Mudah Agak Sukar
Mudah Kelebihan
Berfokus pada
nilai uang
Mencerminkan tingkat
pengembalian Mudah
mengurutkan proyek
Kekurangan Sukar
mengurutkan proyek
Hasil dapat
membingungkan Bias dalam
operasional
Sumber : de Neufville 1990
2.3 Desa Siaga Aktif 2.3.1 Perkembangan Program Desa Siaga
Undang – Undang RI No. 17 tahun 2007 tentang Rencanan Pembangunan
Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025 menyebutkan Visi Pembangunan
Nasional adalah “INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR”. Salah satu arah pembangunan jangka panjang tersebut adalah
mewujudkan bangsa yang berdaya saing dengan mengedepankan pembangunan sumber daya manusia yang ditandai dengan meningkatnya IPKM. Unsur
– unsur penting bagi peningkatan IPKM adalah derajat kesehatan, tingkat pendidikan dan
pertumbuhan ekonomi. Derajat kesehatan dan tingkat pendidikan pada hakikatnya adalah investasi bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, yang
selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan.
Undang – Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, juga
mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang
setinggi – tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia
yang produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber
daya di bidang kesehatan dan setiap orang juga tidak luput dari kewajiban –
kewajiban di bidang kesehatan. Pemerintah pernah berhasil menggalang peran aktif dan memberdayakan
masyarakat di bidang kesehatan melalui gerakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa PKMD pada dasawarsa 1970
– 1980-an. Pada saat itu, seluruh sektor pemerintahan terkait, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha serta para
pengambil keputusan dan pemangku kepentingan stakeholders, bahu membahu menggerakkan, memfasilitasi dan membantu masyarakat di desa dan kelurahan
untuk membangun kesehatan mereka sendiri. Akibat terjadinya krisis ekonomi dan faktor
– faktor lain, gerakan pemberdayaaan masyarakat di bidang kesehatan itu berangsur melemah. Semangat yang tersisa adalah Posyandu yang digerakkan
melalui kegiatan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga PKK. Masa kejayaan PKMD itu hendak diulang dan dibangkitkan kembali
melalui gerakan pengembangan dan pembinaan Desa Siaga yang sudah dimulai
tahun 2006. Sampai tahun 2009, tercatat 42.295 desa dan kelurahan 56,1 dari 75.410 desa dan kelurahan di Indonesia telah memulai upaya mewujudkan
Desakelurahan Siaga ini. Namun, banyak diantaranya yang belum aktif. Dapat difahami, kegiatan yang menganut konsep pemberdayaan masyarakat seperti ini
memang memerlukan proses panjang Kemenkes RI, 2011.
2.3.2 Konsep Dasar Desa Siaga Aktif
Desa Siaga Aktif adalah bentuk pengembangan dari Desa Siaga yang telah dimulai sejak Tahun 2006. Desa atau Kelurahan Siaga Aktif adalah desa atau
kelurahan atau yang disebut dengan nama lain yang penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar yang memberikan
pelayanan kesehatan setiap hari melalui Pos Kesehatan Desa Poskesdes atau sarana kesehatan yang ada di wilayah tersebut seperti Pusat Kesehatan
Masyarakat Pembantu Pustu, Pusat Kesehatan Masyarakat Puskesmas atau sarana kesehatan lainnya. Selain itu penduduknya juga mampu mengembangkan
UKBM dan melaksanakan surveilans berbasis masyarakat meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku, kedaruratan
kesehatan dan penanggulangan bencana, serta penyehatan lingkungan sehingga masyarakatnya menerapkan PHBS. Dengan demikian, Desa Siaga Aktif memiliki
komponen: 1 pelayanan kesehatan dasar; 2 pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan UKBM dan mendorong upaya surveilans berbasis masyarakat,
kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan; 3 menerapkan PHBS Kemenkes RI, 2010.
Pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Desa Siaga Aktif diselenggarakan melalui berbagai UKBM, serta kegiatan kader dan masyarakat. Pelayanan ini
selanjutnya didukung oleh sarana – sarana kesehatan seperti Puskesmas, Pustu
dan rumah sakit. Pelayanan tersebut meliputi : 1 pelayanan kesehatan untuk ibu hamil; 2 pelayanan kesehatan untuk ibu menyusui; 3 pelayanan kesehatan
untuk anak serta 4 penemuan dan penanganan penderita penyakit. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan UKBM difokuskan
kepada upaya surveilans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan.
Surveilans berbasis masyarakat adalah pengamatan dan pencatatan penyakit yang dilakukan dan diselenggarakan oleh masyarakat kader dibantu
oleh tenaga kesehatan. Kegiatannya meliputi : 1 pengamatan dan pemantauan penyakit serta keadaan kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku yang
dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat; 2 pelaporan cepat kurang dari 24 jam kepada petugas
kesehatan untuk
respon cepat;
3 pencegahan dan penanggulangan sederhana penyakit dan masalah kesehatan serta 4 pelaporan kematian.
Kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana adalah upaya – upaya
yang dilakukan oleh masyarakat dalam mencegah dan mengatasi bencana dan kedaruratan kesehatan. Kegiatannya berupa : 1 bimbingan dalam pencarian
tempat yang aman untuk mengungsi; 2 promosi kesehatan dan bimbingan mengatasi masalah kesehatan akibat bencana dan mencegah faktor
– faktor
penyebab masalah; 3 bantuanfasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana sanitasi dasar air bersih, jamban, pembuangan sampahlimbah di tempat pengungsian;
4 penyediaan relawan yang bersedia menjadi donor darah dan 5 pelayanan kesehatan bagi pengungsi.
Penyehatan lingkungan adalah upaya – upaya yang dilakukan masyarakat
untuk memelihara lingkungan pemukiman dan sekitarnya agar terhindar dari penyakit dan masalah kesehatan. Kegiatannya meliputi : 1 promosi tentang
pentingnya sanitasi dasar; 2 bantuanfasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana sanitasi dasar air bersih, jamban, pembuangan sampah limbah dan
3 bantuanfasilitas upaya pencegahan pencemaran lingkungan. Masyarakat di Desa Siaga Aktif harus melaksanakan PHBS, yaitu
sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga atau masyarakat mampu
menolong dirinya sendiri mandiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Indikator keberhasilan pengembangan Desa
dan Kelurahan Siaga Aktif adalah penerapan PHBS di rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat umum, sarana kesehatan dan mengupayakan
sarana dan kemudahan untuk melakukannya. Indikator yang dipakai untuk mengukur keberhasilan PHBS di rumah
tangga adalah: 1 persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2 memberikan ASI Eksklusif pada bayi; 3 menimbang berat badan balita; 4 menggunakan air
bersih; 5 mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6 menggunakan jamban
sehat; 7 memberantas jentik nyamuk; 8 mengonsumsi sayur dan buah setiap hari; 9 melakukan aktifitas fisik setiap hari dan 10 tidak merokok di dalam
rumah Kemenkes RI, 2011.
2.3.3 Tujuan Desa Siaga Aktif
Tujuan Umum pengembangan Desa Siaga Aktif adalah untuk percepatan terwujudnya masyarakat desakelurahan yang peduli, tanggap dan mampu
mengenali, mencegah serta mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi secara mandiri, sehingga derajat kesehatannya meningkat.
Tujuan khususnya meliputi : 1 mengembankan kebijakan pengembangan Desa Siaga Aktif di Pemerintahan DesaKelurahan; 2 meningkatkan komitmen
dan kerjasama semua perangkat desakelurahan dan organisasi kemasyarakatan untuk pengembangan DesaKelurahan Siaga Aktif; 3 meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar di desa kelurahan ; 4 mengembangkan UKBM dan melaksanakan survailans berbasis masyarakat
meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan anak, lingkungan dan perilaku, penanggulangan bencana dan kedaruratan kesehatan, serta penyehatan
lingkungan; 5 meningkatkan ketersediaan sumberdaya manusia, dana, maupun sumber daya lain, yang berasal dari Pemerintah DesaKelurahan, masyarakat dan
swasta dunia usaha, untuk pengembangan Desa Siaga Aktif serta 6 meningkatkan PHBS di Rumah Tangga Kemenkes RI, 2011.
2.3.4 Manfaat Desa Siaga Aktif
Pengembangan Desa Siaga Aktif sangat bermanfaat bagi masyarakat, Puskesmas dan Pemerintah Kecamatan. Bagi masyarakat, manfaat yang dapat
diperoleh adalah mudahnya mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, masyarakat menjadi peduli, tanggap dan mampu mengenali, mencegah dan mengatasi masalah
kesehatan yang dihadapi, masyarakat dapat tinggal dilingkungan yang sehat dengan mempraktikkan PHBS dan tokoh masyarakat serta kader dapat berperan
aktif memberdayakan dan menggerakkan masyarakat. Dengan demikian, derajat kesehatan dan produktifitas masyarakat juga meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah hari – hari sehat yang banyak dan waktu kerja yang termanfaatkan secara
optimal. Manfaat yang diperoleh Puskesmas dengan adanya pengembangan Desa
Siaga Aktif adalah meningkatkan cakupan program kesehatan, optimalisasi fungsi Puskesmas, menurunkan angka kesakitan dan kematian, serta
meningkatkan citra Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan. Manfaat yang lebih luas juga dirasakan oleh Pemerintah Kecamatan, yakni
terciptanya pembangunan berwawasan kesehatan di kecamatan, alokasi dana pembangunan tidak banyak digunakan untuk pelayanan kuratif, melainkan untuk
promotif dan preventif, mempercepat terwujudnya Kecamatan Sehat dan meningkatkan citra Pemerintahan Kecamatan Kemenkes RI, 2011.
2.3.5 Kriteria Desa Siaga Aktif
Kriteria Desa Siaga Aktif, yaitu : 1 kepedulian Pemerintah Desa atau Kelurahan dan pemuka masyarakat terhadap Desa dan Kelurahan Siaga Aktif
yang tercermin dari kesadaran dan keaktifan Forum Desa dan Kelurahan; 2
keberadaan Kader
Pemberdayaan MasyarakatKader
Kesehatan DesaKelurahan Siaga Aktif; 3 kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dasar yang buka atau memberikan pelayanan setiap hari; 4 keberadaan UKBM yang dapat melaksanakan survailans berbasis masyarakat, kedaruratan
kesehatan dan penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan; 5 tercukupinya pendanaan untuk pengembangan Desa Siaga Aktif dalam
Anggaran Pembangunan DesaKelurahan serta dari masyarakat dan dunia usaha; 6 peran serta aktif masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan
kesehatan Desa Siaga Aktif; 7 peraturan di DesaKelurahan yang melandasi atau mengatur tentang pengembangan Desa Siaga Aktif dan 8 pembinaan PHBS di
rumah tangga. Dalam bentuk matriks, pentahapan perkembangan DesaKelurahan Siaga Aktif tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Tahap Pengembangan Desa Siaga Aktif dan Kriteria yang Harus Dipenuhi
Kriteria Pentahapan DesaKelurahan Siaga Aktif
Pratama Madya
Purnama Mandiri
Forum DesaKelurahan
Ada, tetapi belum berjalan
Berjalan, tetapi belum rutin
Berjalan setiap Triwulan
Berjalan setiap bulan
KPMKader Kesehatan
Sudah ada minimal 2
orang Sudah ada 3-5
orang Sudah ada 6-8
orang Sudah ada
9 orang atau lebih
Kemudahan akses Pelayanan
Kesehatan Dasar Ya
Ya Ya
Ya
Posyandu UKBM lainnya
aktif Posyandu ya,
UKBM lainnya tidak aktif
Posyandu 2 UKBM lainnya
aktif Posyandu 3
UKBM lainnya aktif
Posyandu 4 UKBM
lainnya aktif
Dukungan dana untuk kegiatan
kesehatan di Desa dan Kelurahan :
dari Pemerintah Desa dan
Kelurahan, Masyarakat dan
Dunia Usaha Sudah ada
dana dari Pemerintah
Desa dan Kelurahan
serta belum ada sumber
dana lainnya Sudah ada dana
dari pemerintah Desa dan
Kelurahan serta satu sumber
dana lainnya Sudah ada dana
dari pemerintah Desa dan
Kelurahan serta dua sumber
dana lainnya Sudah ada
dana dari pemerintah
Desa dan Kelurahan
serta dua sumber
lainnya
Peran serta masyarakat dan
Organisasi Kemasyarakatan
Ada peran aktif masyarakat dan
tidak ada peran aktif ormas
Ada peran aktif masyarakat dan
peran aktif satu ormas
Ada peran aktif masyarakat dan
peran aktif satu ormas
Ada peran aktif
masyarakat dan peran
aktif lebih dari dua
ormas
Peraturan Kepala Desa atau
peraturan BupatiWalikota
Belum ada Ada, belum
direalisasikan Ada, sudah
direalisasikan Ada, sudah
direalisasik an
Pembinaan PHBS di Rumah Tangga
Pembinaan PHBS kurang
dari 20 rumah tangga
yang ada Pembinaan
PHBS minimal 20 rumah
tangga yang ada
Pembinaan PHBS minimal
40 rumah tangga yang
ada Pembinaan
PHBS minimal
70 rumah tangga
yang ada
Sumber : Kemenkes RI 2011
2.3.6. Langkah-Langkah Pengembangan Desa Siaga Aktif
Kepala DesaLurah bersama Badan Permusyawaratan Desa BPD, Perangkat DesaKelurahan, serta lembaga kemasyarakatan yang ada harus
mendukung pengembangan DesaKelurahan Siaga Aktif. Kegiatannya merupakan langkah-langkah memfasilitasi siklus pemecahan masalah kesehatan yang
dihadapi masyarakat yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Upaya Pemecahan Masalah di Desa Siaga Aktif
Pengenalan kondisi
DesaKelurahan oleh
Kader Pemberdayaan
Masyarakat KPM, Lembaga kemasyarakatan, dan Perangkat DesaKeluran, dilakukan bersama dan hasil analisis situasi perkembangan DesaKelurahan Siaga
Aktif, yang sudah dapat atau belum dapat dipenuhi oleh DesaKelurahan yang bersangkutan.
1. PENGENALAN KONDISI
DESAKELURAHA 6. PEMBINAAN
KELESTARIAN
5. PELAKSANAAN KEGIATAN
2. IDENTIFIKASI MASALAH
KESEHATAN
3. MUSYAWARAH
DESAKELURAH 4. PERENCANAAN
PARTISIPATIF FASILITATORKP
MKADER KESEHATAN
Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap : 1 masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat dan prioritas penanganannya; 2 penyebab masalah
kesehatan dan prilaku masyarakat; 3 potensi yang dimiliki oleh DesaKelurahan; 4 UKBM yang ada dan harus diaktifkan kembalidibentuk baru dan 5 bantuan
dukungan yang diharapkan : apa bentuknya, berapa banyak, dari mana kemungkinan didapat sumber dan bilamana dibutuhkan.
Kemudian dilakukan musyawarah DesaKelurahan, dapat dilakukan secara berjenjang dengan terlebih dahulu menyelenggarakan Musyawarah Dusun atau
Rukun Warga. Musyawarah Desa diselenggarakan dengan menyajikan hasil analisis data hasil kajian Profil DesaKelurahan dan atau hasil survey mawas diri
SMD. Musyawarah DesaKelurahan bertujuan untuk : 1 mensosialisasikan masalah kesehatan yang dihadapi; 2 mencapai kesepakatan urutan prioritas;
3 mencapai kesepakatan tentang UKBM yang dibentuk baru atau diaktifkan kembali; 4 memantapkan data potensi desa untuk sumber bantuandukungan
yang diperlukan serta 5 Menggalang semangat dan partisipasi warga untuk mendukung pengembangan DesaKelurahan Siaga Aktif. Setelah diperoleh
kesepakatan dari warga, KPM dan lembaga kemasyarakatan mengadakan pertemuan guna menyusun rencana pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif untuk dimasukkan kedalam Rencana Pembangunan DesaKelurahan Rencana pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif mencakup :
1 UKBM yang akan dibentuk baru atau diaktifkan kembali; 2 sarana yang akan dibangun baru atau direhabilitasi misalnya Poskesdes, Polindes, sarana air bersih,
jamban keluarga, dll; 3 kegiatan yang akan dilaksanakan dan biaya operasionalnya; 4 hal-hal yang dapat dilaksanakan dengan swadaya masyarakat
dan atau bantuan dari donator misalnya swasta, disatukan dalam dokumen tersendiri. Sedangkan hal-hal yang memerlukan dukungan Pemerintah
dimasukkan dalam ke dokumen Musrenbang Kecamatan dan KabupatenKota. Kegiatan
– kegiatan yang dilaksanakan adalah kegiatan yang mendapat dukungan dana dari pemerintah dan sudah melewati proses Musrenbang. Kegiatan
dapat dimulai dengan membentuk UKBM dan menetapkan kader-kader pelaksanaanya, dan pelaksanaan kegiatan yang tidak memerlukan biaya
operasional seperti promosi kesehatan melalui Dasawisma, pertemuan Rukun Tetangga, pertemuan Rukun WargaDusun, atau forum-forum kegiatan
kemasyarakatan dan keagamaan. Tim pelaksana kegiatan bertanggung jawab mengenai realisasi fisik,
keuangan dan administrasi kegiatan yang dilakukan, sesuai dengan rencana. Apabila dibutuhkan barang berupa bahan dan alat yang tidak dapat
disediakandilakukan sendiri oleh masyarakat, maka Dinas Kesehatan melalui Puskesmas dapat membantu masyarakat untuk menyediakan barangjasa tersebut.
Pencatatan dan pelaporan kegiatan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk teknis dari Kemendagri.
Pelatihan teknis, termasuk kursus-kursus penyegaran, bagi para kader pelaksanaan UKBM menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan KabupatenKota
dengan dibantu oleh Dinas Kesehatan Provinsi untuk melaksanakannya, dengan mengacu kepada petunjuk teknis yang dibuat oleh Kemendagri dan Kemenkes.
Pembinaan kelestarian Desa Siaga Aktif tugas dari KPM, Kepala DesaLurah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Pertemuan berkala dan
kursus penyegaran bagi para kader, termasuk KPM, dapat dikembangkan dengan cara lain melalui program Kelompecapir dan Perpustakaan DesaKelurahan.
Pembinaan kelestarian dapat dilaksanakan terintregasi dengan penyelenggaraan Perlombaan Desa dan Kelurahan yang diselenggarakan setiap tahun ketingkat
Nasional. Pembinaan kelestarian juga diselenggarakan dengan pencatatan dan pelaporan perkembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif yang berjalan secara
berjenjang dan terintegrasi dengan Sistem Informasi Pembangunan Desa yang diselenggarakan oleh Kemendagri, dengan demikian kesuksesan program ini juga
ditentukan oleh persiapan yang matang, penyelenggaraan yang terorganisasi dan evaluasi secara berkala Kemenkes RI, 2011.
2.3.7 Pembiayaan Desa Siaga Aktif
Azwar 1994 menyebutkan bahwa pembiayaan kesehatan pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan swasta.
Jumlah dana pembiayaan harus cukup untuk membiayai upaya kesehatan yang telah direncanakan. Bila biaya tidak mencukupi, maka jenis dan bentuk pelayanan
kesehatannya harus diubah sehingga sesuai dengan biaya yang disediakan. Distribusi atau penyebaran dana juga perlu disesuaikan berdasarkan skala
prioritas.
Aspek pembiayaan merupakan hal penting dalam pengembangan Desa Siaga Aktif. Tujuannya adalah untuk menyediakan biaya dengan jumlah yang
mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya seluruh kegiatan yang
direncanakan. Disamping itu juga diperlukan sumber daya manusia yang berkompetensi dan mampu mengelola dana dengan baik, karena salah satu cirri
DesaKelurahan Siaga Aktif adalah memiliki sistem pembiayaan kesehatan yang berbasis masyarakat. Sedangkan sumbernya dapat berasal dari masyarakat,
swastadunia usaha, hasil usaha dan pemerintah. Sumber
dana dari
masyarakat dapat
berupa :
1 iuran
penggunapengunjung Poskesdes; 2 iuran masyarakat umum dalam bentuk dana sehat; 3 sumbangandonator dari perorangan atau kelompok masyarakat dan
mobilisasi dana sosial keagamaan. Pera aktif swasta atau dunia usaha dapat dilakukan dengan cara menjadikan Desa Siaga Aktif sebagai anak angkat usaha.
Bantuan yang diberikan dapat berupa sarana, prasarana atau tenaga sukarelawan poskesdes. Disamping itu pengelola dan kader DesaKelurahan Siaga Aktif dapat
melakukan usaha mandiri yang hasilnya disumbangkan untuk pengolaan DesaKelurahan Siaga Depkes, 2007.
Pemerintah melalui Depkes juga telah mengalokasikan anggaran khusus yang bersumber APBN untuk pembentukan DesaKelurahan Siaga. Pemanfaatan
dana ini sebaiknya tidak berjalan sendiri, melainkan diintegrasikan dengan dana lain yang disediakan untuk pengadaan Poskesdes, pelatihan fasilitator dan lain
–
lain sehingga saling menunjang dan mengisi. Sumber dana lainnya dapat berasal dari bantuan luar negeri seperti USAID yang disalurkan melalui APBN Depkes,
2006. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
HK.0305B.I.430602008 tentang penerimaan bantuan sosial dana operasional tahun anggaran 2008 disebutkan bahwa tujuan utama pembiayaan Desa Siaga
adalah terselenggaranya pengembanganoperasional Poskesdes secara optimal untuk mewujudkan Desa Siaga melalui tersedianya dana stimulan operasional.
Rata – rata dana yang dikeluarkan adalah Rp. 1.500.000,00 per tahun per desa.
Jenis kegiatan yang difasilitasi olah dana ini adalah musyawarah desa, pelatihan kader DesaKelurahan Siaga, insentif kader, kegiatan pemantauan,
pelaporan, pengadaan saranaprasarana dan kegiatan pengembangan. Mengingat besarnya kegiatan Desa Siaga, pelatihan kader merupakan
paket kegiatan yang berkesinambungan. Tahap pertama difokuskan pada masalah PHBS dan Keluarga Sadar Gizi Kadarzi. Tahap kedua dan ketiga diberikan
berupa kegiatan surveilan epidemiologi dan penaggulangan KLB. Tahap keempat, kader diberi pengetahuan dan praktek tentang kesiapansiagaan bencana, tindakan
emergensi serta pengelolaan obat sederhana di desa. Jika dirasa perlu, pelatihan lainnya dapat juga dilakukan Depkes, 2007.
Penelitian Polisiri dan kawan – kawan di Kota Tidore Kepulauan tahun
2008 tentang implementasi Desa Siaga, diperoleh gambaran bahwa Pemerintah Pusat menyediakan secara penuh semua sumber dana terhadap 28 desa dari 72
desa yang ada. Pemerintah secara penuh menyediakan dana bagi pembentukan desa siaga di Desa Bua
– Bua dengan memberikan dana sebesar Rp.20.000.000,00 untuk proses pembentukan awal desa siaga ini. Sedangkan
untuk desa selanjutnya, dana yang tersedia semakin berkurang, hanya tinggal Rp.7.000.000,00 bagi masing
– masing desa. Hal ini mengakibatkan perkembangan desa siaga tidak sebaik yang ada di Desa Bua
– Bua. Penelitian lain yang dilakukan oleh Taufik Noor dan kawan
– kawan terhadap pengembangan Desa Siaga di Cibatu Purwakarta tahun 2007, diperoleh
gambaran bahwa bantuan untuk pembangunan posyandu di 7 kecamatan terpilih sebesar Rp. 17.500.000,00 per posyandu. Bantuan dana operasional posyandu
diberikan untuk 192 desa yang meliputi 9 kelurahan dan 183 desa sebesar Rp.750.000,00. Dana yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan
prasarana posyandu masing – masing sebesar Rp.250.000,00. Bagi usaha
penguatan ekonomi kader diberi dana sebesar Rp.250.000,00. Penambahan pendapatan ini biasanya digunakan untuk membuka warung obat desa, membuat
jamu-jamu atau modal usaha dagang kader. Pada Simposium Internasional Kesehatan Masyarakat yang digelar di
Hotel Polonia Medan pada tanggal 15 – 17 Oktober 2009, Makkasau
mempresentasikan proses advokasinya kepada Pemerintah Kota Ternate sehubungan dengan pengembangan program Desa Siaga Aktif. Beliau menghitung
nilai ekonomi yang hilang melalui anggaran Dinas Kesehatan Kota Ternate akibat 10 penyakit terbesar yang ada disana. Total nilai ekonomi yang hilang pada tahun
2008 berjumlah Rp. 62.276.685.000,00. Melihat kondisi tersebut, akhirnya Walikota Ternate mampu mengaanggarkan biaya pembentukan dan operasinal 23
kelurahan siaga melalui APBD. Sofiarini dan Goeman 2009 menjelaskan analisis biaya Desa Siaga di
NTB dan NTT berdasarkan dukungan GTZ SISKES selama 2006 – 2009. Beliau
menyebutkan bahwa biaya untuk implementasi desa siaga untuk satu desa selama satu tahun di NTB adalah Rp. 53.414.400,00 sedangkan di NTT Rp.
74.615.500,00. Dari biaya ini, 80 dipergunakan untuk penbentukan konsep desa siaga dan 20 untuk kegiatan operasional dan mempertahankan fungsi desa siaga.
Perinciannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.3 Perbandingan Analisa Biaya Desa Siaga Di NTB dan NTT Tahun 2006
– 2009
Uraian Kegiatan
NTB NTT
Min Unit Biaya
Maks Min
Unit Biaya Maks
Kumpulan semua
langkah untuk 1
tahun 176.329.000
267.072.000 355.728.000
351.780.000 373.077.500
394.375.000 Distribusi
untuk 1
desatahun 35.265.000
53.414.400 71.145.600
70.356.000 74.615.500
78.875.000 Biaya
Pembentu kan
30.198.400 43.184.400
57.000.700 54.236.000
59.067.500 63.899.000
Biaya 1
kali operasion
al 1.696.200
2.975.000 3.833.700
2.630.000 2.714.000
2.798.000 Biaya
operasion al 1 tahun
5.067.400 10.230.000
14.144.900 14.976.000
15.548.000 16.120.000
Sumber : Sofiarini dan Goeman 2009
2.4 Landasan Teori
Tjiptoherijanto 1994 menyebutkan bahwa teori Demand For Health Capital Grossman, 1972 mengacu pada pendekatan investment models dan
mengasumsikan bahwa masing – masing individu melakukan penilaian manfaat
atas pengeluaran untuk kesehatan yang diperbandingkan dengan pengeluaran untuk komoditi
– komoditi lainnya dalam rangka memutuskan status kesehatannya yang optimal. Dalam hal ini konsumen diasumsikan mempunyai
pengetahuan tentang status kesehatannya sendiri, tingkat depresiasi status kesehatannya dan fungsi produksi yang mengaitkan antara perbaikan kesehatan
dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan. Aplikasi asumsi teori tersebut banyak diterapkan pada program pengembangan Konsep Desa Siaga Aktif.
Program ini merupakan program pemerintah yang berdampak jangka panjang,
karena berbasis UKBM.
Evaluasi program tersebut akan dilakukan dengan menganalisis biaya manfaatnya CBA. Pada dasarnya CBA menawarkan perbandingan antara seluruh
biaya dan manfaat dari suatu program yang dibiayai dari dana masyarakat. Biaya yang dikeluarkan termasuk juga rencana pengeluaran yang terlihat dalam
anggaran. Sedangkan manfaat diperoleh bila kerugian dimasa datang bisa dicegah karena keberhasilan dari program tersebut. Manfaat dari program-program
kesehatan tidak lain dari biaya yang bisa dicegah bila program tersebut berhasil sehingga beberapa penulis menyarankan bahwa nilai manfaat mungkin saja
diperoleh dengan menghitung biaya ekonomi dari suatu penyakit. Efek atau
dampak dari suatu program kesehatan itu baru dapat terlihat setelah beberapa lama, maka nilai-nilai biaya dan manfaat program tersebut harus disesuaikan
mengingat nilainya berubah menurut perjalanan waktu.
Langkah – langkah yang akan dilakukan dalam penerapan menganalisis
biaya manfaat pengembangan program Desa Siaga Aktif ini meliputi : 1 identifikasi pengambil keputusan dan alternatif; 2 identifikasi biaya;
3 identifikasi manfaat baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung; 4 transformasi dampak kedalam nilai moneter; 5 discounting dan 6
penafsiran hasil CBA dengan menghitung ratio biaya manfaat benefit cost ratio atau menghitung manfaat bersih program kesehatan dengan menghitung net
present value NPV dan internal rate of return IRR.
2.5 Kerangka Konsep