Peneliti melihat bahwa kedua kelompok ini belum memiliki kesefahaman khususnya tentang pengembangan program desa siaga aktif. Kelompok luar juga
menegaskan, mereka membutuhkan penjelasan atau justifikasi yang lengkap agar program ini dapat didukung sepenuhnya. Tentu hal ini menjadi jalan terang bagi
Dinas Kesehatan untuk mengatur strategi dalam melakukan percepatan untuk mengembangkan program ini sehingga dapat memenuhi target 80 desa di
Kabupaten Langkat dapat menjadi siaga aktif pada tahun 2015 mendatang. Dinas Kesehatan juga dapat melakukan penekanan public policy seperti yang
ditunjukkan oleh model pendekatan Grossman dengan mengedepankan perlunya penyediaan informasi kesehatan yang memadai bagi masyarakat melalui
pengembangan program desa siaga aktif ini.
5.3 Analisis Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007
– 2011
Analisis biaya ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan mengukur seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mengoperasionalkan desa siaga aktif, baik
yang bersifat langsug maupun tidak langsung. Hasil penelitian pada tabel 4.12 menunjukkan bahwa total biaya yang diperlukan dalam mengembangkan 10 desa
siaga aktif di Kabupaten Langkat selama 5 tahun 2007 – 2011 berjumlah Rp.
1.051.951.200,00. Biaya langsung berjumlah Rp. 1.048.951.200,00 sedangkan biaya tidak langsung hanya berjumlah Rp. 3.000.000,00. Minimnya biaya tidak
langsung ini karena peneliti hanya mendapatkan data hitungan kasar dari bidan desa dan sedikit sekali bidan desa yang melakukan pencatatan terhadap biaya ini.
93,4 Rp. 897.500.000 dari total biaya tersebut digunakan untuk pembangunan Poskesdes dan pengadaan Poskesdes Kit sedangkan 6,6 lainnya digunakan
untuk kegiatan operasional desa siaga aktif. Di samping itu juga terdapat Rp.90.462.000,00 yang bersumber dana dari masyarakat. Biaya inilah yang
dimanfaatkan masyarakat sebagai dana bergulir untuk seluruh keperluan kegiatan dan operasional Poskesdes karena bantuan pemerintah hanya untuk pembangunan
fisiknya saja. Grafik 5.1 memperlihatkan bahwa biaya terbesar dikeluarkan pada tahun 2009, hal ini karena pada tahun tersebut dilakukan pembangunan Poskesdes
sebanyak 5 unit dan melengkapi 9 paket Poskesdes kit pada 10 desa siaga aktif.
Grafik 5.1 Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di
Kabupaten Langkat Tahun 2007 – 2011
Grafik 5.2 Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif pada Masing –
masing Desa di Kabupaten Langkat Tahun 2007 – 2011
Grafik 5.2 memperlihatkan bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat masing
– masing desa dalam pengembangan ini sangat bervariasi. 7 desa yang menerima pembangunan Poskesdes memiliki
jumlah biaya yang hampir sama yaitu diatas Rp. 130.000.000,00, dan yang paling banyak adalah Desa Pulau Banyak Rp.164.277.000,00, sedangkan 3 desa
lainnya belum menerima pembangunan Poskesdes, jadi dananya masih dibawah Rp. 100.000.000,00 dan yang paling sedikit adalah Desa Padang Cermin, hanya
Rp. 8.562.000,00.
Hasil penelitian ini sejalan dengan perhitungan Sofiarini dan Goeman 2009 yang menganalisis biaya desa siaga di NTT dan NTB selama tahun 2006
– 2009. Persentase biaya untuk pembentukan konsep lebih besar dari pada biaya
operasional untuk mempertahankan keberlangsungan fungsi desa siaga, namun
secara persentase jauh berbeda. Hal ini tentu dikarenakan sumber dana dan karakteristik masing
– masing desa siaga yang dibangun juga berbeda. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Taufik Noor, dkk.2007,
dimana pemerintah juga membangun dan memberikan dana operasional untuk pengembangan desa siaga melalui posyandu bahkan disediakan juga dana untuk
penguatan ekonomi kader sebesar Rp. 250.000,00. Makkasau dengan advokasinya terhadap nilai ekonomi yang hilang akibat 10 besar penyakit di Ternate, mampu
meyakinkan Walikota dan pejabat strategis lainnya untuk menganggarkan seluruh biaya pembentukan dan operasional 23 kelurahannya menjadi siaga aktif melalui
APBD. Perhitungan terpisah juga dilakukan peneliti terhadap biaya implementasi
satu desa siaga aktif di Kabupaten Langkat selama satu tahun pertama dengan melengkapi seluruh perangkat dan keperluan yang dibutuhkan, sekitar Rp.
130.000.000,00. Disamping itu masih diperlukan bantuan dana operasional sekitar Rp. 2.000.000,00 pertahun perdesa untuk menghidupkan fungsi desa siaga. Dalam
waktu 2 – 3 tahun, peneliti yakin program ini sudah mandiri bersama masyarakat.
Sehingga kalau perencanaan tersebut matang, Dinas Kesehatan hanya butuh dana Rp.37.395.000.000,- untuk mengaktifkan 277 desakelurahan siaga yang ada di
Kabupaten Langkat dan pembagiannya dapat disesuaikan dengan rencana strategis yang dijalankan. Pengelompokan dana
– dana tersebut dapat dilakukan secara bergulir, sehingga tidak menjadi belanja modal yang permanen bagi Dinas
Kesehatan dalam pengajuan APBD. Pengurangan biaya total juga sangat
dimungkinkan jika seluruh elemen masyarakat dapat bersinergi dan berpartisipasi aktif, terutama dengan adanya bantuanmitra dunia usaha yang berkembang di
desa masing – masing atau memanfaatkan bantuan dari luar negeri seperti di NTT
dan NTB tahun 2006 – 2009.
5.4 Analisis Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2008