3. 3. Rwanda Penyelesaian Masalah Ganti Rugi terhadap Korban Perkosaan di Waktu Perang

itu pengadilan yang permanen dengan sistem yang telah pasti akan menjadi alat yang lebih kuat untuk mencegah kejahatan-kejahatan serupa. Tuduhan terhadap mantan Presiden Slobodan Milosevic lewat pengadilan ad hoc pada bulan Juni 1999 dengan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan semakin memperkuat keinginan pentingnya peranan pengadilan yang permanen 61 Pengadilan internasional untuk kasus Rwanda merupakan pengadilan yang memberikan preseden penting dalam perlindungan terhadap korban perkosaan di waktu perang. Pengadilan inilah yang pertama kalinya dalam sejarah pada tanggal 2 September 1998, menghukum terpidana Akayesu dengan tuduhan genosida dan menggunakan perkosaan secara sistematis sebagai alat dari genosida .

C. 3. 3. Rwanda

Sampai dengan tanggal 31 Desember 1999, 48 orang telah dituntut, 38 orang lainnya berada dalam tahanan, baru enam kasus saja yang sudah mendapat putusan. Sepuluh orang sudah dituntut tetapi belum diketahui keberadaannya. 62 61 . Pengadilan mengatakan bahwa perkosaan adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan Crimes against humanity. http:www.un.orgNewsfactsiccfact.htm , diakses tanggal 7 Mei 2010. 62 Kelly Askin, op.cit 71 Universitas Sumatera Utara Diaman kemudian akibat putusan ini maka munculah preseden mengenai kasus perkosaan bahwa tindakan perkosaan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jean-Paul Akayesu adalah mayor komunitas Taba di Rwanda. Di posisi ini ia memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap kegiatan militer, politik dan masyarakat Taba. Ia dituduh telah melakukan tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, pembunuhan dan perkosaan, penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi lainnya 63 Putusan lainnya yang dikeluarkan ICTR tentang perkosaan jatuh pada terpidana Alfred Musema dengan hukuman penjara seumur hidup . 64 27 Januari 2000. Ia didakwa telah melakukan genosida, konspirasi untuk melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan pembunuhan, perkosaan, pemusnahan dan tindakan tidak manusiawi lainnya dan juga melanggar protokol II dan Artikel 3 Jenewa Konvensi 65 . Dengan dikeluarkannya putusan mengenai kejahatan perkosaan di waktu perang oleh ICTR memberikan preseden yang luar biasa besar dalam hukum internasional dibidang perlingungan dan penegakan hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan. 63 Kelly Askin, legar preseden, ibid 64 Kellu D. Askin, Sexual Slavery, op.cit 65 Kelly Askin, Legal Precedents, op.cit Universitas Sumatera Utara

D. Penyelesaian Masalah Ganti Rugi terhadap Korban Perkosaan di Waktu Perang

Ganti rugi merupakan hal yang penting untuk dipenuhi ketika suatu tindak pidana terjadi. Pentingnya ganti rugi tidak terlepas dari nilai keadilan itu sendiri. Untuk masalah ganti rugi ini dikenal dua macam ganti kerugian, yaitu 66 a. Restitusi restitution; ganti kerugian oleh pihak pelaku : b. Kompensasi compensation; ganti kerugian oleh pihak pemerintah. Pemerintah memberikan ganti rugi walaupun pemerintah tidak salah, tetapi demi pelayanan terhadap yang dirugikan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan dan keadilan. Komisi hak asasi manusia telah membuat serangkaian prinsip-prinsip yang ditujukan untuk mendampingi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Prinsip – prinsip tersebut termasuk hak anggota keluarga untuk mengetahui kepastian orang yang hilang, hak untuk mendapatkan penggantian kerugian, hak untuk keadilan bagi tindak pidana dan prinsip bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk mencegah hal yang sama terulang kembali. Sangat disayangkan prinsip-prinsip ini sifatnya hanya rekomendasi. 66 Arif Gosita, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan terhadap Para Korban Perkosaan, Jakarta : Akademika Presindo, 1985, hal. 20 73 Universitas Sumatera Utara

D. 1. Ganti Rugi Jepang