BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan oleh penulis diatas, maka atas pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam skripsi ini, dapat
diambil kesimpulan 1. Bahwa pengaturan perkosaan terhadap korban perempuan di waktu perang
menurut HI adalah Berikut ini merupakan konvensi-konvensi dan pernjanjian internasional lainnya yang memberikan perlindungan terhadap
perempuan dari tindak perkosaan baik yang sifatnya langsung yang dengan jelas menggunakan isitilah “perkosaanrape” maupun tidak
langsung yang tidak dengan jelas menggunakan kata “perkosaanrape”. a. Berdasarkan Konvensi Janewa IV Tahun 1949
Konvensi Janewa IV tahun 1949 merupakan perangkat internasional yang mengatur mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil
selama berlangsungnya sebuah konflik bersenjataperang. Dalam konvensi ini diatur pula mengenai perlindungan terhadap perempuan
dari berbagai tindakan yang dapat mengancam kehormatannya dimana perkosaan termasuk salah satunya.
b. Berdasarkan Perjanjian Internasional Perkosaan telah dikecam oleh hukum internasional sudah sejak lama.
Ahli hukum internasional Scholars Belli 1563, Gentili 1612 and
84
Universitas Sumatera Utara
Grotius 1625 mengatakan bahwa perkosaan diwaktu perang sebagai kejahatan perang
79
Selain Konvensi Jenewa IV 1949 beserta kedua protokolnya, ada beberapa perjanjian-perjanjian internasionalnya lainnya yang mengatur
mengenai perlindungan terhadap perempuan selama berlangsungnya perang baik secara langung maupun tidak langsung. Perjanjian –
perjanjian tersebut antara lain : .
1. Komisi pasca Perang Dunia I, Versailles Commission, telah
mengakui perkosaan sebagai kejahatan perang. Control Council Law No. 10, telah memasukkan kejahatan tehadap kemanusian,
termasuk didalamnya perkosaan diwaktu perang, dalam piagam Nuremberg dan Tokyo.
2. Konvensi Den Hague, pelaksanaan Perang Dunia II juga telah
melakukan pelarangan terhadap tindak perkosaan diwaktu perang dan berbagai tindak kekerasan seksual lainnya.
3. The Covenant of The League of Nations termasuk Amandemen
December, 1924 4.
International Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others.
5. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women 1979.
79
Karen Parker, J.D., United Nations Commissions On Human Rights Fifty-first session Agenda item 11, War Rape,
http:www.webcom.comhrinparkerc95-11.html , diakses tanggal 17
Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
6. Vienna Declaration Programme of Action World Conference on
Human Rights, Vienna, 14-25 June 1993. 7.
Declaration on the Elimination of Violence Against Women 1994, Beijing Declaration 1995.
8. Piagam PBB, Deklarasi Hak Asasi Manusia Charter of the United
Nations, Universal Declaration of Human Rights 9.
International Covenant On Economic Civil And cultural Rights 10.
International Convenant On Civil And political Rights 11.
Konvensi mengenai hak anak convention on the rights of the child
12. Convention on the elimination of all forms of discrimination
Agsinst women 13.
Convention on the Elimination of Violence Against Women 14.
Instruksi Pemerintah terhadap tentara Pemerintah Amerika serikat yang berada di lapangan.
2. Bahwa peranan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasus- kasus perkosaan di waktu perang merupakan Peranan pengadilan
internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang dapat dilihat lewat pengadilan militer internasional untuk Timur Jauh
tahun 1946 International Military fo the Far East pengadilan internasional untuk Rwanda tahun 1994 International for Rwanda, dan
peranan pengadilan internasional untuk bekas Yugoslavia tahun 1993 International Tribunal for Former Yugoslavia
86
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan internasional memiliki peran yang sangat signifikan dalam menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Apakah keadilah
suatu kasus terpenuhi atau tidak sangat tergantung dari hasil putusan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan. Demikian pula halnya dengan putusan
yang dikeluarkan pengadilan internasional dalam menyelesaikan kasus- kasus perkosaan di waktu perang.
Bahwa ada penyelesaian masalah ganti rugi terhadap korban-korban perkosaan diwaktu perang adalah Ganti rugi merupakan hal yang penting
untuk dipenuhi ketika suatu tindak pidana terjadi. Pentingnya ganti rugi tidak terlepas dari nilai keadilan itu sendiri.
3. Bahwa Untuk masalah ganti rugi ini dikenal dua macam ganti kerugian,
yaitu: a…Restitusi restitution; ganti kerugian oleh pihak pelaku
b. Kompensasi compensation; ganti kerugian oleh pihak pemerintah. Pemerintah memberikan ganti rugi walaupun pemerintah tidak salah,
tetapi demi pelayanan terhadap yang dirugikan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan dan keadilan.
Komisi hak asasi manusia telah membuat serangkaian prinsip-prinsip yang ditujukan untuk mendampingi para korban pelanggaran hak asasi
manusia. Prinsip – prinsip tersebut termasuk hak anggota keluarga untuk mengetahui kepastian orang yang hilang, hak untuk mendapatkan penggantian
kerugian, hak untuk keadilan bagi tindak pidana dan prinsip bahwa pemerintah 87
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kewajiban untuk mencegah hal yang sama terulang kembali. Sangat disayangkan prinsip-prinsip ini sifatnya hanya rekomendasi.
Fenomena yg berkembang dibeberapa kasus yang muncul menunjukkan bahwa perkosaan telah digunakan sebagai alat untuk memenangkan
peperangan, dilakukan dengan cara masal dan sistematis dan dalam beberapa kasus mendapat restu dari Negara.
Dalam kasus bosnia dan Rwanda, perkosaan digunakan sebagai cara pembersihan ras genosida sehingga diharapkan dari perempuan perempuan
yang di perkosa tersebut akan lahir anak anak yank memiliki ras campuran. Fakta mengenai hal ini telah di kuatkan lewat utusan pengadilan internasional
untuk bekas Yugoslavia dalam kasus kunarac , kovavc dan zoran bosnia serta kasus akayesu Rwanda
Pengaturan mengenai perkosaan di waktu perang di atur dalam Pasal 27 konvensi jenewa IV 1949 dan Pasal 4 protokol II nya. Kedua perangakat
hukum internasional tersebut merupakan perangakt hukum internasional utama dalam upaya mencegah dan menyelesaikan kasus kasus pemerkosaan di
waktu perang. Hanya saja menunnjukan bahwa meskipun kedua perangakat hukum tersebut efektif dalam menyelesaikan kasus kasus perkosaaan di waktu
perang namun masih sangat minim perannya dalam mencegahterjadinya kasus kasus perkosaan di waktu perang. Hal ini biasa dilihat dari kasus Bosnia dan
Rwanda yang terjadi setelah kedua perangkat hukum tersebut berlaku. Ini menunjukkan kegagalan konvesi jenewa dan protokolnya dalam mencegah
terjadi kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Kegagalan tersebut terjadi 88
Universitas Sumatera Utara
karena rendahnya control dari lembaga PBB dalam mengawasi penerapan setiap konvensi yang telah berlaku. Perkosaan di waktu perang membawa
banyak persoalan hukum, dimana diantaranya adalah ; masalah kewarganegaraan dan hukum dimana yang berlaku mengingat antara korban
dan pelaku perkosaan bias memiliki kewarganegaraan yang berbeda,masalah pengungsian dan kesejahteraanya selama pengungsian. Hal ini perlu
diperhatikan mengingat ketika banyak terjadi perkosaan yang dilakukan diwaktu perang ,menyebabkan tingginya tingkat pengungsi terutama
perempuan yang berusaha menghindar ke daerah yang dianggap aman. Selain kedua maslah tersebut muncul maslah lainnnya yaitu mengenai kewenangan
pengadilan internasional,dan masalah ganti rugi terhadap korban. Pengadilan internasional memiliki peranan yang sangat besar dan
penting dalam segala upaya mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus perkosaan di waktu perang. Meskipun dengan beberapa putusan yang
dianggap tidak memuaskan misal: putusan terhadap para penjahat perang jepang di Tokyo pada tahun 1946,putusan pengadilan internasional lainnya
misal ICTR dengan putusan pengadilan internasional lainnya misal ICTR dengan putusan pengadilan internasional lainnya misal ICTR dengan putusan
terhadap akayesu, pengadilan telah membuat preseden besar mengenai kejahatan perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against
humanity. ICTY juga memberikan preseden hukum yang besar pada saat menghukum kunarac,kovavc dan zoran atas tindak perkosaan secara sistematis
terhadap para perempuan Bosnia. Dengan hukum yang dijatuhkan kepada 89
Universitas Sumatera Utara
pelaku perkosaan dan mereka yang dianggap bertanggung jawab terhadap
terjadinya perkosan diwaktu Pe r a ng me r upa ka n c a r a ya n g s a nga t
e fe kt i f un t uk me nc e ga h kasus serupa terjadi dikemudian hari. Dalam pengadilan internasional, pengaturan mengenai Perkosaan diatur
dalam statute ICTRPasal 3, ICTY Pasal 5 dan ICTY Pasal 7,dimana perkosaan rape diwaktu perang dikategorikan dalam salah satu bentuk
kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity. Setiap korban kejahatan termasuk didalamnya korban perkosaan berhak
atas ganti rugi atas kerugian yang dialaminya baik itu kerugilan fisik ataupun mental. Hal ini tidak terlepas dari proses pemenuhan keadilan itu sendiri.
Ganti rugi merupakan salah satu unsur dasar dari hukum. Grotius. Dari ketiga kasus itu kasus perkosaan Jepang selama Perang Asia
pasifik,kasus Rwanda Tahun 1993 dan kasus bosnia Tahun 1995,pemberian ganti rugi belum pernah dilakukan sampai saat ini. Perhatian utama
penyelesaian kasus beratkan pada menangkap pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab tanpa memperhatikan proses penggantian kerugian yang
dialami korban. Ganti rugi Jepang merupakan contoh buruk dari proses Penyelesaian
Dimana jepang sebagai negara tidak mengakui kesalahannya dimasa lampau dan tidak memberikan Ganti rugi kepada para korban perbudakan seksual
yang mereka lakukan semasa kependudukannya. Baik di statuta ICTR Pasal 23 ayat 3 dan ICTY Pasal 24 ayat 3,ganti
kerugian dimungkinkan sebatas harta benda’ property yang mengalami 90
Universitas Sumatera Utara
kerusakan saja. Definisi Ini tidak melingkupi kerugian mental atau fisik korban padahal seharusnya ganti rugi dapat diberikan terhadap kerusakan
kehormatan honor dan reputasi reputation seseorang.Korban perkosaan sebagai pihak yang kehormatan dan reputasinya terusak memiliki hak atas
ganti kerugian, namun definisi yang diberikan tersebut akan sulit bagi korban perkosaan untuk menuntut ganti kerugian.
B.
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian demi mencegah dan
menyelesaikan kasus-kasus perkosaan diwaktu perang terjadi dikemudian hari, yaitu bahwa:
Saran
PBB harus Lebih berperan aktif dalam menyelesaikan dan terutama mencegah setiap konflik yang dapat mengarah kearah terjadinya gangguan
terhadap keamanan dan perdamaian dunia. Adalah bahwa penerapan sebuah konvensi adalah fakta yang berlaku
terhadap negara-negara anggotanya sering kali tidak efektif sebagaimana yang terjadi dengan konvensi jenewa 1949 yang menyebabkan banyaknya terjadi
pelanggaran tersebut untuk k itu perlu dibuatnya sebuah badan pengawasan yang memiliki tugas mengawasi mengontrol dan siap memberikan sanksi
terhadap setiap penerapan sebuah konvensi yang telah berlaku. Sumbangan utama dapat diberikan olehpengadilan adalah tidak hanya
hukum yang berlakudigunakan dan prosedurnya tetapi juga faktor manusia 91
Universitas Sumatera Utara
harus ikut bicara; karakter dan sensitifitas dari hakim dan pengacara yang terlibat terhadap korban perkosaan sangat penting.
Setiap negara hendaknya, membuat mekanisme pengganti kerugian terhadap setiap korban kejahatan termasuk di dalamnya korban baik itu ganti
rugi materi lmaupunmental psikologis. Hal ini merupakan hal yang sangat penting mengingat beban dan pendertitaan moral yang harus dihadapi Korban
seumur hidupnya. Negara harus terlibat secara aktif dalam proses asistensi dan penyembuhan korban perkosaan.
Masyarakat internasional harus menanggapi secara serius setiap bentuk kejahatan terhadap hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan mengingat
posisi perempuan dibelahan dunia ini masih banyak yang dikesampingkan baik baik oleh masyarakat dan Negara sehingga membuat mereka rentan menjadi
korban tindak kekerasan.
Korban perkosaan memerlukan serangkaian perangkat perlindungan baik itu yang sifatnya yuridis maupun yang non yuridis. Perlindungan yuridis
diberikan lewat seperangkat peraturan hukum yang berpihak pada korban perkosaan dan mampu memberikan rasa aman korban tersebut dalam berbagai
tingkatan pemeriksaan. Sedangkan perlindungan non yuridis mewujudkan kedua bentuk perlindungan ini membutuhkan dukungan dan keinginan baik
dari Negara.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINDAK PERKOSAAN DI WAKTU PERANG