Kedua pengadilan internasional ini hanya memiliki jurisdiksi atas pribadi perorangan saja natural persons-Pasal 61 statuta ICTR dan Pasal 7
statuta ICTY.
C.3. Kasus-kasus yang pernah diputuskan
Sampai dengan saat ini telah ada beberapa putusan pengadilan yang berhasil dikeluarkan oleh pengadilan internasional yang berwenang dalam
menyelesaikan kasus-kasus perkosaan terhadap perempuan di waktu perang. Putusan – putusan pengadilan internasional tersebut kemudian menjadi
preseden hukum baru dalam penegakan hak asasi manusia terutama hak asasi perempuan secara internasional.
C. 3. 1. Kasus Jepang
Pengadilan militer internasional untuk timur jauh Tokyo Trial telah menghukum 28 orang terpidana yang dianggap bertanggung jawab terhadap
kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Jepang selama perang Asia Pasifik.
Pengadilan ini berdiri atas deklarasi pada tanggal 1 Desember 1943 dari tiga negara sekutu yaitu, Inggris, Cina dan Amerika Serikat. Deklarasi
tersebut menyatakan bahwa tujuan dari perang yang ada adalah untuk menghentikan dan menghukum agresi Jepang.
Setelah Jepang menyerah, komisi Kejahatan Crimes Comission PBB yang didirikan di London pada tahun 1943, membuat rekomendasi untuk
59
Universitas Sumatera Utara
mendirikan pengadilan militer internasional untuk kejahatan dan kekejaman Jepang. Kemudian delapan negara sekutu utama Australia, Inggris, Kanada,
Cina, Perancis, Belanda, New Zealand, Uni Soviet dan Amerika Serikat untuk mengorganisasikan pengadilan tersebut. Konferensi Moskow yang
dihadiri empat menteri luar negeri negara besar Inggris, Cina, Uni Soviet dan Amerika Serikat memutuskan bahwa pengadilan tersebut akan diadakan di
Tokyo. Pengadilan ini berlangsung selama dua setengah tahun dan selesai pada
tanggal 4 Nopember 1948 dengan diputuskannya pidana terhadap 28 penjahat perang kelas A.
Dari tujuh hukuman mati yang diputuskan, pengadilan ada satu putusan pengadilan yang berkaitan menghukum terdakwa karena dianggap
bertanggung jawab terhadap perkosaan yang terjadi di Indonesia dan Nanking the Rape of Nanking yaitu terhadap Akira Muto, ia seorang ketua deputi
tentara Jepang di Cina Tengah. Dari enam belas terpidana hukuman seumur hidup penjara hanya satu
putusan yang berkaitan dengan perkosaan, yaitu atas nama Kingoro Hashimoto, seorang komandan resimen alteri. Sama halnya dengan Akira
Muto, dalam putusan hakim ia dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas terjadinya “the rape of Nanking” ia bertanggung jawab atas
pembunuhan masal yang terjadi, kudeta dan menerbitkan buku tentang propaganda rasisme.
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan ini menurut banyak pihak tidak dapat dikatakan memuaskan, hal ini terjadi karena :
1. Mayoritas dari penjahat perang Jepang kelas A dilepaskan. Dari 70 orang
yang dianggap sebagai penjahat perang kelas A hanya group pertama saja, yang terdiri dari 28 orang, yang dibawa ke pengadilan, selebihnya yaitu
grup pertama 23 orang dan grup kedua 19 orang akan diadili di Penjara Sugamo, Tokyo.
Grup pertama merupakan orang-orang yang dianggap pemimpin utama dalam bidang militer, politik, dan diplomatik. Grup kedua dan ketiga
merupakan orang-orang yang terkenal dibidang industri dan keuangan yang terkait dengan jual beli senjata dan obat-obatan berbaya, dalam grup
ini termasuk juga pimpinan-pimpinan militer, politik dan diplomatik yang dianggap terlibat.
Tapi ternyata semua penjahat kelas A yang belum diputuskan tersebut dibebaskan oleh Jenderal Mac Arthur pada tahun 1947 dan 1948. Sebagian
dari mereka segera kembali terlibat dalam kegiatan militer dan politik. 2.
Hirohito sebagai kaisar yang berkuasa saat itu sama sekali tidak diminta pertanggungjawabannya, padahal semua kegiatan pemerintahan yang ada
saat itu merupakan kebijakan yang ia keluarkan dan harus mendapat izin dari dia
Hal lainnya yang dapat dikatakan tidak memuaskan dari penyelesaian kasus perkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Pengadilan militer terhadap tentara Jepang yang menghukum para pelaku
pemerkosaan secara langsung hanya terjadi satu kali yaitu di Batavia – Indonesia Jakarta pada tahun 1948. Pengadilan ini lebih dikenal dengan
pengadilan Batavia Batavia trial. Pengadilan ini menghukum beberapa anggota militer Jepang karena telah memaksa 35 perempuan Belanda
masuk ke rumah bordir. Namun, pengadilan ini tidak memperhatikan kasus yang sama yang terjadi pada perempuan Indonesia ataupun
kewarganegaraan lainnya. Sampai saat ini tidak ada satupun tentara Jepang yang pernah diadili atas perlakuan mereka terhadap perempuan-
perempuan Korea. Pemerintah Jepang juga tidak pernah mengeluarkan satu pun dokumen yang menyangkut masalah ini
52
2. Tidak adanya satupun permintaan maaf yang dikeluarkan oleh pemerintah
Jepang secara resmi yang mengakui kesalahan mereka dimasa lalu. .
3. Pemerintah Jepang menolak memberikan ganti rugi kepada para korban
dengan alasan semua penyelesaian masalah perang telah selesai pada saat ditanda tanganinya perjanjian perdamaian antara Jepang dan negara-
negara yang bersengketa. Ketidakpuasan tersebut membawa para korban yang dibantu organisasi
non pemerintah pemerhati perempuan dari berbagao negara korban “Jugun Ianfu” mencoba menuntut hak mereka kepada pemerintahan Jepang.
Bermacam cara telah dicoba dilakukan termasuk memasukkan kasus kepengadilan kedistrik Tokyo, tapi semuanya kembali.
52
A Chronological Look at Comfort Women, Young Koreans United of USA.
62
Universitas Sumatera Utara
Kemudian pada tahun 2000 pada korban dan lembaga-lembaga pemerhati perempuan tersebut menyelenggarakan sebuah pengadilan
internasional untuk mengadili pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh para perempuan yang
pernah menjadi “Jugun Ianfu”
53
Pengadilan internasional tersebut dikenal dengan nama International Women’s War Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery
Pengadilan Internasional terhadap Kejahatan Kriminal Perang yang berlangsung di Tokyo pada tanggal 12 Desember 2000. Meskipun digunakan
istilah pengadilan internasional ini dengan pengadilan internasional yang dikenal oleh masyarakat internasional saat ini. Perbedaan tersebut yaitu
.
54
a. Pengadilan ini tidak diselenggarakan oleh institusi negara melainkan oleh
masyarakat sipil yang peduli mengenai masalah ini. :
b. Dikatakan pengadilan internasional oleh para penggeraknya karena
memang banyak unsur – unsur dalam pengadilan tersebut yang dapat mengkategorikannya sebagai pengadilan internasional sebagai contoh
pihak yang terlibat didalamnya adalah pihak-pihak dari berbagai negara yang berbeda, hukum yang digunakan merupakan kolaborasi dari hukum-
hukum di negara-negara pihak yang terlibat begitu pula dengan tempat terjadinya kejahatan yang berbeda-beda pula.
53
Christine Chinkin, Toward the Tokto Tribunal 2000, http:www.iccwomen.orgTokyochinkin.htm
, diakses tanggal 20 Mei 2010. http:muse.jhu.edudemohuman_rights_quarterly17.4niarchos.html
54
Sihyun Cho, op.cit
63
Universitas Sumatera Utara
c. Pengadilan ini mengadili mantan Kaisar Jepang Hirohito yang berkuasa
semasa Perang Dunia II yang telah meninggal dunia. d.
Pengadilan ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat hanya sebatas bersifat moral karena pengadilan ini memang bertujuan sebatas
memberikan preseden pada masyarakat untuk tidak membiarkan suatu kejahatan kemanusiaan yang sebegitu bejatnya terhadap perempuan,
terutama kejahatan seksual, lewat begitu saja dihadapan hukum. Pengadilan yang diselenggarakan kelompok Koalisi Perempuan dan
Hak Asasi Manusia dan dimulai pada tanggal 8 Desember 2000 di Kudan Kaikan, Tokyo ini mendengar pengakuan dari sekitar 60 bekas budak seks
Jepang yang lebih dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu. Diantaranya dari Cina, Indonesia, Belanda, Korea Utaram dan Selatan serta Taiwan. Peradilan
ini didukung oleh para hakim yang pernah duduk pada pengadilan internasional mengenai perkosaan untuk korban perang di Bosnia dan
Rwanda. Tuduhan yang bersifat moral tanpa kekuatan hukum ini mengakhiri
pertemuan lima hari yang menghasilkan keputusan dalam kasus Perbudakan Seksual yang dilakukan Militer Jepang terhadap perempuan Asia di wilayah
pendudukannya bahwa
55
a. Kaisar Jepang Hirohito yang berkuasa semasa Jepang Dunia II dan
pemerintahannya dianggap bertanggung jawab terhadap perbudakan seksual.
:
55
“Hirohito Divonis Bersalah Atas Perbudakan Seks” http:www.suarakarya-
online.comnews.xtp?categoryid=52newsid=4268 , diakses tanggal 29 Mei 2010.
64
Universitas Sumatera Utara
b. Menghukum pemerintah Jepang semasa Perang Dunia II dan meminta
pemerintahan yang menggantikannya sekarang ini untuk meminta maaf dan melakukan ganti rugi terhadap korban budak-budak seks tersebut.
Meskipun pada kenyataannya putusan pengadilan internasional tersebut sifatnya tidak mengikat bagi Jepang tetapi sesungguhnya perbudakan
seksual tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 Pasal 27 dan merupakan kejahatan perang.
Penolakan Pemerintahan Jepang untuk mengakui bahwa mereka bertanggungjawab atas terjadinya perbudakan seksual di wilayah
pendudukannya selama perang dunia II di tegaskan kembali dengan tidak disinggungnya mengenai sistem perbudakan seksual yang pernah mereka
lakukan tersebut dalam buku teks sejarah yang digunakan untuk mengajar para murid sekolah yang dikeluarkan pemerintahan Jepang pada Bulan Mei
tahun 2001, Tindakan Jepang ini mendapat protes dari berbagai aktivis kemanusiaan.
Resolusi MU – PBB No. 2391XXII1968 Convention on the Non- Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Against
Humanity dan perjanjian Dewan Eropa No. 82 tanggal 2 Januari 1974 European Convention on The Non-Applicability of Statutory Limitation to
Crimes Against Humanity and War Crimes menyatakan bahwa berlalunya waktu sama sekali tidak menyurutkan tanggung jawab suatu negara untuk
mengusut, menuntut, mengadili dan menghukum warganya yang terlibat. 65
Universitas Sumatera Utara
Setiap korban beserta keluarganya pun layak mendapat kompensasi dan pemulihan nama baik
56
Mereka menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional yang disebut International Tribunal Court di Tokyo. Koalisi Perempuan Indonesia
KPI bersama LBH APIK dan LBH Jakarta, bersama – sama dengan negara – negara korban lainnya seperti Philipina, Korea dan Taiwan, mengajukan
surat dakwaan, berikut bukti – bukti dan kesaksian atas kejahatan tentara Jepang tersebut. Juga menuntut Pemerintah Jepang mengakui kesalahannya,
meminta maaf kepada korban dan memberikan ganti rugi, reprasi serta kompensasi
.
57
56
“Menunggu Peradilan Perbudakan Seksual”
.
C. 3. 2. Kasus Bosnia Herzegovina