Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Amerika Serikat menurut FBI, 56.000 perempuan menjadi korban perkosaan atau korban pencobaan perkosaan pada tahun 1975. Ini berarti bahwa setiap 9 menit seorang perempuan menjadi korban perkosaan atau penyerangan seksual pada tahun itu dan angka tersebut menunjukkan peningkatan 40 hingga 50 selama lima tahun pertama tahun 70-an. Di Indonesia tercatat terjadi satu kasus perkosaan setiap lima jam pada tahun 80- an 1 . Angka-angka tersebut belum dapat menggambarkan keadaan yang aktual karena potensi “dark number” yang tinggi dan keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia 2 a. penyerangan fisik Pembunuhan, penganiayaan, penyunatan, pengendalian alat reproduksi, pembunuhan terhadap bayi perempuan. . Kekerasana seksual yang dialami oleh kaum perempuan ini dikenal dalam banyak bentuk. Ia tidak hanya terjadi di tempat tertentu atau pada golongan tertentu saja, melainkan terjadi di seluruh belahan dunia, desa maupun kota, negara maju maupun negara berkembang dan dalam berbagai macam keadaan. Kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan oleh keluarga, masyrakat dan negara. Untuk kekerasan keluarga dapat berupa : 1 Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana Jakarta : IND-HILL CO, 1997, hal 33-34. 2 Ibid., hal. 14 1 Universitas Sumatera Utara b. Penganiayaan seksual Perkosaan, Insect dan penganiayaan mental pengurungan, kawin paksa. Untuk kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dapat berasal dari : a. tradisi atau adat kekerasan fisik, penganiayaan, hukuman fisik, pengendalian alat reproduksi, perkosaan. b. Kekerasan ditempat kerja pelecehan dan intimidasi seksual, kekerasan yang diperdagangkan, perdagangan perempuan, pelacuran paksa c. Media masa pornografi, memperlakukan tubuh perempuan sebagai barang dagangan Untuk kekerasan yang dilakukan oleh negara dapat berupa : a. Kekerasan politik lewat kebijakan negara atau undang-undang penahanan tidak sah, sterilisasi paksa, , kekerasan terhadap perempuan yang dibiarkan negara. b. Kekerasan dalam tahanan yang dilakukan oleh militer atau polisi perkosaan, penyiksaan 3 Kekerasan terhadap perempuan terjadi baik pada saat perang ataupun damai. Namun, tingkat kekerasan terhadap perempuan akan meningkat dengan drastis pada saat pecahnya perang . 4 3 Newsletter Jurnal Perempuan, dikutip dari Toeti Heraty Noerhadi, “Kekerasan Negara Terhadap Perempuan”, dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Kartini Syahrir, ed., Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2000, hal. 31. 4 Galuh Wandita, “Air Mata Telah Terkuras, Kekerasan Belum Berakhir : Memahami Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Prasyarat SebuahTransformasi”, Ibid., hal. 127. . Kasus-kasus yang selama ini terjadi misalnya : kasus Jepang selama perang Asia – Pasifik, wanita Vietnam selama Perang Vietnam dan Kasus Balkan, menunjukkan bagaimana seringnya perempuan menjadi obyek kekerasan seksual selama perang berlangsung. 2 Universitas Sumatera Utara Tragedi berdarah Nanking pun lebih dikenal dengan istilah “The Rape of Nanking” 5 Kekerasan seksual terhadap perempuan di waktu perang terkadang semakin parah ketika kekerasan yang terjadi tersebut didukung oleh institusi negara dan dalam beberapa kasus dilakukan dengan maksud memusnahkan entitas etnis danatau budaya tertentu Perkosaan Nanking karena banyaknya korban perkosaan yang dialami oleh perempuan-perempuan Cina yang dilakukan oleh tentara-tentara Jepang. 6 Berbeda dengan kejahatan perang lainnya, karakteristik perkosaan yang sangat khusus dan sifatnya sangat pribadi, menyangkut . Terlibatnya negara dalam kegiatan perkosaan yang secara masal dan sistematis sungguh terjadi dengan perempuan-perempuan muslim Bosnia dalam konflik Semenanjung Balkan tahun 1992-1995. Fakta telah dilakukannya perkosaan terhadap perempuan di waktu perang sebagai alat ukur memenangkan perang mulai menjadi bahan pembicaraan pada awal tahun 1990-an yang pada mulanya masih banyak yang memperdebatkan teori tersebut. Namun, dengan banyaknya kasus yang muncul dan diangkat kepermukaan fakta yang ada tidak dapat lagi ditutup- tutupi. Posisi perempuan yang lemah telah digunakan oleh kelompok- kelompok yang bersangketa untuk mencapai tujuannya. 5 Pada tanggal 13 Desember 1937 pasukan Jepang menduduki Kota Nanking, Ibukota Cina pada waktu itu. Selama berbulan-bulan mereka membakar, menjarah dan secara sistematis memperkosa, menganiaya dan membunuh. Tercatat korban yang tewas sebanyak 369.366 orang. SUARA PEMBARUAN DAILY, 3 april 2010 6 Nursyahbani Karjasungkana, “Militer dan Kekerasan Terhadap Perempuan : Negara Membiarkan Kekerasan Oleh Masyarakat”, op. cit., hal 240. 3 Universitas Sumatera Utara kohormatanharga diri serta nilai-nilai tradisional yang dianut masyarakat, membuat kasus-kasus tersebut seringkali tidak terangkat kepermukaan. Efek psikologis yang muncul karena kasus perkosaan yang dialami oleh korban menyebabkan korban maupun keluarga korban cenderung untuk diam, hal ini semakin mempersulit penanganan kasus-kasus semacam ini. Untuk jenis kasus-kasus perkosaan yang dilakukan secara sistematis dan kolektif oleh sebuah negara, kesulitan yang ditemui adalah dalam hal pembuktian dan pertanggungjawabannya karena untuk kasus seperti ini perkosaan-perkosaan yang terjadi akan dikemas dengan sangat baik demi melindungi kepentingan-kepentingan politik pihak-pihak yang berkepentingan. Menyadari begitu sering terjadinya pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan selama berlangsungnya perang, beberapa negara di dunia sepakat untuk membuat sebuah peraturan internasional yang khusus mengatur batasan kemanusiaan bagi negara-negara yang terlibat dalam konflik bersenjata. Pengaturan tersebut termuat dalam sebuah konvensi yang ditandatangani oleh lebih dari 120 negara pada tanggal 12 Agustus 1949 di Jenewa dengan 28 negara diantaranya melakukan reservasi terhadap beberapa Pasal-Pasal dari konvensi tersebut 7 7 . Konvensi ini kemudian lebih dikenal dengan nama Konvensi Jenewa 1949 Geneva Convention 1949. http:www.icrc.org , diakses 24 April 2010 Universitas Sumatera Utara Perlindungan terhadap perempuan dari berbagai bentuk tindak kekerasan sudah banyak diatur dalam berbagai perjanjian internasional diantaranya adalah sebagai berikut : 1. International Convention for the Suppression of the Traffic in Women and Children 1947 2. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1979 3. Vienna Declaration Programe of Action World Conference on Human Rights, Vienna, 14-25 June 1993 4. Declaration in the Elimination of Violence Against Women 1994 5. Beijing Declaration 1995. Namun, untuk kekerasan yang terjadi di waktu perang hanya diatur dalam Konvensi Jenewa tahun 1949, dimana konvensi ini terdiri dari empat pembagian yaitu : Konvensi Jenewa I mengatur mengenai perlindungan bagi mereka yang terluka dan sakit pada saat terjadinya perang Convention I For The Amelioration of The Condition of The Wounded And Sick In Armed Forces In The Field. Konvensi Jenewa II mengatur perlindungan terhadap anggota angkatan bersenjata yang berada dilaut yang dalam keadaan terluka atau sakit Convention II for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. Konvensi Jenewa III mengatur perlindungan terhadap tawanan perang Convention III Relative to The Treatment of Prisoners of War dan Konvensi Jenewa IV mengatur mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil selama berlangsungnya Universitas Sumatera Utara perang Convention IV Relative to The Protection of Civilian Persons in Time of War. Dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 inilah diatur mengenai perlindungan terhadap anak-anak dan wanita sebagai warga sipil dari segala macam bentuk kekerasan selam berlangsungnya perang. Konvensi ini terutama bertujuan untuk melindungi wanita dan anak-anak dari berbagai macam tindak kekerasan selama berlangsungnya perang, termasuk pula didalamnya kejahatan terhadap kehormatan perkosaan 8 Pada tanggal 2 September 1998, untuk pertama kalinya sebuah pengadilan atas kejahatan perang yang terjadi di Rwanda menghukum terpidana Akayesu denga tuduhan genosida dan menggunakan perkosaan secara sistematis sebagai alat dari genosida . Meskipun secara internasional sudah ada aturan yang mengatur mengenai pelarangan terhadap perkosaan di waktu perang, perlindungan hukum dan kesadaran akan pentingnya perlindungan hukum atas hak-hak wanita selama berlangsungnya perang masih sangat minim hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus perkosaan terhadap kaum perempuan diwaktu perang yang terjadi namun masih minimnya pengadilan internasional bagi penjahat perang untuk kasus bersangkutan. 9 8 PBB, Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Relative to The Protection of Civilian Persons in Time of War, Pasal 27. 9 Kelly Askin, “Legal Precedents in Rwanda Court” http:www.crimesofwar.orgrwandaprint.tml 3 mei 2010. . Pengadilan mengatakan bahwa perkosaan adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap Kemanusiaan Crimes against humanity. Dengan dikeluarkannya putusan pengadilan tersebut 6 Universitas Sumatera Utara menunjukkan telah diakuinya dalam proses peradilan bahwa perkosaan di waktu perang dilakukan secara sistematis dan sebagai alat dalam melakukan pemebersihan ras genosida. Selain pengadilan Rwanda, pada tanggal 23 Februari 2001, pengadilan internasional untuk kejahatan perang di Bosnia menghukum tiga orang Serbia Dragoljub Kunarac, Radomir Kovac dan Zoran Vukovic selama 12-19 tahun penjara untuk kejahatan perkosaan, penyiksaan dan perbudakan terhadap perempuan-perempuan Bosnia yang berada di daerah Foca Bosnia yang terjadi pada tahuan 1992 10

B. Pokok Permasalahan