Tanggung Jawab Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat yang

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usahapenjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi. Pelaku usaha harus menjamin barang terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu. Pasal 1506 KUH Perdata 87 1. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga; . Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan Pasal 1508 KUH Perdata : 2. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya ongkos yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang; 3. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka pelaku usaha tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen. Hal tersebut menunjukkan bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, obat yang mengandung cacat tersembunyi merupakan tanggung jawab pelaku usaha. 87 Subekti, loc.cit. Selanjutnya, dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan kewajiban pelaku usaha menyangkut tanggung jawab pelaku usaha Apotek berkaitan dengan obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah pelaku usaha Apotek berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi obat serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, kemudian pelaku usaha Apotek berkewajiban menjamin mutu obatyang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu obat yang berlaku, serta berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian bila obat yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai yang diperjanjikan. Dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap”. Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa “tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen”. Berdasarkan hal ini, dengan adanya produk barang danatau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. Lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “ganti rugi yang diberikan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan tertentu”. Waktu pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi sesuai Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 88 Secara umum, lingkup tanggung jawab pembayaran ganti rugi yang dialami konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugan materi, fisik, maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang secara garis besarnya hanya dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum, yaitu . 89 1. Tuntuan berdasarkan wanprestasi : Apabila tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat terikat suatu perjanjan. Ganti kerugian didasarkan pada tidak terpenuhinya prestasi, baik secara keseluruhan ataupun sebagian. Dalam tanggung jawab berdasarkan wanprestasi, kewajiban membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua belah pihak secara sukarela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan tersebut, 88 Ahmadi Miru dan S. Yono, op.cit., hal. 126-127 89 Ibid., hal. 127-143 mengikat sebagai undang-undnag bagi mereka yang membuatnya. 2. Tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara paar pihak. Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat menuntut ganti rugi adalah: a. Perbuatan melanggar hukum Perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan standar perilaku dalam masyarakat. b. Kerugian Ganti kerugian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya meliputi pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan. c. Hubungan sebab akibat Hubungan sebab akibat merupakan pola barangsiapa yang melanggar hukum, bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan itu. d. Kesalahan Dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kesalahan memiliki 3 tiga unsur, yaitu: a Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan; b Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya, dimana dalam arti objektif sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya dan dalam arti subjektif sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya; c Dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan cakap. Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap hal-hal yang sudah kita kenal selama ini. Tanggung jawab produk , barang dan jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk itu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini, menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha 90 Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukun, tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak strict liability, tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan dan kini berlaku caveat venditor pelaku usaha bertanggung jawab . 91 Dalam hukum tanggung jawab produk, pihak korbankonsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya perlu menunjukkan 3 tiga hal, yaitu . 92 1. produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen; : 2. cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugiankecelakaan; 3. adanya kerugian. Namun, juga diakui secara umum bahwa pihak korban konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada 90 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 66 91 Az. Nasution, op.cit., hal 251 92 Adrian Sutedi, op.cit.,, hal. 69 prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen, artinya tidak ada modifikasi-modifikasi. Ketentuan mengenai tanggung jawab produk juga ada dalam Kitab Undang-Undang Perdata, yaitu apabila konsumen menderita kerugian dan ingin menuntut pihak produsen, maka konsumen tersebut akan dmenghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi. Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal 93 Berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha Apotek terhadap oabat yang mengandung cacat tersembunyi, Ramses memberi penjelasan bahwa awalnya tanggung jawab atas obat yang sub-standar mengandung cacat tersembunyi adalah di pabrik pembuat obat tersebut . 94 93 Ibid., hal. 67 94 Wawancara dengan Ramses, Kepala Seksi Penyidikan, tanggal 30 Maret 2015 di BPOM Medan . Setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM mengetahui adanya pabrik pembuat obat yang sifatnya sub-standar, maka BPOM bertanggung jawab menginformasikan hal tersebut ke masyarakat, termasuk pelaku usaha Apotek. BPOM menginformasikan hal tersebut melalui suatu “public warning” yang diumumkan melalui website resmi BPOM. Sampai jika “public warning” tersebut telah diumumkan, namun tidak diindahkan pelaku usaha Apotek, maka pelaku usaha Apotek dinyatakan ikut bersalah dan harus bertanggung jawab atas obat yang bersifat sub-standar mengandung cacat tersembunyi tersebut. Menurut Ramses, tanggung jawab tersebut ditinjau dari Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu “setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi danatau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar danatau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.0000.0000,00 satu milyar rupiah”, dan dilengkapi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai peraturan pelengkap 95 95 Wawancara dengan Ramses, Kepala Seksi Penyidikan, tanggal 30 Maret 2015 di BPOM Medan . Namun Beliau menambahkan bahwa tetap ada toleransi tertentu sebanyak 3 tiga kali peringatan keras kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terkait obat yang sifatnya sub-standar mengandung cacat tersembunyi dalam jumlah peredaran kecil. Jika tetap tidak diindahkan, barulah dikenakan Undang-Undang Kesehatan. Untuk pelaku usaha dalam jumlah peredaran besar, seperti distributor atau pabrik pembuat obat sub-standar tersebut akan langsung dikenakan Undang-Undang Kesehatan tersebut, karena skala peredaran obat sub-standar tersebut dinilai sudah meluas dan merugikan masyarakat banyak. Pernyataan menyangkut pertanggungjawaban paling utama diberikan kepada pabrik pembuat obat yang mengandung cacat tersembunyi sub-standar terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 24 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sesuai dengan Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang menjual barang danatau jasa kepada pelaku usaha lain akan tetap bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian danatau gugatan konsumen sekalipun tidak memiliki hubungan kontraktual dengan konsumen yang bersangkutan. Tanggung jawab yang dimaksud sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut, yaitu apabila pelaku usaha lain yang menjual barang danatau jasa hasil produksinya kepada konsumen tidak melakukan perubahan apapun atas barang danatau jasa tersebut, atau apabila pelaku usaha lain yang melakukan transaksi jual beli dengan produsen, tidak mengetahui adanya perubahan barang danatau jasa yang dilakukan oleh produsen, atau produsen yang bersangkutan telah memproduksi barang danatau jasa yang tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi yang diperjanjikan sebelumnya. Oleh karena itu, jika pelaku usaha Apotek menjual obat yang dibelinya dari pabrik obat tanpa mengubah apapun, serta tidak mengetahui adanya ketidaksesuaian dalam hal mutu maupun komposisi obat yang mengandung cacat tersembunyi, tidak bertanggung jawab atas kerugian konsumen, melainkan pabrik obat yang bersangkutan yang harus memberikan pertanggung jawaban atas hal tersebut. Selanjutnya, dalam Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan, apabila pelaku usaha lain telah melakukan perubahan atas barang danatau jasa yang dibelinya dari pihak pertama, maka pihak pertama tersebut dibebaskan dari tanggung jawab kerugian maupun gugatan dari konsumen. Dengan kata lain, apabila pelaku usaha Apotek telah melakukan perubahan atas obat tersebut, maka pabrik obat tersebut dibebaskan dari tanggung jawab apapun. Mimi Huang menambahkan, pembatasan tanggung jawab pelaku usaha Apotek terhadap obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah ketika obat tersebut diserahkan dalam kondisi bersegel kepada pembeli, maka segala kondisi yang terjadi di kemudian waktu, bukan merupakan tanggung jawab pelaku usaha Apotek lagi. Alasan pembatasan tanggung jawab demikian adalah karena pihak pelaku usaha Apotek tidak jarang menemui pembeli yang beritikad tidak baik, yaitu dengan menukar obat yang dibeli dalam kondisi baik di Apotek dengan obat dalam kondisi tidak baik ketika mereka meninggalkan Apotek. Namun Mimi Huang menambahakan, apabila obat tersebut dibuka di hadapan pelaku usaha Apotek, maka pelaku usaha Apotek bisa berusaha membantu proses pengklaiman kembali obat tersebut ke pabrik obat yang bersangkutan dengan memberikan pengganti yang baru terlebih dahulu. Pelaku usaha Apotek senantiasa berusaha bersikap fair dalam berjualan 96 96 Wawancara dengan Mimi Huang, Pengelola Apotek, tanggal 30 Maret 2015 di Apotek Yakin Sehat Medan . BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengaturan terkait obat yang mengandung cacat tersembunyi secara umum dapat ditinjau dari Pasal 1504 - Pasal 1512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 19 Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 24 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ditambah dengan Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bentuk obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut dapat dilihat dari kondisi ketika obat tersebut tidak sesuai semestinya, dan kondisi tersebut tidak mudah dilihat dengan sekedar kasat mata saja, seperti mutu dan komposisi obat. 2. Adapun bentuk kerugian yang dialami konsumen atas obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah selain kerugian dari segi materi, juga kerugian dari segi fisik konsumen, seperti tidak sembuhnya penyakit tertentu, dan atau memperparah, dan atau atau memunculkan penyakit baru tertentu. 3. Atas obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut, pelaku usaha Apotek Yakin Sehat bertanggung jawab karena obat yang diperjualbelikan mengandung cacat tersembunyi sehingga tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut menurut UUPK dan KUH Perdata, tanggung jawab untuk menanggung segala kerugian atas obat yang mengandung cacat tersembunyi itu ada pada pabrik pembuat obat tersebut. Namun jika sudah ada “public warning” dari BPOM mengenai obat yang mengandung cacat tersembunyi tetapi tidak diindahkan oleh pelaku usaha Apotek, ataupun obat tersebut sebelumnya telah diubah oleh pelaku usaha Apotek, barulah segala kerugian atas obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut juga menjadi tanggung jawab pelaku usaha Apotek.

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

TANGGUNG JAWAB PERBUATAN MELAWAN HUKUM PELAKU USAHA PENJUAL SMARTPHONE TERHADAP KONSUMEN BERDASARKAN UNDANG–UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 7 27

TANGGUNG JAWAB APOTEKER PENGELOLA APOTEK DALAM PELAYANAN RESEP DAN PERACIKAN OBAT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

PENGAMBILALIHAN OBJEK LEASING OLEH PIHAK LESSOR SECARA PAKSA DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 2

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS TIDAK BERFUNGSINYA AIRBAG PADA KENDARAAN RODA EMPAT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA.

0 0 2

TINJAUAN HUKUM MENGENAI TRANSAKSI JUAL - BELI MELALUI SITUS BELANJA ONLINE ( ONLINE SHOP ) MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG - UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 1 10

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN PENJUALAN OBAT - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsu

0 0 29

1 BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)

0 0 17

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM PENJUALAN OBAT GENERIK YANG KADALUARSA DAN GANTIRUGI KEPADA KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG N0.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 0 61

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PRODUK YANG MERUGIKAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 0 70