tertentu. Ada beberapa pertimbangan untuk mengatakan bahwa suatu produk adalah cacat dengan melihat bentuk-bentuk barang tersebut,
sehingga dapat dikatakan bentuk-bentuk barang yang mengadung cacat, baik cacat yang terlihat maupun cacat tersembunyi meliputi
62
a. Penampilan produk
:
Pertimbangan pertama lebih mudah untuk diamati. Faktor pengamatannya adalah apakah penampilan produk tersebut baik
atau mencurigakan. Apabila tampilannya sudah mencurigakan dari awalnya dan pembeli masih membelinya, maka pembeli
tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum Pasal 1505 KUH Perdata.
b. Kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk
Pertimbangan kedua adalah kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk. Seperti misalnya, seseorang membeli
suatu produk kecantikan dengan harapan untuk memutihkan kulit, dan memang tertera jelas dalam kemasan produk itu, namun
hasilnya kulit orang tersebut menghitam atau terbakar, maka tentu saja barang tersebut adalah cacat. Contoh lain misalnya,
seseorang membeli software yang ternyata ada kerusakan atas software
tersebut, hal itu dapat dikatakan ada cacat tersembunyinya.
c. Saat produk tersebut diedarkan
Pertimbangan ketiga tentang saat produk tersebut diedarkan adalah lebih rumit. Disini dipertimbangkan suatu produk tidak
cacat apabila saat lain setelah produk tersebut beredar, dihasilkan pula produk bersamaan yang lebih baik.
Adapun ciri-ciri barang yang mengandung cacat tersembunyi adalah barang tersebut mengandung cacat yang tidak mudah dilihat
maupun diidentifikasi oleh konsumen. Jika cacat tersebut dapat dengan mudah dilihat atau diidentifikasi oleh konsumen, maka cacat tersebut tidak
62
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 61
dapat dikategorikan sebagai cacat tersembunyi Pasal 1512 KUH Perdata
63
B. Mekanisme Perdagangan Obat oleh Apotek
.
a. Pengertian Apotek dan Dasar Hukum Pengaturannya
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, “Apotek adalah suatu sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker. Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan
kefarmasian juga meliputi dalam pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan farmasi,
dan pelayanan dalam sediaan farmasi”. Pengertian lain adalah menurut Keputusan Menteri Kesehatan
No.1027MenKesSKIX2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah “suatu tempat tertentu
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat”.
63
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 76
Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek, tugas dan fungsi Apotek meliputi: a. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah
mengucapkan sumpah jabatan; b. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya kegiatan peracikan,
pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat;
c. Sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan
merata; d. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi
lainnya kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya
dan mutu obat.
Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat diatur dalam:
a. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan; b. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika;
c. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika; d. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas
PP No. 26 tahun 1965 mengenai Apotek; e. Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan
Izin kerja Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri kesehatan No. 184MENKESPERII1995.
f. Peraturan Menteri Kesehatan No. 695MENKESPERVI2007 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan No.
184 tahun 1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker;
g. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332MENKESSKX2002 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 922MENKESPERX1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek;
h. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027MENKESSKIX2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek.
b. Mekanisme Pembelian Obat oleh Apotek