14
BAB II SEWA MENYEWA RUMAH BANGUNAN
A. Sejarah, Pengeretian, Subjek dan Objek Serta Dasar Hukum Sewa Menyewa
1. Sejarah Sewa Menyewa
Sejarah terbentuknya sewa-menyewa di Belanda, pemerintah Belanda mencurahkan perhatian yang cukup besar untuk kesejahteraan masyarakat, antara
lain mengenai masalah sewa-menyewa rumah tinggal. Kesejahteraan manusia itu tidak hanya mengenai kesejahteraan dalam hal pangan saja tetapi masalah rumah
tinggal papan juga merupakan suatu masalah yang tidak kurang artinya. Untuk kepastian hukum dari hubungan sewa-menyewa rumah tinggal itu, negara telah
menerbitkan berbagai peraturan
7
Oleh karena itu kurangnya perumahan setelah perang dunia II dan demi untuk melindungi masyarakat yang kurang mampu, maka pada tahun 1941
diterbitkan surat keputusan untuk melindungi para penyewa rumah tinggal dan barang tidak bergerak lainnya yang disebut huubescherningsbesluit perlindungan
persewaan. Hal ini disebabkan oleh karena bertambah banyaknya pendatang- pendatang baru, baik sebagai pekerja atau pun sebagai pengusaha kecil, maka
pemerintah terpaksa ikut campur dalam bidang perdata ini, yaitu pada bidang sewa menyewa bangunan pada umumnya. Untuk mengatasi sewa menyewa
barang tidak bergerak, antara lain sewa menyewa rumah tinggal, maka pada tahun 1950 UU yang terkenal dengan sebutan huurwet yang diundangkan pada tanggal
.
7
Mursila Bustama, Sewa Menyewa Di Nederland, Mahkamah Agung-RI, Jakarta, 1993, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
13 Oktober 1950 Stb.K 452. Pada tahun 1960 ada beberapa kotapraja merasa bahwa huurwet itu tidak dapat dipertahankan lagi karena terlalu menguntungkan
si penyewa dan kembali untuk memperlakukan peraturan di dalam BW yang disebut “liberisasi”. Harga sewa tidak ditentukan oleh pemerintah, tetapi
ditentukan oleh persetujuan kedua belah pihak, yaitu si penyewa dan yang menyewakan
8
1. Huurprizenwet woonruimte
UU sewa menyewa mengenai tempat tinggal .
Pada waktu diadakan perubahan BW tahun 1972, maka Pasal 1623a BW dan peraturan yang telah diliberalisasi itu berlaku bersamaan dengan huurwet
tersebut di atas. Di dalam huurwet itu ada pula peraturan sewa menyewa bangunan yang menentukan plafon sewa dari setiap macam bangunan. Pasal yang
terkenal dalam huurwet itu adalah Pasal 18 yang menentukan bahwa setelah berakhirnya suatu hubungan sewa menyewa, maka si penyewa masih berhak
menempati tempat itu demi untuk perlindungan sewa huurbescherming. Peraturan ini sekarang hanya berlaku untuk sewa menyewa bangunan-bangunan
perusahaan yang tidak diliberalisasikan. Pada tahun 1979 terbitlah tiga serangkai peraturan mengenai:
2. Wet op de huurcommisse
UU tentang Badan Komisi Sewa Menyewa mengenai tempat tinggal
3. Wet houdende
berpalingen met betrekking tot huur en verhuur vanwoonruimte
UU yang berkenaan dengan peraturan sewa menyewa tempat tinggal
Sehingga sewa menyewa tempat tinggalwoonruimte diatur oleh ketiga aturan ini
9
Sedangkan sejarah sewa menyewa menurut hukum Islam, sewa menyewa itu dikenal dengan sebutan ijarah. Menurut etimologi, ijarah adalah menjual
.
8
Ibid
9
Ibid, hal 8.
Universitas Sumatera Utara
manfaat. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa
perhotelan dan lain-lain
10
Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam. Namun ada sebagian yang tidak menyepakati dengan alasan bahwa ijarah
adalah jual-beli barang yang tidak dapat dipegang tidak ada. Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli. Dalam menjawab pandangan ulama yang
tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasan
adat. Mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa meski tidak terdapat manfaat pada saat terjadinya akad, tetapi pada dasarnya akan dapat dipenuhi. Sedang dari
manfaat-manfaat tersebut, hukum syara’ hanya memperhatikan apa yang ada pada dasarnya yang akan dapat dipenuhi, atau adanya keseimbangan antara dapat
dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi . Demikian pula artinya menurut terminologi syara.
11
a. Al-muta’aqidain kedua orang yang berakad .
Sebagai sebuah transaksi umum, ijarah dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam
transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut:
12
1
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah: baligh dan berakal. .
2
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah: tidak harus mencapai baligh, anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dan dianggap
sah apabila disetujui oleh walinya.
10
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal 228.
11
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, Asy-Syifa, Semarang, 1990, hal 196.
12
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Op.cit., Hal 231.
Universitas Sumatera Utara
b. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaan untuk melakukan akad ijarah.
c. Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari.
d. Obyek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
e. Obyek ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. f. Yang disewakan adalah bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
g. Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tunggangan.
h. Upahsewa dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
2. Pengertian Sewa Menyewa