70
BAB IV PERS MAHASISWA YANG KONSISTEN
Idealisme pers mahasiswa pada kebenaran harus selalu dipertahankan. Idealisme ini salah satunya memiliki arti keberpihakan pers mahasiswa pada
demokratisasi dan keadilan dimana implementasi nya berpihak pada kaum yang tertindas. Dalam hal ini pers mahasiswa harus memiliki konsistensi terhadap bentuk
Idealisme tersebut.
4.1. Pers Mahasiswa Terhadap Politik dan Demokratisasi
Pers mahasiswa jika ingin disebut pers alternatif tentu harus mengikuti prinsip-prinsip pers alternatif, yaitu tidak menghakimi, reportase yang berimbang
cover both side, memberitakan secara kritis, jujur, benar, memberikan solusi alternatif yang kongkrit dengan bahasa yang lugas, mengena tapi tetap santun, juga
independensi pers mahasiwa yang selalu terjaga dan bebas dari intervensi pihak manapun.
Unsur lain yang juga penting dalam pembentukan pers alternatif adalah pemilihan sudut pandang berita yang di angkat, pers mahasiswa harus mengangkat
dari sudut pandang yang tidak ditemukan dalam pers umum walaupun tema yang diangkat bisa jadi sama, sudut pandang yang mengangkat ketertindasan mahasiswa
atau bahkan dalam lingkup yang lebih luas mengenai masyarakat, pencarian solusi
Universitas Sumatera Utara
71
alternatif dari masalah-masalah yang di hadapi menjadi ladang yang subur dalam pemberitaan pers alternatif. Karena justru pers umum sudah tidak mampu
menyandang tugas dan tanggung jawabnya secara proporsional, berita-berita yang ditulis dalam pers umum hanya menguntungkan kelompok penguasa atau pemilik
modal, misal : hiruk pikuk situasi politik nasional, pernyataan-pernyataan tokoh politik yang saling mencaci, menghujat tanpa bukti yang jelas. Intinya berita-berita
yang di angkat oleh pers alternatif harus bersifat ‘pencerdasan’ pada masyarakat, bukannya pembodohan. pers alternatif harus mengambil tugas dan tanggung jawab
pers kepada masyarakat. Pers mahasiswa juga harus berperan dalam menggelindingkan proses demokratisasi dengan memberikan empati yang besar
kepada masyarakat. Namun bukan tanpa kendala bagi pers mahasiswa untuk mewujudkan pers
alternatif. Kecenderungan pers mahasiswa yang hanya berkutat dengan persoalan- persoalan sendiri, menjadikan pers mahasiswa pers yang ‘oleh-dari-untuk’
mahasiswa. Tentu hal ini juga perlu dipikirkan pemecahannya. Di samping terus menyuarakan hati nuraninya, pers mahasiswa juga harus ‘berbenah’ ke dalam, artinya
kelemahan-kelemahan pers mahasiswa selama ini, seperti kontinuitas terbit yang sering tidak jalan, ketergantungan pada birokrat kampus masalah dana, terbatasnya
waktu bagi para aktifis pers mahasiswa 4-6 semester untuk berkecimpung dalam pers mahasiswa, harus segera dicarikan pemecahannya. Pers mahasiswa harus
bersikap realistik, determinasi, konsistensi, juga harus selalu diusahakan peningkatan kualitas para SDM-nya,dan yang paling penting adalah regenerasi yang teratur.
Universitas Sumatera Utara
72
Pers merupakan Pilar Demokrasi. Demokrasi dan demokratisasi memang memerlukan kuatnya eksistensi pers sebagai pilar keempat the fourth estate. Dengan
pers yang kuat, penyelenggaraan pemerintahan dapat dikendalikan agar tetap berjalan pada “jalan yang lurus dan benar”.
Untuk sebuah negara demokratis seperti Indonesia, kemerdekaan pers merupakan sebuah keharusan karena tanpa kemerdekaan pers, tidak akan pernah ada
Negara yang demokratis. Adapun dasar penting dari sebuah sistem negara yang demokratis adalah kepercayaan besar pada masyarakatnya. Masyarakat diberi ruang
yang bebas untuk berpartisipasi, menyampaikan kritik, ide dan terus berusaha memanfaatkan ruang demokrasi seoptimal mungkin melalui pers yang liberal.
Pers terkait dengan demokratisasi juga berhubungan erat dengan politik, baik dalam lingkup nasional ataupun lokal. Di dalam sebuah Universitas juga tidak lari
dari adanya unsure politik yang mempengaruhi realita pers mahasiswa saat ini. Politik di Universitas juga terkadang merupakan “angin topan” dalam eksistensi pers
mahasiswa. Tinggal bagaimana pers mahasiswa mempertahankan eksistensinya bahkan dengan idealisme yang masih tetap kokoh.
Kesamaan utama antara politik dan media ada pada hubungannya dengan orang banyak. Kedua ranah tersebut membutuhkan dan dibutuhkan oleh masyarakat,
yang sama tapi tak serupa dalam melakukan kegiatan rutinnya. Politik berurusan dengan ideologi, dan topik ideologi tentu saja menyangkut kehidupan sosial rakyat.
Sementara media adalah jembatan antara topik atau tema yang diangkat dengan rakyat yang tersebar.
Universitas Sumatera Utara
73
Secara teoritis, keduanya bisa berjalan dengan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan politik kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa
menjadi bentuk mediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada tindakan politis. Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang
menyangkut kepentingan orang banyak, mengutip pendapat Ginsburg et al, 2002:12- 13 bahwa terdapat tiga pertanyaan mendasar yang dapat menjelaskan pola
keterkaitan antara media dan politik dimana masing-masing pihak menjaga peran dan fungsinya, yaitu :
“ First, what is the relationship between media professionals in the
“culture industry” and the state? These producers are critical mediators, articulating and translating larger projects . . . Second, one
must ask what happens to media when state interests are complex and contradictory . . . Third, one must ask how effective state media
products—or any media products, for that matter—are in achieving their goals of influencing audiences.”
“pertama, apa hubungan antara media professional dalam industry budaya dan Negara? Para produsen ini merupakan perantara penting,
pengucapan dan pengartian proyek yang lebih luas….Kedua, satu yang harus ditanyakan apa yang terjadi kepada media ketika ketertarikan
Negara sangan kompleks dan kontradiktif…. Ketiga, yang harus ditanyakan seberpa efektif produk media nasional atau produk media
lainnya, untuk masalah itu- dalam mencapai targetmereka memperoleh keuntungan dari pembaca.”
Politik dan media memang ibarat dua sisi dari satu mata uang. Media memerlukan politik sebagai bahan dan objek pemberitaan. Media massa, khususnya
harian dan elektronik, memerlukan karakteristik yang dimiliki oleh ranah politik
Universitas Sumatera Utara
74
praktis: hingar bingar, cepat, tak memerlukan kedalaman berpikir, dan terdiri dari tokoh-tokoh antagonis dan protagonis. Mengutip pendapat Keane, 1991.
14
Kehadiran politik dalam ranah media juga turut memunculkan kontradiksi sebagaimana diungkapan oleh McLagan 2002:91 :
“The mass media play a crucial role in the modern political process, for even in elite forms of democracy, the polity requires some
mediated communication with the populace to gain consent. Freedom of expression has long been seen as essential to protecting
the rights of the individual from political tyranny: a government legitimated through consent depends on a free press.”
“Media massa memainkan peran penting dalam proses politik modern, bahkan dalam bentuk elit demokrasi, pemerintahan
memerlukan beberapa dimediasi komunikasi dengan rakyat untuk mendapatkan persetujuan. Kebebasan berekspresi telah lama dilihat
sebagai penting untuk melindungi hak-hak individu dari tirani politik: pemerintah disahkan melalui persetujuan tergantung pada
pers bebas.”
Politik juga memerlukan media massa sebagai wadah dalam mengelola kesan yang hendak diciptakan, sepertinya tidak ada cenderung mustahil gerakan sosial
yang tidak memiliki divisi media. Apapun bidang yang digeluti oleh sebuah gerakan, semuanya memiliki perangkat yang bertugas untuk menciptakan atau berhubungan
dengan media. Dunia politik sadar betul bahwa tanpa kehadiran media, aksi politiknya menjadi tak berarti apa-apa.
14
Keane, 1991. The Media and Democracy. Polity Press.
Universitas Sumatera Utara
75
“The strategic objectification of culture for political purposes in the mass media is not without contradiction. Reliance on essentialized
images of difference taps into a discourse of “otherness” that can deny social actors their historical agency and contemporaneity.”
“objektifikasi strategis budaya untuk tujuan politik dalam media massa bukan tanpa kontradiksi. Ketergantungan pada esensi gambaran dari
perbedaan sentuhan ke dalam sebuah wacana “keberbedaan” yang dapat mengacuhkan aktor sosial , sejarah agensi mereka dan
kekontemporeran.”
Media dan politik dalam penulisan ini merupakan bentuk hubungan antara SUARA USU media dan pihak rektorat USU politik, dimana keduanya
memerlukan proses sinergitas dalam membangun kepentingan bagi masing-masing pihak, mengutip pendapat Osorio 2005:36 terhadap media massa, yaitu : “Mass
media is the current mechanism through which culture diffuses.” Media massa adalah mekanisme saat ini di mana budaya berdifusi.
Media dan politik sebagaimana mengutip Ginsburg 2005:20 yang melihat kedua hal tersebut sebagai bagian dari antropologi media, yaitu :
“ . . . anthropological research on mass media reiterates the insufficiency of bounded concepts of culture as a way of
understanding contemporary lives in our own or other societies.”
. . . penelitian antropologi di media massa mengulangi kekurangan konsep yang dibatasi budaya sebagai suatu cara memahami kehidupan
kontemporer dalam masyarakat kita sendiri atau diluar masyarakat.”
Universitas Sumatera Utara
76
Pendapat Ginsburg 2005:20 tersebut menekankan mengenai peran antropologi dalam memahami kehidupan masa kini, dalam bentuk kehidupan secara
internal dan eksternal termasuk didalamnya mengenai keterkaitan antara media dan politik.
Lebih lanjut Ginsburg 2005:21-22 mengatakan bahwa : “Anthropologists at last are coming to terms with the inescapable
presence of media as a contemporary cultural force engaged with the mediation of hegemonic forms and resistence of them; the growth and
transnational circulation of public culture; the creation of national and activist social imaginaries, with the development of media as new
arenas for political expression and the production of identity.”
Antropolog akhirnya datang untuk berdamai dengan kehadiran tak terhindarkan media sebagai kekuatan budaya kontemporer yang
terlibat dengan mediasi bentuk hegemonik dan perlawanan dari mereka; pertumbuhan dan sirkulasi transnasional budaya masyarakat;
penciptaan nasional dan aktivis imaginasi sosial dengan perkembangan media sebagai arena baru bagi ekspresi politik dan
produksi identitas.”
Kutipan Ginsburg 2005:21-22 tersebut menyebutkan bahwa antropologi antropologi media menjadi sebentuk kajian yang mampu melihat media sebagai
bagian budaya kontemporer masa kini, dimana didalamnya terdapat bentuk hegemoni dan perlawanan sebagai bagian dari keterkaitan antara media dan politik.
Sedangkan politik dalam konteks Universitas berada pada kekuasaan pihak rektorat yang merupakan pihak yang mendanai dan memfasilitasi SUARA USU.
Universitas Sumatera Utara
77
Kekuasan otoritas kampus dalam hal ini pihak biro rektorat sebagai institusi yang menaungi keberadaan dan pelaksanaan kegiatan pers mahasiswa SUARA USU
dilihat sebagai bentuk hubungan antara politik dan media yang turut mempengaruhi pemberitaan yang dilakukan oleh pers mahasiswa SUARA USU.
Kekuasaan otoritas kampus sebagai institusi yang menaungi kegiatan pers mahasiswa SUARA USU dalam pandangan kajian antropologi media sebagaimana
dikatakan oleh Himpele 2002:302-303 : “Reflexivity in media ethnography, however, has been concerned with
the discursive imbalance toward scholars who select and classify their subjects and the stakes of depicting audiences’ and producers’ agency
in processes of media signification.”
“refleksifitas dalam media etnografi, bagaimanapun, memiliki kekhawatiran dengan ketidakseimbangan diskursif terhadap ahli yang
memilih dan mengklasifikasikan subjek mereka dan bagian dari gambaran peserta dan penghasil, lembaga dalam proses signifikasi
media.
Kondisi hubungan antara otoritas kampus dan kegiatan pers mahasiswa SUARA USU dalam sudut pandang kajian antropologi media merupakan proses
penggambaran atas wilayah pembaca dan agen produser institusi dalam membentuk pemahaman atas media, yang dalam hal ini direpresentasikan pada bentuk isi media
SUARA USU dan sarana promosi kampus oleh pers mahasiswa SUARA USU. Media dan politik yang terjadi dalam proses kerja pers mahasiswa SUARA
USU selain sebagai bentuk pola hubungan dan tarik-menarik antara pihak SUARA
Universitas Sumatera Utara
78
USU media dan pihak rektorat politik juga memiliki pola kesamaan yang menjadi area berbagi atas sesuatu yang sama diantara SUARA USU dan rektorat, hal ini
dilakukan dalam bentuk ide. Dasar penciptaan pers mahasiswa SUARA USU selain sebagai wadah
menampung bakat dan aspirasi serta kritik terhadap kehidupan kampus juga memiliki maksud awal sebagai media informasi promosi kampus. Pemberitaan mengenai
kehidupan kampus baik secara internal maupun eksternal merupakan bagian dari promosi kampus.
Kegiatan promosi kampus yang menjadi maksud awal dari pers mahasiswa SUARA USU juga menjadi ide yang dibagi dengan pihak rektorat, sehingga pada
bentuk ini pola hubungan media politik hubungan, tarik-menarik menjadi lentur serta cenderung memiliki kesamaan tujuan.
4.2. Pers Mahasiswa Terhadap Industri Pasar