Konservasi Keanekaragaman Hayati .1 Pengertian Konservasi Keanekaragaman Hayati

11 pengelola RTH, dan belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas 3 Lemahnya peran stake holders, lemahnya persepsi masyarakat, dan lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah 4 Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH akibat belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional. 2.2 Konservasi Keanekaragaman Hayati 2.2.1 Pengertian Konservasi Keanekaragaman Hayati Pengertian umum konservasi, menurut World Conservation Strategy IUCN 1980, adalah manajemen penggunaan biospher oleh manusia yang menjamin pemanfaatan maksimum secara lestari bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara potensi pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang. Dalam The Encyclopedia Americana American Corporation 1980 konservasi didefinisikan sebagai manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang. Tujuan utama kegiatan konservasi adalah keberlangsungan manusia, yang kebutuhan makan dan bahan baku lainnya sangat tergantung pada sumberdaya alam. Konservasi merupakan kegiatan positif yang meliputi pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan secara lestari, pemulihan, dan peningkatan sumberdaya lingkungan IUCN 1980. Mengacu pada pengertian umum di atas maka konservasi sumberdaya hayati adalah pengelolaan meliputi pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan secara lestari, pemulihan, dan peningkatan kualitas tumbuhan yang menjamin pemanfaatan secara maksimum bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Sumberdaya genetik dan habitat yang mendukungnya merupakan aset ekonomi dan politik yang paling penting. Sumberdaya ini tergantung pada keragaman genetik yang sangat besar yang terkandung, baik di dalam maupun di antara populasi organisme hidup. Tanpa mereka dan habitat penting pendukungnya, kehidupan manusia tidak akan berlangsung lama dan masyarakat modern seperti yang ada sekarang tidak akan ada. Sumberdaya genetik merupakan sumberdaya terbarui. Sumberdaya genetik tidak akan punah jika landasan fisik, geokimia, atau biologis yang mendukung keberlangsungannya tidak hancur. Sebaliknya, sumberdaya tak terbarui menyediakan produk dalam 12 jumlah yang tetap atau terbatas, oleh karena itu dalam jangka panjang akan punah Olfield 1989. Menurut Olfield 1989 konservasi tidak berarti bahwa segala sesuatu harus dalam keadaan asli murni atau setiap spesies atau setiap bentuk sumberdaya genetik harus diawetkan selamanya. Lebih lanjut Olfield 1989 menyatakan bahwa, pada prinsipnya konservasi sumberdaya hayati dapat dilakukan dengan dua strategi, yaitu: konservasi in-situ dan konservasi ex-situ. Konservasi in-situ adalah metode konservasi yang mengusahakan untuk melindungi integritas genetik dari suatu sumberdaya genetik dengan mengkonservasinya di dalam evolusi ekosistem yang bersifat dinamis dari habitat asli atau lingkungan alaminya. Menurut Possiel, Saunier and Meganck 1995 metode in-situ dikenal sebagai metode yang lebih menjamin dan efisien. Akan tetapi, konservasi in-situ yang dilaksanakan secara alami bukan tanpa risiko. Shaffer 1981 telah mengemukakan empat risiko alami yang perlu diperhatikan, yaitu: 1 Ketidakpastian demografis sebagai akibat kejadian acak dalam hal kemampuan hidup survival dan reproduksi individu; 2 Ketidakpastian lingkungan sebagai akibat ketidakpastian perubahan cuaca, pasokan makanan, persaingan, predator, dan parasit; 3 Bencana alam, seperti banjir, kebakaran, atau kekeringan yang dapat muncul secara acak; dan 4 Ketidakpastian genetik atau perubahan genetik yang dapat disebabkan oleh penyimpangan genetik atau inbreeding yang dapat mengubah kemampuan hidup dan probabilitas reproduksi individu. Ketidakpastian yang paling besar justru bersifat anthropogenic. Pengurangan dan perusakan habitat akibat pembangunan permukiman dan kegiatan pembangunan lainnya merupakan faktor penting penyebab menurunnya keanekaragaman hayati. Ketidakpastian ini hanya dapat diatasi dengan program konservasi yang komprehensif, termasuk konservasi ex-situ Possiel et. al. 1995.

2.2.2 Konservasi Ex-situ

Konservasi ex-situ off site conservation adalah metode konservasi yang memerlukan pengambilan sumberdaya genetik biji, benangsari, sperma, atau individu dari habitat aslinya atau lingkungan alami. Memelihara komponen- komponen kenekaragaman hayati hidup di luar habitat aslinya atau lingkungan 13 alaminya. Menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, pengawetan jenis tumbuhan secara ex- situ dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan untuk menghindari bahaya kepunahan. Metoda konservasi ex-situ meliputi pembangunan kebun raya, arboretum, sumber gen, sumber benih, anakanbibit dengan pertumbuhan lambat dan sumber gen invitro Chin 1993; ITTO 2000: Subiakto 2005. Ketika ancaman dihadapi tumbuhan hidup begitu banyak, konservasi ex-situ menjadi lebih penting sebagai pendukung dan kadang-kadang sebagai pengganti alam liar reintroduction. Biji beberapa jenis tanaman tropika seperti Dipterocarpaceae tidak dapat disimpan lama, sehingga sumber gen seperti kebun raya dan arboretum merupakan metoda yang tepat Subiakto 2005. Bagi Indonesia, konservasi ex-situ merupakan hal yang sangat penting mengingat Indonesia mengalami kondisi paradoks negara megabiodiversity yaitu: 1 Indonesia sangat kaya flora dan termasuk salah satu pusat keanekaragaman hayati, tetapi masyarakatnya masih miskin, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya flora, Indonesia masih mengimpor dari negara lain, 2 pembabatan hutan berlangsung terus dan sangat ekstensif, tidak sebanding dengan upaya konsrvasi ex-situ, sehingga kehilangan genetik flora berlangsung cepat, dan 3 Indonesia memilikimenetapkan 348 kawasan dilindungi protected area, sementara perhatian terhadap upaya konservasi ex-situ masih sangat rendah Suhirman 1999. Upaya konservasi ex-situ di Indonesia telah dilaksanakan dengan membangun kebun raya Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bali, arboretum Bogor, Jasinga, Carita, plot permanen, sumber benih, dan penyimpanan biji Subiakto 2005. Lebih lanjut Subiakto 2005 menjelaskan bahwa arboretum akan sangat bermanfaat dalam menyediakan material genetik untuk program seleksi dan seleksi pembiakan. Akan tetapi peran arboretum yang ada tersebut masih belum berfungsi dengan baik karena tidak dirancang untuk menyimpan keragaman genetik yang tinggi. Di sisi lain, Kebun raya dan arboretum dapat digunakan untuk kepentingan lain, seperti sebagai sumber bibit, kegiatan penelitian, pendidikan, dan rekreasi. Dalam pembangunan kebun raya atau arboretum Botanical Garden Conservation Secretariat BGCS 1989 menyarankan agar konservasi tumbuhan diprioritaskan pada: a Spesies liar yang, meliputi: 14 1 Spesies langka dan terancam punah, baik di tingkat lokal, nasional, regional maupun gobal, 2 Spesies yang secara ekonomis penting, 3 Spesies yang diperlukan bagi pemulihan atau rehabilitasi ekosistem, 4 Spesies kunci, yaitu spesies yang diketahui sangat penting sebagai pemelihara dan stabilisasi ekosistem, 5 Spesies yang secara taksonomis terisolasi sehingga ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan, kehilangannya akan berdampak serius. b Spesies budidaya, meliputi: 1 Kultivar primitif, dan 2 Tumbuhan yang semi-domestik. Secara teori, semakin kecil suatu marga atau family, semakin besar kesenjangan antar suku tersebut dengan suku terdekatnya, sehingga makin berbeda pula kelompok spesies tersebut dengan kelompok spesies lainnya. Oleh karena itu, spesies yang merupakan satu-satunya wakil dalam family tersebut monotipyc harus mendapat prioritas untuk dilindungi dibanding spesies yang merupakan bukan satu-satunya atau spesies politipyc MacKinnon et al, 1993. Menurut Subiakto 2005 spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi adalah spesies yang bernilai komersial tinggi, telah digunakan dalam program penanaman, terancam punah, dan atau memiliki peran ekologis penting. Selain itu, beberapa spesies lokal asli Indonesia juga perlu mendapat prioritas penting. Menurut Soerianegara dan Lemmens 1994 di Indonesia terdapat lebih dari 4000 spesies tumbuhan berkayu, tapi hanya 260 spesies yang bernilai komersial dan dari 260 spesies tersebut hanya 10 spesies yang telah ditanam dalam skala luas. Menurut Subiakto 2005 spesies asli Indonesia sebagai berikut perlu mendapat prioritas dalam upaya konservasi ex-situ, yaitu Pinus mercusii, Gonystilius sp, Dyera sp, kelompok dipterocarpaceae, Aquilaria moluccana, Laphopetalum multinervium, kelompok mangrove, dan Santalum album. Konservasi ex-situ spesies tumbuhan secara utuh dihadapkan pada beberapa kesulitan. Beberapa kesulitan dalam konservasi ex-situ antara lain adalah 1 untuk menjamin variasi genetik diperlukan jumlah individu yang banyak, 2 spesies tertentu memerlukan perlakuan khusus untuk menjamin terjadinya penyerbukan, dan 3 spesies tertentu hidup bersimbiosis dengan tumbuhan atau organisme lain sehingga tidak dapat berdiri sendiri Given 1994. 15 Masalahnya akan lebih kompleks jika tumbuhan yang akan dikonservasi secara ex-situ mengandung parasit atau memiliki hubungan biologis yang kompleks Thomson 1975. Seringkali upaya kebun raya atau arboretum mengalami hambatan karena kondisi tertentu yang sangat mendasar tidak diketahuhi BGCS 1989. Sebagai komunitas buatan, RTH dapat diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kepentingan. Mengingat luasan RTH bersifat terbatas, untuk meningkatkan nilai konservasinya, maka komunitas RTH tersebut dapat disusun dengan tumbuhan-tumbuhan bernilai konservasi tinggi. Hasil review terhadap seratus empat puluh satu paper di Australia dan dari luar Australia, Doherty 1998 menyimpulkan bahwa studi tentang pengukuran nilai konservasi masih sangat sedikit sehingga terdapat kesenjangan pengetahuan yang sangat lebar.

2.3 Penyimpanan Karbon dalam Pohon