Tujuan Ruang Terbuka Hijau .1 Batasan dan Pengertian

3 Akan tetapi, Aji 2000 menyatakan bahwa pertumbuhan Kota Bandar Lampung telah menyebabkan terjadinya konversi RTH yang mengancam kelestariannya. Selain itu, dari 12.615 ha lahan yang dialokasikan sebagai RTH, 79,21 di antaranya berupa pekarangan, sawah, kebun, ladang, dan lahan milik lain yang sewaktu-waktu dapat dikonversi oleh pemiliknya untuk penggunaan lain. Akibatnya keanekaragaman jenis pohon dan jumlah rosot karbon di perkotaan akan semakin menurun. Di sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan perkotaan menyebabkan emisi gas CO 2 ke udara semakin meningkat sehingga peran ruang terbuka hijau sebagai rosot karbon semakin diperlukan.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah: 1 Memformulasikan nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon pada ruang terbuka hijau. 2 Menganalisis rosot karbon carbon sink ruang terbuka hijau kota, 3 Menganalisis hubungan antara nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon dengan rosot karbon.

1.3 Manfaat

1 Bagi ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengelolaan sumberdaya, khususnya pengintegrasian kegiatan konservasi sumberdaya hayati ke dalam pembangunan RTH serta penggunaan indeks konservasi I k dalam penentuan nilai konservasi spesies dan komunitas. 2 Bagi Pemerintah Kota Bandar Lampung hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam pembangunan dan pengelolaan RTH yang memenuhi prinsip-prinsip keserbagunaan fungsi, khususnya peran RTH bagi konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpanan karbon. 3 Bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan RTH yang memenuhi prinsip- prinsip keserbagunaan fungsi RTH. 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruang Terbuka Hijau 2.1.1 Batasan dan Pengertian Berbagai negara atau kota menggunakan istilah ruang terbuka hijau RTH secara berbeda-beda. Dalam berbagai literatur, pengertian RTH tidak dibedakan dari ruang terbuka open space, sehingga cakupannya luas, tetapi mencakup juga RTH yang dicirikan oleh adanya vegetasi. Dalam tulisannya, Cervera 1999 mendefinisikan ruang terbuka sebagai suatu ruang terbuka di luar ruangan di daerah metropolitan–mencakup padang rumput dan taman, juga tanah kosong yang tidak berpagar dan daerah yang berbatasan dengan perairan—yang bebas dipilih dan digunakan untuk kegiatan spontan, pergerakan, atau explorasi visual oleh banyak penduduk kota. Definisi tersebut mencakup RTH, yaitu padang rumput. Definisi ruang terbuka yang dikemukakan Tri-County Regional Planning Commission 1972 lahan pertanian, lahan hutan, dan kuburan. Menurut van Dijk 2005 RTH areal hijau adalah semua ruang yang terlihat hijau, mencakup lahan yang digunakan untuk pertanian dan habitat yang bersifat alami. Menurut Depdagri 1988, RTH wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjangjalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budidaya. Definisi tersebut sama persis dengan definisi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Ruang terbuka hijau meliputi ruang-ruang di dalam kota yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah perkotaan RTRWP. Penciri utama RTH adalah adanya tumbuhan atau vegetasi. Menurut Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB 2005, RTH kota adalah bagian dari ruang- ruang terbuka open spaces suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi endemik, introduksi guna mendukung manfaat langsung danatau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi 5 menjadi a bentuk RTH alami habitat liaralami, kawasan lindung dan b bentuk RTH non alami atau RTH binaan pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi a bentuk RTH kawasan areal, non linear, dan b bentuk RTH jalur koridor, linear, berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi a RTH kawasan perdagangan, b RTH kawasan perindustrian, c RTH kawasan permukiman, d RTH kawasan per- tanian, dan e RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.

2.1.2 Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau merupakan bagian yang sangat penting bagi lingkungan perkotaan. Menurut Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB 2005, RTH kota memiliki fungsi utama intrinsik yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan ekstrinsik yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota. Menurut Kane 1997, secara ekologis RTH dapat berfungsi sebagai habitat yang menyediakan makanan, tempat berlindung, dan ruang bagi berbagai spesies untuk bereproduksi. Selain itu, juga berperan sebagai penyaring polusi, pencegah erosi, peresap air ke dalam tanah, dan pengendali banjir TPL 2002; COA 2000; Kane 1997. Ruang terbuka hijau juga dapat berfungsi sebagai habitat bagi vegetasi dan satwa liar setempat dan sebagai tempat pengungsian satwa dari tekanan penduduk kota COA 2000. Ruang terbuka hijau berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota, secara fisik harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB 2005. Ruang terbuka dapat meningkatkan estetika dan kondisi fisik lingkungan perkotaan White 1988. Menurut TPL 2002 ruang terbuka yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan kualitas hidup dengan menyediakan pemandangan yang bagus dan kesempatan rekreasi yang menyenangkan. 6 Babcock at al. 1999 menyatakan bahwa kontribusi nilai estetik dari elemen- elemen RTH garis, bentuk, warna, dan tekstur mempengaruhi kualitas emosi dan pertimbangan estetik seseorang. Dari uraian tersebut, jelas bahwa ruang terbuka akan memberikan nilai estetik. Rubinstein 1997 menjelaskan bahwa ruang terbuka sangat bermanfaat karena dapat memenuhi kebutuhan emosional atau rekreasi setiap individu. Perbedaannya terletak pada berapa luas ruang terbuka yang dibutuhkan agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Seseorang dapat memancing, berburu, mendaki gunung, atau berarung jeram karena rekreasi tersebut dapat memenuhi kebutuhan rohaninya. Lebih lanjut Rubeinstein 1997 mengemukakan bahwa secara physiologis ruang terbuka bermanfaat karena dapat mengurangi stress, kegugupan arousal, dan kegelisahan. Sementara secara psykologis, ruang tebuka merupakan tempat yang dapat digunakan sebagai “psychological escape” atau memberikan peluang untuk berfikir dalam kondisi tanpa tekanan, baik secara individual maupun berkelompok. Ruang terbuka juga dapat digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi sosial, baik antar anggota keluarga, teman sejawat, atau tetangga. Ruang terbuka hijau dapat dijadikan tempat untuk bertafakur, menyepi atau menyendiri. Kesunyian tersebut dapat digunakan untuk menemukan atau mengeksplorasi identitas sosial atau pribadi yang bersangkutan. Babcock et al. 1999 menyatakan bahwa menghitung nilai ekonomi RTH merupakan hal yang tidak mudah karena RTH memiliki nilai manfaat yang lebih banyak dibanding dengan barang lainnya. Ruang terbuka hijau menyediakan kesempatan untuk menikmati keadaan alam sambil berekreasi dalam keadaan alami yang jarang ditemui di kota besar Kane 1997; White 1988. Kane 1997 mengemukakan bahwa manfaat ekologis RTH tidak dapat dipisahkan dengan manfaat sosial ekonomi. Rantai makanan pada perairan yang sehat berkaitan dengan kegiatan ekonomi seperti rekreasi, memancing, atau industri pariwisata. Miller 1997 mengemukakan, RTH menyediakan berbagai fungsi yang penting bagi kegiatan ekonomi. Manfaat ekonomi tersebut merupakan modal yang bersifat alami. Kebanyakan dari manfaat tersebut, seperti air tanah, atau pemandangan bersifat milik publik. Semua anggota komunitas memiliki kesempatan untuk memanfaatkannya secara merata. Ruang terbuka hijau dapat meningkatkan estetika dan kondisi fisik lingkungan perkotaan White 1988. Menurut TPL 2002 RTH yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan kualitas hidup dengan menyediakan 7 pemandangan yang bagus dan kesempatan rekreasi yang menyenangkan. Babcock at al. 1999 menyatakan bahwa kontribusi nilai estetik dari elemen- elemen RTH garis, bentuk, warna, dan tekstur mempengaruhi kualitas emosi dan pertimbangan estetik seseorang. Dari uraian tersebut, jelas bahwa RTH akan memberikan nilai estetik. Rubinstein 1997 menjelaskan bahwa RTH sangat bermanfaat karena dapat memenuhi kebutuhan emosional atau rekreasi setiap individu. Perbedaannya terletak pada berapa luas RTH yang dibutuhkan agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Seseorang dapat memancing, berburu, mendaki gunung, atau berarung jeram karena rekreasi tersebut dapat memenuhi kebutuhan rohaninya. Lebih lanjut Rubeinstein 1997 mengemukakan bahwa secara physiologis RTH bermanfaat karena dapat mengurangi stress, kegugupan arousal, dan kegelisahan. Sementara secara psykologis, ruang tebuka merupakan tempat yang dapat digunakan sebagai “psychological escape” atau memberikan peluang untuk berfikir dalam kondisi tanpa tekanan, baik secara individual maupun berkelompok. Ruang terbuka hijau dapat dijadikan tempat untuk bertafakur, menyepi atau menyendiri. Kesunyian tersebut dapat digunakan untuk menemukan atau mengeksplorasi identitas sosial atau pribadi yang bersangkutan. Ruang terbuka hijau juga dapat digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi sosial, baik antar anggota keluarga, teman sejawat, atau tetangga.

2.1.3 Penggolongan Ruang Terbuka Hijau

White 1988 membagi RTH kedalam tiga kelompok, yaitu: a Areal yang ditetapkan dan dirancang bangun untuk digunakan oleh publik. Areal tersebut meliputi taman, termasuk kuburan dan lapangan golf. b Areal yang ditetapkan untuk dibiarkan alami: areal tersebut dicirikan oleh kondisi yang relatif liar wilderness tetapi di dalamnya dibangun fasilitas untuk pengunjung, fasilitas rekreasi, areal piknik, dan jalan setapak trail. c Areal yang kondisinya masih alami dan peruntukannya belum ditetapkan. Bagian Perencanaan Kota Tucson Tucson Planning Department 1993 mengelompokan RTH menjadi RTH yang mengelompok cluster green open space; RTH umum common green open space, dapat berupa RTH fungsional functional open space atau RTH alami natural green open space; RTH berbentuk sistem atau jaringan green open space system, dan RTH publik public green open space. 8 1 Cluster Green Open Space: RTH, baik alami maupun fungsional, disediakan untuk mengkompensasi pengurangan RTH sehingga dapat memenuhi kebutuhan minimum RTH atau untuk mengimbangi peningkatan kepadatan penduduk. 2 Common Green Open Space: lahan dalam suatu areal permukiman yang tidak dimiliki seseorang atau didedikasikan untuk penggunaan publik, dirancang dan diperuntukkan untuk penggunaan oleh umum atau untuk kesenangan penduduk di sekitar permukiman. Common green open space dapat berupa natural green open space atau functional green open space. 3 Green Open Space System: suatu jaringan komprehensif yang mencakup taman atau daerah perlindungan yang telah ada dan direncanakan, meliputi taman di pinggir sungai, habitat dataran banjir dan satwa liar yang dilindungi. 4 Public Green Open Space: RTH yang dimiliki oleh lembaga publik, misalnya City of Tucson Department of Parks and Recreation atau Dinas Pertamanan, dan dikelola oleh lembaga tersebut untuk digunakan bagi kesenangan publik. Di Kota Carson America Serikat RTH terutama diperuntukkan bagi perlindungan lansekap alami dan mengakomodasi berbagai macam rekreasi pasif seperti hiking, berlari, bersepeda atau berkuda. Lahan tersebut tidak diperuntukkan bagi rekreasi aktif yang diperlengkapi dengan taman, peralatan permainan, baseball, lapangan bola, atau kolam renang. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, areal tersebut dapat dilengkapi dengan fasilitas seperlunya, misalnya jalan setapak dan areal fasilitas piknik, fasilitas interpretasi, tempat istirahat, dan tempat parkir CCN 2003. Karakter dan kenyamanan kota banyak dipengaruhi oleh keadaan dan susunan RTH. Menurut Simonds 1983, RTH dapat berupa: a Waterfront pantai, tepi danau atau tepi sungai, b Blueways sungai, selokan, dan dataran banjir, c Greenways jalan umum, jalan taman, koridor jalan, jalur pejalan kaki, jalur lari, dan jalur sepeda, d Taman kota dan areal rekreasi, e Ruang terbuka hijau lainnya: hutan kota, kebun, dan persemaian di tengah kota. Idealnya, RTH satu sama lain saling berhubungan sehingga membentuk bingkai hijau di dalam dan di sekitar kota. 9 Sesuai dengan RTRW DKI Jakarta 2000-2010, Kota Jakarta mengelompokkan RTH menjadi kawasan hijau binaan dan kawasan hijau lindung. Dalam perencanaanya, kawasan hijau lindung tidak dikembangkan dan tetap dipertahankan keberadaannya yang terdiri dari Cagar Alam, Hutan Lindung, dan Hutan Wisata. Ruang terbuka hijau binaan, dimanfaatkan untuk fasilitas umum rekreasi dan atau olahraga, taman, kebun hortikultur, hutan kota, pemakaman umum, jalur hijau umum, jalur hijau pengamanan sungai, jalur hijau pengamanan kabel tegangan tinggi, termasuk bangunan pelengkap dan atau kelengkapannya NKLD Jakarta 2002.

2.1.4 Manajemen Ruang Terbuka Hijau

Komite Menteri-menteri Eropa Council of Europe 1986 dalam rekomendasinya tentang RTH perkotaan menyatakan bahwa manajemen RTH perkotaan menyangkut penentuan lokasi, perancangan dan organisasi pengelolaan RTH; pengendalian dan pemeliharaan; dan pengembangan. Proses-proses tersebut terpisah tetapi satu sama lain saling terkait, memerlukan berbagai keahlian dan disiplin ilmu. Lebih lanjut Komite Menteri-menteri Eropa menyatakan bahwa mengelola RTH pada dasarnya pekerjaan mengelola berbagai konflik. Konflik-konflik tersebut sebaiknya diselesaikan pada tahap perancangan dan pengorganisasian, usaha-usaha harus difokuskan untuk menghindari munculnya konflik kepentingan. Disain yang baik adalah disain yang memungkinkan berbagai aktivitas berlangsung secara simultan dengan rintangan sekecil mungkin dan memungkinkan terbukanya kesempatan bagi kegiatan atau ekspresi baru. Perencanaan RTH harus dikonsep sedemikian rupa untuk mengantisipasi kebutuhan masa depan dari berbagai kelompok kepentingan agar dapat saling berbagi ruang dengan baik. Oleh karena itu, nilai RTH hendaknya tidak ditentukan semata-mata berdasarkan model dan fungsi saat ini, tetapi harus mencakup kapasitas keseluruhan dalam kerangka kegiatan yang dapat berubah menurut waktu dan penggunaan. Perencanaan RTH harus berwawasan jauh ke masa depan. Selanjutnya, Komite Menteri-Menteri Eropa menyarankan agar pemerintah anggota komite tersebut mengambil langkah-langkah untuk menjamin agar penetapan, penyediaan, dan manajemen RTH menjadi bagian yang integral dari pembangunan kota dan terutama untuk: a Menjamin bahwa RTH cukup aman dan terlindungi; 10 b Memacu penyediaan RTH dan menjamin bahwa penyediaan tersebut mencerminkan kebutuhan nyata penduduk, memperhatikan karakter kota saat ini, menggunakan seluruh potensi sumberdaya yang tersedia, meningkatkan kohesi sosial, dan dihasilkan dari dialog dan koordinasi dengan seluruh ahli, pemerintah, dan lembaga yang relevan; dan c Mengelola dan mengembangkan RTH melalui identifikasi dan resolusi konflik, pencapaian dan kreasi aksessibilitas dan daya tarik serta memacu tingkat penggunaan yang layak. Lebih lanjut ditekankan bahwa manajemen RTH harus didasarkan pada beberapa pendekatan, terutama: 1 koordinasi dengan kebijakan nasional, 2 memperhatikan perananan pemerintah setempat kota, 3 sejauh mungkin memacu keterlibatan komunitas dan lingkungan setempat, 4 memacu inisiatif sektor-sektor swasta dan lembaga terkait; 5 menekankan pada kepentingan pendidikan dan informasi jangka panjang. Di Indonesia, pengelolaan RTH diatur berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan ayng menginstruksikan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia untuk antara lain: 1 merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan penataan RTH di wilayah perkotaan dan 2 Melaksanakan pengelolaan dan pengendalian dalam rangka meningkatkan fungsi dan peranan Ruang Terbuka Hijau Kota dengan melarang atau membatasi perubahan penggunaannya untuk kepentingan lain. Manajemen RTH, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, dan pengendalian merupakan wewenang Pemerintah Daerah. Walapun demikian, ketersediaan pengembangan RTH masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Menurut Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB 2005, empat masalah utama ketersediaan dan kelestarian RTH adalah 1 Ketersediaan RTH kota tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selan-jutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan. 2 Lemahnya lembaga pengelola RTH yang dicirikan oleh belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat, belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH, belum jelasnya bentuk kelembagaan 11 pengelola RTH, dan belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas 3 Lemahnya peran stake holders, lemahnya persepsi masyarakat, dan lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah 4 Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH akibat belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional. 2.2 Konservasi Keanekaragaman Hayati 2.2.1 Pengertian Konservasi Keanekaragaman Hayati