Nilai Konservasi Keanekaragaman dan Rosot Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau Kota Studi Kasus pada Ruang terbuka Hijau Kota Bandar Lampung
NILAI KONSERVASI KEANEKARAGAMAN DAN ROSOT
KARBON POHON PADA RUANG TERBUKA HIJAU KOTA:
STUDI KASUS PADA RUANG TERBUKA HIJAU
KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh:
AGUS SETIAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
(2)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi Nilai Konservasi Keanekaragaman dan Rosot Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau Kota: Studi Kasus pada Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung ini merupakan gagasan saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2007
Agus Setiawan P14600009
(3)
ABSTRACT
AGUS SETIAWAN. The Conservation Value and Carbon Sink of Tree Species Diversity in Green Open Space: A Case Study in Bandar Lampung Green Open Space. Under supervisory of: HADI SUKADI ALIKODRA, ANDI GUNAWAN, AND DEDY DARNAEDI
Indonesian effort in in-situ conservation should be complemented by ex-situ conservation. Green open space (GOS) is a potential area for ex-situ conservation, especially for the conservation of tree diversity. Considering the fact that the GOS are declining, it uses as tree species diversity conservation area has to be effective and efficient. Therefore, a valuation system that can be used to determine the value of tree species or community is required. Additionally, the function of GOS may also be improved as as a carbon sink.
The objectives of the study were 1) to determine the conservation value of tree species diversity of GOS, 2) to analyze the value of GOS as carbon sink, and 3) to analyze the correlation between the tree species diversity and carbon sink. To determine the conservation value of community, a formula of conservation index (Ci) was constructed which is based on the conservation
value (endemism, status, typical, and wilderness) of the species composing the community. The value ranged between 0 and 1, and was grouped into four categories, that is, low if 0 ≤ Ci ≤ 0,25, medium if 0,26 < Ci≤ 0,50, high if 0,51 <
Ci≤ 0,75, and very high if 0,76 ≤ Ci. The measurements of the diversity used were
species richness, diversity index, and index of evenness. Allometric formula (Brown 1997) was used to calculate the carbon sink in the tree
The results showed that the contribution of GOS in Kota Bandar Lampung on tree conservation was low, the Ci ranged from 0,02 to 0,04. Therefore, the
species found in GOS of Kota Bandar Lampung were of low priority to be protected. The contribution on carbon sink was also low. There is no correlation between carbon sink and tree diversity parameter of community. The conservation value of species or community did not correspond to the amount of carbon sink, because most of the species that store high quantity of carbon were species of low conservation value.
______________________
Key word: green open space, conservation value, Conservation Index, carbon sink
(4)
ABSTRAK
AGUS SETIAWAN. Nilai Konservasi Keanekaragaman dan Rosot Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau Kota: Studi Kasus pada Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung. Di bawah bimbingan: HADI SUKADI ALIKODRA, ANDI GUNAWAN, DAN DEDY DARNAEDI.
Konservasi in-situ yang telah dilakukan Indonesia perlu dilengkapi dengan upaya konservasi ex-situ. Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan lahan yang potensial untuk areal konservasi ex-situ, terutama konservasi keanekaragaman jenis pohon. Mengingat ketersediaan RTH makin terbatas, maka penggunaannya untuk konservasi keanekaragaman jenis pohon harus dilakukan secara efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan suatu sistem penilaian yang dapat menentukan tinggi rendahnya nilai konservasi suatu spesies atau komunitas. Selain itu, RTH juga dapat ditingkatkan fungsinya sebagai penyimpan karbon (Carbon sink).
Tujuan penelitian ini adalah 1) Menetapkan nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon pada ruang terbuka hijau, 2) Menganalisis nilai penyimpanan karbon (carbon sink) ruang terbuka hijau, dan 3) Mengembangkan nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpan karbon bagi RTH. Untuk menentukan nilai konservasi komunitas dibuat suatu rumus indek konservasi (IK) komunitas yang didasarkan pada nilai konservasi (keendemisan,
status, sifat dan keliaran) spesies penyusunnya. Nilai tersebut berkisar antara 0 s.d. 1 dan dibagi menjadi empat kategori yaitu 0 ≤ Ik ≤ 0,25 rendah, 0,26 < Ik ≤
0,50 sedang, 0,51 < Ik ≤ 0,75 tinggi, dan 0,76 ≤ Ik sangat tinggi. Ukuran
keanekaragaman yang digunakan adalah kekayaan jenis (Species Richness), indeks keanekaragaman, dan indeks kemerataan. Penentuan karbon tersimpan dilakukan dengan menggunakan rumus allometrik (Brown 1997).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi RTH Kota Bandar Lampung dalam konservasi spesies pohon adalah rendah (Nilai IK berkisar
antara 0,02 s.d. 0,04). Oleh karena itu, spesies pohon yang ditemui di areal RTH memiliki prioritas rendah untuk dilindungi. Kontribusi sebagai rosot karbon juga rendah. Antara jumlah karbon tersimpan dengan parameter keragaman pohon dalam komunitas tidak terdapat korelasi. Nilai konservasi komunitas tidak bersesuaian dengan jumlah karbon tersimpan, karena spesies yang berperan besar sebagai rosot carbon memiliki nilai konservasi rendah.
_____________________
Kata kunci: ruang terbuka hijau, nilai konservasi, Indeks Konservasi, rosot karbon
(5)
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi,
(6)
NILAI KONSERVASI KEANEKARAGAMAN DAN ROSOT
KARBON POHON PADA RUANG TERBUKA HIJAU KOTA:
STUDI KASUS PADA RUANG TERBUKA HIJAU
KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh:
AGUS SETIAWAN
DISERTASI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
(7)
Judul Disertasi : Nilai Konservasi Keanekaragaman dan Rosot Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau Kota: Studi Kasus pada Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung
Nama : Agus Setiawan
NRP : P14600009
Derpartemen : Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK)
Disetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M.S. Ketua
Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Sc. Dr. Dedy Darnaedi, M.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui,
2. Ketua Departemen Ilmu 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Rinekso Soekmadi, M.Scf. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
(8)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ruang terbuka hijau dengan judul Nilai Konservasi Keanekaragaman dan Rosot Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau Kota: Studi Kasus pada Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung.
Untuk mendukung penulisan disertasi ini, penulis telah melakukan serangkaian penelitian yang pelaksanaannya dibantu oleh rekan penulis serta mahasiswa di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Sebagian dari hasil penelitian tersebut telah dikirim ke beberapa jurnal atau dispresentasikan dalam seminar, yaitu:
1) Keanekaragaman Jenis Pohon dan Burung pada Beberapa Areal Hutan Kota Bandar Lampung telah diterbitkan pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 2) Keanekaragaman Jenis Pohon dan Penyimpanan Karbon Jalur Hijau Kota
Bandar Lampung telah diterbitkan pada Jurnal Hutan Tropika.
3) Jumlah Karbon Tersimpan dalam Tumbuhan Bawah pada Tingkat Penutupan Vegetasi Berbeda di Hutan Kota Bandar Lampung dipresentasikan dan disajikan dalam Prosiding Seminar dalam rangka Dies Natalis Universitas Lampung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S., Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Sc., dan Dr. Dedy Darnaedi, M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan saran dalam penulisan disertasi ini. Selain itu, terima kasih juga sampaikan kepada Dr. Ir. M. Kamal, M.Sc., Hari Kaskoyo, S.Hut., M.Si., Ir. Setyo Widago, M.Si., Dedi Idwin, S.Hut., Mega Rita Utami, S.Hut., Nivia Adriani, S.Hut., Juita Siringoringo, S.Hut., Bambang Irawan, S.Hut., Wisnu Bayu Aji, S.Hut., Wiwit Rahmawati, S.Hut., dan Rohani, S.Hut. atas bantuannya dalam pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Supriamana (Alm), Ibunda Kartimi, istri dan anak-anak atas doa dan kasih sayangnya, serta semua pihak yang mendukung penulis hingga selesainya penulisan disertasi ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat.
Bogor, Januari 2007
(9)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 11 Agustus 1959 dari ayah Supriamana (Almarhum) dan ibu Kartimi. Penulis merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara se ayah, sedangkan dari ibu merupakan anak ke empat dari enam bersaudara.
Pendidikan sarjana diselesaikan penulis di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1985. Pada tahun 1997, setelah melalui program Prapascasarjana, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan dukungan beasiswa BPPS dan menamatkannya pada tahun 2000. Pada tahun 2000 juga penulis diterima untuk melanjutkan program doktor dengan dukungan beasiswa BPPS pada program studi dan perguruan tinggi yang sama dan memulai pendidikan pada Semester Genap 2000/2001.
Setelah lulus dari program sarjana Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor 1985, mulai tahun 1986 penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Pertanian Unila. Bersama dengan dua orang rekannya, penulis merintis pendirian Program Studi Manajemen Hutan pada Fakultas Pertanian Unila yang terealisir mulai tahun 1996. Saat ini program studi tersebut telah berkembang menjadi Jurusan Manajemen Hutan.
Selama mengikuti program S3, penulis telah menghasilan karya tulis Tinjauan terhadap Pembangunan Sistem Kawasan Konservasi di Indonesia yang dimuat dalam Media Konservasi Volume VII/Nomor 2, Juni 2001 dan Kewenangan Pengelolaan Kawasan Konservasi: Tinjauan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dimuat dalam Jurnal Manajemen dan Kualitas Lingkungan Vol. 2 No. 2 Mei 2003. Karya ilmiah lain yang telah selesai disusun dan telah diterbitkan adalah:
4) Keanekaragaman Jenis Pohon dan Burung pada Beberapa Areal Hutan Kota Bandar Lampung telah diterbitkan Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol.XII No. 1: 1-13.
5) Keanekaragaman Jenis Pohon dan Penyimpanan Karbon Jalur Hijau Kota Bandar Lampung telah diterbitkan pada Jurnal Hutan Tropika Vol 1 No.1. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis dan sebagian ditulis bersama pembimbing, rekan sejawat, dan mahasiswanya.
(10)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 3
1.3 Manfaat ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ...
4
2.1 Ruang Terbuka Hijau ... 4
2.1.1 Batasan dan pengertian ... 4
2.1.2 Fungsi Ruang Terbuka Hijau ... 5
2.1.3 Penggolongan Ruang Terbuka Hijau ... 7
2.1.4 Manajemen Ruang Terbuka Hijau ... 9
2.2 Konservasi Keanekaragaman Hayati ...
11
2.2.1 Pengertian Konservasi Keanekaragaman Hayati ....
11
2.2.2 Konservasi Ex-situ ... 12
2.3 Penyimpanan Karbon dalam Pohon ... 15
2.4 Metoda Pendugaan Rosot Karbon ... 18
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 20
3.1 Lokasi Penelitian ...
20
3.2 Kerangka Penelitian ...
21
3.3 Lingkup dan Batasan Penelitian ...
22
3.3.1 Lingkup Penelitian ... 22
3.3.2 Batasan Penelitian ... 22
3.4 Penentuan Nilai Konservasi Komunitas ... 25
3.5 Data yang Dikumpulkan dan Metoda Pengumpulan dan Pengolahannya ... 31
3.5.1 Populasi dan Contoh Penelitian ... 32
3.5.2 Teknik Inventarisasi Pohon ... 33
3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 34
3.6.1 Penghitungan Parameter Keanekaragaman ... 34
(11)
IV. ANALISIS SITUASI KOTA BANDAR LAMPUNG ...
37
4.1 Kondisi Fisik ... 37
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi ... 37
4.3 Kondisi Umum RTH ... 39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
5.1 Keragaman Jenis Pohon ... 43
5.1.1 Hutan Kota ... 43
5.1.2 Jalur Hijau ... 52
5.2 Nilai Konservasi Komunitas RTH Kota Bandar Lampung ... 65
5.2.1 Hutan Kota ... 65
5.2.2 Jalur Hijau ... 69
5.3 Peran RTH kota Bandar Lampung sebagai Rosot Karbon... 78
5.3.1 Hutan Kota ... 78
5.4.2 Jalur Hijau ... 84
5.4 Hubungan Keragaman Jenis Pohon dengan Jumlah Rosot Karbon ... 91
5.5 Optimalisasi RTH sebagai Sarana Konservasi Jenis Pohon dan Rosot Karbon ... 93
5.5.1 Penentuan dan Penetapan RTH ... 93
5.5.2 Nilai Konservasi RTH ... 94
5.5.3 Hubungan Nilai Konservasi dengan Rosot Karbon ... 96
5.5.4 Perluasan Manfaat RTH ... 100
5.5.5 Pemilihan Jenis Pohon ... 102
VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 110
6.1 Simpulan ... 110
6.2 Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 112
(12)
DAFTAR TABEL
Nomor
Uraian
Halaman
1. Hubungan allometrik untuk menentukan biomasa
berdasarkan diameter pohon (untuk diameter >5 cm) ... 19 2. Jenis-jenis pohon dilindungi di Indonesia ... 28 3. Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang
ditemui di masing-masing hutan kota berbentuk area di Kota Bandar Lampung ... 45 4. Indeks diversitas dan indeks similaritas komunitas hutan kota
berbentuk area di Kota Bandar Lampung dilihat dari spesies
penyusunnya ... 46 5. Keliaran, manfaat, dan indeks nilai penting (INP) masing- masing spesies yang ditemukan di hutan kota berbentuk area Kota Bandar Lampung... 48 6. Pengelompokan jenis pohon RTH hutan kota Kota Bandar
Lampung berdasarkan sifat dan kegunaan utamanya ... 50 7. Parameter keragaman spesies pohon masing-masing
komunitas hutan kota berbentuk area di Kota Bandar
Lampung... 50 8. Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang
ditemui di masing-masing jalur hijau jalan Kota Bandar
Lampung ... 53 9. Indeks diversitas dan indeks similaritas komunitas jalur hijau
jalan Kota Bandar Lampung dilihat dari spesies penyusunnya 54 10. Pengelompokan jenis pohon RTH jalur hijau jalan kota Kota
Bandar Lampung berdasarkan sifat dan kegunaan utamanya 55 11. Parameter keragaman spesies pohon masing-masing
komunitas jalur hijau jalan Bandar Lampung ... 56 12. Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang
ditemui di masing-masing jalur hijau sungai Kota Bandar
Lampung ... 57 13. Indeks diversitas dan indeks similaritas komunitas jalur hijau
sungai Kota Bandar Lampung dilihat dari spesies
penyusunnya ... 58 14. Parameter keragaman spesies pohon masing-masing
komunitas jalur hijau sungai Bandar Lampung ... 59 15. Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang
ditemui di masing-masing jalur hijau pantai Kota Bandar
(13)
16. Parameter keragaman spesies pohon masing-masing
komunitas jalur hijau sungai Bandar Lampung... 60 17. Jenis-jenis pohon yang ditemui di berbagai jalur hijau Kota
Bandar Lampung ... 62 18. Indeks similaritas antar komunitas jalur hijau ... 63 19. Indeks struktur komunitas pohon masing-masing vegetasi
jalur hijau ... 63 20. Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada ruang
terbuka hijau berbentuk area di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi... 66 21. Nilai konservasi masing-masing komunitas RTH berbentuk
area di Kota Bandar Lampung ... 68 22. Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada jalur hijau
jalan di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi 69 23. Nilai konservasi masing-masing komunitas jalur hijau jalan
di Kota Bandar Lampung ... 71 24
.
Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada jalur hijausungai di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek
konservasi ... 73 25. Nilai konservasi masing-masing komunitas jalur hijau sungai
di Kota Bandar Lampung ... 74 26. Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada jalur hijau
pantai di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek
konservasi ... 75 27. Nilai konservasi masing-masing komunitas jalur hijau pantai
di Kota Bandar Lampung ... 76 28. Jumlah rosot karbon pada pohon dan tumbuhan bawah
di beberapa hutan kota pada penutupan tajuk yang berbeda 80 29. Jumlah total (pohon + tumbuhan bawah) rosot karbon pada
vegetasi hutan kota di Kota bandar Lampung pada penutupan tajuk yang berbeda ... 80 30. Jumlah rosot karbon pada masing-masing jalur hijau jalan
di Kota Bandar Lampung ... 85 31. Jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies yang
ditemui di jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung ... 86 32. Jumlah rosot karbon pada masing-masing jalur hijau sungai
di Kota Bandar Lampung ... 87 33. Jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies yang
(14)
34. Jumlah rosot karbon pada masing-masing jalur hijau pantai di Kota Bandar Lampung ... 89 35. Jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies yang
ditemui di jalur hijau pantai Kota Bandar Lampung ... 89 36. Karbon total dan rata-rata tersimpan di jalur hijau Kota Bandar
Lampung ... 90 37. Jumlah karbon tersimpan dan nilai konservasi masing-masing
spesies pohon pada vegetasi rapat ... 98 38. Spesies endemis Sumatera yang secara individu berpotensi
menyimpan karbon dalam jumlah banyak ... 104 39. Dimensi spesies pohon bernilai konservasi dan berpotensi
menyimpan karbon dalam jumlah banyak berdasarkan hasil
pengukuran terhadap koleksi di Kebun Raya Bogor ... 106 40. Kesesuaian berbagai spesies bernilai konservasi dan
berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah banyak dengan berbagai RTH Kota Bandar Lampung ... 108
(15)
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Uraian
Halaman
1 Peta lokasi penelitian ... 20 2 Kerangka penelitian nilai konservasi keanekaragaman dan
rosot karbon pohon pohon pada ruang terbuka hijau ... 23 3. Peta lokasi pengambilan sampel RTH... 24 4. Jalur berpetak untuk inventarisasi jenis-jenis pohon RTH
berbentuk area ... 33 5. Grafik pertumbuhan penduduk Kota Bandar Lampung
dalam 3 dekade terakhir ... 38 6. Distribusi jumlah penduduk Kota Bandar Lampung
berdasarkan mata pencaharian ... 38 7. Distribusi luas RTH dan Non RTH (% dari luas kota) pada
masing-masing kecamatan di Kota Bandar Lampung (Sumber : BPN Kota Bandar Lampung 2003/2004 dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung
2003/2004, data diolah) ... 40 8. Gambaran kondisi vegetasi RTH yang dijadikan sampel
penelitian ... 44 9. Perubahan kandungan rosot karbon dalam vegetasi dengan
berubahnya penutupan tajuk ... 81 10. Grafik hubungan antara kelas umur (diameter batang)
dengan jumlah pohon di hutan kota Bandar Lampung dan vegetasi pembanding di areal HPH ... 84 11. Sebaran titik-titik yang menunjukkan hubungan antara
jumlah rosot karbon dalam komunitas dengan indeks keragaman (H) jenis pohon komunitas RTH Kota Bandar
Lampung ... 91 12. Sebaran titik-titik yang menunjukkan hubungan antara
jumlah rosot karbon dalam komunitas dengan indeks kekayaan (R) jenis pohon komunitas RTH Kota Bandar
Lampung . ... 92 13. Penggolongan manfaat potensial ruang terbuka hijau
(Dimodifikasi dari Munasinghe 1994) ... 101 14. Diagram perbandingan pohon besar dan phon kecil.
Diagram menunjukkan pohon kecil kurang sesuai untuk digunakan di jalur hijau jalan karena menghalangi
pandangan (Sumber: Arnold 1980) ... 105 15. Sketsa bentuk arsitektur pohon bernilai konservasi dan
berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah banyak
berdasarkan hasil pengukuran terhadap koleksi di Kebun Raya Bogor . ... 107
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Uraian
Halaman
1. Data Kondisi Umum Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung ... 112 2. Daftar Jenis Pohon Endemik Sumatera ... 116 3. Penentuan Nilai Bobot Kepentingan Endemisme, Status,
Sifat, dan Keliaran Spesies sebagai Penentu Nilai
Konservasi ... 120 4. Penghitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang
Terbuka Hijau ... 123 5. Nilai Konservasi Masing-masing Spesies Pohon yang
Terinventarisir dari Berbagai Areal RTH Kota Bandar
Lampung ... 141 6. Perhitungan Nilai Konservasi Masing-masing Komunitas
RTH ... 144 7. Indeks Bilai Penting dan Jumlah Rosot Karbon pada Masing-
(17)
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Sebagai salah satu negara yang memiliki hutan tropika terluas di dunia, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk tumbuhan berhabitus pohon. Berkaitan dengan distribusi pusat keanekaragaman tumbuhan,
dari 12 pusat keanekaragaman tumbuhan (Pusat Vavilov), salah satunya adalah
Pusat Indo-Melayu dengan Indonesia sebagai unsur terbesar (KLH dan KONPHALINDO 1994). Walaupun wilayah Indonesia hanya mencakup 1,3% dari wilayah daratan dunia, tetapi memiliki 17% dari jumlah spesies tumbuhan yang terdapat di seluruh dunia. Indonesia memiliki lebih dari 400 spesies Dipterocarpaceae (jenis kayu yang bernilai paling tinggi di Asia Tenggara), dan diperkirakan terdapat sekitar 25.000 spesies tumbuhan berbunga (BAPPENAS
1993). Akan tetapi, tekanan antropogenik yang meliputi pertumbuhan penduduk,
pencemaran udara, perubahan iklim, modifikasi habitat, dan fragmentasi ekosistem akibat pembukaan lahan terus menekan kehidupan dan keberadaan spesies sehingga keanekaragaman hayati semakin menurun.
Untuk mencegah atau mengurangi laju penurunan keanekaragaman hayati, berbagai upaya konservasi telah dilakukan, antara lain melalui perlindungan spesies dan ekosistem. Secara kuantitatif, upaya Indonesia dalam melakukan
konservasi sumberdaya hayati telah nyata, khususnya konservasi in-situ.
Sampai dengan tahun 2000 Indonesia telah menetapkan 385 unit kawasan
dilindungi (protected area) yang mencakup 22.560.545 ha (Setiawan dan
Alikodra 2001). Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan Suhirman (1999),
perlindungan in-situ saja tidak cukup, diperlukan upaya-upaya konservasi ex-situ
yang mengarah pada pemahaman dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati tersebut bagi kesejahteraan umat manusia secara langsung. Salah satu lahan
yang potensial untuk areal konservasi ex-situ adalah ruang terbuka hijau (RTH).
Apabila lahan RTH ini dapat digunakan sebagai sarana konservasi ex-situ, maka
diharapkan bahwa RTH kota tersebut tidak hanya hijau tetapi juga bernilai konservasi. Mengingat ketersediaan ruang terbuka hijau makin terbatas, maka penggunaannya untuk konservasi keanekaragaman jenis pohon harus dilakukan secara efektif dan efisien, yaitu dengan memelihara dan mengembangkan spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi. Untuk itu diperlukan
(18)
suatu cara penilaian yang dapat menentukan tinggi rendahnya nilai konservasi suatu spesies atau komunitas.
Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah ruang-ruang dalam kota, baik
dalam bentuk area (pitch) atau kawasan maupun dalam bentuk memanjang atau
jalur (corridor) yang pada dasarnya tanpa bangunan, serta bersifat pengisian
hijau tanaman atau tumbuhan, baik secara alamiah maupun budidaya/binaan (Depdagri 1988). Ruang terbuka hijau sebagai komunitas tumbuhan merupakan salah satu bentuk penyimpan sumberdaya hayati yang potensial sebagai areal konservasi keanekaragaman hayati, khususnya pelestarian keanekaragaman spesies pohon.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk, konversi lahan untuk berbagai kepentingan, industri, dan penggunaan energi juga semakin meningkat. Hal
tersebut menyebabkan emisi gas CO2 ke udara semakin meningkat. Aktivitas
manusia yang menyebabkan emisi gas CO2 ke udara meliputi pambakaran
bahan bakar fosil dan material karbon lainnya, fermentasi senyawa organik seperti gula dan pernapasan manusia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup
(MoE 1999) dalam tahun 1994 emisi gas CO2 ke udara akibat kegiatan industri
mencapai 19.120 Gg (19.120.000 ton), penggunaan energi 373.608 Gg (373.608.000 ton), dan alih guna lahan 559.471 Gg (559.471.000 ton). Data tersebut menunjukkan bahwa alih fungsi lahan memberikan kontribusi terbesar
dalam memberikan emisi CO2 ke udara. Menjadikan dan mempertahankan RTH
dalam bentuk vegetasi hutan akan memberikan kontribusi terhadap pengurangan
kandungan CO2 di udara dengan menyerap CO2 dari udara dan menyimpannya
sebagai karbon dalam jaringan tumbuhan. Dengan demikian diharapkan RTH kota tidak hanya hijau, tetapi memiliki keanekaragaman jenis pohon tinggi, bernilai konservasi dan berfungsi sebagai rosot karbon.
Menurut Odum (1993), eksistem perkotaan dapat dibagi menjadi empat
ruang (compartment) secara berimbang, yaitu ruang sistem produktif, ruang
sistem perlindungan, ruang sistem serbaguna, dan ruang sistem industri perkotaan. Untuk mengimplementasikan konsep ruang tersebut diperlukan prosedur zonasi lansekap dan pembatasan penggunaan sebagai lahan. Dalam konsep tersebut, ruang terbuka hijau merupakan ruang sistem perlindungan. Sampai dengan tahun 2004 Kota Bandar Lampung mengalokasikan ruang terbuka hijau yang relatif luas, yaitu 12.615 ha atau 64,91% dari luas wilayah Kota Bandar Lampung (Pemerintah Kotamadya Dati II Bandar Lampung 1997).
(19)
Akan tetapi, Aji (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan Kota Bandar Lampung telah menyebabkan terjadinya konversi RTH yang mengancam kelestariannya. Selain itu, dari 12.615 ha lahan yang dialokasikan sebagai RTH, 79,21% di antaranya berupa pekarangan, sawah, kebun, ladang, dan lahan milik lain yang sewaktu-waktu dapat dikonversi oleh pemiliknya untuk penggunaan lain. Akibatnya keanekaragaman jenis pohon dan jumlah rosot karbon di perkotaan akan semakin menurun. Di sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan perkotaan
menyebabkan emisi gas CO2 ke udara semakin meningkat sehingga peran ruang
terbuka hijau sebagai rosot karbon semakin diperlukan.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Memformulasikan nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon pada ruang terbuka hijau.
2) Menganalisis rosot karbon (carbon sink) ruang terbuka hijau kota,
3) Menganalisis hubungan antara nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon dengan rosot karbon.
1.3 Manfaat
1) Bagi ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengelolaan sumberdaya, khususnya pengintegrasian kegiatan konservasi sumberdaya hayati ke dalam pembangunan RTH serta penggunaan indeks
konservasi (Ik) dalam penentuan nilai konservasi spesies dan komunitas.
2) Bagi Pemerintah Kota Bandar Lampung hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam pembangunan dan pengelolaan RTH yang memenuhi prinsip-prinsip keserbagunaan fungsi, khususnya peran RTH bagi konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpanan karbon.
3) Bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan RTH yang memenuhi prinsip-prinsip keserbagunaan fungsi RTH.
(20)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ruang Terbuka Hijau2.1.1 Batasan dan Pengertian
Berbagai negara atau kota menggunakan istilah ruang terbuka hijau (RTH) secara berbeda-beda. Dalam berbagai literatur, pengertian RTH tidak
dibedakan dari ruang terbuka (open space), sehingga cakupannya luas, tetapi
mencakup juga RTH yang dicirikan oleh adanya vegetasi. Dalam tulisannya, Cervera (1999) mendefinisikan ruang terbuka sebagai suatu ruang terbuka (di luar ruangan) di daerah metropolitan–mencakup padang rumput dan taman, juga tanah kosong yang tidak berpagar dan daerah yang berbatasan dengan perairan—yang bebas dipilih dan digunakan untuk kegiatan spontan, pergerakan, atau explorasi visual oleh banyak penduduk kota. Definisi tersebut mencakup
RTH, yaitu padang rumput. Definisi ruang terbuka yang dikemukakan Tri-County
Regional Planning Commission (1972) lahan pertanian, lahan hutan, dan kuburan. Menurut van Dijk (2005) RTH (areal hijau) adalah semua ruang yang terlihat hijau, mencakup lahan yang digunakan untuk pertanian dan habitat yang bersifat alami.
Menurut Depdagri (1988), RTH wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budidaya. Definisi tersebut sama persis dengan definisi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Ruang terbuka hijau meliputi ruang-ruang di dalam kota yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah perkotaan (RTRWP). Penciri utama RTH adalah adanya tumbuhan atau vegetasi.
Menurut Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB (2005), RTH kota adalah bagian dari
ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan,
tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi
(21)
menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya
diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk
RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan
fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan per-tanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.
2.1.2 Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau merupakan bagian yang sangat penting bagi lingkungan perkotaan. Menurut Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB (2005), RTH kota memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota.
Menurut Kane (1997), secara ekologis RTH dapat berfungsi sebagai habitat yang menyediakan makanan, tempat berlindung, dan ruang bagi berbagai spesies untuk bereproduksi. Selain itu, juga berperan sebagai penyaring polusi, pencegah erosi, peresap air ke dalam tanah, dan pengendali banjir (TPL 2002; COA 2000; Kane 1997). Ruang terbuka hijau juga dapat berfungsi sebagai habitat bagi vegetasi dan satwa liar setempat dan sebagai tempat pengungsian satwa dari tekanan penduduk kota (COA 2000). Ruang terbuka hijau berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota, secara fisik harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar (Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB 2005).
Ruang terbuka dapat meningkatkan estetika dan kondisi fisik lingkungan perkotaan (White 1988). Menurut TPL (2002) ruang terbuka yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan kualitas hidup dengan menyediakan pemandangan yang bagus dan kesempatan rekreasi yang menyenangkan.
(22)
Babcock at al. (1999) menyatakan bahwa kontribusi nilai estetik dari elemen-elemen RTH (garis, bentuk, warna, dan tekstur) mempengaruhi kualitas emosi dan pertimbangan estetik seseorang. Dari uraian tersebut, jelas bahwa ruang terbuka akan memberikan nilai estetik. Rubinstein (1997) menjelaskan bahwa ruang terbuka sangat bermanfaat karena dapat memenuhi kebutuhan emosional atau rekreasi setiap individu. Perbedaannya terletak pada berapa luas ruang terbuka yang dibutuhkan agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Seseorang dapat memancing, berburu, mendaki gunung, atau berarung jeram karena rekreasi tersebut dapat memenuhi kebutuhan rohaninya. Lebih lanjut Rubeinstein (1997) mengemukakan bahwa secara physiologis ruang terbuka
bermanfaat karena dapat mengurangi stress, kegugupan (arousal), dan
kegelisahan. Sementara secara psykologis, ruang tebuka merupakan tempat yang dapat digunakan sebagai “psychological escape” atau memberikan peluang untuk berfikir dalam kondisi tanpa tekanan, baik secara individual maupun berkelompok. Ruang terbuka juga dapat digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi sosial, baik antar anggota keluarga, teman sejawat, atau tetangga. Ruang terbuka hijau dapat dijadikan tempat untuk bertafakur, menyepi atau menyendiri. Kesunyian tersebut dapat digunakan untuk menemukan atau mengeksplorasi identitas sosial atau pribadi yang bersangkutan.
Babcock et al. (1999) menyatakan bahwa menghitung nilai ekonomi RTH
merupakan hal yang tidak mudah karena RTH memiliki nilai manfaat yang lebih banyak dibanding dengan barang lainnya. Ruang terbuka hijau menyediakan kesempatan untuk menikmati keadaan alam sambil berekreasi dalam keadaan alami yang jarang ditemui di kota besar (Kane 1997; White 1988). Kane (1997) mengemukakan bahwa manfaat ekologis RTH tidak dapat dipisahkan dengan manfaat sosial ekonomi. Rantai makanan pada perairan yang sehat berkaitan dengan kegiatan ekonomi seperti rekreasi, memancing, atau industri pariwisata. Miller (1997) mengemukakan, RTH menyediakan berbagai fungsi yang penting bagi kegiatan ekonomi. Manfaat ekonomi tersebut merupakan modal yang bersifat alami. Kebanyakan dari manfaat tersebut, seperti air tanah, atau pemandangan bersifat milik publik. Semua anggota komunitas memiliki kesempatan untuk memanfaatkannya secara merata.
Ruang terbuka hijau dapat meningkatkan estetika dan kondisi fisik lingkungan perkotaan (White 1988). Menurut TPL (2002) RTH yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan kualitas hidup dengan menyediakan
(23)
pemandangan yang bagus dan kesempatan rekreasi yang menyenangkan.
Babcock at al. (1999) menyatakan bahwa kontribusi nilai estetik dari
elemen-elemen RTH (garis, bentuk, warna, dan tekstur) mempengaruhi kualitas emosi dan pertimbangan estetik seseorang. Dari uraian tersebut, jelas bahwa RTH akan memberikan nilai estetik. Rubinstein (1997) menjelaskan bahwa RTH sangat bermanfaat karena dapat memenuhi kebutuhan emosional atau rekreasi setiap individu. Perbedaannya terletak pada berapa luas RTH yang dibutuhkan agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Seseorang dapat memancing, berburu, mendaki gunung, atau berarung jeram karena rekreasi tersebut dapat memenuhi kebutuhan rohaninya. Lebih lanjut Rubeinstein (1997) mengemukakan bahwa secara physiologis RTH bermanfaat karena dapat
mengurangi stress, kegugupan (arousal), dan kegelisahan. Sementara secara
psykologis, ruang tebuka merupakan tempat yang dapat digunakan sebagai “psychological escape” atau memberikan peluang untuk berfikir dalam kondisi tanpa tekanan, baik secara individual maupun berkelompok. Ruang terbuka hijau dapat dijadikan tempat untuk bertafakur, menyepi atau menyendiri. Kesunyian tersebut dapat digunakan untuk menemukan atau mengeksplorasi identitas sosial atau pribadi yang bersangkutan. Ruang terbuka hijau juga dapat digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi sosial, baik antar anggota keluarga, teman sejawat, atau tetangga.
2.1.3 Penggolongan Ruang Terbuka Hijau
White (1988) membagi RTH kedalam tiga kelompok, yaitu:
a) Areal yang ditetapkan dan dirancang bangun untuk digunakan oleh publik. Areal tersebut meliputi taman, termasuk kuburan dan lapangan golf.
b) Areal yang ditetapkan untuk dibiarkan alami: areal tersebut dicirikan oleh
kondisi yang relatif liar (wilderness) tetapi di dalamnya dibangun fasilitas untuk
pengunjung, fasilitas rekreasi, areal piknik, dan jalan setapak (trail).
c) Areal yang kondisinya masih alami dan peruntukannya belum ditetapkan. Bagian Perencanaan Kota Tucson (Tucson Planning Department 1993)
mengelompokan RTH menjadi RTH yang mengelompok (cluster green open
space); RTH umum (common green open space), dapat berupa RTH fungsional (functional open space) atau RTH alami (natural green open space); RTH
berbentuk sistem atau jaringan (green open space system), dan RTH publik
(24)
1) Cluster Green Open Space: RTH, baik alami maupun fungsional, disediakan untuk mengkompensasi pengurangan RTH sehingga dapat memenuhi kebutuhan minimum RTH atau untuk mengimbangi peningkatan kepadatan penduduk.
2) Common Green Open Space: lahan dalam suatu areal permukiman yang tidak dimiliki seseorang atau didedikasikan untuk penggunaan publik, dirancang dan diperuntukkan untuk penggunaan oleh umum atau untuk
kesenangan penduduk di sekitar permukiman. Common green open space
dapat berupa natural green open space atau functional green open space.
3) Green Open Space System: suatu jaringan komprehensif yang mencakup taman atau daerah perlindungan yang telah ada dan direncanakan, meliputi taman di pinggir sungai, habitat dataran banjir dan satwa liar yang dilindungi. 4) Public Green Open Space: RTH yang dimiliki oleh lembaga publik, misalnya
City of Tucson Department of Parks and Recreation atau Dinas Pertamanan, dan dikelola oleh lembaga tersebut untuk digunakan bagi kesenangan publik.
Di Kota Carson (America Serikat) RTH terutama diperuntukkan bagi perlindungan lansekap alami dan mengakomodasi berbagai macam rekreasi pasif seperti hiking, berlari, bersepeda atau berkuda. Lahan tersebut tidak diperuntukkan bagi rekreasi aktif yang diperlengkapi dengan taman, peralatan permainan, baseball, lapangan bola, atau kolam renang. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, areal tersebut dapat dilengkapi dengan fasilitas seperlunya, misalnya jalan setapak dan areal fasilitas piknik, fasilitas interpretasi, tempat istirahat, dan tempat parkir (CCN 2003).
Karakter dan kenyamanan kota banyak dipengaruhi oleh keadaan dan susunan RTH. Menurut Simonds (1983), RTH dapat berupa:
a) Waterfront (pantai, tepi danau atau tepi sungai), b) Blueways (sungai, selokan, dan dataran banjir),
c) Greenways (jalan umum, jalan taman, koridor jalan, jalur pejalan kaki, jalur lari, dan jalur sepeda),
d) Taman kota dan areal rekreasi,
e) Ruang terbuka hijau lainnya: hutan kota, kebun, dan persemaian di tengah kota.
Idealnya, RTH satu sama lain saling berhubungan sehingga membentuk
bingkai hijau di dalam dan di sekitar kota.
(25)
Sesuai dengan RTRW DKI Jakarta 2000-2010, Kota Jakarta mengelompokkan RTH menjadi kawasan hijau binaan dan kawasan hijau lindung. Dalam perencanaanya, kawasan hijau lindung tidak dikembangkan dan tetap dipertahankan keberadaannya yang terdiri dari Cagar Alam, Hutan Lindung, dan Hutan Wisata. Ruang terbuka hijau binaan, dimanfaatkan untuk fasilitas umum rekreasi dan atau olahraga, taman, kebun hortikultur, hutan kota, pemakaman umum, jalur hijau umum, jalur hijau pengamanan sungai, jalur hijau pengamanan kabel tegangan tinggi, termasuk bangunan pelengkap dan atau kelengkapannya (NKLD Jakarta 2002).
2.1.4 Manajemen Ruang Terbuka Hijau
Komite Menteri-menteri Eropa (Council of Europe 1986) dalam rekomendasinya tentang RTH perkotaan menyatakan bahwa manajemen RTH perkotaan menyangkut penentuan lokasi, perancangan dan organisasi pengelolaan RTH; pengendalian dan pemeliharaan; dan pengembangan. Proses-proses tersebut terpisah tetapi satu sama lain saling terkait, memerlukan berbagai keahlian dan disiplin ilmu. Lebih lanjut Komite Menteri-menteri Eropa menyatakan bahwa mengelola RTH pada dasarnya pekerjaan mengelola berbagai konflik. Konflik-konflik tersebut sebaiknya diselesaikan pada tahap perancangan dan pengorganisasian, usaha-usaha harus difokuskan untuk menghindari munculnya konflik kepentingan. Disain yang baik adalah disain yang memungkinkan berbagai aktivitas berlangsung secara simultan dengan rintangan sekecil mungkin dan memungkinkan terbukanya kesempatan bagi kegiatan atau ekspresi baru. Perencanaan RTH harus dikonsep sedemikian rupa untuk mengantisipasi kebutuhan masa depan dari berbagai kelompok kepentingan agar dapat saling berbagi ruang dengan baik. Oleh karena itu, nilai RTH hendaknya tidak ditentukan semata-mata berdasarkan model dan fungsi saat ini, tetapi harus mencakup kapasitas keseluruhan dalam kerangka kegiatan yang dapat berubah menurut waktu dan penggunaan. Perencanaan RTH harus berwawasan jauh ke masa depan.
Selanjutnya, Komite Menteri-Menteri Eropa menyarankan agar pemerintah anggota komite tersebut mengambil langkah-langkah untuk menjamin agar penetapan, penyediaan, dan manajemen RTH menjadi bagian yang integral dari pembangunan kota dan terutama untuk:
(26)
b) Memacu penyediaan RTH dan menjamin bahwa penyediaan tersebut
mencerminkan kebutuhan nyata penduduk, memperhatikan karakter kota saat ini, menggunakan seluruh potensi sumberdaya yang tersedia, meningkatkan kohesi sosial, dan dihasilkan dari dialog dan koordinasi dengan seluruh ahli, pemerintah, dan lembaga yang relevan; dan
c) Mengelola dan mengembangkan RTH melalui identifikasi dan resolusi konflik, pencapaian dan kreasi aksessibilitas dan daya tarik serta memacu tingkat penggunaan yang layak.
Lebih lanjut ditekankan bahwa manajemen RTH harus didasarkan pada beberapa pendekatan, terutama: 1) koordinasi dengan kebijakan nasional, 2) memperhatikan perananan pemerintah setempat (kota), 3) sejauh mungkin memacu keterlibatan komunitas dan lingkungan setempat, 4) memacu inisiatif sektor-sektor swasta dan lembaga terkait; 5) menekankan pada kepentingan pendidikan dan informasi jangka panjang.
Di Indonesia, pengelolaan RTH diatur berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan ayng menginstruksikan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia untuk antara lain: 1) merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan penataan RTH di wilayah perkotaan dan 2) Melaksanakan pengelolaan dan pengendalian dalam rangka meningkatkan fungsi dan peranan Ruang Terbuka Hijau Kota dengan melarang atau membatasi perubahan penggunaannya untuk kepentingan lain. Manajemen RTH, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, dan pengendalian merupakan wewenang Pemerintah Daerah. Walapun demikian, ketersediaan pengembangan RTH masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Menurut Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB (2005), empat masalah utama ketersediaan dan kelestarian RTH adalah
1) Ketersediaan RTH kota tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selan-jutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan).
2) Lemahnya lembaga pengelola RTH yang dicirikan oleh belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat, belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH, belum jelasnya bentuk kelembagaan
(27)
pengelola RTH, dan belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas
3) Lemahnya peran stake holders, lemahnya persepsi masyarakat, dan
lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah
4) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH akibat belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional.
2.2 Konservasi Keanekaragaman Hayati
2.2.1 Pengertian Konservasi Keanekaragaman Hayati
Pengertian umum konservasi, menurut World Conservation Strategy (IUCN 1980), adalah manajemen penggunaan biospher oleh manusia yang menjamin pemanfaatan maksimum secara lestari bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara potensi pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi
generasi yang akan datang. Dalam The Encyclopedia Americana (American
Corporation 1980) konservasi didefinisikan sebagai manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang. Tujuan utama kegiatan konservasi adalah keberlangsungan manusia, yang kebutuhan makan dan bahan baku lainnya sangat tergantung pada sumberdaya alam. Konservasi merupakan kegiatan positif yang meliputi pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan secara lestari, pemulihan, dan peningkatan sumberdaya lingkungan (IUCN 1980). Mengacu pada pengertian umum di atas maka konservasi sumberdaya hayati adalah pengelolaan (meliputi pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan secara lestari, pemulihan, dan peningkatan kualitas) tumbuhan yang menjamin pemanfaatan secara maksimum bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Sumberdaya genetik dan habitat yang mendukungnya merupakan aset ekonomi dan politik yang paling penting. Sumberdaya ini tergantung pada keragaman genetik yang sangat besar yang terkandung, baik di dalam maupun di antara populasi organisme hidup. Tanpa mereka dan habitat penting pendukungnya, kehidupan manusia tidak akan berlangsung lama dan masyarakat modern seperti yang ada sekarang tidak akan ada. Sumberdaya genetik merupakan sumberdaya terbarui. Sumberdaya genetik tidak akan punah jika landasan fisik, geokimia, atau biologis yang mendukung keberlangsungannya tidak hancur. Sebaliknya, sumberdaya tak terbarui menyediakan produk dalam
(28)
jumlah yang tetap atau terbatas, oleh karena itu dalam jangka panjang akan punah (Olfield 1989).
Menurut Olfield (1989) konservasi tidak berarti bahwa segala sesuatu harus dalam keadaan asli (murni) atau setiap spesies atau setiap bentuk sumberdaya genetik harus diawetkan selamanya. Lebih lanjut Olfield (1989) menyatakan bahwa, pada prinsipnya konservasi sumberdaya hayati dapat
dilakukan dengan dua strategi, yaitu: konservasi in-situ dan konservasi ex-situ.
Konservasi in-situ adalah metode konservasi yang mengusahakan untuk
melindungi integritas genetik dari suatu sumberdaya genetik dengan mengkonservasinya di dalam evolusi ekosistem yang bersifat dinamis dari habitat asli atau lingkungan alaminya.
Menurut Possiel, Saunier and Meganck (1995) metode in-situ dikenal
sebagai metode yang lebih menjamin dan efisien. Akan tetapi, konservasi in-situ yang dilaksanakan secara alami bukan tanpa risiko. Shaffer (1981) telah mengemukakan empat risiko alami yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) Ketidakpastian demografis sebagai akibat kejadian acak dalam hal kemampuan
hidup (survival) dan reproduksi individu; (2) Ketidakpastian lingkungan sebagai
akibat ketidakpastian perubahan cuaca, pasokan makanan, persaingan, predator, dan parasit; (3) Bencana alam, seperti banjir, kebakaran, atau kekeringan yang dapat muncul secara acak; dan (4) Ketidakpastian genetik atau perubahan genetik yang dapat disebabkan oleh penyimpangan genetik atau
inbreeding yang dapat mengubah kemampuan hidup dan probabilitas reproduksi individu.
Ketidakpastian yang paling besar justru bersifat anthropogenic.
Pengurangan dan perusakan habitat akibat pembangunan permukiman dan kegiatan pembangunan lainnya merupakan faktor penting penyebab menurunnya keanekaragaman hayati. Ketidakpastian ini hanya dapat diatasi dengan program
konservasi yang komprehensif, termasuk konservasi ex-situ (Possiel et. al.
1995).
2.2.2 Konservasi Ex-situ
Konservasi ex-situ (off site conservation) adalah metode konservasi yang
memerlukan pengambilan sumberdaya genetik (biji, benangsari, sperma, atau individu) dari habitat aslinya atau lingkungan alami. Memelihara komponen-komponen kenekaragaman hayati hidup di luar habitat aslinya atau lingkungan
(29)
alaminya. Menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi
sumberdaya hayati dan ekosistemnya, pengawetan jenis tumbuhan secara
ex-situ dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan untuk
menghindari bahaya kepunahan. Metoda konservasi ex-situ meliputi
pembangunan kebun raya, arboretum, sumber gen, sumber benih, anakan/bibit dengan pertumbuhan lambat dan sumber gen invitro (Chin 1993; ITTO 2000: Subiakto 2005). Ketika ancaman dihadapi tumbuhan hidup begitu banyak,
konservasi ex-situ menjadi lebih penting sebagai pendukung dan kadang-kadang
sebagai pengganti alam liar (reintroduction). Biji beberapa jenis tanaman tropika
seperti Dipterocarpaceae tidak dapat disimpan lama, sehingga sumber gen seperti kebun raya dan arboretum merupakan metoda yang tepat (Subiakto 2005).
Bagi Indonesia, konservasi ex-situ merupakan hal yang sangat penting
mengingat Indonesia mengalami kondisi paradoks negara megabiodiversity yaitu:
(1) Indonesia sangat kaya flora dan termasuk salah satu pusat keanekaragaman hayati, tetapi masyarakatnya masih miskin, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya flora, Indonesia masih mengimpor dari negara lain, (2) pembabatan hutan berlangsung terus dan sangat ekstensif, tidak sebanding dengan upaya
konsrvasi ex-situ, sehingga kehilangan genetik flora berlangsung cepat, dan (3)
Indonesia memiliki/menetapkan 348 kawasan dilindungi (protected area),
sementara perhatian terhadap upaya konservasi ex-situ masih sangat rendah
(Suhirman 1999). Upaya konservasi ex-situ di Indonesia telah dilaksanakan
dengan membangun kebun raya (Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bali), arboretum (Bogor, Jasinga, Carita), plot permanen, sumber benih, dan penyimpanan biji (Subiakto 2005). Lebih lanjut Subiakto (2005) menjelaskan bahwa arboretum akan sangat bermanfaat dalam menyediakan material genetik untuk program seleksi dan seleksi pembiakan. Akan tetapi peran arboretum yang ada tersebut masih belum berfungsi dengan baik karena tidak dirancang untuk menyimpan keragaman genetik yang tinggi. Di sisi lain, Kebun raya dan arboretum dapat digunakan untuk kepentingan lain, seperti sebagai sumber bibit, kegiatan penelitian, pendidikan, dan rekreasi.
Dalam pembangunan kebun raya atau arboretum Botanical Garden
Conservation Secretariat (BGCS 1989) menyarankan agar konservasi tumbuhan diprioritaskan pada:
(30)
1) Spesies langka dan terancam punah, baik di tingkat lokal, nasional, regional maupun gobal,
2) Spesies yang secara ekonomis penting,
3) Spesies yang diperlukan bagi pemulihan atau rehabilitasi ekosistem, 4) Spesies kunci, yaitu spesies yang diketahui sangat penting sebagai
pemelihara dan stabilisasi ekosistem,
5) Spesies yang secara taksonomis terisolasi sehingga ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan, kehilangannya akan berdampak serius.
b) Spesies budidaya, meliputi: 1) Kultivar primitif, dan
2) Tumbuhan yang semi-domestik.
Secara teori, semakin kecil suatu marga atau family, semakin besar kesenjangan antar suku tersebut dengan suku terdekatnya, sehingga makin berbeda pula kelompok spesies tersebut dengan kelompok spesies lainnya. Oleh karena itu, spesies yang merupakan satu-satunya wakil dalam family tersebut (monotipyc) harus mendapat prioritas untuk dilindungi dibanding spesies yang
merupakan bukan satu-satunya atau spesies politipyc (MacKinnon et al, 1993).
Menurut Subiakto (2005) spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi adalah spesies yang bernilai komersial tinggi, telah digunakan dalam program penanaman, terancam punah, dan atau memiliki peran ekologis penting. Selain itu, beberapa spesies lokal (asli Indonesia) juga perlu mendapat prioritas penting. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1994) di Indonesia terdapat lebih dari 4000 spesies tumbuhan berkayu, tapi hanya 260 spesies yang bernilai komersial dan dari 260 spesies tersebut hanya 10 spesies yang telah ditanam dalam skala luas. Menurut Subiakto (2005) spesies asli Indonesia sebagai
berikut perlu mendapat prioritas dalam upaya konservasi ex-situ, yaitu Pinus
mercusii, Gonystilius sp, Dyera sp, kelompok dipterocarpaceae, Aquilaria moluccana, Laphopetalum multinervium, kelompok mangrove, dan Santalum album.
Konservasi ex-situ spesies tumbuhan secara utuh dihadapkan pada
beberapa kesulitan. Beberapa kesulitan dalam konservasi ex-situ antara lain
adalah (1) untuk menjamin variasi genetik diperlukan jumlah individu yang banyak, (2) spesies tertentu memerlukan perlakuan khusus untuk menjamin terjadinya penyerbukan, dan (3) spesies tertentu hidup bersimbiosis dengan tumbuhan atau organisme lain sehingga tidak dapat berdiri sendiri (Given 1994).
(31)
Masalahnya akan lebih kompleks jika tumbuhan yang akan dikonservasi secara
ex-situ mengandung parasit atau memiliki hubungan biologis yang kompleks (Thomson 1975). Seringkali upaya kebun raya atau arboretum mengalami hambatan karena kondisi tertentu yang sangat mendasar tidak diketahuhi (BGCS 1989).
Sebagai komunitas buatan, RTH dapat diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kepentingan. Mengingat luasan RTH bersifat terbatas, untuk meningkatkan nilai konservasinya, maka komunitas RTH tersebut dapat disusun dengan tumbuhan-tumbuhan bernilai konservasi tinggi. Hasil review terhadap seratus empat puluh satu paper di Australia dan dari luar Australia, Doherty (1998) menyimpulkan bahwa studi tentang pengukuran nilai konservasi masih sangat sedikit sehingga terdapat kesenjangan pengetahuan yang sangat lebar.
2.3 Penyimpanan Karbon dalam Pohon
Karbon dioksida (carbon dioxcide) adalah senyawa yang terdiri atas dua
unsur, karbon dan oksigen, dengan rasio satu berbanding dua; rumus
molekulnya adalah CO2. Senyawa tersebut di atmosfer terdapat dalam jumlah
yang sedikit (370 ppm) dan memainkan peran penting dalam lingkungan bumi, sebagai bahan yang penting dalam siklus kehidupan tumbuhan dan hewan.
Dalam proses fotosintesis tumbuhan mengasimilasi CO2 dan melepaskan
oksigen. Aktivitas antropogenik yang mengemisikan CO2 meliputi pembakaran
bahan bakar fosil dan material lain yang mengandung karbon, fermentasi
senyawa organik seperti gula dan pernapasan. Source alami CO2, seperti
aktivitas volkanik, mendominasi siklus karbon bumi. Gas CO2 memiliki bau yang
sedikit menyengat, tidak berwarna dan lebih padat dibandingkan dengan udara.
Karbon dioksida (CO2) diemisikan terutama dari pembakaran bahan bakar
fosil, baik pembakaran berskala besar seperti pembangkit listrik maupun yang lebih kecil, sumber bergerak seperti kendaraan bermotor, dan penggunaan
perabotan rumah tangga dan untuk kepentingan komersil. Emisi CO2 juga
dihasilkan oleh proses industri dan ekstraksi sumberdaya, serta pembakaran hutan pada waktu pembersihan lahan (IPCC 2005).
Efek rumah kaca disebabkan oleh akumulasi gas rumah kaca (GRK) yang meliputi uap air, karbondioksida, methane, nitrogen oksida, dan ozon di atmosfer. Walaupun dalam keadaan normal merupakan komponen atmosfer yang penting,
(32)
dalam konsentrasi yang tinggi CO2 dapat membahayakan (IPCC 2005). Saat ini,
konsentrasi CO2 di atmosfer 30% lebih tinggi dibanding 350 tahun yang lalu,
ketika dimulainya revolusi industri (Boer, Masripatin, June dan Dahlan 2001). Meningkatnya kandungan GRK di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca meningkat sehingga terjadi perubahan iklim (MoE 2001). Selama periode
1990-2001, temperatur permukaan bumi meningkat antara 1,4oC dan 5,8oC (IPCC
2005).
Menurut MoE (2001) negara berkembang, temasuk Indonesia akan sangat rentan terhadap efek rumah kaca karena hal-hal sebagai berikut:
a. Negara berkembang umumnya terletak di negara tropika yang merupakan daerah paling panas di bumi. Peningkatan suhu atmosfer akan menimbulkan dampak negatif.
b. Sebagian besar negara kepulauan berlokasi di dalam atau dekat dengan wilayah tropis. Peningkatan permukaan air laut akan menimbulkan dampak yang cukup nyata.
c. Ketahanan dan perkembangan ekonomi negara berkembang sangat tergantung pada sumberdaya alam, terutama pertanian dan perikanan. Ketahanan pangan negara berkembang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
d. Negara berkembang memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam menghadapi kerusakan dan dampak negtaif yang sangat mahal akibat perubahan iklim.
Fiksasi CO2 adalah imobilisasi CO2 melalui reaksi kimia dengan material lain
sehingga membentuk senyawa stabil. Carbon sink (penyimpanan karbon) adalah
penimbunan (uptake) secara alami CO2 dari atmosfer, khususnya dalam tanah,
hutan, dan lautan. Pengikatan CO2 secara alami terjadi melalui proses
fotosintesis yang berlangsung dalam chlorofil.
CO2 + H2O C6H12O6 + O2
Rosot karbon sangat berperan dalam mereduksi gas rumah kaca di atmosfer. Walaupun demikian, penggunaan Rosot karbon dalam kebijakan-kebijakan yang bertujuan mereduksi emisi gas rumah kaca tersebut masih diperdebatkan. Oleh karena itu, karakterisasi lokasi dan mekanisme penyimpanan karbon secara ilmiah dan politis merupakan hal yang penting
(33)
(Myneni et al. 2001). Rosot karbon pada lahan dalam berbagai bentuk, seperti vegetasi, detritus, tanah, residu karbon sisa kebakaran, hasil yang dapat dipanen
dan lain-lain (Myneni et al. 2001).
Biomasa berkayu terdiri atas batang, kulit, cabang, ranting, tunggak, dan akar pohon hidup, belukar dan semak. Vegetasi sebagai penyimpan karbon mendapat karbon dari produktivitas yang tersimpan dalam komponen-komponen
tersebut. Vegetasi hutan alam tropika basah selalu hijau (ever green) dapat
menyimpan biomasa (berat kering) rata-rata 450 ton per ha (dengan kisaran 300 – 800 ton per ha) dengan produktivitas rata-rata 25-30 ton per ha per tahun, hutan Dipterocarpaceae campuran rata-rata 550 ton per ha dengan kisaran (400 – 1500 ton per ha) dengan produktivitas rata-rata 30-35 ton per ha per tahun (Bruenig 1996). Vegetasi mengalami kehilangan karbon akibat penuaan, kematian, pemanenan, kebakaran, penyakit, serangan serangga, dan roboh oleh
angin dan lain-lain (Myneni et al. 2001).
Akhir-akhir ini, sebagian besar pembicaraan tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, dan politik tentang penyimpanan CO2 terpokus pada penyimpanan
CO2 di daratan melalui penyimpanan secara biologis (IPCC 2005), antara lain
dengan membangun tegakan pohon atau hutan (Bruenig 1996). Selanjutnya
Bruenig (1996) mengemukakan bahwa pembangunan carbon sink melalui
reforestation dengan pohon cepat tumbuh dapat mengakumulasikan Rosot karbon dalam jangka waktu 10 – 20 tahun. Penanaman pohon di daerah tropika baru dapat mengkompensasi sebesar 0,3% dari karbon yang dilepaskan ke atmosfer akibat penebangan dan kerusakan hutan di daerah tropika.
Menurut IPCC (2005) keuntungan penyimpanan secara biologis di daratan adalah: a) perubahan jumlah yang tersimpan dapat dimonitor setiap waktu, b) penyimpanan dapat dilakukan di suatu tempat tertentu dengan pemilikan yang dapat diidentifikasi, dan c) lamanya penyimpanan dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan. Di bawah Protokol Kyoto, reduksi GRK dapat dicapai, baik melalui reduksi sumber emisi atau dengan meningkatkan penyimpanan karbon melalui penyerapan pada ekosistem terestrial melalui penatagunaan lahan,
perubahan tataguna lahan, dan kehutanan (Murray 2001). Menurut Boer et al.
(2001) salah satu teknologi untuk mengurangi GRK adalah meningkatkan
(34)
meningkatkan carbon stock melalui penanaman pohon, antara lain melalui pembangunan hutan kota.
2.4 Metoda Pendugaan Rosot karbon
Pendugaan nilai Rosot karbon pada vegetasi umumnya didasarkan pada pendugaan biomassa. Menurut Murray (2001) tidak semua Rosot karbon tersebut mudah diukur, terutama pertukaran karbon dari tanah dan produk-produk panenan lebih sulit lagi diukur dan diverifikasi. Beberapa ahli seperti Ogawa, Ogino, Shidei, Ratanawongse, and Apasuti (1965) Klinge, Rodrigues, Fittkau, and Bruenig (1974), Klinge and Herrera (1978), dan Kato, Tadaki, and Ogawa (1978), telah berusaha untuk menduga jumlah biomasa tersimpan dalam pohon dengan membuat persamaan regresi sehingga, untuk menduga jumlah Rosot karbon tersebut, tidak perlu menggunakan metoda destruktif.
Pendugaan jumlah biomasa pohon dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan langsung menggunakan persamaan allometrik dan pendekatan tidak langsung dengan menggunakan faktor ekspansi biomasa
(BEF). Melalui persamaan allometrik, pendugaan jumlah Rosot karbon dalam
pohon per satuan luas dilakukan dengan membuat petak contoh dengan luasan tertentu. Semua pohon yang terdapat dalam petak diukur dimeternya setinggi
dada (dbh). Diameter minimum pohon yang diukur bervariasi. Untuk daerah
kering, daerah dengan laju pertumbuhan pohon sangat lambat, biasa digunakan batas minimum 2,5 cm dan untuk daerah beriklim basah biasa digunakan diameter minimum 10 cm, tetapi secara umum biasa digunakan 5 cm. Hubungan allometrik antara diameter dengan kandungan karbon disajikan pada Tabel 1 (Brown 1997).
(35)
Tabel 1 Hubungan allometrik untuk menentukan biomasa berdasarkan diameter pohon (untuk diameter >5 cm)
Zona Iklim (curah hujan, mm/tahun)
Persamaan
(Y= biomasa pohon, kg/pohon; D =dbh, cm; H= tinggi, m
Rentang (cm)
Jumlah Pohon
R2
Kering (< 1500
mm) Y=0,139D
2,32
5-40 28 0,89
Lembab (1500-4000 mm)
Y=42,69 – 12,8D + 1,242D2
Y=0,118D2,53
Y=0,092D2,60
5-148 5-148 5-148
170 170 170
0,84 0,97 -Basah
(>4000mm)
Y=21,3 – 6,95D + 0,74D2
Y=0,037D1,89H
4-112 4-112
169 169
0,92 0,90
Sumber:
Brown S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forest, a primer. Rome: FAO Forestry Paper 134, FAO yang dikutip oleh Hairiah K, van Noordwijk M, and Palm C. 1999. Methods for Sampling Above and Below-Ground Organic Pools. In: Modelling Global Change Impacts on The Soil Environment. IC-SEA Report No.6. Bogor: SEAMEOBIOTROP-GCTE IMPACTS CENTRE FOR SOUTHEAST ASIA GCTE Working Document No. 28.
(36)
III. METODELOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi PenelitianPenelitian dilaksanakan di Kota Bandar Lampung yang merupakan tempat kedudukan Ibukota Provinsi Lampung. Secara Geografis, posisi Provinsi
Lampung memiliki kedudukan yang strategis karena merupakan pintu gerbang dari Jawa menuju provinsi-provinsi di Sumatera dan sebaliknya merupakan pintu gerbang dari provinsi di Sumatera menuju propinsi-propinsi di Jawa melalui jalur darat. Kedekatannya dengan Jakarta yang didukung sarana dan prasarana transportasi yang memadai memungkinkan tingginya mobilitas penduduk Kota Bandar Lampung.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian.
Sumber:
Peta Rencana Kawasan Lindung, Pemda Kota Bandar Lampung 2003
Bandar Lampung
(37)
3.2 Kerangka Penelitian
Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu unsur lansekap kota yang secara ekologis memiliki peran penting memelihara keseimbangan dan daya dukung lingkungan perkotaan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota, Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budidaya. Ruang terbuka hijau meliputi ruang-ruang di dalam kota yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah perkotaan (RTRWP).
Perkembangan yang terjadi pada berbagai bidang pembangunan telah menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat, termasuk kebutuhan RTH. Akan tetapi, ketersediaan RTH justru semakin berkurang. Areal-areal yang diperuntukkan bagi RTH banyak beralih fungsi menjadi jalan, permukiman, pasar dan bangunan lainnya. Mengingat kebutuhan lahan semakin meningkat, sementara ketersediaan lahan semakin berkurang, maka diperlukan pemanfaatan lahan secara lebih efisien, yaitu meningkatkan fungsi lahan tersebut tanpa menghilangkan fungsi utamanya. Peningkatan fungsi RTH tanpa mengurangi fungsi utamanya adalah dengan memanfaatkannya untuk konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpanan karbon.
Salah satu upaya konservasi keanekaragaman hayati, khususnya pohon, adalah melindungi sebanyak-banyaknya spesies pohon, terutama yang terancam punah agar tidak punah. Kegiatan tersebut bersifat strategis karena ancaman terhadap kepunahan berbagai spesies pohon semakin meningkat. Ruang terbuka hijau dapat ditingkatkan perannya bagi konservasi keanekaragaman jenis pohon dengan menggunakannya sebagai arboretum atau kebun koleksi yang juga dapat berfungsi sebagai bank biji (benih) spesies bernilai konservasi tinggi. Untuk itu diperlukan suatu metoda atau rumusan yang dapat digunakan untuk menentukan nilai konservasi suatu komunitas RTH. Pengetahuan tentang nilai tersebut selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan upaya-upaya yang perlu dilakukan bagi peningkatan peran RTH dalam konservasi keanekaragaman jenis pohon.
Peran RTH sebagai penyimpan karbon (carbon sink) juga bersifat strategis
(38)
CO2-nya paling tinggi. Selain dari respirasi manusia, CO2 bersumber dari
berbagai kegiatan yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) sebagai sumber energi, misalnya kendaraan bermotor, industri, pembangkit listrik, dan aktivitas rumah tangga. Pohon merupakan penyimpan karbon yang efektif karena dapat bertahan lama, puluhan bahkan ratusan tahun. Selama pohon masih berdiri hidup maka karbon akan tersimpan dalam jaringan kayu. Karbon tersebut dapat tersimpan dalam bentuk jaringan pada pohon yang bernilai konservasi tinggi. Untuk mengetahui jumlah karbon yang tersimpan dalam pohon atau komunitas di suatu RTH diperlukan metode pengukuran yang bersifat non-destruktif, sehingga jumlah karbon yang tersimpan dapat dimonitor dari waktu ke waktu tanpa harus menebang pohon tersebut. Metoda pendugaan jumlah Rosot karbon pada pohon yang telah digunakan secara luas adalah metoda allometrik (Brown 1997). Secara ringkas, kerangka penelitian nilai konservasi keanekaragaman dan rosot karbon pohon pada ruang terbuka hijau disajikan pada Gambar 2.
3.3 Lingkup dan Batasan Penelitian 3.3.1 Lingkup Penelitian
Wilayah penelitian ini mencakup wilayah administrasi Kota Bandar Lampung dengan luas wilayah 19.215 ha. Objek penelitian ini adalah ruang terbuka hijau (RTH) yang terdapat di seluruh wilayah kota. Ruang terbuka hijau tersebut
dikelompokkan menjadi dua, yaitu berbentuk area (pith/district) yang terdiri atas
taman kota, hutan kota, dan perbukitan dan berbentuk jalur (corridor) yang terdiri atas jalur hijau jalan, sempadan sungai, sempadan pantai (Gambar 3). Data
lengkap RTH di Kota Bandar Lampung disajikan pada Lampiran 1.
3.3.2 Batasan Penelitian
1) Pengertian konservasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian
yang sempit, yaitu perlindungan spesies pohon di luar habitat aslinya (
ek-situ), dalam hal ini di areal RTH, untuk menjaga kelestarian spesies tersebut.
2) Keanekaragaman jenis pohon yang terdapat dalam RTH diukur dengan menggunakan nilai indeks keanekaragaman yang meliputi Indeks Kekayaan
Jenis (Species Richness), Indeks Keanekaragaman (Diversity Indices =
(39)
Gambar 2 Kerangka penelitian konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpanan karbon pada ruang terbuka hijau kota.
3) Nilai RTH dalam penyimpanan karbon diukur dengan menggunakan jumlah Rosot karbon dalam pohon penyusun RTH. Untuk menentukan nilai peran RTH dalam penyimpanan karbon jumlah Rosot karbon dibandingkan dengan jumlah potensial karbon yang dapat disimpan.
4) Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi vegetasi tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budidaya. Dalam penelitian ini RTH mencakup areal yang oleh Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai RTH, areal yang ditetapkan sebagai hutan kota, sempadan jalan, sempadan sungai, dan sempadan pantai.
Ruang Terbuka Hijau
Analisis Vegetasi RTH
Analisis Jumlah Rosot karbon
Penentuan Metoda Penilaian Konservasi
Komunitas
Analisis Indeks Konservasi (IK)
Analisis Keanekaragaman Area
Nilai Konservasi Parameter
Keanekaragaman Jumlah Rosot
karbon
Nilai Konservasi Keanekaragaman Jenis dan Rosot Karbon Pohon Ruang Terbuka Hijau Kota
Jalur
(40)
Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel RTH.
5) Hutan Kota adalah areal RTH di wilayah kota Bandar Lampung yang vegetasinya didominasi oleh pohon dan atau arealnya ditetapkan peruntukannya untuk hutan kota oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk peraturan daerah.
6) Konservasi keanekaragaman jenis pohon adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah punahnya suatu jenis pohon atau mengusahakan agar suatu jenis pohon tidak punah sehingga keanekaragaman jenis pohon dapat dipertahankan.
7) Jumlah Rosot karbon dibatasi pada tumbuhan yang hidup dan berada di
permukaan tanah (above ground), tidak mencakup bahan organik mati
(serasah) maupun karbon yang terdapat dalam organisme dan bahan organik di dalam tanah.
8) Marga tunggal adalah marga yang di wilayah penelitian dalam satu familinya
hanya ditemui satu marga, sedangkan spesies tunggal adalah spesies di
Sumber:
Peta Rencana Kawasan Lindung, Pemda Kota Bandar Lampung 2003
G. Sukajawa G. Kucing
Bkt. Langgar Bkt. Kelutum HK. Way Halim
Peta Penyebaran RTH Hutan Kota, Bukit dan Lereng di Kota Bandar
Lampung
Pantai Panjang Pantai Lempasing
Jl. Soekarno-Hatta Jl.Sultan Agung
Jl. Gatot Subroto
Jl. Teuku Cikditiro
Jl. Laks. Malahayati Jl. Radin Intan
Jl. M. Noer
(1)
Gmelina arborea VERBENACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Gnetum gnemon GNETACEAE 1 1 2 1 0,00 0,00 0,69 0,00 0,69
Hevea brasiliensis EUPHORBIACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Hibiscus tiliaceus MALVACEAE 1 1 1,5 2 0,00 0,00 0,41 0,69 0,69
Jatropha gossyfolia EUPHORBIACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Lagerstroemia speciosa LYTHRACEAE 1 1 2 1 0,00 0,00 0,69 0,00 0,69
Leucaena leucocephala FABACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Mangifera indica ANACARDIACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Melia azedarach MELIACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Morinda citrifolia RUTACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Nephelium lapaceum SAPINDACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Palm PALMAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Paracerianthes falcataria MIMOSACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Parkia speciosa FABACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Persea americana LAURACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Pterocarpus indicus LEGUMINOSAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Pterospermum javanicum STERCULIACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Roystone regia ARECACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Spondias pinnata ANACARDIACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Tamarindus indica FABACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Tectona grandis VERBENACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Terminalia cattapa COMBRETACEAE 1 1 2 2 0,00 0,00 0,69 0,69 0,69 0,00 1,39 13,08 3,47 27,03
27,03 27,03 27,03 27,03
NR 0,00 0,05 0,48 0,13
Bobot 0,3 0,3 0,2 0,2
NRxBobot 0 0,02 0,10 0,03
IK 0,03
Jalur Hijau Pantai
Lempasing
Nama Ilmiah Famili End Sts Sft Klr LNEnd LNSts LNSft LNKlr LN2
Acacia auriculiformis FABACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Acacia mangium FABACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Casia siamea FABACEAE 1 1 2 2 0,00 0,00 0,69 0,69 0,69
Ficus benjamina MORACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Hibiscus tiliaceus MALVACEAE 1 1 1,5 2 0,00 0,00 0,41 0,69 0,69
Leucaena leucocephala FABACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Paracerianthes falcataria MIMOSACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Roystone regia ARECACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Terminalia cattapa COMBRETACEAE 1 1 2 2 0,00 0,00 0,69 0,69 0,69
Toona sureni MELIACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i 0,00 0,00 3,01 2,08 6,93
NLN2 6,93 6,93 6,93 6,93
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 0,00 0,00 0,43 0,30
Bobot 0,3 0,3 0,2 0,2
NR x Bobot 0 0 0,087 0,06
(2)
Panjang
Nama Ilmiah Famili End Sts Sft Klr LNEnd LNSts LNSft LNKlr LN2
Acacia auriculiformis FABACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Casuarina equisetifolia CASUARINACEAE 1 1 1 2 0,00 0,00 0,00 0,69 0,69
Cocos nucifera PALMAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Hibiscus tiliaceus MALVACEAE 1 1 1,5 2 0,00 0,00 0,41 0,69 0,69
Leucaena leucocephala FABACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Terminalia cattapa COMBRETACEAE 1 1 2 2 0,00 0,00 0,69 0,69 0,69
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i 0,00 0,00 1,50 2,08 4,16
NLN2 4,16 4,16 4,16 4,16
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 0,00 0,00 0,36 0,50
Bobot 0,3 0,3 0,2 0,2
NR x Bobot 0 0 0,072 0,1
IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4 0,04
Total (Jalur Hijau Pantai)
Nama Ilmiah Famili End Sts Sft Klr LNEnd LNSts LNSft LNKlr LN2
Acacia auriculiformis FABACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Acacia mangium FABACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Casia siamea FABACEAE 1 1 2 2 0,00 0,00 0,69 0,69 0,69
Casuarina equisetifolia CASUARINACEAE 1 1 1 2 0,00 0,00 0,00 0,69 0,69
Cocos nucifera PALMAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Ficus benjamina MORACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Hibiscus tiliaceus MALVACEAE 1 1 1,5 2 0,00 0,00 0,41 0,69 0,69
Leucaena leucocephala FABACEAE 1 1 1 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69
Paracerianthes falcataria MIMOSACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Roystone regia ARECACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Terminalia cattapa COMBRETACEAE 1 1 2 2 0,00 0,00 0,69 0,69 0,69
Toona sureni MELIACEAE 1 1 1,5 1 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i 0,00 0,00 3,41 2,77 8,32
NLN2 8,32 8,32 8,32 8,32
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 0,00 0,00 0,41 0,33
Bobot 0,3 0,3 0,2 0,2
NR x Bobot 0 0 0,082 0,067
(3)
Indeks Nilai Penting dan Jumlah Karbon Tersimpan pada Masing-masing Spesies
Pohon di Hutan Kota
Jumlah Karbon
Tersimpan (ton/ha)
Spesies Nama
Lokal
KR
FR
DR
INP
Seluruh
Pohon
Rata-rata per
pohon
Delonix regia
Flamboyan 1,65
1,54
14,92
18,11
125,444
15,681
Tectona grandis
Jati 18,56
6,15
12,83
37,54
107,858
1,198
Gnetum gnemon
Tangkil 14,64
6,15
9,29
30,08
78,064
1,099
Albizia procera
Weru 2,89
3,08
8,53
14,50
71,730
5,124
Sesbania grandiflora
Turi 5,15
1,54
7,77
14,47
65,344
2,614
Leucaena leucocephala
Lamtorogung 2,47
3,08
6,95
12,50
58,425
4,869
Arthocarpus integra
Nangka 5,15
4,62
6,60
16,37
55,468
2,219
Casia siamea
Johar 8,66
4,62
5,56
18,84
46,767
1,113
Acacia auriculiformis
Akasia 3,30
3,08
2,78
9,15
23,360
1,460
Ceiba pentandra
Kapuk Randu
1,03
3,08
2,77
6,88
23,282
4,656
Mangifera indica
Mangga 1,44
4,62
2,56
8,61
21,486
3,069
Durio zibethinus
Durian 1,44
3,08
2,53
7,05
21,300
3,043
Lansium domesticum
Duku 0,62
1,54
2,32
4,48
19,522
6,507
Spathodea campanulata
Tulip 0,82
1,54
2,07
4,43
17,383
4,346
Ficus septica
Kiciat 5,77
4,62
1,70
12,09
14,279
0,510
Swietenia macrophylla
Mahoni 1,03
1,54
1,56
4,13
13,094
2,619
Lagerstroemia speciosa
Bungur 2,68
1,54
1,42
5,64
11,937
0,918
Peronema canescens
Sungkai 0,21
1,54
1,26
3,01 10,623
10,623
Parkia speciosa
Petai 0,82
6,15
1,25
8,23
10,521
2,630
Eugenia aromatica
Cengkeh 2,06
6,15
1,18
9,40
9,939
0,994
Erythrina variegata
Dadap 4,74
3,08
1,07
8,88
8,955
0,389
Acacia mangium
Mangium 0,82
3,08
0,82
4,72
6,859
1,715
Leucaena glauca
Petai Cina
0,21
1,54
0,67
2,41
5,625
5,625
Aleurites moluccana
Kemiri 3,92
3,08
0,61
7,61
5,155
0,271
Jatropha gossyfolia
Jarak 0,62
1,54
0,39
2,54
3,248
1,083
Persea americana
Alpukat 1,03
4,62
0,35
6,00
2,984
0,597
Pterospermum javanicum
Bayur 5,77
1,54
0,07
7,38
0,614
0,022
Psidium guajava
Jambu Biji
1,24
3,08
0,05
4,37 0,429
0,071
Eugenia aquaea
Jambu Air
0,21
1,54
0,03
1,78
0,272
0,272
Anacardium occidentale
Jambu Mete
0,21
1,54
0,02
1,77
0,195
0,195
Dalbergia latifolia
Sonokeling 0,21
1,54
0,02
1,76 0,167
0,167
Annona squamosa
Srikaya 0,21
1,54
0,01
1,76
0,120
0,120
Aegle marmelos
Maja 0,21
1,54
0,01
1,76
0,106
0,106
Paraseriantes falcataria
Sengon 0,21
1,54
0,01
1,75
0,068
0,068
(4)
Indeks Nilai Penting dan Jumlah Karbon Tersimpan pada Masing-masing Spesies
Pohon di Jalur Hijau Jalan
Jumlah Karbon Tersimpan
(ton/ha)
Nama Ilmiah Nama Daerah KR FR DR INP
Seluruh Pohon
Rata-rata per pohon
Pterocarpus indicus Angsana 18,96 7,00 24,04 49,99 173,803 24,829
Roystone regia Palm raja 5,47 3,00 22,42 30,89 162,084 23,155
Delonix regia Flamboyan 1,87 1,00 20,37 23,24 147,323 21,046
Acacia auriculiformis Akasia 6,01 5,00 4,94 15,95 35,754 5,108
Leucaena leucocphala Lamtorogung 7,34 5,00 4,79 17,13 34,612 4,945
Swietenia macrophylla Mahoni besar 8,68 6,00 3,52 18,20 25,462 3,637
Spondias pinnata Kedondong 3,60 2,00 3,13 8,73 22,611 3,230
Dalbergia latifolia Sonokeling 6,81 3,00 2,68 12,49 19,405 2,772
Tectona grandis Jati 4,94 5,00 2,53 12,47 18,267 2,610
Jatropha gossyfolia Jarak cina 1,87 4,00 1,58 7,45 11,437 1,634
Paraserianthes falcataria Sengon putih 1,87 2,00 1,41 5,28 10,206 1,458
Palm Palm 1,07 2,00 1,11 4,18 8,032 1,147
Cocos nucifera Kelapa 1,34 2,00 0,78 4,12 5,674 0,811
Acacia mangium Akasia mangium 1,34 4,00 0,75 6,08 5,415 0,774
Enterolobium cylocarpum Sengon buto 0,93 2,00 0,72 3,66 5,231 0,747
Durio zibethinus Durian 0,27 1,00 0,72 1,98 5,184 0,741
Arthocarpus integra Nangka 1,74 1,00 0,68 3,42 4,943 0,706
Ficus benjamina Beringin 0,40 2,00 0,53 2,93 3,837 0,548
Mangifera spp Mangga 0,93 4,00 0,48 5,41 3,470 0,496
Ceiba pentandra Kapuk randu 0,53 1,00 0,43 1,97 3,123 0,446
Lagerstroemia speciosa Bungur 1,87 4,00 0,35 6,22 2,541 0,363
Pterospermum javanicum Bayur 5,34 3,00 0,32 8,66 2,316 0,331
Bauhinia purpurea Kupu-kupu 2,27 2,00 0,30 4,57 2,202 0,315
Eugenia aquea Jambu air 0,40 2,00 0,21 2,61 1,549 0,221
Arthocarpus heterophillus Sukun 0,53 1,00 0,17 1,70 1,223 0,175
Psidium guajava Jambu biji 0,93 2,00 0,16 3,09 1,149 0,164
Perkia speciosa Petai 0,53 3,00 0,12 3,65 0,851 0,122
Nephelium lapaceum Rambutan 0,13 1,00 0,12 1,25 0,841 0,120
Hevea brasiliensis Karet 0,40 1,00 0,11 1,51 0,789 0,113
Terminalia cattapa Ketapang 0,13 1,00 0,10 1,23 0,704 0,101
Casuarina sumatrana Cemara 1,74 2,00 0,08 3,81 0,546 0,078
Intsia bijuga Merbau 2,94 1,00 0,06 4,00 0,452 0,065
Mimusop elengi Tanjung 0,80 1,00 0,06 1,86 0,418 0,060
Tamarindus indica Asam 0,27 1,00 0,05 1,32 0,384 0,055
Gnetum gnemon Tangkil 0,40 1,00 0,03 1,44 0,252 0,036
Gmelina arborea Wareng 0,13 1,00 0,03 1,16 0,188 0,027
Theobroma cacao Cokelat 0,53 2,00 0,02 2,55 0,151 0,022
Casia siamea Johar 1,74 2,00 0,02 3,76 0,143 0,020
Toona sureni Suren 1,07 1,00 0,02 2,09 0,125 0,018
Persea americana Alpukat 0,13 1,00 0,02 1,15 0,125 0,018
Leucaena glauca Petai cina 0,40 1,00 0,01 1,41 0,088 0,013
Morinda citrifolia Mengkudu 0,40 1,00 0,01 1,41 0,082 0,012
Areca catechu Pinang 0,80 2,00 0,01 2,81 0,073 0,010
Eugenia aromatica Cengkeh 0,13 1,00 0,00 1,14 0,031 0,004 100,00 100,00 100,00 300,00 723,097 103,300
(5)
Indeks Nilai Penting dan Jumlah Karbon Tersimpan pada Masing-masing Spesies
Pohon di Jalur Hijau Sungai
Jumlah Karbon Tersimpan (ton/ha)
Nama Ilmiah Nama Daerah KR FR DR INP
Seluruh Pohon
Rata-rata per pohon
Cocos nucifera Kelapa 31,94 4,71 41,28 77,93 265,819 1,651
Ceiba pentandra Randu 0,60 2,35 15,23 18,18 98,047 32,682
Gnetum gnemon Tangkil 8,93 3,53 11,70 24,16 75,348 1,674
Spondias pinnata Kedondong 6,15 3,53 5,68 15,36 36,585 1,180
Jatropha gossyfolia Jarak cina 0,60 2,35 5,51 8,46 35,462 11,821
Mangifera indica Mangga 5,75 4,71 4,02 14,48 25,865 0,892
Arenga pinnata Enau 1,59 3,53 2,08 7,19 13,371 1,671
Pterocarpus indicus Angsana 3,17 3,53 1,85 8,56 11,927 0,745
Areca catuchu Pinang 1,79 2,35 1,79 5,93 11,540 1,282
Arthocarpus integra Nangka 3,97 4,71 1,57 10,24 10,083 0,504
Terminalia cattapa Ketapang 2,58 4,71 1,11 8,40 7,158 0,551
Hibiscus tiliaceus Waru laut 7,74 4,71 1,10 13,55 7,091 0,182
Roystone regia Palm botol 3,37 2,35 0,85 6,57 5,441 0,320
Acacia auriculiformis Akasia 0,99 3,53 0,84 5,36 5,405 1,081
Eugenia aromatica Cengkeh 1,59 2,35 0,80 4,74 5,166 0,646
Lagerstroemia speciosa Bungur 1,39 4,71 0,72 6,82 4,658 0,665
Hevea brasiliensis Karet 2,78 3,53 0,63 6,94 4,056 0,290
Gmelina arborea Wareng 0,40 1,18 0,60 2,17 3,853 1,926
Eugenia aquea Jambu air 0,99 3,53 0,41 4,93 2,623 0,525
Arthocarpus heterophillus Sukun 3,37 4,71 0,39 8,47 2,516 0,148
Durio zibethinus Durian 0,40 1,18 0,28 1,85 1,786 0,893
Persea americana Alpukat 0,79 2,35 0,22 3,37 1,420 0,355
Morinda citrifolia Mengkudu 0,60 3,53 0,22 4,34 1,397 0,466
Bauhinia purpurea Kupu-kupu 2,18 1,18 0,17 3,53 1,114 0,101
Leucaena leucocephala Lamtorogung 1,59 3,53 0,13 5,25 0,855 0,107
Annona muricata Sirsak 0,79 2,35 0,13 3,27 0,818 0,204
Tectona grandis Jati 0,79 2,35 0,13 3,27 0,816 0,204
Nephelium lapaceum Rambutan 0,20 1,18 0,11 1,49 0,738 0,738
Perkia speciosa Petai 0,79 1,18 0,11 2,08 0,687 0,172
Ficus benjamina Beringin 0,20 1,18 0,09 1,46 0,569 0,569
Tamarindus indica Asam 0,40 2,35 0,07 2,82 0,444 0,222
Aegle marmelos Maja 0,20 1,18 0,05 1,43 0,349 0,349
Paracerianthes falcataria Sengon 0,40 1,18 0,05 1,63 0,348 0,174
Casia siamea Johar 0,40 1,18 0,05 1,62 0,310 0,155
Melia azedarach Mindi 0,20 1,18 0,02 1,39 0,111 0,111
Annona squamosa Srikaya 0,20 1,18 0,01 1,38 0,061 0,061
Averhoa bilimbi Belimbing 0,20 1,18 0,01 1,38 0,047 0,047
(6)
Indeks Nilai Penting dan Jumlah Karbon Tersimpan pada Masing-masing Spesies
Pohon di Jalur Hijau Pantai
Jumlah Karbon Tersimpan (ton/ha)
Nama Ilmiah Nama Daerah KR FR DR INP
Seluruh Pohon
Rata-rata per pohon
Cocos nucifera Kelapa 5,29 6,25 48,22 59,76 55,864 27,932
Acacia auriculiformis Akasia 7,41 12,50 16,05 35,95 18,591 9,295
Terminalia cattapa Ketapang 14,81 12,50 13,25 40,56 15,346 7,673
Hibiscus tiliaceus Waru laut 12,70 12,50 9,34 34,54 10,826 5,413
Leucaena leucocephalla Lamtorogung 11,64 12,50 6,15 30,29 7,128 3,564
Acacia mangium Akasia mangium 16,93 6,25 2,59 25,78 3,006 1,503
Casia siamea Johar 16,93 6,25 1,32 24,50 1,526 0,763
Toona sureni Suren 4,76 6,25 1,27 12,28 1,469 0,734
Casuarina equisetifolia Cemara laut 2,65 6,25 1,25 10,14 1,444 0,722
Paracerianthes falcataria Sengon 4,76 6,25 0,24 11,25 0,278 0,139
Ficus benjamina Beringin 1,06 6,25 0,21 7,52 0,243 0,121
Roystone regia Palm botol 1,06 6,25 0,12 7,43 0,137 0,068