1
I
. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai salah satu negara yang memiliki hutan tropika terluas di dunia, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk tumbuhan
berhabitus pohon. Berkaitan dengan distribusi pusat keanekaragaman tumbuhan, dari 12 pusat keanekaragaman tumbuhan Pusat Vavilov, salah satunya adalah
Pusat Indo-Melayu dengan Indonesia sebagai unsur terbesar KLH dan KONPHALINDO 1994. Walaupun wilayah Indonesia hanya mencakup 1,3 dari
wilayah daratan dunia, tetapi memiliki 17 dari jumlah spesies tumbuhan yang terdapat di seluruh dunia. Indonesia memiliki lebih dari 400 spesies
Dipterocarpaceae jenis kayu yang bernilai paling tinggi di Asia Tenggara, dan diperkirakan terdapat sekitar 25.000 spesies tumbuhan berbunga BAPPENAS
1993. Akan tetapi, tekanan antropogenik yang meliputi pertumbuhan penduduk, pencemaran udara, perubahan iklim, modifikasi habitat, dan fragmentasi
ekosistem akibat pembukaan lahan terus menekan kehidupan dan keberadaan spesies sehingga keanekaragaman hayati semakin menurun.
Untuk mencegah atau mengurangi laju penurunan keanekaragaman hayati, berbagai upaya konservasi telah dilakukan, antara lain melalui perlindungan
spesies dan ekosistem. Secara kuantitatif, upaya Indonesia dalam melakukan konservasi sumberdaya hayati telah nyata, khususnya konservasi in-situ.
Sampai dengan tahun 2000 Indonesia telah menetapkan 385 unit kawasan dilindungi protected area yang mencakup 22.560.545 ha Setiawan dan
Alikodra 2001. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan Suhirman 1999, perlindungan in-situ saja tidak cukup, diperlukan upaya-upaya konservasi ex-situ
yang mengarah pada pemahaman dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati tersebut bagi kesejahteraan umat manusia secara langsung. Salah satu lahan
yang potensial untuk areal konservasi ex-situ adalah ruang terbuka hijau RTH. Apabila lahan RTH ini dapat digunakan sebagai sarana konservasi ex-situ, maka
diharapkan bahwa RTH kota tersebut tidak hanya hijau tetapi juga bernilai konservasi. Mengingat ketersediaan ruang terbuka hijau makin terbatas, maka
penggunaannya untuk konservasi keanekaragaman jenis pohon harus dilakukan secara efektif dan efisien, yaitu dengan memelihara dan mengembangkan
spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi. Untuk itu diperlukan
2 suatu cara penilaian yang dapat menentukan tinggi rendahnya nilai konservasi
suatu spesies atau komunitas. Ruang terbuka hijau RTH kota adalah ruang-ruang dalam kota, baik
dalam bentuk area pitch atau kawasan maupun dalam bentuk memanjang atau jalur corridor yang pada dasarnya tanpa bangunan, serta bersifat pengisian
hijau tanaman atau tumbuhan, baik secara alamiah maupun budidayabinaan Depdagri 1988. Ruang terbuka hijau sebagai komunitas tumbuhan merupakan
salah satu bentuk penyimpan sumberdaya hayati yang potensial sebagai areal konservasi keanekaragaman hayati, khususnya pelestarian keanekaragaman
spesies pohon. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, konversi lahan untuk berbagai
kepentingan, industri, dan penggunaan energi juga semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan emisi gas CO
2
ke udara semakin meningkat. Aktivitas manusia yang menyebabkan emisi gas CO
2
ke udara meliputi pambakaran bahan bakar fosil dan material karbon lainnya, fermentasi senyawa organik
seperti gula dan pernapasan manusia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup MoE 1999 dalam tahun 1994 emisi gas CO
2
ke udara akibat kegiatan industri mencapai 19.120 Gg 19.120.000 ton, penggunaan energi 373.608 Gg
373.608.000 ton, dan alih guna lahan 559.471 Gg 559.471.000 ton. Data tersebut menunjukkan bahwa alih fungsi lahan memberikan kontribusi terbesar
dalam memberikan emisi CO
2
ke udara. Menjadikan dan mempertahankan RTH dalam bentuk vegetasi hutan akan memberikan kontribusi terhadap pengurangan
kandungan CO
2
di udara dengan menyerap CO
2
dari udara dan menyimpannya sebagai karbon dalam jaringan tumbuhan. Dengan demikian diharapkan RTH
kota tidak hanya hijau, tetapi memiliki keanekaragaman jenis pohon tinggi, bernilai konservasi dan berfungsi sebagai rosot karbon.
Menurut Odum 1993, eksistem perkotaan dapat dibagi menjadi empat ruang compartment secara berimbang, yaitu ruang sistem produktif, ruang
sistem perlindungan, ruang sistem serbaguna, dan ruang sistem industri perkotaan. Untuk mengimplementasikan konsep ruang tersebut diperlukan
prosedur zonasi lansekap dan pembatasan penggunaan sebagai lahan. Dalam konsep tersebut, ruang terbuka hijau merupakan ruang sistem perlindungan.
Sampai dengan tahun 2004 Kota Bandar Lampung mengalokasikan ruang terbuka hijau yang relatif luas, yaitu 12.615 ha atau 64,91 dari luas wilayah
Kota Bandar Lampung Pemerintah Kotamadya Dati II Bandar Lampung 1997.
3 Akan tetapi, Aji 2000 menyatakan bahwa pertumbuhan Kota Bandar Lampung
telah menyebabkan terjadinya konversi RTH yang mengancam kelestariannya. Selain itu, dari 12.615 ha lahan yang dialokasikan sebagai RTH, 79,21 di
antaranya berupa pekarangan, sawah, kebun, ladang, dan lahan milik lain yang sewaktu-waktu dapat dikonversi oleh pemiliknya untuk penggunaan lain.
Akibatnya keanekaragaman jenis pohon dan jumlah rosot karbon di perkotaan akan semakin menurun. Di sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan perkotaan
menyebabkan emisi gas CO
2
ke udara semakin meningkat sehingga peran ruang terbuka hijau sebagai rosot karbon semakin diperlukan.
1.2 Tujuan