Implementasi Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah Terhadap Investasi

2.1.3. Implementasi Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah Terhadap Investasi

Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha bagi para investor dilakukan oleh pemerintah pusat BKPM dan pemerintah daerah BKPMD. Setelah diberlakukannya otonomi daerah, timbul masalah baru yaitu terjadinya tumpang tindih dan tarik menarik antara kegiatan BKPMD Provinsi dengan BKPM serta instansi terkait di daerah yang menangani penanaman modal. Selain itu, masih adanya kendala yang dihadapi oleh investor dalam proses pengurusan izin usaha atas kegiatan investasi yang dilakukan di daerah. Setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal seperti yang tertulis pada Pasal 11 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Pasal 13 dan 14 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Namun, isi dari Pasal 11 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Pasal 13 dan 14 UU No.32 Tahun 2004 tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut secara teknis tentang kewenangan pemerintah daerah dalam bidang penanaman modal. Sehingga pada pelaksanaannya penanaman modal daerah seringkali menimbulkan kendala yang dikeluhkan oleh para investor, yaitu tidak efisiennya pengurusan perizinan usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang rumit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar. Berdasarkan hasil studi LPEM Construction of Regional Index of Doing Business CoRIDB masalah-masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di daerah adalah masalah birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang baru dikeluarkan serta perubahan peraturan pemerintah daerah. Kendala nasional yang cukup signifikan adalah kondisi keamanan, sosial dan politik di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti otonomi daerah akan mempersulit ijin usaha, melainkan para pengusaha lebih mengkhawatirkan akan adanya pajak atau retribusi baru yang diterapkan oleh masing-masing pemerintah daerah sehubungan dengan kewenangan dalam bidang penanaman modal yang diberikan ke suatu daerah Nurridzki, 2004. Sebagai upaya mengatasi masalah tersebut di atas, pada tanggal 12 April 2004 Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 mengenai penyelenggaraan penanaman modal PMA dan PMDN melalui sistem pelayanan satu atap. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan, fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan satu atap ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kotamadya berdasarkan wewenang yang dilimpahkan oleh GubernurBupatiWalikota kepada BKPM. Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi lainnya, termasuk dengan Pemerintah Kabupaten, Kota serta Provinsi yang membina bidang penanaman modal. Keppres No. 29 Tahun 2004 tersebut dikeluarkan dengan tujuan untuk menjamin kepastian investor dalam melakukan investasi di Indonesia. Sistem pelayanan satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan dunia usaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, cepat dan tepat. Sehingga dengan didukung oleh kondisi ekonomi makro yang membaik saat ini, adanya Keppres No. 29 Tahun 2004 diharapkan dapat menarik dan mempercepat masuknya investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

2.2. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Malandow 2001 dalam skripsinya yang berjudul “ Investasi Publik Untuk Infrastruktur Terhadap Perilaku Investasi di Tingkat Regional”, disimpulkan bahwa pengeluaran pembangunan pemerintah yang berasal dari APBD I memiliki pengaruh bagi investasi swasta. Pengaruh tersebut terdiri dari dua hal. Pertama, pemerintah masih mempunyai variabel kebijakan untuk membantu perkembangan daerah dan variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap investasi swasta. Kedua adalah kemungkinan besar pengeluaran pembangunan diatur oleh pemerintah daerah itu sendiri melalui APBD, khususnya untuk pembangunan jalan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan investasi swasta. Selain itu, variabel yang menggambarkan aktivitas masyarakat swasta memiliki pengaruh langsung yang besar terhadap investasi swasta. Penelitian yang dilakukan oleh Saad 2002 menganalisis perkembangan investasi swasta di sub sektor industri makanan. Dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa investasi industri makanan di Indonesia memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Pengembangan investasi swasta pada sub sektor industri makanan juga memberikan sumbangan pada pengembangan wilayah dan perolehan devisa.