Perumusan masalah Tujuan penulisan Keaslian Penulisan Metode Penulisan

langsung membatasi transaksi tunai, tetapi dalam ketentuannya memberikan batasan uang yang boleh digunakan dalam transaksi tunai. Di samping itu Presiden Soekarno dan Menteri Keuangan ad interim Mohammad Hatta pada 30 Oktober 1948 menetapkan UU No 32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank. Dengan adanya pembatasan transaksi tunai, dimana setiap transaksi dalam jumlah besar harus melalui lembaga keuangan, diharapkan semua transaksi akan tercatat dalam pembukuan. Pembatasan ini termasuk juga didalamnya transaksi yang menggunakan e-money, baik berupa kartu debit maupun kredit. Selain memberikan dampak atau pengaruh pada pemberantasan praktik korupsi dan pencucian uang dengan signifikan,adanya pembatasan transaksi tunai juga diarahkan untuk mewujudkan cita-cita menuju masyarakat non-tunai atau less- cash society dan juga efisiensi sistem pembayaran. Hal ini diharapkan dapat mengurangi budaya menggunakan uang tunai dalam kegiatan ekonomi di masa mendatang. 11 Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut mengenai upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencu cian uang, sehingga penulis mengangkat judul “Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.”

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah : 11 Ibid. 1. Apa yang menjadi urgensi pembatasan transaksi tunai di Indonesia ? 2. Bagaimana pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang ?

C. Tujuan penulisan

Adapun tujuan utama penulisan ini adalah untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana hukum. Namun berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan lain yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui urgensi pembatasan transaksi tunai di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

D. Manfaat penulisan

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi perkembangan ilmu pengetahuan,khususnya ilmu hukum.

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

bagi pembaca dan penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka skripsi yang berjudul “Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang” belum pernah diajukan. Oleh karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat di pertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan 1.

Pengertian transaksi tunai. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ialah Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas danatau uang logam. 12 Transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan tunai merupakan transaksi keuangan secara tunai yang dilakukan oleh nasabah atau pengguna jasa keuangan dengan Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi. 13 Transaksi keuangan tunai yang wajib dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan kepada PPATK adalah transaksi yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 14 1. Merupakan penarikanpenerimaan atau penyetoranpembayaran dengan menggunakan uang tunai uang kertas dan atau uang logam; 2. Dalam jumlah kumulatif Rp.500.000.000,00 lima ratus juta rupiah atau lebih atau dalam mata uang asing nilainya setara dan: 3. Dilakukan dalam satu kali atau beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja pada satu atau beberapa kantor dari satu Penyedia Jasa Keuangan. 12 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 13 Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, Pedoman Laporan Transaksi Keuangan Tunai dan Tata Cara Pelaporanya Bagi Penyedia Jasa Keuangan, Jakarta:PPATK,2004hlm.3. 14 Ibid , hlm. 5. Berikut adalah beberapa contoh transaksi keuangan tunai yang wajib dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan, adalah sebagai berikut : a. Seorang nasabah pemegang rekening dalam 1satu hari kerja melakukan satu atau beberapa kali transaksi penarikan tunai dari rekeningnya dengan nilai kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah atau lebih pada satu kantor Penyedia Jasa Keuangan yang sama atau di beberapa kantor dari Penyedia Jasa Keuangan yang sama. b. Seorang nasabah pemegang rekening dalam 1satu hari kerja melakukan satu atau beberapa kali transaksi penyetoran tunai dengan nilai kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah atau lebih pada satu kantor Penyedia Jasa Keuangan yang sama atau di beberapa kantor dari Penyedia Jasa Keuangan yang sama ke rekeningnya atau kerekening orang lain. c. Seorang walk-in customer menggunakanmemanfaatkan jasa Penyedia Jasa Keuangan dengan melakukan transaksi yang menggunakan uang tunai sebesar Rp.500.000.000,00 lima ratus juta rupiah atau lebih dalam 1 hari kerja. d. Seorang walk-in customer melakukan pengiriman uang remittance kepada penerima dengan melakukan penyetoran tunai sebesar Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah atau lebih dalam 1 hari kerja. e. Seorang walk-in customer menerima transfer dana atau kiriman uang dari pihak lain dan menariknya secara tunai sebesar Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah atau lebih dalam 1 hari kerja.

2. Pengertian Pembatasan Transaksi Tunai.

Pembatasan Transaksi Tunai adalah suatu mekanisme atau sistem untuk membatasi transaksi dengan uang tunai, dimana semua transaksi diatas batas yang ditentukan harus dilakukan melalui sistem perbankan. Misalnya transaksi tunai dibatasi Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah atau Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah dalam 1 satu hari, dimana transaksi diatas batas tersebut, harus dilakukan melalui sistem perbankan. Sebenarnya makin kecil pembatasan transaksi tunai itu semakin baik, namun karena mempertimbangkan kesiapan masyarakat dan perbankan, maka pembatasan transaksi tunai maksimal Rp. 100.000.000,- dan dapat diperkecil secara bertahap sesuai dengan kesiapan masyarakat dan perbankan di Indonesia. 15 Peraturan mengenai batas transaksi keuangan tunai yang dapat dilakukan dalam satu kali transaksi, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang terdapat didalam pasal 23 UU Nomor 8 Tahun 2010 yang menyatakan , Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp. 500.000.00,00 lima ratus juta rupiah atau dengan mata uang asing yang nilainya setara,yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi,dan transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. Transaksi yang perlu dilakukan pembatasan adalah yang berkaitan dengan transaksi: Transfer dana yang sumbernya dari setoran tunai, setoran tunai untuk 15 “Pembatasan Transaksi Tunai Solusi Pemberantasan Korupsi dan Pencucian Uang Lainnya” http:ekonomi.kompasiana.commoneter20110730pembatasan-transaksi-tunai-solusi- pemberantasan-korupsi-dan-pencucian-uang-lainnya , di akses pada 3 Desember 2014. pihak ketiga, transaksi untuk non nasabah dengan tarikan tunai, dan transaksi transfer debet cek. 16 Pada dasarnya transaksi keuangan mencurigakan diawali dari transaksi antara lain: 17 1. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas. 2. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar danatau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran. 3. Aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran. Menurut Yunus Husein, faktor yang mendasari perlunya pembatasan transaksi tunai yaitu : a. Pergeseran kebiasaan transaksi perbankan oleh sebagian masyarakat menjadi transaksi tunai berupa setor tunai dan tarik tunai. b. Trend transaksi tunai semakin meningkat yang antara lain dilakukan dengan maksud untuk meyulitkan upaya pentrasiranpelacakan asal usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana beneficiary. c. Peningkatan trend ini diduga dilakukan dalam rangka melakukan tindak pidana pencucian uang. d. Transaksi secara tunai mempersulit penegak hukum dalam melakukan penelusuran harta kekayaan hasil kejahatan. e. Tidak sejalan dengan tujuan “less cash society” karena dilakukan dalam jumlah besar biasanya diatas Rp. 500.000.000,- lima ratus juta rupiah, 16 Ibid. 17 Penjelasan Pasal 23 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang. kurang aman, mempersulit pelacakan transaksi, serta mengarah kepada “non bank channel”. f. Pengaturan pembatasan transaksi tunai mendorong masyarakat mengoptimalkan penggunaan jasa perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya. g. Selain untuk kebutuhan penegakan hukum, pengaturan mengenai pembatasan transaksi tunai sejalan dengan pengaturan dalam rangka menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dengan penerapan pembatasan transaksi tunai restrictions on cash transactionslimitations on cash transactions atau pembatasan pembayaran tunai restrictions on cash paymentslimitations on cash payments akan mendorong less cash society minimalisasi penggunaan uang tunai atau transaksi non tunai non cash transaction. Dimana dengan penerapan pembatasan transaksi tunai tersebut, seluruh bank dan lembaga keuangan lainnya ikut berperan aktif dalam pencegahan korupsi dan money laundering pencucian uang lainnya, disamping menjalankan fungsi dan tugas utamanya. 18

3. Pengertian tindak pidana korupsi .

Pengertian atau asal kata korupsi menurut Focke Andreae dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus Webster Student Dictionary ; 1960 , yang selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti 18 “Pembatasan Transaksi Tunai Solusi Pemberantasan Korupsi dan Pencucian Uang Lainnya” http:ekonomi.kompasiana.commoneter20110730pembatasan-transaksi- tunai-solusi-pemberantasan-korupsi-dan-pencucian-uang-lainnya , di akses pada 3 Desember 2014. Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie Korruptie , dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. 19 Ensiklopedi Indonesia mengartikan korupsi sebagai gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Secara harfiah, korupsi memiliki arti yang sangat luas, antara lain sebagai berikut: 20 a Korupsi adalah penyelewengan atau pengelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi dan orang lain. b Korupsi adalah busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok melalui kekuasannya untuk kepentingan pribadi. Pengertian tindak pidana korupsi harus merujuk pada undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud atau digolongkan dalam tindak pidana korupsi itu karena pada dasarnya setiap perbuatan baru dapat digolongkan sebagai tindak pidana jika sudah ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu. Dengan demikian undang-undang tersebut haruslah merumuskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana yang bersangkutan. Jika tidak ada defenisi yang tegas dalam undang-undang tersebut maka harus melihat rumusannya dari unsur- unsur yang disebutkan dalam redaksi pasal yang mengatur mengenai suatu tindak pidana. 21 19 Andi Hamzah, ,Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada 2006, hlm 4-6. 20 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika,2005,hlm. 8 21 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 26 Dalam hukum positif anti korupsi khususnya dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi : “Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan aras Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Berdasarkan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, korupsi dirumuskan ke dalam 30 tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : 22 1. Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara; menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara. 2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap,yaitu menyuap pegawai negeri; memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya; pegawai negeri menerima suap; pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya; menyuap hakim; menyuap advokat; hakim dan advokat yang menerima suap; hakim yang menerima suap; advokat yang menerima suap. 3. Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan, yaitu pegawai negeri yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan; pegawai negeri 22 R. Dyatmiko Soemodihardjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati Dinamikanya di Indonesia, Jakarta: Penerbit Prestasi Pustaka Publisher,2008, hlm. 188-190 memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi; pegawai negeri merusakkan bukti; pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti; pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti. 4. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu pegawai negeri memeras; pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain. 5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekanan TNIPOLRI berbuat curang; pengawas rekanan TNIPOLRI membiarkan perbuatan curang; penerima barang TNIPOLRI membiarkan perbuatan curang; pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain. 6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya. 7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain tujuh kelompok jenis tindak pidana korupsi tersebut maka masih ada 7 tujuh tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar; bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; saksi memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; saksi membuka identitas pelapor. Pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ialah berdasarkan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi adalah “setiap orang”, yaitu orang perseorangan ataupun korporasi. Pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 lebih diperluas dibanding dengan pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang mana pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi itu adalah siapa saja atau orang perorangan saja. 23 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan “korporasi” adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yan terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Bentuk dari badan-badan hukum di Indonesia terdiri dari; Perseroan Terbatas PT. Harus kita sadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian Negara dan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasaordinary-crimes melainkan telah menjadi 23 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,2002, hlm. 16. kejahatan luar biasa extra ordinary crimes. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara- cara yang luar biasa. extra-ordinary enforcement. Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crimes, menurut Romli Atmasasmita dikarenakan : 24 1. Masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program Kabinet Gotong Royong adalah penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN. Masalah korupsi pada tingkt dunia diakui merupakan kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang mencengkram seluruh tatanan sosial dan pemerintahan. Centre For International Crime Prevention CICP salah satu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Wina telah secara luas mendefenisikan korupsi ”misuse of public power for private gain”. Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan termasuk tindak pidana suap bribery; penggelapan embezzlement; penipuan freu; pemerasan yang berkaitan dengan jabatan extortion; penyalahgunaan wewenang abuse of discretion ; pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal exploiting a conflict interest, insider trading ; nepotisme nepotism; komisi yang diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis illegal commission; dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik. 24 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2004, hlm. 4-5 2. Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. 3. Kebocoran APBN selama 4 empat Pelita sebesar 30 telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian terbesar rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh. Konsekuensi logis dari keadaan sedemikian maka korupsi telah melemahkan ketahanan sosial bangsa dan Negara Republik Indonesia. 4. Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa. 5. Korupsi di Indonesia bukan lagi Commission of Anti Corruption ICAC, di Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi dalam era perdagangan global dewasa ini adalah merupakan hasil kolaborasi antara sektor publik dan sektor swasta. Dan justru menurut penelitian tersebut pemberantasan korupsi jenis ini merupakan yang tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik. Kita menyaksikan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta. Perkembangan kelima cocok dengan perkembangan di tanah air, karena kebijakan pemerintah dalam pembentukan BUMN BUMD atau penyertaan modal pemerintah kepada sektor swasta, sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia jauh lebih sulit dari Hongkong, Australia dan negara-negara lain. Kemudian penyebab korupsi di Indonesia menurut penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua, berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada 8 delapan penyebab terjadinya korupsi di Indonesia yakni : 25 1. Sistem Penyelenggaraan Negara yang keliru. Sebagai negara yang baru merdeka atau negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi, selama puluhan tahun, mulai dari orde lama,orde baru sampai orde reformasi ini, pembangunan di fokuskan di bidang ekonomi. Padahal setiap negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen dan teknologi konsekuensinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya, menghasilkan penyebab korupsi yang kedua. 2. Kompensasi PNS yang rendah. Wajar saja negara yang baru merdeka tidak memiliki uang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggu kepada pegawainya. Tetapi disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi sehingga secara fisik dan cultural melahirkan pola konsumerisme, sehingga sekitar 90 PNS melakukan KKN. Baik berupa korupsi waktu, melakukan kegiatan pungutan liar maupun mark up kecil-kecilan demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadikeluarga. 3. Pejabat yang serakah Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh system pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Lahirlah sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenag dan jabatannya, melakukan mark up proyek-proyek pembangunan, bahkan berbisnis dengan 25 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs Penyucian Jiwa, Jakarta: Republika, 2006, hlm. 12-15 pengusaha, baik dalam bentuk menjadi komisaris maupun sebagai salah seorang share holder dari perusahaan tersebut. 4. Law Enforcement tidak berjalan. Disebabkan para pejabat serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hamper di seluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga kemasyarakatan karena segala sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan plesetan kata-kaat seperti KUHP Kasih Uang Habis Perkara, dan sebagainya. 5. Hukuman yang ringan terhadap Koruptor Disebabkan law enforcement tidak berjalan dimana aparat penegakan hukum bisa dibayar, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN. 6. Pengawasan yang tidak efektif. Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrument yang disebut internal control yang bersifat in build dalam setiap unit kerja, sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdekteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal control disetiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait ber-KKN. Konon, untuk mengatasinya dibentuklah Irjen dan Bawasda yang bertugas melakukan internal audit. Malangnya, system besar yang disebutkan di butir 1 di atas tidak mengalami perubahan, sehingga Irjen dan Bawasda pun turut bergotong royong dalam menyuburkan KKN. 7. Tidak ada keteladanan pemimpin. Ketika resesi ekonomi 1997, keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari Thailand. Namun , pemimpin di Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan material dari anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relatif singkat, Thailand telah mengalami recovery ekonominya. Di Indonesia, tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan teladan, maka bukan saja perekonomian Negara yang belum recovery bahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin mendekati jurang kehancuran. 8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN. Dalam negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung paternalistik. Dengan demikian, mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari. Mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja, dan lain-lain. Karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat diyakini sebagai perbuatan yang tidak salah. Berdasarkan hal di atas, dibentuklah Institusi yang berwenang memberantas korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, diatur dalam beberapa hukum positif,yaitu : 26 26 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Bandung,CV.Mandar maju,2010,hlm. 98 1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIIMPR2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi, dan nepotisme. Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu: ”Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pida na Korupsi.” 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 43 ayat 1 “Dalam waktu paling lama 2 dua tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. 3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 “Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi”. Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaanya diatur dengan undang-undang.

4. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang.

Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya. Problematika pencucian uang yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan impikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut, terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalu lintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. 27 Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian di ubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. 28 Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 1 angka 1, Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini. Menurut Sarah N. Welling, money laundering dimulai dengan adanya ”uang haram” atau “uang kotor” dirty money. Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, pertama, melalui penggelapan pajak tax evasion, yang dimaksud 27 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang,Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,2008, hlm 1 28 Ibid, hlm 12 dengan ”pengelakan pajak” ialah memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh, kedua, memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum. 29 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefenisikan pencucian uang atau money laundering sebagai: 30 “Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan financial system sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.” Dari beberapa definisi penjelasan mengenai apa yang dimaksud pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yatu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan financial system sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka keuangan itu telah berubah menjadi uang yang sah. 31 Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan 29 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,Likuiditas dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.22. 30 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta:Pustaka Utama, Grafiti, 2007,hlm.5. 31 Adrian sutedi, Op Cit, hlm 15 organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotik, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan. Money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset pendapatankekayaan yang disamarkan sehingga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang legal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal daari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sahlegal. 32 Setidak-tidaknya terdapat tiga alasan mengapa money laundering perlu diberantas dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu : 33 1. Karena pengaruh money laundering pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering, maka sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat. Di samping itu, dana-dana yang relatif besar itu kurang dimanfaatkan secara optimal, misalnya dengan melakukan “sterile investment” dalam bentuk properti atau perhiasan yang mahal. Hal ini terjadi karena uang hasil tindak pidana terutama diinvestasikan pada negara-negara yang dimungkinkan aman untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah. 2. Dengan ditetapkannya money laundering sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparatur penegak hukum untuk menyita hasil pencucian uang yang kadangkala sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau yang sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan cara 32 Ibid 33 Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering Di Indonesia,Bandung: Books TerraceLibrary,2008, hlm, 26-28. menyita hasil pencucian uang ini, maka pelarian uang hasil tindak pidana pencucian uang dapat dicegah. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana sudah berali h orientasinya dari “menindak pelakunya” ke arah menyita ”hasil tindak pidana”. Dibanyak negara dengan menyatakan money laundering sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak hukum untuk mempidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum. 3. Dengan dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini lebih memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini sulit dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada pelaksanaan suatu tindak pidana, tetapi banyak menikmati hasil-hasil tindak pidana tersebut. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi disektor perbankan, dewasa ini banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang disebabkan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikanmenyamarkan asal usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Melalui mekanisme ini maka dana hasil kejahatan bergerak dari suatu negara ke negara lain yang belum mempunyai sistem hukum yang cukup kuat untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank secara sangat ketat. Kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan transnasional, tanpa mengenal batas negara, maka caara penanggulangannya disamping dengan penegakan hukum di tingkat nasional, maka diperlukan juga kerjasma internasional, ini dapat dilihat bahwa mencegah kegiatan pencucian dana hasil kegiatan melalui sistem keuangan, telah mendapat perhatian yang makin besar dari badan-badan pembentuk perundang-undangan, lembaga penegak hukum dan bank-bank sentral disejumlah negara. 34 Berikut adalah beberapa cara-cara modus operandi kejahatan pencucian uang pada umumnya, antara lain : 35 1. Melalui kerja sama modal. Uang hasil kejahatan secara tunai dibawa ke luar neeri. Uang tersebut masuk kembali dalam bentuk kerja sama modal join venture project. Keuntungan investasi tersebut diinvestasikan lagi dalam berbagai usaha lain. Keuntungan usaha lain dinikmati sebagi uang yang sudah bersih karena tampaknya secara legal, bahkan sudah dikenakan pajak. 2. Melalui agunan kredit. Uang tunai diseludupkan ke luar negeri. Lalu disimpan di bank negara tertentu yang prosedur perbankannya termasuk lunak. Dari bank tersebut ditransfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito. Kemudian, dilakukan peminjaman ke suatu bank di Eropa dengan jaminan deposito tersebut. Uang hasil kredit ditanamkan kembali ke negara asal uang haram tadi. 34 Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era Globalisasi , Jakarta: Total Media,2013, hlm. 15 35 Adrian Sutedi, Opcit, hlm. 26. 3. Melalui perjalanan luar negeri. Uang tunai ditransfer ke luar negeri melalui bank asing yang ada di negaranya. Lalu, uang tersebut dicairkan kembali dan dibawa kebali ke negara asalnya oleh orang tertentu. Seolah-olah uang tersebut berasal dari luar negeri. 4. Melalui penyamaran usaha dalam negeri. Dengan uang tersebut maka didirikanlah perusahaan samaran, tidak dipermasalahkan apakah uang tersebut berhasil atau tidak,tetapi kesannya usaha tersebut telah menghasilkan uang “bersih”. 5. Melalui penyamaran perjudian. Dengan uang tersebut didirikanlah usaha perjudian. Tidak menjadi masalah apakah menang atau kalah. Akan tetapi, akan dibuat kesan menang sehingga ada alasan asal usul uang tersebut. Seandainya di Indonesia masih ada SDSB, nalo, lotre, dan lain-lain yang sejenisnya kepada pemilik uang haram dapat ditawarkan nomor yang menang dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian, uang tersebut memberikan kesan kepada yang bersangkutan sebagai hasil kemenangan kegiatan perjudian tersebut. 6. Melalui penyamaran dokumen. Uang tersebut secara fisik tidak kemana-mana, tetapi keberadaannya didukung oleh berbagai dokumen palsu atau dokumen yang diadakan, seperti membuat double invoice dalam jual beli dan ekspor impor. Agar ada kesan uang itu sebagai hasil kegiatan luar negeri. 7. Melalui pinjaman luar negeri. Uang tunai dibawa ke luar negeri dengan berbagai cara, lalu uang tersebut dimasukkan kembali sebagi pinjaman luar negri. Hal ini seakan-akan memberikan kesan bahwa pelaku memperoleh bantuan kredit dari luar negeri. 8. Melalui rekayasa pinjaman luar negeri. Uang secara fisik tidak kemana-mana, tetapi kemudian dibuat suatu dokumen seakan-akan ada bantuan atau pinjaman luar negeri. Jadi pada kasus ini sama sekali tidak ada pihak pemberi pinjaman. Yang ada hanya dokumen pinjaman, yang kemungkinan besar adalah dokumen palsu. Terkait perbankan merupakan suatu bentuk usaha yang memliki keleluasaan dalan menghimpun dan meyalurkan dana sehingga sangat strategis untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang. Baik melalui placement, layering, maupun intergration. 36 Ketiga bentuk tindak pidana pencucian uang tersebut placement, layering, dan integration pada dasarnya merupakan perbuatan yang terpisah atau berdiri sendiri. Namun dalam praktik, sering kali pelaku pencucian uang melakukan semua jenis tingkatan tersebut, yang mana terhadap pelaku dapat dikenakan dakwaan komulatif karena melanggar beberapa tindak pidana concursus realis. Jika dilihat pasal-pasal tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, akan terlihat jenis atau tingkatan perbuatan pencucian uang, yakni sebagai berikut : 37 a. Pasal 3 , merupakan tahapan, Placement, Layering, dan Intergration. “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke 36 Juni Sjahfrien Jahja, Melawan Money Laundering,Jakarta: Visi media,2012,hlm.7 37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah ”. b. Pasal 4, merupakan tahapan Layering dan Integration. “ Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah ”. c. Pasal 5 Ayat 1, merupakan tahapan Layering dan Integration Pencuci uang pasif. “Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah ”. Perbankan juga sangat rentan bagi tindak pidana yang terorganisasi sehingga sangat strategis untuk dimanfaatkan. Tindak pidana yang terorganisasi biasanya bersembunyi dibalik suatu perusahaan atau nama lain nominees dengan melakukan perdagangan internasional palsu dan berskala besar dengan maksud untuk memindahkan uang yang tidak sah dari suatu negara ke negara lain. Perusahaan yang digunakan untuk menyembunyikan kegiatan tindak pidana tersebut biasanya meninta kreditpembiayaan dari bank untuk menyamarkan aktivitas pencucian uang. Modus operandi lainnya,antara lain, dengan menggunakan faktur invoice palsu yang di mark up atau LC palsu sebagai upaya untuk meyulitkan pengusutan di kemudian hari. Oleh karena itu, perbankan harus berhati-hati terhadap kemungkinan dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang. 38

G. Metode Penulisan

Untuk membahas permasalahan yang ada di dalam skripsi ini, diperlukan Suatu metode pengumpulan data yang sesuai dengan objek pembahasannya agar mendapatkan data-data yang relevan dengan skripsi ini. Adapun metode pengumpulan data yang diterapkan dalam skripsi ini yaitu sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 38 Adrian Sutedi,Op Cit, hlm. 28 2. Data dan Sumber Data Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi : 39 1 Bahan hukum primer, yakni bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Peraturan perundang-undangan yang terkait dalam penulisan skripsi ini ialah sebagai berikut : a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. e. Instruksi Presiden Inpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13PBI1999 Tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal Dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal. 39 Amirrudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 118-119 g. Peraturan Bank Indonesia Nomor 33PBI2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah Dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. h. Peraturan Bank Indonesia Nomor 523PBI2003 tanggal 23 Oktober 2003 tentang Transaksi Keuangan Tunai Yang Mencurigakan. 2 Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang berhubungan dengan objek yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, Koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. 3 Bahan hukum tersier yang mencakup bahan yang memberi petunjuk- petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus umum, majalah, jurnal ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode penelitian kepustakaan library research , yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti perundang-undangan, buku-buku, majalah dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini. 4. Analisis Data Analisis data yakni dengan analisis kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skrpsi ini.

H. Sistematika Penulisan