Pengertian tindak pidana korupsi .

kurang aman, mempersulit pelacakan transaksi, serta mengarah kepada “non bank channel”. f. Pengaturan pembatasan transaksi tunai mendorong masyarakat mengoptimalkan penggunaan jasa perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya. g. Selain untuk kebutuhan penegakan hukum, pengaturan mengenai pembatasan transaksi tunai sejalan dengan pengaturan dalam rangka menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dengan penerapan pembatasan transaksi tunai restrictions on cash transactionslimitations on cash transactions atau pembatasan pembayaran tunai restrictions on cash paymentslimitations on cash payments akan mendorong less cash society minimalisasi penggunaan uang tunai atau transaksi non tunai non cash transaction. Dimana dengan penerapan pembatasan transaksi tunai tersebut, seluruh bank dan lembaga keuangan lainnya ikut berperan aktif dalam pencegahan korupsi dan money laundering pencucian uang lainnya, disamping menjalankan fungsi dan tugas utamanya. 18

3. Pengertian tindak pidana korupsi .

Pengertian atau asal kata korupsi menurut Focke Andreae dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus Webster Student Dictionary ; 1960 , yang selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti 18 “Pembatasan Transaksi Tunai Solusi Pemberantasan Korupsi dan Pencucian Uang Lainnya” http:ekonomi.kompasiana.commoneter20110730pembatasan-transaksi- tunai-solusi-pemberantasan-korupsi-dan-pencucian-uang-lainnya , di akses pada 3 Desember 2014. Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie Korruptie , dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. 19 Ensiklopedi Indonesia mengartikan korupsi sebagai gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Secara harfiah, korupsi memiliki arti yang sangat luas, antara lain sebagai berikut: 20 a Korupsi adalah penyelewengan atau pengelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi dan orang lain. b Korupsi adalah busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok melalui kekuasannya untuk kepentingan pribadi. Pengertian tindak pidana korupsi harus merujuk pada undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud atau digolongkan dalam tindak pidana korupsi itu karena pada dasarnya setiap perbuatan baru dapat digolongkan sebagai tindak pidana jika sudah ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu. Dengan demikian undang-undang tersebut haruslah merumuskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana yang bersangkutan. Jika tidak ada defenisi yang tegas dalam undang-undang tersebut maka harus melihat rumusannya dari unsur- unsur yang disebutkan dalam redaksi pasal yang mengatur mengenai suatu tindak pidana. 21 19 Andi Hamzah, ,Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada 2006, hlm 4-6. 20 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika,2005,hlm. 8 21 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 26 Dalam hukum positif anti korupsi khususnya dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi : “Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan aras Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Berdasarkan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, korupsi dirumuskan ke dalam 30 tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : 22 1. Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara; menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara. 2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap,yaitu menyuap pegawai negeri; memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya; pegawai negeri menerima suap; pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya; menyuap hakim; menyuap advokat; hakim dan advokat yang menerima suap; hakim yang menerima suap; advokat yang menerima suap. 3. Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan, yaitu pegawai negeri yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan; pegawai negeri 22 R. Dyatmiko Soemodihardjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati Dinamikanya di Indonesia, Jakarta: Penerbit Prestasi Pustaka Publisher,2008, hlm. 188-190 memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi; pegawai negeri merusakkan bukti; pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti; pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti. 4. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu pegawai negeri memeras; pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain. 5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekanan TNIPOLRI berbuat curang; pengawas rekanan TNIPOLRI membiarkan perbuatan curang; penerima barang TNIPOLRI membiarkan perbuatan curang; pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain. 6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya. 7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain tujuh kelompok jenis tindak pidana korupsi tersebut maka masih ada 7 tujuh tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar; bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; saksi memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; saksi membuka identitas pelapor. Pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ialah berdasarkan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi adalah “setiap orang”, yaitu orang perseorangan ataupun korporasi. Pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 lebih diperluas dibanding dengan pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang mana pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi itu adalah siapa saja atau orang perorangan saja. 23 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan “korporasi” adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yan terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Bentuk dari badan-badan hukum di Indonesia terdiri dari; Perseroan Terbatas PT. Harus kita sadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian Negara dan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasaordinary-crimes melainkan telah menjadi 23 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,2002, hlm. 16. kejahatan luar biasa extra ordinary crimes. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara- cara yang luar biasa. extra-ordinary enforcement. Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crimes, menurut Romli Atmasasmita dikarenakan : 24 1. Masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program Kabinet Gotong Royong adalah penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN. Masalah korupsi pada tingkt dunia diakui merupakan kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang mencengkram seluruh tatanan sosial dan pemerintahan. Centre For International Crime Prevention CICP salah satu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Wina telah secara luas mendefenisikan korupsi ”misuse of public power for private gain”. Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan termasuk tindak pidana suap bribery; penggelapan embezzlement; penipuan freu; pemerasan yang berkaitan dengan jabatan extortion; penyalahgunaan wewenang abuse of discretion ; pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal exploiting a conflict interest, insider trading ; nepotisme nepotism; komisi yang diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis illegal commission; dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik. 24 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2004, hlm. 4-5 2. Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. 3. Kebocoran APBN selama 4 empat Pelita sebesar 30 telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian terbesar rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh. Konsekuensi logis dari keadaan sedemikian maka korupsi telah melemahkan ketahanan sosial bangsa dan Negara Republik Indonesia. 4. Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa. 5. Korupsi di Indonesia bukan lagi Commission of Anti Corruption ICAC, di Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi dalam era perdagangan global dewasa ini adalah merupakan hasil kolaborasi antara sektor publik dan sektor swasta. Dan justru menurut penelitian tersebut pemberantasan korupsi jenis ini merupakan yang tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik. Kita menyaksikan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta. Perkembangan kelima cocok dengan perkembangan di tanah air, karena kebijakan pemerintah dalam pembentukan BUMN BUMD atau penyertaan modal pemerintah kepada sektor swasta, sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia jauh lebih sulit dari Hongkong, Australia dan negara-negara lain. Kemudian penyebab korupsi di Indonesia menurut penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua, berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada 8 delapan penyebab terjadinya korupsi di Indonesia yakni : 25 1. Sistem Penyelenggaraan Negara yang keliru. Sebagai negara yang baru merdeka atau negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi, selama puluhan tahun, mulai dari orde lama,orde baru sampai orde reformasi ini, pembangunan di fokuskan di bidang ekonomi. Padahal setiap negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen dan teknologi konsekuensinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya, menghasilkan penyebab korupsi yang kedua. 2. Kompensasi PNS yang rendah. Wajar saja negara yang baru merdeka tidak memiliki uang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggu kepada pegawainya. Tetapi disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi sehingga secara fisik dan cultural melahirkan pola konsumerisme, sehingga sekitar 90 PNS melakukan KKN. Baik berupa korupsi waktu, melakukan kegiatan pungutan liar maupun mark up kecil-kecilan demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadikeluarga. 3. Pejabat yang serakah Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh system pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Lahirlah sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenag dan jabatannya, melakukan mark up proyek-proyek pembangunan, bahkan berbisnis dengan 25 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs Penyucian Jiwa, Jakarta: Republika, 2006, hlm. 12-15 pengusaha, baik dalam bentuk menjadi komisaris maupun sebagai salah seorang share holder dari perusahaan tersebut. 4. Law Enforcement tidak berjalan. Disebabkan para pejabat serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hamper di seluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga kemasyarakatan karena segala sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan plesetan kata-kaat seperti KUHP Kasih Uang Habis Perkara, dan sebagainya. 5. Hukuman yang ringan terhadap Koruptor Disebabkan law enforcement tidak berjalan dimana aparat penegakan hukum bisa dibayar, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN. 6. Pengawasan yang tidak efektif. Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrument yang disebut internal control yang bersifat in build dalam setiap unit kerja, sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdekteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal control disetiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait ber-KKN. Konon, untuk mengatasinya dibentuklah Irjen dan Bawasda yang bertugas melakukan internal audit. Malangnya, system besar yang disebutkan di butir 1 di atas tidak mengalami perubahan, sehingga Irjen dan Bawasda pun turut bergotong royong dalam menyuburkan KKN. 7. Tidak ada keteladanan pemimpin. Ketika resesi ekonomi 1997, keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari Thailand. Namun , pemimpin di Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan material dari anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relatif singkat, Thailand telah mengalami recovery ekonominya. Di Indonesia, tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan teladan, maka bukan saja perekonomian Negara yang belum recovery bahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin mendekati jurang kehancuran. 8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN. Dalam negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung paternalistik. Dengan demikian, mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari. Mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja, dan lain-lain. Karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat diyakini sebagai perbuatan yang tidak salah. Berdasarkan hal di atas, dibentuklah Institusi yang berwenang memberantas korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, diatur dalam beberapa hukum positif,yaitu : 26 26 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Bandung,CV.Mandar maju,2010,hlm. 98 1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIIMPR2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi, dan nepotisme. Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu: ”Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pida na Korupsi.” 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 43 ayat 1 “Dalam waktu paling lama 2 dua tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. 3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 “Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi”. Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaanya diatur dengan undang-undang.

4. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang.