Improvisasi dan Perilaku Politik Figuratif: Suatu Studi Marketing Politik Dalam Pilkada Karo Tahun 2010

(1)

IMPROVISASI DAN PERILAKU POLITIK FIGURATIF:

Suatu Studi Marketing Politik Terhadap Partai Politik Dalam Pilkada Karo

Tahun 2010

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Politik

Disusun Oleh:

NEHEMIA SYALOOM GINTING 080906044

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : Nehemia Syaloom Ginting (080906044)

IMPROVISASI DAN PERILAKU POLITIK FIGURATIF:

Suatu Studi Marketing Politik Terhadap Partai Politik Dalam Pilkada Karo Tahun 2010

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan mengenai peranan marketing politik dalam era demokrasi. marketing politik merupakan metode dan konsep aplikasi marketing dalam konteks politik. Pada intinya marketing politik adalah segala cara yang dipakai dalam dalam kampanye politik dalam rangka mempengaruhi pilihan dari para pemilih. Marketing politik berperan besar dalam sebuah arena pilkada. Melalui marketing politik para kandidat kepala daerah melalui tim pemenangannya berusaha meyakinkan para pemilih dengan menawarkan produk politik yang sesuai dengan keinginan para pemilih tersebut. Produk politik yang ditawarkan antara lain adalah atribut kandidat sebagai latar belakang kandidat, program kerja, ideologi, dan lain sebagainya. Melalui strategi marketing politik tersebut kandidat kepala daerah dapat memasarkan ide dan gagasan politik secara maksimal kepada masyarakat.Dalam penelitian ini nantinya akan menjelaskan mengenai strategi marketing politik yang dijalankan oleh tim pemenangan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana khususnya pada putaran kedua dalam pilkada Kabupaten Karo Tahun 2010, sehingga pada akhirnya pasangan kandidat tersebut meraih suara mayoritas sekaligus keluar sebagai pemenang dalam pilkada tersebut.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori kampanye politik untuk melihat usaha-usaha pendekatan yang dilakukan oleh tim pemenangan pasangan kandidat untuk mendapatkan tempat di hati para pemilih. Selain itu teori marketing politik yang digunakan untuk melihat penawaran-penawaran yang dilakukan tim pemenangan kandidat dalam memasarkan produk politik kepada masyarakat yang berperan sebagai pemilih.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskripsi, yakni dengan menggunakan metode wawancara secara mendalam dan studi pustaka untuk mengeksplorasi tentang marketing politik yang digunakan tim pemenangan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana serta untuk mengetahui respon masyarakat di kabupaten Karo sebagai pemilih terhadap marketing politik yang dijalankan.


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

Name : Nehemia Syaloom Ginting

IMPROVISATION AND POLITICAL BEHAVIOR FIGURATIVE: A Study of Political Marketing of Political Parties In Karo Election 2010

ABSTRACT

This research tries to decipher the role of marketing in an era of democratic politics. Political marketing is a method and application of marketing concepts in a political context. At the core of political marketing is used in any way in political campaigns in order to influence the choice of the voters. Political marketing plays a major role in the election arena. Through marketing of political candidates through the team's regional head pemenangannya trying to convince voters by offering products to suit the political wishes of the voters. Political Products offered include candidate attributes as background candidates, programs, ideologies, and so forth. Through political marketing strategy is the regional head candidates can market ideas and political ideas to the fullest to masyarakat.Dalam this study will be to explain the political marketing strategy run by winning team mate Taxable Measure Surbakti - Terkelin Brahmins in particular in the second round in the elections Karo Year 2010, so in the end the pair candidate won a majority at the same time come out as the winner in the election.

The theory used to explain the problems is the theory of the political campaign to see the efforts of the approach taken by the winning team mate candidate for a place in the hearts of the voters. Besides political marketing theory used to see bids a team winning candidate in marketing their products to the people who play politics as voters.

In this study the authors use descriptions of research methods, by using in-depth interviews and literature study to explore the use of political marketing winning team mate Taxable Measure Surbakti - Terkelin Brahmins and to investigate the response of the community in the Karo district to vote against the run of political marketing.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala kasih dan karunianya yang selalu member kesehatan dan hikmat kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini berjudul : IMPROVISASI DAN PERILAKU POLITIK FIGURATIF: Suatu Studi Marketing Politik Dalam Pilkada Karo Tahun 2010. Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilm Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu

Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi saya, yang

begitu banyak member masukan dan gagasan-gagasan kepada saya dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih untuk saran, gagasan, komentar, dukungan, nasihat, kesabaran dan waktu yang telah bapak curahkan untuk saya.

4. Bapak Faisal Andri, S. IP, M.Si selaku dosen pembaca saya dalam menyelesaikan

skripsi ini. Terima kasih untuk saran, komentar, serta bantuan bapak dalam memberikan masukan untuk skripsi ini.

5. Seluruh dosen-dosen yang ada di Departemen Ilmu Politik. Terimakasih untuk semua

ilmu yang telah Bapak dan Ibu ajarkan kepada kami selama menuntut ilmu di FISIP USU

6. Teristimewa saya sampaikan terimakasih kepada kedua orangtuaku Bapak J. Ginting

dan Ibu M. Br. Purba yang sangat berarti bagiku. Terimakasih telah begitu banyak mendukung, mendoakan dan selalu memotivasi hingga saat ini. Doa dan pengharapan kalian senantiasa mengiringi dan menyertai saya dalam menjalani kehidupan ini.

7. Buat saudaraku ( Elisa Kristian Ginting) dan kedua saudariku (Grace Yanti Friska

Ginting dan Eunike Faith Ginting) yang selalu mendoakan dan mendukungku, terimakasih buat dukungan dan doanya.


(5)

8. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada narasumber saya dalam penelitian ini. Tim Pemenangan Pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana dalam pilkada karo Tahun 2010, Tokoh Masyarakat, serta beberapa anggota masyarakat di kabupaten Karo. Terimakasih atas waktu yang diluangkan untuk wawancara dengan saya dan semua informasi yang saya butuhkan selama penelitian.

9. Kepada Bang Irvan maranatha Sembiring dan Bang Hendri Pelita Pelawi yang sudah

banyak membantu saya selama mengumpulkan data-data yang berkaitan kepada penelitian ini. Terimakasi buat waktu dan pengorbanannya.

10.Seluruh teman-teman di Departemen Ilmu politik angkatan ’08 yang tidak dapat

disebutkan satu persatu oleh penulis. Penulis banyak mendapatkan pengalaman selama perkuliahan yang dapat diartikan sebagai persahabatan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skipsi ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun tata bahasa. Akhir kata penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pendidikan.

Medan, Januari 2013


(6)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Kata pengantar ... iii

Daftar Isi ...v

Daftar Tabel ... viii

BAB I: PENDAHULUAN ...1

1. Latar Belakang Masalah ...1

2. Perumusan Masalah ...7

3. Pembatasan Masalah ...7

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...8

4.1. Tujuan Penelitian ...8

4.2. Manfaat Penelitian ...8

5. Kerangka Teori ...9

5.1. Kampanye Politik...9

5.1.1. Defenisi Kampanye Politik ...9

5.1.2. Tujuan Kampanye ...11

5.1.3. Jenis-jenis Kampanye...12

5.1.4. Model-model Kampanye ...13

5.2. Pendekatan Marketing ...17

5.3.Marketing Politik ...21

5.3.1. Defenisi Marketing Politik ...21


(7)

5.4. Partai Politik...25

5.4.1.Fungsi Partai Politik ...26

5.4.2.Peran Partai Politik dalam Pilkada ...31

5.5. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ...35

5.5.1. Asas-Asas Pemilukada Langsung ...37

5.5.2. Tahapan Kegiatan Pemilukada Langsung ...39

6. Metode Penelitian ...40

6.1. Jenis Penelitian...40

6.2. Lokasi Penelitian ...41

6.3. Populasi dan Sampel ...41

6.4. Teknik Pengumpulan Data ...42

6.5. Teknik Analisa Data ...43

7. Sistematika Penulisan ...43

BAB II: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 1. Sejarah Singkat Kabupaten Karo ...45

2. Keadaan Daerah ...46

3. Sosial Budaya...48

4. Pemerintahan...51

5. Kependudukan ...55

6. Pendidikan...57


(8)

BAB III: EFEKTIFITAS MARKETING POLITIK PADA PILKADA KARO TAHUN 2010

1. Marketing Politik Dalam Pilkada...62 2. Kampanye Politik Tim pemenangan Pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana pada Pilkada Karo 2010 ...67 3. Strategi Pendekatan Marketing Tim Pemenangan Pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin

Brahmana dalam Pilkada Karo Tahun 2010 ...71 4. Strategi Marketing Politik Tim pemenangan Pasangan Kena Ukur Surbakti –

Terkelin Brahmana pada Pilkada Kabupaten Karo Tahun 2010 ...75

5. Respon Masyarakat Kabupaten Karo Terhadap Marketing Politik Yang

ditawarkan Tim Pemenangan Pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin

Brahmana Pada Pilkada Kabupaten Karo Tahun 2010 ...82 6. Pengaruh Partai politik terhadap Pilihan Masyarakat dalam Pilkada Kabupaten . Karo

Tahun 2010 ...86

BAB IV: KESIMPULAN

Kesimpulan ...89 DAFTAR PUSTAKA ...91


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Bupati Karo...54 Tabel 2. Daftar Ketua DPRD Karo ...54 Tabel 3. Jumlah Penduduk Kabupaten Karo Tahun 2010 ...56 Tabel 4. Persentase Penduduk yang Masih Sekolah Menurut Kelompok Umur dan ... Jenis Kelamin Tahun 2010...58

Tabel 5. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Status Pendidikan .... dan

Jenis Kelamin Tahun 2010...58

Tabel 6. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Ijasah Tertinggi yang Dimiliki dan Jenis Kelamin ...59

Tabel 7. Perolehan Suara Partai Pengusung Pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana pada Pemilu Tahun 2009 ...60 Tabel 8. Pengaruh Partai Politik dalam Pilkada di Kabupaten Karo Tahun 2010 ...86 Tabel 9. Alasan Masyarakat Kabupaten Karo Memilih Pasangan Kena Ukur Surbakti –


(10)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : Nehemia Syaloom Ginting (080906044)

IMPROVISASI DAN PERILAKU POLITIK FIGURATIF:

Suatu Studi Marketing Politik Terhadap Partai Politik Dalam Pilkada Karo Tahun 2010

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan mengenai peranan marketing politik dalam era demokrasi. marketing politik merupakan metode dan konsep aplikasi marketing dalam konteks politik. Pada intinya marketing politik adalah segala cara yang dipakai dalam dalam kampanye politik dalam rangka mempengaruhi pilihan dari para pemilih. Marketing politik berperan besar dalam sebuah arena pilkada. Melalui marketing politik para kandidat kepala daerah melalui tim pemenangannya berusaha meyakinkan para pemilih dengan menawarkan produk politik yang sesuai dengan keinginan para pemilih tersebut. Produk politik yang ditawarkan antara lain adalah atribut kandidat sebagai latar belakang kandidat, program kerja, ideologi, dan lain sebagainya. Melalui strategi marketing politik tersebut kandidat kepala daerah dapat memasarkan ide dan gagasan politik secara maksimal kepada masyarakat.Dalam penelitian ini nantinya akan menjelaskan mengenai strategi marketing politik yang dijalankan oleh tim pemenangan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana khususnya pada putaran kedua dalam pilkada Kabupaten Karo Tahun 2010, sehingga pada akhirnya pasangan kandidat tersebut meraih suara mayoritas sekaligus keluar sebagai pemenang dalam pilkada tersebut.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori kampanye politik untuk melihat usaha-usaha pendekatan yang dilakukan oleh tim pemenangan pasangan kandidat untuk mendapatkan tempat di hati para pemilih. Selain itu teori marketing politik yang digunakan untuk melihat penawaran-penawaran yang dilakukan tim pemenangan kandidat dalam memasarkan produk politik kepada masyarakat yang berperan sebagai pemilih.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskripsi, yakni dengan menggunakan metode wawancara secara mendalam dan studi pustaka untuk mengeksplorasi tentang marketing politik yang digunakan tim pemenangan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana serta untuk mengetahui respon masyarakat di kabupaten Karo sebagai pemilih terhadap marketing politik yang dijalankan.


(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

Name : Nehemia Syaloom Ginting

IMPROVISATION AND POLITICAL BEHAVIOR FIGURATIVE: A Study of Political Marketing of Political Parties In Karo Election 2010

ABSTRACT

This research tries to decipher the role of marketing in an era of democratic politics. Political marketing is a method and application of marketing concepts in a political context. At the core of political marketing is used in any way in political campaigns in order to influence the choice of the voters. Political marketing plays a major role in the election arena. Through marketing of political candidates through the team's regional head pemenangannya trying to convince voters by offering products to suit the political wishes of the voters. Political Products offered include candidate attributes as background candidates, programs, ideologies, and so forth. Through political marketing strategy is the regional head candidates can market ideas and political ideas to the fullest to masyarakat.Dalam this study will be to explain the political marketing strategy run by winning team mate Taxable Measure Surbakti - Terkelin Brahmins in particular in the second round in the elections Karo Year 2010, so in the end the pair candidate won a majority at the same time come out as the winner in the election.

The theory used to explain the problems is the theory of the political campaign to see the efforts of the approach taken by the winning team mate candidate for a place in the hearts of the voters. Besides political marketing theory used to see bids a team winning candidate in marketing their products to the people who play politics as voters.

In this study the authors use descriptions of research methods, by using in-depth interviews and literature study to explore the use of political marketing winning team mate Taxable Measure Surbakti - Terkelin Brahmins and to investigate the response of the community in the Karo district to vote against the run of political marketing.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Sejak merdeka pada tahun 1945 Indonesia dapat dikatakan sudah termasuk negara yang sering melakukan pemilihan umum sebagai bentuk nyata dari demokrasi, Namun hingga saat ini bangsa ini belum dapat melakukan pemilu yang benar-benar demokratis. Sebagai pembenaran banyak anggapan yang menyatakan hal tersebut terjadi disebabkan karena Indonesia masih tergolong baru sebagai negara yang melakukan sistem demokrasi. namun seharusnya ini bukan menjadi alasan yang selalu disodorkan dalam melakukan pembenaran. Pernyataan ini bukan tanpa dasar, tapi berdasarkan fakta yang terjadi dapat dilihat berapa kalipun Indonesia melakukan proses pemilu tersebut, selalu saja banyak penyimpangan-penyimpangan, adanya pihak-pihak yang tidak dapat menerima hasil dari pilihan rakyat dengan berjiwa besar, dan sampai kepada masalah-masalah kekerasan yang menimbulkan jatuhnya korban. Hal ini juga terus merasuk kepada proses pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia, dan masalahnya ialah pemilihan kepala daerah lebih rawan penyimpangan dan begitu dekat dengan kekerasan. Munculnya sentimen-sentimen didaerah dapat menjadi pemicu banyaknya problem baru dari proses demokrasi tersebut, maka tidak mengherankan hinggga saat ini banyak perselisihan yang bahkan sampai kepada skala yang besar terjadi di berbagai daerah di Indonesia, tentunya ini bukan hal seperti inilah yang diharapkan dari proses demokrasi.

Banyaknya penyimpangan yang terjadi kemudian dapat memunculkan tanda tanya di hati rakyat dan selanjutnya memunculkan anggapan yang menyatakan bahwa pemilu yang diselenggarakan hanya merupakan basa-basi yang dilakukan demi kepentingan perorangan

atau kelompok yang justru memunculkan ketidaknyamanan ditengah-tengah masyarakat.1

Lamanya Indonesia berada dibawah bayang-bayang rezim orde baru juga dapat dikatakan berpengaruh besar terhadap rasa persaingan yang sesungguhnya, sebab pada zaman orde baru, sebuah persaingan apalagi persaingan politik tidak begitu mencolok pada masa itu. Kehidupan demokrasi yang salah pada saat itu ternyata bukan hanya berimbas pada masa itu saja, namun ternyata imbasnya masih dapat terlihat dalam kehidupan berdemokrasi sesudah Seharusnya pemilu menjadi sebuah ajang yang sangat sakral bagi rakyat dimana mereka menentukan pilihan yang tepat dan berdampak kepada beberapa tahun ke depannya.


(13)

era reformasi yang terus berjalan hingga saat ini, yaitu bagaimana sebuah persaingan politik yang betul-betul sehat masih sulit terlihat didalam kehidupan berdemokrasi. Dalam hal ini dibutuhkan sebuah mental yang benar-benar kuat didalam prakteknya apalagi kepada pihak yang terlibat langsung di dalam prosesnya.

Persoalan atau permasalahan politik sesungguhnya dapat dilihat dan dikaji dari berbagai macam pendekatan. Permasalahan politik dapat dipelajari dari kekuasaan, pemikiran politik, pendidikan politik, partisipasi politik, budaya politik, konstitusi, dan marketing politik. Pendekatan marketing politik dipilih berdasarkan kemajuan pesat demokrasi yang ada di Indonesia. Setiap harinya masyarakat atau warga negara hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek dan kegiatan politik baik secara langsung ikut didalam kegiatan politik maupun hanya menjadi penikmat, pendengar, atau menyaksikan secara tidak langsung seluruh kegiatan politik melalui media yang ada di sekitar mereka. Interaksi yang terjadi antara pemerintah dan warga negara tersebut akan memunculkan variasi pandangan, penilaian, dan opini dari warga negara terhadap pemerintah mereka, pandangan-pandangan tersebut akan menjadi ukuran kepuasan warga negara terhadap pemerintahnya.

Marketing yang merupakan sebuah kajian dalam dunia bisnis diasumsikan berguna bagi institusi politik. Sebagai mana diketahui ilmu marketing adalah sebuah disiplin yang menghubungkan produsen dengan konsumen, sehingga jelas dalam hal ini dapat dilihat bagaimana di dalam marketing hubungan yang terjadi tidak hanya satu arah, namun merupakan hubungan dua sekaligus dan bersifat simultan. Pada bagian ini pihak produsen bukan hanya memperkenalkan barang atau jasa kepada konsumen, namun produsen juga melakukan berbagai usaha untuk mempengaruhi konsumen sekaligus berusaha mengungguli para pesaing lain yang pada saat bersamaan juga melakukan usaha-usaha agar produk mereka dapat dibeli oleh pihak konsumen. Demikian juga halnya dalam penerapannya dalam ilmu politik yakni bagaimana institusi politik membawa produk politik kepada konstituen dan

masyarakat secara luas.2

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung atau sering disebut Pilkada Langsung merupakan suatu kondisi yang memungkinkan proses pembelajaran politik terhadap masyarakat dapat terwujud, sehingga daya kritis masyarakat dalam berpolitik meningkat. Pilkada langsung pada dasarnya adalah mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat diberikan hak dan kebebasan sepenuhnya untuk menentukan calon kepala daerah yang dianggap mampu menyuarakan


(14)

aspirasinya. Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung ini didasarkan pada landasan hukum yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan

Pemberhentian Kepala Daerah.3

Ketiga, Pilkada juga dapat dijadikan alat untuk memperkuat institusi politik lokal. Saat ini baik Kepala Daerah maupun DPRD memiliki basis politik yang kuat, karena mereka memperoleh legitimasi langsung dari rakyat. Dan keempat, Pilkada dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk membentuk wadah integritas bersama dalam membangun daerah. Pilkada dapat dijadikan sebagai sebuah konsensus bersama antara calon kepala daerah dan masyarakat untuk memperbaiki ketimpangan dan masalah-masalah yang menghambat kemajuan daerah.

Pelaksanaan Pilkada telah membawa beberapa harapan baru masyarakat untuk pengembangan demokrasi di tingkat lokal. Diantaranya adalah : pertama, secara empirik, Pilkada langsung memiliki nilai strategis dalam rangka mengurangi kelemahan yang menjadi ciri perpolitikan lokal saat ini. Misalnya arogansi lembaga legislatif yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya representasi rakyat, legitimasi akuntanbilitas publik tidak lagi ditentukan oleh DPRD, tetapi oleh rakyat yang memilihnya dan legitimasi kepala daerah semakin kuat.

Kedua, Pilkada juga dapat dijadikan sebagai ruang pengelolaan kedaulatan rakyat di samping sebagai instrumen untuk mendorong mekanisme demokrasi bekerja di tingkat lokal. Kini tidak mudah lagi bagi pemerintahan pusat untuk terlibat dalam penentuan kepala daerah karena rakyat yang akan menentukan langsung pemimpinnya. Dengan adanya Pilkada, percaturan di arena politik lokal lebih banyak diwarnai permainan dari masing-masing

stakeholder yang ada sehingga iramanya lebih kompetitif dan dinamis. Hal ini kemudian menyebabkan aktor-aktor politik yang bermain akan semakin dekat dengan rakyat.

4

Penerapan marketing politik dalam pemilihan kepala daerah sangat membantu para kandidat untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat. Pada saat inilah para kandidat berkesempatan memperkenalkan produk politik mereka kepada masyarakat. Produk politik mereka dapat berupa atribut kandidat, latar belakang kandidat, partai politik, program kerja, ideologi, dan lain sebagainya. Dan dari kesemua hal-hal yang menjadi produk

3

UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan hasil revisi UU No. 22/1992 yang secara final diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2004.

4

Syamsul Hadi Thubany, Pilkada Bima 2005: Era Baru Demokratisasi Lokal Indonesia, Tuban : Bina Swagiri, 2005, Hal. 6-7.


(15)

politik tersebut adalah bertujuan untuk menarik dukungan dari masyarakat sekaligus marketing politik sangat berguna dalam membantu mereka mendapatkan informasi tentang para kandidat seperti prestasi mereka dan apa saja yang telah mereka lakukan sebelum mencalonkan diri sebagai kandidat

Inilah yang menjadi dasar bagi penulis tertarik memilih judul marketing politik dalam proses Pilkada, karena pada dasarnya marketing politik merupakan strategi atau cara yang digunakan untuk mempengaruhi pilihan para pemilih. dimana strategi atau cara yang digunakan tersebut akan membentuk sebuah makna politis di pikiran para pemilih, dan makna politis inilah yang membuat para pemilih untuk menentukan pilihan mereka.

Dalam penelitian ini penulis mengambil studi tentang Marketing Politik dalam Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010 dan secara khusus meneliti tentang marketing politik yang dilakukan oleh partai politik yang berperan sebagai tim sukses yang mengusung

pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana yang merupakan pemenang pada

putaran kedua Pilkada tersebut sekaligus terpilih menjadi Bupati Karo. Sebelumnya penulis terlebih dahulu menyajikan secara singkat mengenai proses dan hasil dari Pilkada di Kabupaten Karo pada putaran pertama. Pada awalnya ada 13 pasang calon yang mendaftar ke KPUD Karo, namun pada akhirnya ada 10 pasangan calon yang dinyatakan lolos verifikasi

administrasi antara lain;5

Pertama, pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana

yang memiliki enam kursi. Pasangan ini diusung PKPB, PKPI, Partai Gerindra, PPIB,

PNBKI, PKB, PPI, PBB, Partai Buruh dan Partai Merdeka. Kedua, pasangan Abed Nego

Sembiring - Sanusi Surbakti yang maju dari perseorangan dengan memiliki 18.919 orang.

Ketiga, pasangan Sumbul Sembiring - Paham Ginting, diusung PIS dan PAN yang memiliki

enam kursi di DPRD Karo. Keempat, pasangan M Ramli Purba - Rony Barus. Pasangan ini

diusung Partai Barnas, Partai Patriot, Partai Pelopor, PPRN, PKS dan PPP yang total suara

sah 25.274 orang. Kelima, pasangan Riemenda Ginting - Aksi Bangun, yang diusung Partai

Demokrat, PDK dan PPPI yang totalnya memiliki enam kursi. Keenam, pasangan Roberto

Sinuhaji - Firman Amin Kaban, maju dari jalur independen dengan memiliki jumlah suara

sah 18.669 orang. Ketujuh, pasangan Andy Natanael Ginting - Fakhry Samadin Tarigan.

Pasangan ini juga maju dari jalur perseorangan dengan jumlah suara sah 19.794 orang.

Kedelapan, pasangan Siti Aminah br Peranginangin - Sumihar Sagala yang diusung PDI

diakses pada tanggal 3


(16)

Perjuangan yang memiliki tujuh kursi. Kesembilan, pasangan Petrus Sitepu - Kornalius

Tarigan, maju dari jalur independen dengan jumlah suara sah 19.480 orang. Kesepuluh,

pasangan Nabari Ginting - Paulus Sitepu yang diusung Partai Golkar, Partai hanura dan Partai Republikan yang memiliki enam kursi di DPRD Karo.

Kesepuluh calon tersebut kemudian bersaing pada Pilkada yang berlangsung pada 27 Oktober 2010. Berikut adalah hasil perolehan suara dari Pilkada berdasarkan nomor urut para

calon.6

1. Siti Aminah Br. Peranginangin - Sumihar Sagala : 30.804 suara (19, 49 %)

2. Riemenda Jamin Ginting - Aksi Bangun : 20.071 suara (12,70 %)

3. Sumbul Sembiring - Paham Ginting : 18.439 suara (11,67 %)

4. Roberto Sinuhaji - Firman Amin Kaban : 7.023 suara (4,44 %)

5. Abed Nego Sembiring - Sanusi Surbakti : 12.024 suara (7,61 %)

6. Nabari Ginting - Paulus Sitepu : 14.889 suara (9,42 %)

7. Petrus Sitepu - Kornalius Tarigan : 15389 suara (9,74)

8. Muhammad Ramli Purba - Roni Barus : 6.965 suara (4,41 %)

9. Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana : 25.310 suara (16,01 %)

10.Andy Natanael Manik - Fakhry Samadin Tarigan : 7.133 suara (4,51 %)

Dari hasil diatas maka dapat dilihat pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana ada pada urutan kedua dibawah pasangan Siti Aminah Br. Peranginangin - Sumihar Sagala yang merupakan pasangan calon yang memiliki perolehan suara tertinggi pada Pilkada tersebut. Namun dari hasil tersebut tidak ada calon yang memperoleh suara mayoritas absolut atau perolehan suara yang mencapai 30%, sehingga pada tanggal 21 Desember 2010 dilakukan Pilkada putaran kedua yang diikuti oleh dua pasangan calon dengan perolehan suara tertinggi yakni pasangan Siti Aminah Br. Peranginangin - Sumihar Sagala dan pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana.

Sebagai hasil dari Pilkada putaran kedua tersebut pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana berhasil mengungguli pasangan Siti Aminah Br. Peranginangin - Sumihar Sagala. Pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana berhasil mengungguli pasangan

diakses pada


(17)

Siti Aminah Br. Peranginangin - Sumihar Sagala di 14 kecamatan dari 17 kecamatan di

Tanah Karo.7

2. Perumusan Masalah

Dari jumlah perolehan suara secara keseluruhan maka pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana unggul dengan perolehan 85.343 suara (61,9 %), sedangkan pasangan Siti Aminah Br Peranginangin - Sumihar Sagala 53.598 suara (38,1 %). Sementara, Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 251.321 pemilih.

Jika dilihat dari hasil akhir atau pada hasil Pilkada putaran kedua, terlihat bagaimana pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana unggul jauh atas pasangan Siti Aminah Br Peranginangin - Sumihar Sagala bahkan di daerahnya sendiri. Inilah yang menarik penulis untuk meneliti bagaimana sebenarnya tim sukses dari gabungan partai politik yang ada dibelakang pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana melakukan upaya marketing politik sehingga dapat menarik dukungan dari masyarakat dan pada akhirnya bisa unggul atas pasangan Br Peranginangin - Sumihar Sagala yang pada putaran pertama unggul diatas semua kandidat yang ikut di dalam Pilkada tersebut.

Berangkat dari latar belakang permasalahan diatas, maka yang menjadi permasalah

dalam penelitian ini adalah: “Sejauh manakah efektifitas marketing politik yang

dilakukan oleh partai politik pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana terhadap masyarakat, sehingga masyarakat mendukung mereka menjadi pemenang pada putaran kedua dalam Pilkada di Kabupaten Karo tahun 2010”

3. Pembatasan Masalah

Agar data yang dianalisis dalam penelitian ini sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini terdapat pembatasan masalah yang ditujukan untuk membatasi ruang lingkup penelitian dan akurasi data dari hasil dari penelitian. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Adapun aspek yang akan diteliti adalah bentuk marketing politik yang dilakukan oleh

partai politik pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana pada

putaran kedua Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010.

diakses tanggal 3 Mei 2012,


(18)

2. Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti sejauh mana sebenarnya efektifitas marketing politik yang dilakukan oleh partai politik pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti -Terkelin Brahmana pada putaran kedua Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010, sehingga masyarakat memilih pasangan tersebut.

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk marketing politik yang dilakukan oleh partai

politik pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana pada putaran kedua Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010.

2. Meneliti sejauh mana efektifitas marketing politik yang dilakukan oleh partai politik

pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana pada putaran kedua Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010, sehingga masyarakat memilih pasangan tersebut.

4.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat kepada semua pihak yang secara umum dapat bermanfaat bagi:

1. Secara teoritis maupun metodologis studi ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi marketing politik khususnya di Indonesia.

2. Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan kemampuan berfikir penulis melalui

karya ilmiah melalui penelitian ini.

3. Bagi akademisi, dapat menjadi bahan referensi dalam konteks ilmu politik di

Indonesia.

4. Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih dikhususkan

kepada strategi marketing politikdalam Pilkada.

5. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap partai politik


(19)

5. Kerangka Teori 5.1. Kampanye Politik

5.1.1. Defenisi Kampanye Politik

Jika ditelusuri mengenai pengertian atau defenisi dari kampanye politik, maka salah

satu caranya adalah dengan merujuk kapada kamus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

maka kampanye dipahami sebagai sebuah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan di parlemen dan sebagainya untuk mendapatkan dukungan massa pemilih di suatu pemungutan suara.

Berikut adalah pengertian kampanye yang diutarakan oleh beberapa ahli;

a. Menurut John Haba, Peneliti LIPI menyatakan bahwa kampanye (campaign) berasal

dari bahasa latin campus atau “lapangan” yang pengertian aslinya berkaitan dengan

dunia kemiliteran (battlefield). Sebuah kegiatan yang dilakukan oleh para milisi di

dunia operasi militer untuk mencapai tujuan-tujuan operasi tempur. Apabila dikaitkan dengan dunia politik agak berbedan namun ada persamaan yakni usaha dari setiap peserta kampanye untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dengan meyakinkan konstituennya, bahwa mereka layak untuk menjadi anggota lembaga legislatif, seperti DPR, DPD, dan DPRD. Untuk mencapai tujuan kampanye maka setiap kontestan akan menjanjikan program-program yang mereka yakini terbaik dan atraktif bagi masyarakat.

b. Menurut Arnold Steinberg, kampanye politik adalah cara yang digunakan para warga

negara dalam demokrasi untuk menentukan siapa yang akan memerintah mereka. Politik adalah “Praktik atau pekerjaan menjalankan urusan politik”, yaitu “melaksanakan atau mencari kekuasaan dalam urusan pemerintahan”. Kampanye politik adalah suatu usaha yang terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang

dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi.

c. Menurut Pfau dan Parrot, kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar,

bertahap, dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.

d. Menurut Pippa Norris, kampanye politik adalah suatu proses komunikasi politik,

dimana parpol atau kontestan individu berusaha mengomunikasikan ideologi ataupun program kerja yang mereka tawarkan.


(20)

e. Menurut Hafied Cangara, kampanye politik adalah aktifitas komunikasi yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap, dan perilaku sesuai dengan kehendak penyebar atau pemberi informasi.

f. Menurut Lilleker dan Negrine, kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh

panitia pemilu kepada semua kontestan baik kepada individu, parpol, maupun kepada perseorangan, untuk memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan.

g. Menurut Ronald E. Rise dan William J. Paisley, kampanye politik sebagai strategi

control sosial dalam rangka mengarahkan psikologi dan perilaku pemilih untuk menyesuaikan dan pada saatnya menuruti apa yang diprogramkan oleh partai politik. 5.1.2. Tujuan Kampanye

Apapun ragam dan tujuannya, menurut Pfau dan Parrot, upaya perubahan yang

dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude),

dan perilaku (behavioral). Sementara, Ostegaard menyebut ketiga aspek tersebut dengan

sebutan ‘3A’ sebagai sebuah singkatan dari awareness, attitude, dan action. Ketiga aspek ini

bersifat saling terkait dan merupakan sasaran pengaruh (target of influences) yang mesti

dicapai secara bertahap agar satu kondisi perubahan dapat tercipta.

1. Kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tatanan pengetahuan dan kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan khalayak terhadap isu tertentu.

2. Pada tahap berikutnya diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian, atau keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye.

3. Sementara pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah prilaku khalayak secara konkrit dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Tindakan ini dapat terjadi sekali itu saja atau juga terjadi secara berkelanjutan.

Sementara itu, tujuan kampanye politik, menurut Lock dan Harris, kampanye politik adalah bertujuan untuk pembentukan image politik. Untuk itu parpol harus menjalin


(21)

hubungan internal dan eksternal. Yang dimaksud hubungan internal adalah proses antara anggota-anggota partai dan pendukung untuk memperkuat ikatan ideologis dan identitas partai. Sedangkan hubungan eksternal dilakukan untuk mengkomunikasikan image yang akan dibangun kepada pihak luar partai termasuk kepada media massa dan masyarakat.

5.1.3. Jenis-jenis kampanye

Membicarakan jenis-jenis kampanye pada prinsipnya adalah membicarakan motivasi yang melatarbelakangi diselenggarakannya sebuah program kampanye. Motivasi tersebut pada gilirannya akan menentukan kea rah mana kampanye akan digerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Jadi secara inhere nada keterkaitan antara motivasi dan tujuan kampanye.

Bertolak dati keterkaitan tersebut, Charles U. Larson kemudian membagi kempanye ke dalam tiga kategori yakni;

1. Product-Oriented campaigns (commercial campaigns/corporate campaign) atau kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di lingkungan bisnis. Motivasi yang mendasarinya adalah memperoleh keuntungan finansial. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan produk dan melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang diharapkan.

2. Candidate-Oriented campaign atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis

kampanye ini dapat pula disebut sebagai political campaign (kampanye politik).

Tujuannya antara lain untuk mendapatkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan parpol agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilu. Misal, kampanye pemilu, kampanye penggalangan dana bagi parpol, kampanye kuota perempuan di DPR.

3. Ideologically or Cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial.

Kampanye jenis ketiga di atas dalam istilah Kotler disebut sebagai social change

campaigns, yakni kampanye yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik terkait.


(22)

1. Kampanye Massa. Meliputi kampanye tatap muka, misalkan melalui media cetak dan elektronik termasuk orasi dan mengerahkan massa.

2. Kampanye Antar Pribadi. Menggunakan tokoh-tokoh yang dekat dengan kandidat dan

menjalin kerjasama dengan tokoh-tokoh lokal dengan setting informal.

3. Kampanye Organisasi. Dilakukan oleh organisasi yang mengusung kandidat.

5.1.4. Model-model Kampanye

Dalam bahasan ini dijelaskan adanya tiga model kampanye yang dijelaskan dri beberapa ahli berikut;

1. Model The Five Stages Development.

Larson menjelaskan bahwa model ini dikembangkan oleh tim peneliti dan praktisi kampanye di Yale University, Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Model ini dianggap yang paling populer dan banyak diterapkan diberbagai belahan dunia. Kepopuleran ini tidak

terlepas dari fleksibilitas model untuk diterapkan, baik pada Candidate oriented campaigns,

Product-Oriented campaigns, dan Cause or Idea Oriented Campaigns. Fokus model ini adalah pada tahapan kegiatan kampanye bukan pada proses pertukaran pesan antara

campaigner dengan campaignee.

Model tersebut dijelaskan sebagai berikut;

a. Tahap Indentifikasi merupakan tahap penciptaan identitas kampanye yang dengan

mudah dapat dikenali oleh khalayak. Hal-hal yang umum digunakan sebagai identitas

kampanye diantaranya simbol, warna, lagu/jingle, seragam dan slogan.

b. Tahap Legitimasi. Dalam kampanye politik, legitimasi diperoleh ketika seseorang

telah masuk daftar kandidat anggota legislatif, atau seorang kandidat presiden memperoleh dukungan yang kuat dalam polling yang dilakukan lembaga independen.

c. Tahap Partisipasi. Tahap ini dalam praktiknya relatif sulit dibedakan dengan tahap

legitimasi karena ketika seorang kandidat, produk, atau gagasan mendapat legitimasi, pada saat yang sama dukungan yang bersifat partisipatif mengalir dari khalayak. Partisipasi ini bisa bersifat nyata ataupun hanya sekedar simbolik. Nyata apabila ikut dalam demonstrasi bersama LSM atau dengan menyumbang uang kepada partai, Simbolik apabila menempelkan stiker partai di kendaraan dan memakai kaos partai yang dibagikan secara gratis.


(23)

d. Tahap Penetrasi. Pada tahap ini seorang kandidat, sebuah produk, atau sebuah gagasan telah hadir dan mendapat tempat dihati masyarakat. Seorang juru kampanye misalnya telah berhasil meyakinkan khalayak bahwa calon yang diusungnya adalah yang terbaik dari semua calon atau kandidat yang ada atau juga kampanye tersebut sudah mulai disorot oleh media massa yang besar dan menarik perhatian banyak orang.

e. Tahap Distribusi. Tahap ini adalah merupakan puncak dari semua tahapan-tahapan

tersebut, sebab pada tahapan inilah nantinya terlihat pembuktian. Pada tahap ini, tujuan kampanye sudah tercapai tinggal bagaimana pembuktian-pembuktian dari kampanye tersebut dijalankan.

2. The Communicative Function Model

Model ini dijelaskan oleh Trent dan Robert Frienderberg dalam bukunya yang

bertajuk “ Political Campaign Communication”. Mereka adalah praktisi dan sekaligus

sebagai pengamat kampanye yang dikonstruksi dari lingkungan politik. model ini memusatkan analisis pada tahapan kegiatan kampanye. Langkah-langkah dimulai dari

surfacing (pemunculan), primary (terpenting), nomination (pemilihan), dan election

(pencalonan).

a. Surfacing (Pemunculan). Lebih banyak berkaitan dengan membangun landasan tahap berikutnya seperti; memetakan daerah-daerah yang akan dijadikan tempat kampanye, membangun kontak dengan tokoh-tokoh setempat atau orang-orang ‘kita’ yang umumnya dimulai begitu seorang secara resmi mencalonkan diri untuk jabatan politik tertentu. Pada tahap ini pula khalayak akan melakukan evaluasi awal terhadap citra kandidat secara umum. Dengan kata lain khalayak akan melakukan uji citra publik terhadap kandidat tersebut.

b. Primary. Pada tahap ini berupaya untuk memfokuskan perhatian khalayak para kandidat, gagasan, atau produk yang telah dimunculkan di arena persaingan. Pada tahap ini mulai melibatkan khalayak untuk mendukung kampanye yang dilaksanakan. c. Nomination. Tahapan sangat bergantung kepada tahapan primary. Artinya apabila

pada tahapan tadi kandidat mendapat pengakuan dari masyarakat, mendapat liputan dari media massa yang besar, atau gagasannya menjadi topik pembicaraan di

tengah-tengah masyarakat, maka tahapan nomination dapat segera dilakukan ataupun


(24)

d. Election. Pada tahap ini biasanya kampanye telah berakhir. Namun secara terselubung seringkali kandidat “membeli’ ruang tertentu dari media massa agar kehadiran merekka tetap dirasakan. Beberapa kandidat bahkan biasanya membuat berita-berita tertentu tertentu yang tujuannya jelas untuk mendapatkan simpati dari khalayak. 3. Model Kampanye Nowak dan Warned.

Model ini dijelaskan oleh McQuail dan Windahl, model ini merupakan salah satu model tradisional kampanye. Pada model ini proses kampanye dimulai dari tujuan yang hendak dicapai diakhiri dengan efek yang diinginkan. Model ini merupakan deskripsi dari bermacam-macam proses kerja dalam kampanye. Didalamnya juga terdapat sifat normatif, yang meningkatkan efektifitas kampanye. Yang perlu diperhatikan dalam model ini adalah masing-masing elemennya harus terhubung. Perubahan pada satu elemen akan mempengaruhi elemen lainnya, sehingga model ini juga memiliki tujuan yang tidak bersifat

rigid tapi dapat berubah mekipun kampanye sedang berlangsung.

Pada model Nowak dan Warned terdapat delapan elemen kampanye yang harus diperhatikan yakni:

a. Efek yang diharapkan (Intended Efek). Efek yang hendak dicapai harus dirumuskan

dengan jelas. Dengan demikian, penentuan elemen-elemen lainnya akan lebih mudah dilakukan. Kesalahan umum yang sering terjadi adalah terlalu “mengagung-agungkan” potensi efek kampanye, sehingga efek yang ingin dicapai menjadi tidak jelas dan tegas.

b. Persaingan komunikasi (Competiting Communication). Agar suatu kampanye menjadi

efektif, maka perlu perhitungan potensi gangguan dari kampanye yang bertolak

belakang (counter campaign).

c. Objek komunikasi (Communication Object). Objek kampanye biasanya dipusatkan

pada satu hal saja, karena untuk objek yang berbeda diperlukan metode komunikasi yang berbeda pula. Ketika objek kampanye telah ditentukan, pelaku kampanye akan dihadapkan lagi pada pilihan apa yang akan ditonjolkan/ditekankan pada objek tersebut.

d. Populasi target dan kelompok penerima (Target population and Receiving Group).

Kelompok penerima adalah bagian dari populasi target. Agar penyebaran pesan lebih

mudah ditujukan kepada opinion leader (pemuka pendapat) dari populasi target.


(25)

mudahnya mereka dijangkau oleh pesan kampanye. Mereka yang tidak membutuhkan atau tidak tertempa pesan kampanye adalah bagian dari kelompok yang sulit dijangkau.

e. Saluran (The Channel). Saluran dapat digunakan bermacam-macam tergantung

karakteristik kelompok penerima dan jenis pesan kampanye. Media dapat menjangkau hampir semua kelompok, namun bila tujuannya adalah mempengaruhi perilaku maka akan lebih efektif bila melakukan melalui saluran antar pribadi.

f. Pesan (The Message). Pesan dapat dibentuk sesuai dengan karakteristik kelompok

yang menerimanya. Pesan dapat dibagi dalam tiga fungsi, yakni;

- Menumbuhkan kesadaran

- Mempengaruhi; serta

- Memperteguh dan meyakini penerima pesan bahwa pilihan atau tindakan mereka

adalah benar.

g. Komunikator/Pengirim pesan (The Communicator/Sender). Komunikator dapat

dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya seorang ahli atau seseorang yang memiliki kedua sifat tersebut. Pendeknya, komunikator harus memiliki kredibilitas di mata penerima pesannya.

h. Efek yang dicapai (The Obtained Effect). Efek kampanye meliputi efek kognitif

(perhatian, peningkatan pengetahuan dan kesadaran), afektif (berhubungan dengan

perasaan, mood dan sikap), dan konatif (keputusan bertindak dan penerapan).8

5.2. Pendekatan Marketing

Konsep inti dari pemasaran adalah bagaiamana transaksi diciptakan, difasilitasi, dan dinilai. Transaksi adalah pertukaran nilai antara dua pihak. Transaksi juga terjadi saat seseorang menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintah yang lebih baik. Teori pemasaran yang digunakan adalah teori-tori mengenai perilaku konsumen. Teori ini digunakan karena pada saat menggunakan hak pilihnya, pemilih melakukan pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan untuk mempertukarkan hak suaranya dengan pilihan terhadap partai tertentu sama seperti perilaku konsumen yang menukarkan uangnya dengan


(26)

barang/jasa tertentu. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah Theory of Reasoned Action. Menurut teori ini, individu diperkirakan berperilaku berdasarkan keinginannya untuk

terikat dengan perilaku tersebut. Penerapan Theory of reasoned Action dapat dilakukan dalam

bidang politik.

Teori ini mampu mengukur faktor apa saja yang mempengaruhi keinginan untuk memilih parpol. Model yang dibuat berdasarkan teori dari Ajzen dan Fishben (1980) ini mampu memprediksi keinginan untuk memilih parpol, dimana kekuatan prediksinya bertambah dengan penggunaan model ini pada satu parpol secara spesifik. Penerapan teori ini dalam bidang politik memungkinkan parpol tahu apa yang secara signifikan mempengaruhi keinginan untuk memilih parpol dan memasarkan parpol secara tepat untuk mendapatkan suara.

Menurut penerapan Theory of reasoned action pada bidang politik, keinginan untuk

memilih parpol secara signifikan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap parpol dan norma subjektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap parpol signifikan karena orang mengidentifikasikan dirinya dengan partai, bukan pemimpinnya. Pengaruh sikap terhadap parpol secara langsung lebih tinggi dibandingkan pengaruh tidak langsungnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut partai seperti visi-misi/program/isu. Pemilih lebih menekankan pada perasaan simpati, senang, dan bangga terhadap suatu parpol dalam memilih.

Pengaruh norma subjektif interpersonal signifikan karena pada masyarakat Asia yang menekankan harmonisasi dan kedekatan antar anggota masyarakat, sosialisasi politik sudah berlangsung sejak individu belum mempunyai hak pilih dan juga terjadi saat individu bersama orang-orang disekelilingnya. Pengaruh tidak langsung norma subjektif media massa

lebih tinggi daripada pengaruh langsungnya karena adanya multiple selves dalam diri setiap

individu dalam masyarakat. Dalam rangka menarik suara sebanyak-banyaknya dan memenangkan pemilu, parpol perlu membangun citra yang baik di mata seluruh segmen dalam masyarakat, namun cara pengkomunikasiannya berbeda tergantung segmen yang dituju.

Newman dan Sheth (1985), mengembangkan model perilaku pemilih berdasarkan

beberapa domain yang terkait dengan marketing. Dalam mengembangkan model tersebut

menggunakan sejumlah kepercayaan kognitif yang berasal dari berbagai sumber seperti pemilih, komunikasi, dari mulut ke mulut, dan media massa. Model ini dikembangkan untuk menerangkan dan memprediksi perilaku pemilih.


(27)

Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda dan terpisah, sebagai berikut:

1. Isu dan kebijakan dan politik (Issue and policies). Komponen ini mempresentasikan

kebijakan/program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu. Inilah platform dasar yang ditawarkan oleh kontestan pemilu kepada para pemilih. yang termasuk dalam komponen ini adalah kebijakan ekonomi, kebijakan luar negeri, kebijakan dalam negeri, kebijakan sosial, kebijakan politik dan keamanan, kebijakan hukum, dan karakteristik kepemimpinan.

2. Citra sosial (Social Imagery). Menunjukkan stereotip kandidat atau partai untuk

menarik pemilih dengan menciptakan asosiasi antara kandidat atau partai dengan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat. Citra sosial adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai ‘berada’ di dalam kelompok sosial mana atau tergolong sebagai apa sebuah partai atau kandidat politik. Citra sosial dapat terjadi berdasarkan banyak faktor, antara lain:

a. Demografi:

- Usia (contoh: partai orang muda)

- Gender (contoh: calon pemimpin bangsa dari kaum Hawa)

- Agama (contoh: partai orang islam, partai orang katolik)

b. Sosio ekonomi

- Pekerjaan (contoh: partai kaum buruh)

- Pendapat (contoh: partai wong cilik)

c. Kultural dan etnik

- Kultural (contoh: kandidat presiden yang seniman)

- Etnik (contoh: partai orang jawa)

d. Politis dan ideologis (contoh: partai nasionalis, partai agamis, partai konservatif,


(28)

3. Perasaan emosional (Emotional Feelings). Merupakan dimensi emosional yang

terpancar dari sebuah kontestan atau kandidat yang ditunjukkan oleh policy politik

yang ditawarkan. Misalnya seorang kandidat menawarkan kebijakan untuk mengirimkan pasukan elite ke daerah rawan untuk meruntuhkan gerakan separatis, maka akan memunculkan sebuah perasaan emosional yang bersifat patriotik dan terkesan sangat bersungguh-sungguh.

4. Citra kandidat (Candidate Personality). Mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting

yang dianggap sebagai karakter sang kandidat. Pada tahun 1980, misalnya Reagan dianggap memiliki citra sebagai “pemimpin yang kuat” sementara John Glen, pada tahun 1984 mencoba mengembangkan citra “seorang pahlawan”.

5. Peristiwa Mutakhir (Current Events). Mengacu pada peristiwa, isu, dan kebijakan

yang berkembang menjelang dan selama kampanye. Secara umum, peristiwa mutakhit dapat dibagi menjadi masalah domestic dan luar negeri.

6. Peristiwa Personal (Personal Events). Mengacu kepada kehidupan pribadi dan

peristiwa yang pernah dialami oleh seorang kandidat, misalnya berbagai skandal, korban dari rezim tertentu, menjadi tokoh dalam suatu perjuangan, ikut mempertahankan tanah air, dsb.

7. Faktor-faktor Epistemik (Epistemic Issues). Ini adalah isu-isu pemilihan yang spesifik

yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru. Hal ini dapat dilihat bagaimana setiap kandidat yang ikut dalam sebuah pemilihan berusaha manunjukkan bahwa diri mereka adalah “wajah baru” yang akan membawa

perubahan dalam dunia politik dan pemerintahan.9

5.3. Marketing Politik

5.3.1. Defenisi Marketing Politik

Untuk memahami konsep marketing politik hendaknya terlebih dahulu mendiskusikan batasan dari pengertian suatu konsep. Untuk itu rujukannya antara lain adalah kamus, pengertian emik dan pengertian ahli.

9


(29)

Jika merujuk kamus Inggris-Indonesia, maka ‘marketing’ diterjemahkan menjadi ‘pemasaran’. Kemudian dilanjutkan kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka didapat pengertiannya sebagai proses, cara, perbuatan memasarkan suatu barang dagangan.

Selanjutnya melalui pendekatan emik, maka pemasaran dipahami sebagai suatu proses menjual sesuatu agar orang lain/pembeli potensial tertarik untuk membelinya. Jika dikaitkan dengan dunia politik, maka pemahaman emik dari pemasaran politik dapat dijelaskan sebagai suatu proses menjual ide, gagasan, program, termasuk citra diri agar orang lain mau “membeli”nya. Membeli di sini dimengerti sebagai memilih atau memberikan suara kepada penjual.

Kemudian rujukan ketiga adalah pandangan para ahli, antara lain sebagai berikut;

1. Adman Nursal

Marketing politik adalah strategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih. serangkaian makna politis yang

terbentuk tersebut yang menjadi output penting marketing politik yang menentukan

pihak mana yang akan dipilih.

2. A. O’Cass

Marketing politik adalah analisis, perencanaan, implementasi dan control terhadap politik dan program-program pemilihan yang dirancang untuk menciptakan, membangun dan memelihara pertukaran hubungan yang menguntungkan antara partai

dan pemilih demi tujuan untuk mencapai political marketers objectives.

3. P. J. Mareek

Marketing politik sebagai suatu proses yang kompleks dari hasil suatu usaha yang lebih global dari implikasi semua faktor dari komunikasi politik dari politisi.

4. Firmanzah

Marketing politik sebagai sebuah metode yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman mengenai masyarakat, sekaligus berguna dalam membuat produk politik yang akan ditawarkan kepada masyarakat.

5. Hafied Cangara

Marketing politik sebagai konsep yang diintroduksi dari penyebaran ide-ide sosial di bidang pembangunan dengan meniru cara-cara pemasaran komersial tetapi orientasinya lebih banyak pada tataran penyadaran, sikap, dan dan perubahan perilaku


(30)

untuk menerima hal-hal baru. Oleh karena itu, lanjutnya marketing politik dimaksudkan sebagai penyebarluasan informasi tentang kandidat, partai dan program yang dilakukan oleh aktor-aktor politik (komunikator) melalui saluran-saluran komunikasi tertentu yang ditujukan kepada segmen (sasaran) tertentu dengan tujuan mengubah wawasan, pengetahuan, sikap, dan perilaku para calon pemilih sesuai dengan keinginan pemberi informasi.

6. Lees-Marshment

Marketing politik berkonsentasi pada hubungan antara produk politik sebuah organisasi dengan permintaan pasar. Pasar menjadi faktor penting dalam sukses implementasi marketing politik.

7. M.N. Clemente

Marketing politik sebagai pemasaran ide-ide dan opini-opini yang berhubungan dengan isu-isu politik atau isu-isu mengenai kandidat. Secara umum, marketing politik dirancang untuk mempengaruhi suara pemilih dalam pemilu.

8. Philip Kotler dan Neil Kotler

Bahwa untuk sukses, seorang kandidat perlu memahami market/pasar, yakni para pemilih, beserta kebutuhan dasar mereka serta aspirasi dan konstituensi yang ingin kandidat representasikan.

5.3.2. Empat Elemen Marketing Politik

Dalam marketing politik, paling sedikit terdapat empat elemen yang perlu diperhatikan, yaitu;

1. Product (Produk). Yang dimaksud di sini adalah produk yang ditawarkan oleh institusi politik, seperti yang dikutip Firmanzah dari Niffenegger, merupakan suatu yang kompleks, dimana pemilih akan menikmatinya setelah suatu partai atau seorang kandidat terpilih. Oleh karena itu, arti atau makna penting dari suatu produk politik tidak hanya terletak pada karakteristik yang dimiliki olehnya, tetapi juga pada konstruksi pemaknaan atau intepretasi yang dimiliki oleh pemilih. Produk politik itu

sendiri menurut Niffenegger tediri dari party platform (platform partai), past record

(rekaman masa lalu), dan personal characteristic (karakteristik individual). Platform

partai yang terdiri dari visi, ideologi, misi, tujuan, dan program partai merupakan salah satu produk yang dijual kepada pemilih, terutama pemilih rasional. Pemilih


(31)

tradisional terdiri dari orang-orang yang terdidik dan memiliki idealisme. Bagaimana negara ini dibangun, sangat sensitive terhadap platform dari suatu partai. Rekaman lampau apa yang sudah dilakukan sebelumnya bagi kepentingan publik adalah suatu produk yang layak dan pantas dijual kepada pemilih. Karakteristik individual berupa keteladanan dan ketokohan seseorang dalam masyarakat dapat dilihat sebagai suatu produk yang dijual pada masyarakat.

2. Place diterjemahkan secara harafiah berarti tempat. Tempat biasanya dihubungkan dengan dua hal. Satu, aksesbilitas produk terhadap konsumen. Apakah produk politik dapat diperoleh dengan mudah (dari aspek waktu dan tingkat kesulitan) atau tidak? Dua, letak posisi dari suatu produk politik. apakah suatu produk politik bisa diperoleh di tempat yang sesuai dengan strata sosial dari para pemilih. suatu produk politik memiliki segmen pasarnya. Produk politik yang disampaikan pada televise dikemas

berbeda dengan yang disajikan di ruang dunia maya (cyberspace) tersebut.

3. Price. Dalam hal ini price (harga) dalam marketing politik meliputi banyak hal, menurut Niffenegger, yaitu harga ekonomi, harga psikologis, dan harga citra. Harga ekonomi merupakan kalkulasi segala biaya yang bisa dihitung nominalnya seperti biaya iklan, publikasi, pengerahan massa, “traktir politik”, administrasi pengorganisasian, dan sebagainya. Sedangkan harga psikologis merujuk kepada harga persepsi psikologis dari kandidat anggota legislatif atau top eksekutif (pasangan presiden dan wakilnya serta kepala daerah dan wakilnya) yang ditawarkan kepada pemilih. sementara harga citra berkaitan dengan kebanggaan yang diperoleh pemilih jika ia memilih kandidat. Kebanggan tersebut bertingkat-tingkat mulai dari kebanggan bersifat bertingkat-tingkat mulai dari kebanggan bersifat personal, keluarga, daerah sampai nasional.

4. Promotion (promosi). Promosi merupakan suatu usaha untuk memikat pembeli melalui teknik komunikasi dengan berbagai media seperti cetak, elektronik, maupun

interpersonal. Promosi yang baik harus memperhatikan ‘3P’ (produk, place, dan,

price) yang dibahas diatas. Suatu produk tertentu yang terletak pada tempat tertentu dengan harga tertentu, harus dipromosikan dengan harga tertentu pula. Misalnya seorang kandidat yang ingin menunjukkan rekam jejaknya yang baik, maka dia harus melihat bagaimana agar rekam jejak itu menjadi kelihatan oleh pemilih, maka dia


(32)

akan melakukan promosi melalui media massa yang dapat dijangkau oleh pemilih,

atau dengan menunjuk tokoh masyarakat sebagai tim suksesnya. 10

5.4. Partai Politik

Sebuah negara dengan sistem demokrasi, membutuhkan sebuah organisasi politik yang menjadi instrument demokrasi. Organisasi tersebut biasa disebut Partai Politik. Secara definitive, Carl J. Friedrich mendefinisikan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisir untuk merebut atau mempertahankan

kekuasaan, dengan maksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan, keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materil. Sementara itu, R. H. Soltau mengemukakan definisinya tentang partai politik sebagai kelompok warga negara terorganisasi dan bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, dengan tujuan untuk menguasai pemerintahan dan

menjalankan kebijakan umum yang mereka buat.11

Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik -

(biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.12

Franz Neumann mengkategorikan partai politik menjadi 2 jenis, yakni Democratic

Integrative Party and The Totalitarian Integrative Party. Franz Neumann mengkategorikannya berdasar pada usaha partai dalam mengintegrasikan nilai-nilai

politiknya. Democratic Integrative party didefinisikan sebagai partai yang melakukan

usaha-Jenis-jenis partai politik dikategorikan bermacam-macam oleh para ahli politik., Max Weber mengkategorikan partai politik menjadi 2 jenis, yakni partai elit dan partai massa. Secara tidak langsung, Max Weber mengkategorikannya berdasar dari model pembiayaan partai, yang secara otomatis menunjukkan pemilihnya. Partai Elit didefinisikan sebagai partai yang didukung oleh kalangan elit dalam sistem masyarakat, semisal pengacara, doctor, pengusaha, dan lain-lain. Partai massa didefinisikan sebagai partai yang didukung oleh kalangan masyarakat bawah.

10

Ibid, Hal. 476-479. 11

Ahmad Heryawan, Selasa, 02 Juni 2009, Latar Belakang Berdirinya Partai Politik,

September 2012. Pukul 10.16.


(33)

usaha pencapaian tujuan politik secara demokratis. Totalitarian Integrative Party

didefinisikan sebagai partai yang melakukan usaha-usaha pencapaian tujuan politik tanpa

melalui cara demokratis.13

Partai politik melaksanakan suatu tugas penting di dalam pemerintahan. Partai politik bersama masyarakat berusaha mencapai kontrol pemerintahan, menciptakan kebijakan yang baik sesuai kepentingan mereka atau kelompok yang mendukung mereka, serta mengorganisir dan membujuk pemilih untuk memilih calon mereka agar menempati jabatan tertentu. Walaupun sangat banyak yang dilibatkan di dalam menjalankan pemerintahan pada semua tingkat, partai politik bukanlah pemerintah. Tujuan dasar partai politik adalah mencalonkan orangnya untuk jabatan publik, dan untuk mendapatkan sebanyak mungkin suara pemilih. Ketika terpilih, pejabat-pejabat tersebut akan berusaha mencapai tujuan Partai mereka melalui proses legislasi dan inisiatif program. Terdapat beberapa fungsi partai politik antara lain;

5.4.1 . Fungsi Partai Politik

14

a. Sarana komunikasi politik

Partai politik memiliki fungsi merumuskan berbagai usulan kebijakan yang bertumpu pada aspirasi rakyat baik yang berada dalam kelompok yang sama ataupun berbeda. Rumusan tersebut kemudian diartikulasikan dan diagregasikan kepada pemerintah agar dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan. Partai politik memiliki peran yang cukup strategis dalam menjembatani komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. kepentingan rakyat ini menjadi salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan agar eksistensi partai politik tetap terjaga dalam kancah perpolitikan dan tidak ditinggalkan oleh rakyat yang diwakilinya.

b. Sarana sosialisasi dan pendidikan politik

Partai politik mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan seluruh wacana politiknya kepada rakyat. Wacana politik ini dituangkan dan dapat dilihat melalui visi, misi, platform dan berbagai program yang diemban oleh partai politik. Rakyat dalam hal ini harus diperlakukan tidak hanya sebagai subyek tetapi sekaligus juga sebagai obyek. Dengan

13

Jásaon Simon, The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millennium,

http://www.slideshare.net/alafito/the-change-of-function-of-political-parties-at-the-turn-ofmillennium- 2003. Diakses tanggal 7 September 2012. Pukul 10.32.

14


(34)

demikian rakyat akan tumbuh menjadi semakin dewasa dan terdidik dalam berpolitik dan berdemokrasi.

c. Sarana rekruitmen politik

Partai politik mempunyai kewajiban untuk melakukan rangkaian kegiatan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mempersiapkan pengisian berbagai posisi dan jabatan politik sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Diantaranya adalah jabatan presiden dan wakil presiden, menteri, gubernur, anggota dewan dan sebagainya. Rekruitmen politik menjadi sangat penting akan memberikan warna dan peluang bagi terjadinya dinamika politik yang dapat menekan terjadinya otoriterisme, diktatorisme, kemandegan dan kebuntuan politik dalam sistem tersebut.

d. Sarana peredam dan pengatur konflik

Partai politik dituntut untuk memiliki kepekaan dan sensitifitas yang tinggi terhadap berbagai potensi konflik yang dari waktu kewaktu intensitasnya semakin meningkat. Partai politik memiliki kewajiban untuk meredam dan mengatur potensi konflik agar tidak meledak dan menimbulkan masalah baru. Konflik memang secara alamiah ada, tetapi yang penting adalah bagaimana mengelola potensi konflik yang ada agar menjadi energi, spirit dan support dalam merumuskan sebuah kebijakan politik untuk semua yang menguntungkan semua pihak.

Dalam literature lain, ada 3 fungsi partai politik yaitu;15

a. Representing groups of interests

Dalam partai politik dikenal istilah konstituen, yakni orang-orang yang mendukung atau mempercayakan hak pilihannya kepada Partai atau kandidat partai. Partai politik menyajikan kelompok seperti halnya individu. Kelompok kelompok kepentingan ini mempunyai perhatian khusus. Semisal, partai politik yang merepresentasikan petani, partai politik yang merepresentasikan buruh, dan lain sebagainya. Di Indonesia, beberapa partai berhasil memposisikan dirinya. Salah satunya adalah PDIP, yang memposisikan dirinya sebagai partai politik yang merepresentasikan wong cilik.

15

The Functions of Political Parties, http://www.cliffsnotes.com/WileyCDA/CliffsReviewTopic/The-


(35)

b. Simplying Choice

Di beberapa Negara, partai politik mampu menempatkan dirinya pada posisi ideologi, filosofi, ataupun nilai-nilai politik tertentu. Pemilih dapat melihat partai politik tertentu berdiri pada sisi tertentu, walaupun dengan penilaian secara sederhana. Sehingga pemilih tidak melihat partai politik sebagai sesuatu yang semu tanpa perhatian khusus yang mencirikannya. Semisal di Amerika Serikat, Partai Republik ditempatkan sebagai partai pendukung kalangan bisnis, dan Partai Demokrat ditempatkan sebagai partai pendukung masyarakat bawah.

c. Making Policy

Partai politik, secara organisasi, bukanlah pembuat kebijakan. Namun, partai secara pasti mengambil posisi pada kebijakan-kebijakan penting, terutama untuk menyediakan alternatif - alternatif kepada siapapun Partai yang berkuasa. Ketika sebuah partai berkuasa, partai tersebut mencoba untuk meletakkan filosofinya ke dalam praktek perundang-undangan. Jika seorang calon memenangkan jabatan dengan mayoritas besar, hal itu berarti bahwa pemberi suara sudah memberikan suatu mandat untuk menyelesaikan program yang dikampanyekan.

Jason Simon, seorang peneliti politik dari Institut Ilmu Politik HungarianAcademy of

Sciences, mengemukakan dalam tulisannya yang berjudul The Change of Function of

Political Parties at the Turn of Millennium.16

a. The Functions of Political Socialization

Sosialisasi politik adalah proses selama seseorang menjadi sadar dan memperoleh norma-norma, nilai-nilai dan aturan tentang perilaku politik. Selama proses ini, keluarga, sekolah,komunitas pertemanan, saluran informasi( semisal ceramah kuliah, media, hubungan telepon, dll.), dan peristiwa yang secara langsung dialami oleh individu, merupakan aspek yang penting dalam sosialisasi politik. Proses sosialisasi juga dipengaruhi oleh kebiasaan dari individu, terutama

kemampuannya untuk menerima nilai-nilai baru, dan berapa banyak nilai-nilai ini menjadi inclusif atau eksklusif terhadap nilai-nilai lain. Faktor-faktor ini mendefinisikan ketertarikan

16

Jáson Simon, The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millennium,

http://www.slideshare.net/alafito/the-change-of-function-of-political-parties-at-the-turn-ofmillennium- 2003. Diakses tanggal 7 September 2012. Pukul 11.30.


(36)

dan respon individu terhadap politik, toleransi politiknya, serta identitas partai atau kelompok.

b. The Functions of Mobilization

Melalui mobilisasi politik ( menghimbau untuk bertindak,mengerahkan) partai politik melibatkan warganegara ke dalam kehidupan publik. Tujuan mobilisasi politik meliputi tiga bidang: untuk mengurangi ketegangan sosial yang dimunculkan oleh kelompok yang dikerahkan, untuk mengelaborasi program dalam rangka memperoleh suara bagi partai, dan untuk membangun suatu struktur kelompok yang dapat dijadikan referensi bagi partai politik. Tujuan dari semua mobilisasi politik adalah untuk mencapai suatu efek baik dari aspek-aspek diatas, sehingga dapat memastikan posisi yang lebih baik untuk mobilisasi partai politik.

c. The Functions of Participation

Fungsi partisipasi politik yang dilakukan oleh partai politik dapat dibedakan dari fungsi mobilisasi. Dengan memobilisasi warganegara, partai sedang mengarah pada pembentukan dan pemengaruhan peristiwa-peristiwa politik dengan bantuan dari lingkaran yang terlembagakan dan organisasi-organisasi dalam sistem politik. Sedangkan Partisipasi memastikan perasaan dan kemampuan demokrasi, serta kompetisi didalam partai politik. Partai politik dapat memastikan partisipasi politik dalam berbagai cara. Menurut Milbrath, sebagai fungsi partai politik, partisipasi politik melibatkan dua dimensi, yakni partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif meliputi instrumen kerja partai (aktifitas konkret partai, pemilihan pemimpin) dan ketertampilan kerja partai (demonstrasi,debat politik). Partisipasi pasif meliputi kepatuhan partai terhadap hukum.

d. The Function of Legitimacy

Fungsi legitimasi mengacu pada bentuk opini publik. Hal tersebut didasarkan pada kepercayaan dan dukungan Partai kepada pemerintah dan sistem, melalui eksistensi partai tersebut. Fungsi legitimasi merupakan efek kolektif dari sosialisasi politik, mobilisasi politik, dan partisipasi politik. Pengenalan dan dukungan suatu sistem pemerintahan tergantung pada berapa banyak warganegara yang taat, menghormati norma-norma, menerima perbedaan dan pemikiran alternatif-alternatif yang muncul dalam rangka menerima sistem institusi dan mekanisme demokrasi. Partisipasi dan Mobilisasi memberikan kepercayaan dan pengalaman bagi pemilih bahwa opini mereka, kepentingan mereka, dan sistem nilai mereka, berperan dalam sistem demokrasi. Menurut beberapa ahli, hal tersebut merupakan aspek yang


(37)

membedakan antara demokrasi dan non-party/ singleparty dictatorship. Oleh karena itu, fungsi legitimasi adalah fungsi utama dari partai politik.

e. The Function of Representation

Fungsi representasi merupakan hasil dari keikutsertaan partai pada pemilihan umum. Sistem pemilihan umum pada negara demokrasi harus memenuhi dua kriteria: representasi dan pemerintahan. Prinsip representasi menjamin ekspresi keinginan pemilih, sebagai hasil akhir dari suara yang telah diberikan kepada partai maupun kandidat.

5.4.2 . Peran Partai Politik dalam Pilkada

Peran partai politik telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan nasional, terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dinamis dan sedang berubah. Partai politik memainkan peran yang sangat sentral dalam Pilkada langsung di Indonesia. Di dalam UU No. 34/2004 tentang pemerintahan daerah dikatakan bahwa “ pasangan calon kepala daerah diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”.

Sehingga dapat dijelaskan bahwa : Pertama, partai politik merupakan salah satu pintu

masuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Pintu ini dapat dilakukan dengan mekanisme tunggal dan plural. Tunggal oleh hanya satu partai politik. Plural, apabila diusulkan oleh lebih dari satu partai.

Kedua, untuk menjadikan partai politik sebagai pintu masuk partai yang bersangkutan

harus memenuhi 15% suara dalam pemilu legislatif di daerah yang bersangkutan atau 15% perolehan kursi di DPRD dalam pemilu legislatif. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka partai politik yang bersangkutan harus melakukan koalisi dengan partai lain.

Ketiga, partai politik menyediakan ruang bagi calon perseorangan.

Keempat, partai politik mempertimbangkan masukkan –masukkan masyarakat.

Kelima, dukungan atau pencalonan oleh partai politik harus dinyatakan secara legal dengan surat dan rekomendasi yang dinyatakan secara sah untuk menghindari peluang terjadinya penarikan dukungan oleh partai bersangkutan.

Fungsi mobilisasi (menghimbau untuk bertindak,mengerahkan) dari partai politik yang melibatkan masyarakat adalah sebuah fungsi yang sangat tepat dalam sebuah proses pemilihan umum. Mobilisasi secara sederhana selalu dilawankan dengan Partisipasi. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya


(38)

berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.

Mobilisasi Politik bukan sekedar sebagai proses dimana warga negara diarahkan pada keterlibatan politik. Definisi tersebut dianggap masih umum dan mungkin dilihat sebagai kelebihan ataupun kekurangan sebuah “pendapat umum” dari konsep-konsep di masa lalu mengenai terminologi mobilisasi politik. Mobilisasi memiliki banyak makna, mobilisasi

dapat diartikan sedikitnya dalam tiga gejala sosial yang berbeda, Pertama, dalam aspek sosial

ekonomi, sebagaimana didefinisikan dalam teori mobilisasi sosial tradisional, mobilisasi

mengacu pada suatu proses “pertimbangan sosial dan pembangunan ekonomi”, Kedua,

Mobilisasi dapat berarti usaha pembersihan oleh rejim totaliter, Ketiga, “Mobilisasi” dapat

juga mengacu pada proses selektif untuk melibatkan warganegara di dalam politik.17

Salah satu bentuk nyata dari mobilisasi politik yang dilakukan partai politik adalah Marketing Politik. Ada empat hal utama yang melandasi pentingnya penggunaan marketing politik bagi partai-partai politik.

Manifestasi dari politik mobilisasi adalah orientasi partai-partai politik yang fokus kepada pemilihan pejabat-pejabat dan perebutan kekuasaan atas jabatan-jabatan tertentu, hal inilah yang kemudian mendasar munculnya koalisi antarpartai. Orientasi ini yang kadang membuat partai-partai politik mulai menyimpang dari ideologi dasar partainya, koalisi-koalisi antarpartai dilakukan bukan karena partai-partai yang berkoalisi memiliki kesamaan ideologi untuk membangun negara tetapi lebih kepada peningkatan jumlah anggota partai untuk bisa menduduki jabatan-jabatan tertentu. Politikus-politikus yang terlibat juga semakin profesional dan berubah seolah-olah menjadi politikus adalah jabatan karier dan mata pencaharian, dan bukan merupakan pejuang-pejuang prinsip atau ideologi tertentu. Akibatnya, politikus bisa dengan mudah berpindah dari satu partai ke partai lain. Hal ini secara tidak langsung sebenarnya mulai menumbuhkan sikap apatis dari masyarakat sebagai pemilih terhadap sebuah proses pemilihan umum, hal ini jelas terlihat dari tingginya angka-angka golput yang terjadi dalam beberapa proses pemilihan umum. Namun terlepas dari penyimpangan-penyimpangan itu, mobilisasi politik tetap menjadi cara yang paling sesuai digunakan dalam arena pemilihan umum.

18

17 Chapter 3 Mobilization and Party Recruitment,

Pertama, terjadinya pergeseran paradigma pemilih dari ideologi ke program kerja. Masyarakat cenderung melihat apa yang bisa dan apa yang ditawarkan oleh partai politik maupun kontestan dibandingkan dengan alasan- alasan

Oktober 2012. Pukul 22.43.


(39)

ideologis yang ada dibalik satu partai politik atau kontestan. Hal ini terlihat nyata sekali dengan semakin membesarnya persentase pemilih non-partisan, yaitu para pemilih yang menunggu partai politik mana yang kiranya menwarakan solusi paling baik ketimbang yang lainnya. Partai politik jenis inilah yang akan mereka pilih dalam Pemilu.

Kedua, meningkatnya pemilih non-partisan. Terdapat trend yang memperlihatkan semakin meningkatnya proporsi non-partisan dalam Pemilu. Nonpartisan adalah sekelompok masyarakat yang tidak menjadi anggota atau mengikatkan diri secara ideologis dengan partai politik tertentu. Kaum non-partisan melihat pentingnya kemampuan dan kapasitas orang atau program kerja partai politik mana yang dapat memberikan solusi atas permasalahan bangsa dan negara ketika program-program itu dikomunikasikan selama periode menjelang Pemilu.

Ketiga, meningkatnya massa mengambang (floating mass). Dengan meningkatnya jumlah pemilih non partisan maka jumlah massa mengambang semakin besar. Massa mengambang ini seringkali sangat menentukan menang tidaknya suatu partai politik dalam Pemilu. Massa mengambang adalah kelompok

masyarakat yang diperebutkan oleh partai-partai dan kandidat yang bersaing dalam Pemilu. Massa mengambang ini semakin besar seiring semakin kritisnya masyarakat.

Keempat, adanya persaingan politik. Sistem multipartai yang kini banyak

dianut oleh negara yang sedang meniti ke arah demokrasi ataupun baru saja melaksanakan transisi dari otoriter menuju demokrasi, ditambah dengan semakin kritisnya masyarakat dalam memilih partai politik telah menempatkan partai politik pada iklim kompetisi yang ketat untuk memperebutkan pemilih.

Marketing politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan perangkat bagaimana menjaga hubungan dengan pemilih untuk membangun kepercayaan, mobilisasi,

dan selanjutnya memperoleh dukungan suara.19

19 Dermody & R. Scullion, dikutib dari Oman Heryaman, S.IP, M.Si, Political Marketing Dan Kualitas Demokrasi, http://www.scribd.com/doc/5988402/Political-Marketing-dan-Kualitas- Demokrasi. Diakses tanggal 1 Oktober 2012. Pukul 23.48.

Dalam praktek sebenarnya dilapangan, khususnya dalam sebuah proses pilkada, partai politik selalu mempergunakan segenap sumber daya yang dimilikinya demi mendapatkan dukungan dari masyarakat terhadap kandidat yang diusungnya. Sumber daya yang dimaksud tentunya dengan melakukan strategi marketing politik. Pada saat melakukan strategi marketing politik partai-partai politik sama dengan “pedagang” yang menjual calon kepala daerah sebagai “barang dagangannya” kepada masyarakat yang berperan sebagai konsumen, dan strategi merekalah yang menentukan laku atau tidaknya kandidat tersebut.


(1)

Tabel 9. Alasan Masyarakat Kabupaten Karo Memilih Pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana pada Pilkada Kabupaten Karo Tahun 2010

Pertanyaan Faktor Etnisitas Faktor Ketokohan Faktor Visi-Misi Menurut anda Partai Politik tidak

berperan dalam kemenangan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana, lalu apakah alasan anda memilih pasangan tersebut.

38 Orang 22 Orang 8 Orang

Jumlah 68 Orang

Persentase 56% 32% 12%

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat yang memilih pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana didasarkan kepada faktor etnisitas. Faktor ini sesuai dengan strategi pemenangan Tim sukses pasangan kandidat tersebut.

Hal ini diperkuat oleh pandangan salah seorang masyarakat, Ruben Ketaren, yang menyatakan bahwa faktor kesukuan yang mempengaruhinya dalam menentukan pilihan karena calon yang lain kebetulan calon yang lain salah satunya bukanlah putra asli daerah, dalam hal ini bukan berasal dari Suku Karo, yakni Sumihar Sagala yang merupakan calon wakil dari Siti Aminah Br. Peranginangin dan sebagai penegasan dia menyatakan bahwa apabila pada dua pasang kandidat yang tersisa terdapat sosok dari daerah lain maka lebih baik dia tidak memilih ataupun golput.32

32

Hasil wawancara dengan Ruben Ketaren yang merupakan salah seorang anggota masyarakat yang memilih pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana pada pilkada Kabupaten Karo tahun 2010.

Hal ini sebenarnya sangat disayangkan mengingat dalam memilih kepala daerah sesungguhnya harus mengutamakan program apa yang ditawarkan, bukan justru menonjolkan faktor kesukuan yang lebih bersifat memecah-belah sehingga untuk ke depannya dibutuhkan pembenahan yang signifikan dalam sistem demokrasi kita.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN

Dari penelitian diatas, dapat dilihat bahwa strategi marketing politik yang dijalankan oleh tim pemenangan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana pada Pilkada di Kabupaten Karo Tahun 2010 bisa dikatakan berhasil mendapatkan dukungan dari masyarakat di Kabupaten Karo. Ini dibuktikan dengan unggulnya perolehan suara yang diraih pasangan kandidat tersebut diatas pasangan kandidat lain yakni pasangan Siti Aminah Br. Peranginangin – Sumihar Sagala pada putaran kedua yang secara otomatis membawa pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Karo.

Keberhasilan tersebut dapat digambarkan lebih nyata dengan terlebih dahulu melihat perolehan suara yang diraih oleh pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana pada putaran pertama yakni 25.310 (16,01 %) suara dibawah pasangan Siti Aminah Br. Peranginangin – Sumihar Sagala yang memperoleh 30.804 (19, 49 %) suara. Hasil yang dianggap kurang memuaskan tersebut kemudian direspon dengan melakukan strategi marketing politik yang lebih matang dalam menghadapi putaran kedua seperti yang sudah dibahas dalam penelitian ini. Dan sebagai hasil putaran kedua, pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana berhasil unggul dengan perolehan suara sebanyak 85.343 (61,9 %) unggul jauh diatas pasangan Siti Aminah Br. Peranginangin – Sumihar Sagala yang memperoleh 53.598 suara (38,1%). Hal diatas menunjukkan bahwa usaha tim pemenangan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana dalam melakukan strategi marketing politik untuk memenangkan pasangan tersebut mendapatkan respon yang positif dari masyarakat Karo sebagai konstituen.

Kemudian yang menjadi kesimpulan selanjutnya adalah keberhasilan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana sangat ditentukan oleh faktor etnisitas ataupun kesukuan yang menjadi isu utama yang ditonjolkan oleh tim pemenangan pasangan kandidat tersebut. Hal ini dilihat dari respon masyarakat yang begitu kuat terhadap isu tersebut. Bagaimana persentasi yang besar terdapat pada faktor etnisitas sebagai alasan para pemilih di Kabupaten Karo dalam memilih pasangan kandidat tersebut. Isu tersebut bahkan berhasil menggiring masyarakat untuk mengesampingkan track record, visi-misi dan program kerja dari kandidat yang sebenarnya merupakan alat pengukur bagi pemilih dalam menentukan kualitas pemimpin daerah ke depannya.


(3)

Ditengah bangsa yang menjunjung tinggi pluralisme hendaknya isu etnisitas tidak menjadi alat untuk memenangkan kandidat dalam sebuah proses demokrasi khususnya dalam sebuah proses pemilihan kepala daerah, sebab pada dasarnya isu etnisitas hanya bersifat menyerang atau menjatuhkan etnis lain dan cenderung memecah belah persatuan yang pada akhirnya tentu sangat bertolak belakang dengan semboyan tinggi menjunjung penghormatan terhadap perbedaan. Hal ini tentu saja sangat perlu menjadi perhatian dan pembelajaran bagi kehidupan demokrasi di Indonesia ke depannya.


(4)

Daftar Pustaka

Buku:

Adrianus Pito, Toni, dkk. Mengenal Teori-Teori Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Bandung : Penerbit Nuansa, 2006.

Agustino, Leo. Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.

Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel-Studi tentang Sistem Kepartaian di

Indonesia Era Reformasi, Jakarta: KPG, 2009.

Anwar, Syaiful dan Supardi. Dasar-dasar Perilaku Organisasi, Yogyakarta : UII Press, 2002.

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1989.

Cangara, Hafied. Komunikasi Politik. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2009.

Efriza, Political Explore-Sebuah kajian ilmu politik. Bandung: Alfabeta, 2012.

Firmanzah, Marketing Politik. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia. 2007.

Gaffar, Afan. Dkk. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dan Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintah. 2002.

Hadi Thubany, Syamsul. Pilkada Bima 2005: Era Baru Demokratisasi Lokal Indonesia,

Tuban : Bina Swagiri. 2005.

Herry, Achmad. 9 Kunci Sukses Dalam Pilkada Langsung. Yogyakarta: Galang Press. 2005.

H. I, A. Rahman. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007.

Irtanto. Dinamika Politik Lokal: Era otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.

Mendoza, Democrito. T. Kampanye Isu & Cara Melobi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2004.

Kasali, Rhenald. Membidik Pasar Indonesia Target Positioning,Segmentasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,cetakan ke-4. 2000.


(5)

Mas’oed, Mohtar. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2008.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 1994.

Nimmo, Dan. Komunikasi Politik Khayalan dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2001.

Prihatmoko. Joko J. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia. 1992.

Venus, Antar. Manajemen Kampanye Panduan Teoritis dan Praktis Dalam Mengaktifkan

Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama. 2004.

Yudhoyono, Bambang. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan pengembangan SDM Aparatur


(6)

Sumber Internet

http://www.ahmadheryawan.com/kolom/94-kolom/4206-latar-belakang-berdirinya-partai-politik.html

http://www.cliffsnotes.com/WileyCDA/CliffsReviewTopic/The-

Functions-of-Political-Parties.topicArticleId-65383,articleId-65501.html

www.depdagri.go.id