Komparatif Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba Pada Masyarakat Asal dengan Perantauan (Studi Komparatif Antara Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan)

(1)

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Komparatif Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba

Pada Masyarakat Asal dengan Perantauan

(Studi Komparatif Antara Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan)

SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH:

HERNITA LUMBAN GAOL 050901027

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu

Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana lmu Sosisl Dan Ilmu Politik

Sumatera Utara Medan


(2)

ABSTRAKSI

Perubahan yang terjadi dalam aspek budaya mencakup perubahan struktur dan proses yang ada dalam kebudayaan. Demikian juga halnya dengan perubahan dalam aspek sosial. Perubahan yang terjadi dalam aspek sosial mencakup perubahan struktur dan proses sosial. Pertumbumbuhan dan perkembangan tersebut membawa suatu pola dan nilai baru bagi masyarakat tertentu. Perubahan tersebut dengan sendirinya mempengaruhi masyarakat untuk memilih tindakan yang akan dilakukanya, dan perubahan tersebut senantiasa melekat pada masyarakat. Dengan demikian masyarakat senantiasa diliputi perubahan, dan perubahan selalu ada dalam suatu masyarakat. Ini merupakan ciri dinamis dari masyarakat.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif ,yang berusaha untuk mengambarkan, meringkas, berbagai kondisi, situasi atau berbagai fenomena sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat atau gambaran tentang kondisi, situasi maupun fenomena tertentu. Teknik pengumpulan data berupa kuesioner, dokumenter dan analisis data. Melalui deskriptif dengan panduan teori perubahan. Penelitian ini dilakukan terhadap 200 orang responden dimana 100 orang responden berasal dari kecamtan Pollung dan 100 orang responden berasal dari Medan perjuangan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana perbandingan nilai sosial budaya perkawinan Batak Toba.

Dari hasil penelitian dilapangan bahwa terjadinya perubahan dalam hal perkawinan adat batak toba itu hanya sedikit perubahannya. Dimana baik itu pada proses pra perkawinan, Upacara perkawinan dan pasca perkawinan masih tetap dilakukan tahapan-tahapannya. masyarakat yang tinggal dikota membuat perubahan itu dalam waktu tertentu saja, tetapi pada pelaksanaan upacara perkawinan pada umumnya masih tetap dilakukan.


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati saya mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab kasihNya yang begitu besar pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “ KOMPARATIF NILAI SOSIAL BUDAYA PERKAWINAN BATAK TOBA PADA PENDUDUK ASAL DENGAN PERANTAUAN”.

Dalam penulisan skrispsi ini banyak hikmat yang penulis terima, terutama dalam hal ketekunan, kesabaran dan penyerahan diri terhadap Tuhan. Disiplin dan kesabaran untuk memahami orang lain, kemampuan berpikir dan daya nalar khususnya dalam penyelesaian skrispsi ini, semua ini merupakan pengalaman yang tidak akan dapat dilupakan.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik USU Medan beserta seluruh staf pegawai.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi FISIP USU Medan.

3. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si selaku Dosen Pembimbing saya yang telah banyak membimbing, memberikan waktu, tenaga dan sumbangan pemikiran dalam memberikan saran dan kritik serta mengevaluasi sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.


(4)

4. Bapak, Ibu Dosen yang ada di FISIP USU khususnya dosen saya yang mengajarkan mata kuliah di Departemen Sosiologi, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

5. Bapak Mangabing Tua Sinaga Selaku Kepala Desa Hutajulu dan Bapak Syafruddin Harahap S.SOS selaku Camat Medan Perjuangan Beserta para staf pegawai dan juga semua informan, yang telah banyak memberi saya bantuan data selama penelitian.

6. Orang tua saya N. Lumban Gaol dan E. Lumban Batu yang telah banyak memberikan dukungan pengertian, dorongan yang tak henti-hentinya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan pengorbanan yang tidak ternilai selama ini kepada penulis. Semoga Tuhan memberikan limpahan Rahmat-Nya dan berkat-Nya kepada orang tua saya.

7. Kakak saya M. Lumban Gaol & J. Banjar Nahor, yang memberikan banyak dorongan kepada saya dan adek saya Abidin, Polber, Natalia, Normauli terimakasih atas doa dan dukungannya.

8. Keluarga besar saya Uda, Inanguda, Tulang, Nantulang Namboru, serta saudara-saudara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terimakasih telah banyak memberikan dorongan serta motivasi kepada saya selama menyelesaikan skripsi ini.

9. Abang saya Jaipar Sihombing terimakasih atas dukungan serta motivasi yang selama ini diberikan terhadap saya.

10.Sahabat terdekat saya Nikson, terimakasih karena telah mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

11.Teman-teman terdekat saya, Vera, Sari, Helna, Yeni, Iren, Edu, Roy, Beny, Renty, Twince dan seluruh stambuk 2005 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terimakasih atas motivasinya, dan juga buat Okto, Viana, Nalon, Tina, Debora, dan seluruh stambuk 2006 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu semoga sukses dan selamat berjuang terimakasih atas dukungannya dan juga kepada abang serta kakak stambuk mulai dari 2004, 2003, dan adek kami stambuk 2007, 2008, 2009.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu masukan dan kritik yang membangun sangat saya hargai. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua saya banyak mengucapkan banyak terimakasih.

Medan, Februari 2011

Hernita Lumban Gaol

DAFTAR ISI


(6)

KATA PENGANTAR ………. i

ABSTRAKSI ……… ii

DAFTAR ISI ……… iii

DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR LAMPIRAN……… v

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ……….. 1

1.2.Perumusan Masalah ……….. 6

1.3.Tujuan Penelitian ………. 6

1.3.1. Manfaat Penelitian ……… 6

1.3.2. Manfaat Teoritis ……… 6

1.3.3. Manfaat Praktis ………. 6

1.4.Kerangka Teori ……….……... 7

1.4.1. Nilai Soaial Budaya Perkawinan Batak Toba ……….. 7

1.4.2. Perubahan Sosial dan Kebudayaan ……….. 11

1.4.3. Proses Perubahan Sosial dan Kebudayaan ………... 13

1.4.4. Proses Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba ……… 14

1.4.5. Masa Pra Perkawinan ……… 14

1.4.6. Upacara Perkawinan ………. 15

1.4.7. Upacara Pasca Perkawinan ……… 15

1.5.Defenisi konsep ………. 16

1.6.Hipotesis ………. 17


(7)

1.8.Operasional Variabel……… 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ………. 25

3.2. Lokasi Penelitian ……….. 25

3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ……… 25

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……… 26

3.5. Analisis Data ………..………... 27

3.6. Keterbatasan Penelitian ……….……. 27

3.7. Jadwal Kegiatan ………. 28

BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 29

4.1.1. Gambaran Kota Medan Secara Umum. ……… 29

4.1.1.1. Gambaran Medan Perjuangan Secara Umum ………... 32

4.1.1.2 Gambaran Kelurahan Sidorame Barat II……… 39

4.1.1.3 . Gambaran Masyarakat Suku Batak Toba Di Kelurahan Sidorame Barat II……….……… 46

4.1.2. Gambaran Umum Kabupaten Humbang Hasundutan. …………. 47

4.1.2.1. Gambaran Masyarakat Kecamatan Pollung ……… 52

4.1.2.2. Gambaran Masyarakat Desa Hutajulu…………. ………... 54

4.2. Karakteristik Responden ……… ... ... ….. 62


(8)

4.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia……… 65

4.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan ……… 66

4.3. Analisis Komparatif Terhadap Nilai Sosial Budaya Perkawinn Batak Toba………. 67

4.3.1.1. Pandangan Responden Pada Masa Pra Perkawinan ….……….. 68

4.3.1.2. Martandang……… 68

4.3.1.3. Mangaririt……… 70

4.3.1.4. Tanda Hata olo……… 73

4.3.1.5. Marhusip……… 74

4.3.1.6. Marhata Sinamot……… 76

4.3.2. Upacara Perkawinan …………..….………….……. ………. 78

4.3.2.1. Marsibuha-buhai……… 78

4.3.2.2. Marunjuk……….. 79

4.3.3. Pasca Perkawinan……… …. .. 80

4.3.3.1. Paulak Panaru……… .80

4.3.3.2. Paulak Une……… 81

4.3.3.3. Maningkir Tangga……… 82

4.4. Pandangan Responden Terhadap Perubahan Nilai Sosial Budaya Batak Toba… ……….………… 84

4.5. Modernisasi Menyebabkan Terjadinya Perubahan Bentuk Perkawinan… 86 4.6. Tindakan Dan Sikap Terhadap Adanya Perubahan Dalam Menjalakan Tata Cara Adat Perkawinan ………..…… 87


(9)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan………...……… 93

5.2. Saran ………. 96

DAFTAR PUSTAKA


(10)

Jumlah Kelurahan……… 33 Tabel 4.2. Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan

Tingkat Suku Bangsa………. 35 Tabel 4.3. Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan

Mata Pencaharian……….. 36 Tabel 4.4. Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan

Tingkat Pendidikan……… 37 Tabel 4.5 Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan

Tingkat Agama……….. 37

Tabel 4.6. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Lingkungan……… 39

Tabel 4.7. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Jenis Kelamin……… 40

Tabel 4.8. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Jenis Pekerjaan……….. 41 Tabel 4.9. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Tingkat Usia………. . 42

Tabel 4.10. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Kewarganegaraan………. 42

Tabel 4.11. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Tingkat Pendidikan………. 43 Tabel 4.12. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan


(11)

Tabel 4.13. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Suku Bangsa……… 45

Tabel 4.14. Distribusi Berdasarkan Pendidikan……….……… 50

Tabel 4.15. Distribusi Berdasarkan Agama……… 52

Tabel 4.16. Distribusi Berdasarkan Agama……… 57

Tabel 4.17. Distribusi Berdasarkan Pendidikan………. 58

Tabel 4.18. Distribusi Berdasarkan Tingkat Pendidikan……… 59

Tabel 4.19. Distribusi Berdasarkan Tingkat Usia……… 60

Tabel 4.20. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin……… 62

Tabel 4.21. Distribusi Responden Berdasarkan Status Pendidikan…… 62

Tabel 4.22. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan……… 63

Tabel 4.23. Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Usia………… 64

Tabel 4.24. Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan… 66

Tabel 4.25. Tata Upacara Perkawinan Martandang……… 68

Tabel 4.26 Tata Upacara Perkawinan Mangaririt……… 70

Tabel 4.27. Tata Upacara Perkawinan Tanda Hata Olo……… 72

Tabel 4.28. Tata Upacara Perkawinan Marhusip………. 74

Tabel 4.29. Tata Upacara Perkawinan Marhata Sinamot………. 75

Tabel 4.30. Tata Upacara Perkawinan Marsibuha – buhai.……… 77

Tabel 4.31. Tata Upacara Perkawinan Marunjuk...……… 78

Tabel 4.32. Tata Upacara Perkawinan Paulak Panaru.……… 79


(12)

Tabel 4.35. Distribusi Jawaban Responden Tentang Masyarakat Yang Menyetujui Perubahan Upacara Adat Perkawinan Batak Toba……….. 82 Tabel 4.36. Distribusi Jawaban Responden Modernisasi Menyebabkan Terjadinya

Bentuk Perkawinan……… 84 Tabel 4.37. Distribusi Jawaban Responden Tentang Tindakan dan Sikap terhadap

Adanya Perubahan dalam Pelaksanaan Tata Cara Adat


(13)

ABSTRAKSI

Perubahan yang terjadi dalam aspek budaya mencakup perubahan struktur dan proses yang ada dalam kebudayaan. Demikian juga halnya dengan perubahan dalam aspek sosial. Perubahan yang terjadi dalam aspek sosial mencakup perubahan struktur dan proses sosial. Pertumbumbuhan dan perkembangan tersebut membawa suatu pola dan nilai baru bagi masyarakat tertentu. Perubahan tersebut dengan sendirinya mempengaruhi masyarakat untuk memilih tindakan yang akan dilakukanya, dan perubahan tersebut senantiasa melekat pada masyarakat. Dengan demikian masyarakat senantiasa diliputi perubahan, dan perubahan selalu ada dalam suatu masyarakat. Ini merupakan ciri dinamis dari masyarakat.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif ,yang berusaha untuk mengambarkan, meringkas, berbagai kondisi, situasi atau berbagai fenomena sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat atau gambaran tentang kondisi, situasi maupun fenomena tertentu. Teknik pengumpulan data berupa kuesioner, dokumenter dan analisis data. Melalui deskriptif dengan panduan teori perubahan. Penelitian ini dilakukan terhadap 200 orang responden dimana 100 orang responden berasal dari kecamtan Pollung dan 100 orang responden berasal dari Medan perjuangan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana perbandingan nilai sosial budaya perkawinan Batak Toba.

Dari hasil penelitian dilapangan bahwa terjadinya perubahan dalam hal perkawinan adat batak toba itu hanya sedikit perubahannya. Dimana baik itu pada proses pra perkawinan, Upacara perkawinan dan pasca perkawinan masih tetap dilakukan tahapan-tahapannya. masyarakat yang tinggal dikota membuat perubahan itu dalam waktu tertentu saja, tetapi pada pelaksanaan upacara perkawinan pada umumnya masih tetap dilakukan.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan tidak hanya penting bagi suku-suku bangsa tertentu tetapi negarapun menganggap penting untuk mengatur dan mengesahkan tahapan perkawinan. Menurut Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuanya membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya adalah Ketuhan Yang Maha Esa.

Pada masyarakat Batak Toba perkawinan juga harus diatur berdasarkan adat dalihan natolu. Masyarakat Batak Toba menganggap sebuah perkawinan adalah sakral dan suci, karena merupakan perpaduan hakekat hidup antara laki-laki dan perempuan menjadi satu. Upacara adat saat yang paling menentukan, apakah perkawinan tersebut sesuai dengan adat atau tidak bagi masyarakat Batak Toba. Biasanya upacara adat perkawinan ditentukan lewat terselenggaranya adat pada sebelum upacara perkawinan, saat perkawinan dan adat sesudah upacara perkawinan. Perkawinan merupakan masa yang paling penting dalam perjalanan hidup manusia, oleh karena itu harus benar-benar dipikirkan dengan siapa akan melangsungkan perkawinan, bagaiman adat istiadat yang dianut dan bagaimana perkawinan itu akan dilaksanakan.


(15)

Terlaksananya upacara adat perkawinan ini, maka dianggap sebagai perkawinan yang ideal dan memiliki nilai yang tinggi bagi masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba memiliki dua bentuk perkawinan yaitu marbagas dan

mangabia. Marbagas adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan,

mangabia adalah perkawinan bagi janda atau duda sesama anggota marga. Perkawinan marbagas dapat dilaksanakan dalam dua cara yaitu cara marunjuk dan

mangalua.

Marunjuk adalah bentuk perkawinan melalui syarat-syarat menimang dan pembayaran mas kawin, sedangkan mangalua adalah kawin lari sepasang pemuda-pemudi tanpa membayar mas kawin. Proses perkawinan marunjuk dapat dilakukan dalam dua bentuk upacara perkawinan yaitu bentuk upacara perkawinan alap jual

(jemput baru jual) dan upacara perkawinan taruhon jual. Bentuk upacara perkawinan

alap jual adalah upacara perkawinan yang pelaksanaanya di adakan dirumah atau kampung halaman pihak perempuan sedangkan upacara perkawinan taruhon jual

(antar baru jual) adalah upacara perkawianan yang pelaksananya dirumah atau kampung halaman pihak pengantin laki-laki.

Perkawinan mangalua disebabkan karena tidak adanya kata sepakat antara pihak pengantin laki-laki dengan pihak pengantin perempuan mengenai jumlah mas kawin yang akan diberikan pihak pengantin laki, dimana pihak pengantin laki-laki adakanya karena tidak sanggup memberikan jumlah mas kawin yang diminta oleh pihak pengantin perempuan. Perkawinan mangalua ini juga dapat terjadi karena salah seorang atau kedua orang tua pengantin laki-laki atau pengantin perempuan


(16)

Masyarakat Batak membedakan dua macam perkawinan yaitu mangalua

(kawin lari) dan kawin secara biasa dengan mengikuti semua prosedur yang ada. Perkawinan dengan cara kawin lari yaitu perkawinan tanpa upacara adat. Umumnya perkawinan ini terjadi karena adanya ketidak setujuan dari pihak kerabat salah satu atau kedua belah pihak, tetapi sering juga terjadi karena biaya yang tidak cukup untuk mengadakan upacara adat perkawinan. Perkawinan tanpa diikuti upacara adat ini hanya diresmikan di gereja atau kantor catatan sipil. Secara adat pasangan yang kawin lari di anggap belum resmi kawin.

Untuk meresmikan perkawinan mereka secara adat, harus melalui upacara yang disebut dengan mangadati (membayar adat). Sebelum melalui upacara peresmian perkawinan, maka pasangan kawin lari tersebut belum boleh menyelenggarakan upacara adat apapun yang berhubungan dengan kehidupanya. Upacara peresmian perkawinan tidak jauh berbeda dari upacara perkawinan biasa perbedaanya hanya nama upacaranya (mangadati dan merunjuk). Prosedur adat yang didahuluinya dimulai dengan beberapa perkataan adat yang dalam upacara perkawinan disebut marhata yaitu antara kerabat dalihan na tolu kedua belah pihak.

Perkawinan dalam masyarakat Batak pada umumnya merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat dalam hubungan tertentu kerabat pihak laki-laki dengan pihak perempuan. Dalam upacara adat perkawinan, peranan kerabat dalihan na tolu dari kedua belah pihak mempunyai peranan penting. dimana orang tua pengantin wanita tidak diperbolehkan sendirian dalam menerima mahar melainkan harus dihadiri oleh ayah dan ibu. Dari pihak laki-laki, mereka harus mengundang secara lengkap kerabat


(17)

dalihan na tolu dan membagi sinamot tersebut sesuai dengan adat. Demikian juga pihak pengantin laki-laki, mahar yang harus dibayar oleh pihak laki-laki harus dibayar bersama oleh kerabat dalihan na tolu pihak laki-laki.

Dari sudut pelaksanaanya upacara perkawinan yang melibatkan banyak pihak, maka prinsip pertanggung jawaban adalah milik kelompok sosial. Setiap unsur pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara langsung dengan bertanggung jawab sesuai dengan kedudukan sosial adatnya. Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya (marpariban). Seorang laki-laki Batak di larang kawin dengan anak perempuan dari saudara ayah dan juga dengan wanita dari kelompok marganya sendiri, karena orang-orang yang satu marga menganggap sesamanya sebagai kerabat dari satu nenek moyang, sehingga merupakan satu kesatuan.

Hubungan perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah hubungan (perkawinan sepihak) yaitu perkawinan tidak boleh timbal balik. Sebagai contoh seorang pemuda A mengambil gadis dari marga B, seorang pemuda dari marga B tidak boleh mengambil gadis dari marga A, tetapi harus mengambil seorang gadis dari marga C, demikian seterusnya. Didaerah perantauan pada umumnya, di daerah perkotaan pada khususnya masih dilakukan tradisi adat perkawinan dengan mengacu kepada tata cara yang telah disepakati dan juga masih digunakan istilah-istilah seperti

jambar, pamarai, tuhor dan lain-lain dalam sebuah adat pernikahan Batak Toba. Sebagai salah satu bukti dari adanya perubahan tersebut adalah perubahan


(18)

pihak laki-laki ataupan perempuan, sekarang dilaksanakan di tempat tertentu seperti wisma. Saat dan waktu pelaksanan upacara dulu dilaksanakan dalam waktu dan proses yang cukup lama, sekarang dipersingkat dengan istilah pesta adat ulaon sadari

artinya pesta yang dituntaskan selama satu hari. Sementara pada hakeketnya pelaksaan upacara tersebut dilaksanakan berselangan dalam waktu yang cukup lama, misalnya satu minggu. Contoh pelaksanaan paulak une, dan maningkir tangga yang dilaksanakan langsung setelah upara peresmian selesai tepat ditunggu seminggu kemudian.

Demikian juga dengan unsur peralatan dan perlengkapan upacara yang digunakan yang dulunya peralatan begitu sederhana. Sekarang upacara perkawinan tersebut dilaksanakan dengan dukungan peralatan dan perlengkapan yang lebih maju, penggunaan dan pemakaian peralatan tata rias, tata busana, penyunting, peralatan hiburan merupakan suatu bukti perubahan tersebut, demikian juga dengan orang-orang yang melaksanakan upacar tersebut tidak persis lahi seperti yang dahulu.

Upacara perkawinan yang dilaksanakan dan diikuti oleh pihak kerabat dalam

dalihan na tolu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan generasi. Dalam upacara perkawinan ada beberapa upacara yang dapat dilakukan oleh wakil dari anggota kerabat dalam dalihan na tolu. Artinya seseorang yang seharusnya hadir sebagai hula-hula dapat diwakili ataupun digantikan oleh orang lain yang satu marga, ataupun sekampung dengan dia yang disebut dongan sahuta sementara dahulu, hal itu merupakan sesuatau yang tidak mungkin dilakukan ataupun istilah mangamai yaitu memilih satu keluarga yang dijadikan sebagai wakil bapak orang tua salah seorang dari pengantin, merupakan suatu perubahan dalam bagian ini.


(19)

Perubahan tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu akibat dari terjadinya perubahan penilaian terhadap tata cara dan kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam upacara perkawinan. Perubahan penilaian tersebut juga mempengaruhi tindakan untuk memenuhi kewajiban dalam tata cara tadi, dalam hal ini terjadi proses pertimbangan dan perhitungan mengenai tindakan yang diperioritaskan upacara perkawinan yang terjadi atas upacara sebelum perkawinan saat peresmian perkawinan dan upacara setelah peresmian perkawinan merupakan tata cara yang berisikan kewajiban. Oleh karena itu penulis tertarik mengambil judul Komparatif Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba Pada Masyarakat Asal dengan Perantauan (Studi komparatif di Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi rumusan masalah yang penulis ambil adalah: Apakah ada perbedaan antara nilai sosial budaya upacara perkawinan Batak Toba pada masyarakat Desa Hutajulu dengan masyarakat Kelurahan Sidorame

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbedaan nilai sosial budaya perkawinan Batak Toba pada Masyarakat Desa Hutajulu dengan Masyarakat Kelurahan Sidorame.


(20)

1.3.1. Manfaat Penelitain

Setelah mengadakan penelitian ini, diharapkan manfaat penelitian ini berupa:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan, memperluas pengetahuan kepada peneliti dan juga kepada pembaca mengenai perbandingan nilai sosial budaya perkawinan Batak Toba antara masyarakat asal dengan masyarakat perantauan, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori ilmu-ilmu sosial khususnya ilmu sosiologi. Selain itu diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak yang memerlukannya.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat menambah reprensi hasil penelitian dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnuya dan kemudian dapat di jadikan sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang bagaimana komparatif nilai sosial tersebut. atau Penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan masyarakat terkusus masyarakat Batak Toba yang ada di perantauan dan masyarakat asal tentang tata cara adat terkusus dalam perkawinan, serta dapat menggambarkan pola penerapan upacara perkawinan pada suku Batak Toba yang ada di masyarakat asal dengan peran.


(21)

1.4. Kerangka Teori

1.4.1. Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa besar pada suku Batak Toba, sehingga upacara itu selalu diperlihatkan di dalam pelaksanaan upacara-upacara adat peresmianya. Perkawinan masyarakat Batak Toba haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat dalihan na tolu, dan upacara agama serta catatan sipil hanyalah pelengkap saja. Perkawinan pada masyarakat Batak Toba sangat kuat sehingga tidak mudah untuk bercerai karena dalam perkawinan tersebut banyak orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab di dalamnya. Adapun tata cara perkawinan secara normal berdasarkan ketentuan adat terdahulu ialah perkawinan yang mengikuti tahap-tahap berikut:

1. Mangaririt

Mangaririt adalah ajuk-mengajuk hati atau memilih gadis yang akan dijadikan menjadi calon istrinya sesuai dengan kriterianya sendiri dan kriteria keluarga. Acara mangaririt ini dilakukan kalau calon pengantin laki-lakinya adalah anak rantau yang tidak sempat mencari pasangan hidupnya sendiri, sehingga sewaktu laki-laki tersebut pulang kampung, maka orang tua dan keluarga lainya mencarai perempuan yang cocok denganya untuk dijadikan istri, tetapi perempuan yang dicarikan tersebut harus sesuai dengan kriteria silaki-laki dan kriteria keluarganya.

2. Mangalehon Tanda


(22)

saling memberikan tanda. Laki-laki biasanya memberikan uang kepada perempuan sedangkan perempuan menyerahkan kain sarung kepada laki-laki, setelah itu maka laki-laki dan perempuan itu sudah terlibat satu sama lain. Laki-laki kemudian memberitahukan hal itu kepada orang tuanya, orang tua laki-laki akan menyuruh prantara atau domu-domu yang sudah mengikat janji dengan putrinya.

3 Marhusip

Marhusip artinya berbisik, namun pengertian dalam tulisan ini adalah pembicaran yang bersifat tertutup atau dapat juga disebut perundingan atau pembicaraan antara utusan keluarga calon pengantin laki-laki dengan wakil pihak orang tua calon pengantin perempuan, mengenai jumlah mas kawin yang harus di sediakan oleh pihak laki-laki yang akan diserahkan kepada pihak perempuan. Hasil-hasil pembicaraan marhusip belum perlu diketahui oleh umum karena menjaga adanya kemungkinan kegagalan dalam mencapai kata sepakat. Marhusip biasanya diselenggarakan di rumah perempuan. Domu-domu calon pengantin laki-laki akan menerangkan maksud kedatangan mereka pada kaum kerabat calon pengantin perempuan.

4. Martumpol

Martumpol bagi orang Batak Toba dapat disebut juga sebagai acara pertunangan namun secara harafiah martupol adalah acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat gereja diikat dalam janji untuk melangsunkan perkawinan. Martupol ini dihadiri oleh orang tua kedua calon pengantin dan kaum kerabat mereka beserta para undangan yang biasanya diadakan di dalam


(23)

gereja, karena yang mengadakan acara martumpol ini kebanyakan adalah masyarakat Batak Toba yang Beragama Kristen.

5.Marhata Sinamot

Marhata sinamot biasanya diadakan selesai membagikan jambar. Marhata sinamot yaitu membicarakan berapa jumlah sinamot dari pihak laki-laki, hewan apa yang di semblih, berapa banyak ulos, berapa banyak undangan dan dimana dilakukan upacara perkawinan tersebut. Acara marhata sinamot dapat juga dianggap sebagai perkenalan resmi antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan. Mas kawin yang diberikan pihak laki-laki biasanya berupa uang yang jumlah mas kawin tersebut di tentukan lewat terjadinya tawar-menawar

6.Martonggo Raja.

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba bukan hanya urusan ayah dan ibu kedua calon pengantin, tetapi merupakan urusan semua keluarga, karena itu orang tua calon pengantin akan mengumpulkan semua anggota keluarga di rumah mereka masing-masing dan yang hadir dalam upacara ini terutama menyangkut dalihan na tolu yaitu hula-hula, boru, dongan sabutuha, dan dongan sahuta(teman sekampung).

7. Marunjuk

Marujuk adalah saat berlangsungnya upacara perkawinan, upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba ada dua macam yaitu alap dan taruhon jual. alap jual adalah suatu upacara adat perkawinan Batak Toba yang tempat


(24)

Pengantin perempuan dijemput oleh pengantin laki-laki bersama oaring tua, kaum kerabat dan para undangan ke rumah orang tuanya. Pihak pengantin laki-laki sering menyebut istilah ini mangalap boru

( menjemput pengantin perempuan). Pada acara merunjuk inilah akan berjalan semua upacara perkawinan dari makan sibuhai-buhai, pembagian, dan mangulosi.

8.Paulak Une

Acara ini dimasukkan sebagai langkah agar kedua belah pihak bebas saling kunjung mengunjungi setelah beberapa hari berselang setelah upacara perkawinan yang biasanya dilaksanakan seminggu setelah upacara perkawinan, pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin pergi ke rumah pihak orang tua pihak pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak perempuan mengetahui bahwa anak perempuanya betah tinggal di rumah mertuanya.

9. Maningkir Tangga

Upacara ini pihak perempuan pergi mengunjungi pengantin dirumah pihak laki-laki, dimana mereka makan bersama melakukann pembagian jambar. Pada hakekatnya maningkir tangga ini dimaksudkan agar pihak perempuan secara langsung melihat dari keadaan putrinya dan suaminya karena bagaimanapun mereka telah terikat oleh hubungan kekeluargaan dan sekaligus memberi nasehat dan bimbingan kepada pengantin dalam membina rumah tangga.


(25)

Kesepakatan pada nilai-nilai sosial merupakan dasar yang penting bagi banyak kelompok, terutama dalam perkawinan. Tiap-tiap pasangan perkawinan mempunyai nilai-nilai budaya sendiri, hal-hal yang dianggap penting oleh masing-masing pihak. Jarang sekali hal ini disepakati secara lengkap. Setiap pasangan dapat berbeda keinginannya dalam menentukan hal-hal seperti pengaturan keuangan, rekreasi, agama, memperlihatkan kasih sayang, hubungan-hubungan dengan menantu mereka, dan tata cara.

Nilai-niali sosial meliputi berbagai pola-pola tingkah laku yang luas. Suatu nilai yang penting adalah perkawinan itu sendiri. Pada dasarnya, sikap terhadap perkawinan, seperti suatu nilai sering merupakan faktor penentu dalam keberhasilan perkawinan. Bagi kebanyakan orang, perkawinan adalah nilai tunggal mereka paling penting, dan mereka akan berbuat segalanya yang dapat mereka lakukan untuk menyesuaikan secara memuaskan. Bagi yang lain, perkawinan tidaklah penting seperti kebahagian pribadi mereka, kesenangan, atau kesuksesan pribadi mereka.

1.4.2. Perubahan Sosial Dan Kebudayaan

Kebudayaan merupakan suatu keadaan dalam masyarakat yang terjadi karena ketidaksesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan yaitu: faktor intern, merupakan faktor yang berasal dari dalam lingkungan sosial budaya setempat. Faktor ekstern merupakan faktor perubahan yang berasal dari luar lingkungan kebudayaan setempat.


(26)

Pada dasarnya perubahan sosial dan kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan adalah merupakan suatu proses yang dapat diukur melalui skala maju, mundur naik atau turun, banyak atau sedikit. (Simanjuntak , 2002 : 171). Perubahan dalam masyarakat dapat berarti positif maupun negatif, perubahan yang positif adalah perubahan yang membawa kemajuan, dan perubahan dalam arti negatif adalah perubahan yang mengakibatkan kemunduran. Perubahan dalam arti positif maupun negatif dapat dilihat dalam beberapa akibat dari terjadinya perubahan dibawah ini:

1. Perubahan dapat mengancam kepentingan yang sudah tetap 2. Perubahan dapat merusak kebiasaan

3. Perubahan dapat membawa pola-pola tingkah laku baru (Simanjuntak, 1980:14) Perubahan yang menerobos seluruh aspek kehidupan mempengaruhi perubahan sikap masyarakat. Perubahan sikap masyarakat tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, antara lain:

1. Faktor dari dalam diri masyarakat mencakup derajat selektifitas terhadap nilai baru untuk diterima dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

2. Faktor dari luar diri masyarakat, mencakup pengaruh budaya luar, pertumbuhan penduduk, kemajuan iptek dan lain-lain (Simanjuntak, 1980-14).

Yang dimaksud dengan derajat selektifitas adalah kemajuan individu dalam masyarakat untuk menyaring pengaruh budaya luar, atau nilai baru yang merupakan hasil pembaharuan dalam setiap aspek kehidupan. Pengaruh budaya luar, pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang mempengaruhi individu dalam masyarakat. Artinya dengan adanya pengaruh budaya luar, pertumbuhan penduduk


(27)

yang mempengaruhi terciptanya keragaman kebutuhan yang medorong setiap individu untuk berubah. Nilai baru yang sudah diterima dapat menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi budaya setelah mengalami proses penerapan, sehingga akan terjadi perubahan dalam cara berfikir, cara menghayati dan cara bertindak individu dalam masyarakat (Simanjuntak, 2002 :173).

Perubahan adalah proses yang berkesinambungan dan mempunyai arah yang jelas. Yang dapat terjadi melalui adaptasi, penyesuaian, akomodasi, asimilasi dan lain-lain, sehingga terjadi proses perubahan antara dua atau lebih objek dan sistem sosial budaya (Simanjuntak,2002:171).

Ada beberapa variabel yang berpengaruh amat besar dalam proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat, namun intensitas pengaruh setiap variabel pada setiap masyarakat yang berbeda, tak dapat disamakan. Dalam khusus masyarakat Batak Toba dapat dikatakan bahwa secara umum variabel agama dan pendidikan merupakan variabel yang amat mempengaruhi dan menentukan arah perubahan sosial budaya.

1.4.3. Proses Perubahan Sosial Dan Kebudayaan

a. Penyesuaian masyarakat terhadap perubahan

Keseimbangan atau keharmonisan dalam masyarakat (sosial equilibrium)

bertujuann sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyrakatan yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Adakalanya unsur-unsur baru dan lama bertentangan, sehingga mengakibatkan terganggunya


(28)

keseimbagan, bila keseimbangan itu dapat dipulihkan kembali dinamakan suatu penyesuaian.

b. Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan

Saluran perubahan sosial dan kebudayaan yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan (pemerintah, ekonomi, pendidikan, agama), lembaga ini merupakan penilaian tertinggi dari masyarakat.

c. Disorganisasi (disentegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi)

Disorganisasi adalah suatu keadaan tidak adanya keserasian dimasyarakat antar lembaga-lembaga kemasyarakatan dan norma-norma, nilai-nilai, dan sebaginya. Reorganisasi adalah suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyrakatan yang telah melembaga dalam diri masyarakat.

1.4.4. Proses Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba

Secara ringkas dapat dijelaskan bagaimana suatu proses pernikahan dalam masyarakat Batak Toba yang dianggap ideal. Hal ini sangat diperlukan untuk nantinya dapat melihat perbandingan antara proses yang ideal dan perubahan yang telah terjadi pada masyarakat batak Toba yang ada di penduduk asal dengan perantauan.

1.4.5. Masa Pra Perkawinan

a. Martandang, “balga anak pasohoton, mangodang boru pamulion asa marhasohotan.” Adalah merupakan suatu pepatah yang sering disarankan oleh


(29)

seorang ibu kepada anaknya yang telah akil balik kelak berkeluarga. Maksutnya agar setiap anak laki-laki dan anak perempuan yang telah dewasa sudah saatnya memikirkan membentuk rumah tangga. Dalam tradisi masyarakat Batak toba, martandang biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki dengan berbagai hal. Ada dengan usaha orang tua martandang kepihak lingkungan sendiri, misalnya kepihak hula-hula atau tulang (paman).

b. Mangaririt, pada kesepakatan inilah sang pemuda dan gadis-gadis saling menyampaikan isi hati masing-masing. Pada tahap inilah yang disebut

mangaririt memilih gadis yang akan dijadikan menjadi calon isterinya sesuai dengan kriterianya sendiri dan kriteria keluarga. Apabila kedua kriteria itu kira-kira sudah terpenuhi pada diri gadis itu, maka sipemuda dengan cara halus menyampaikan maksudnya dan kemudian disampaiakan dengan cara terbuka kepada si gadis menyampaikan hal itu kepada ibunya. Kalau keluarga sudah berkenaan bermenantukan sipemuda, maka si gadis memberitahukan hal itu kepada pemuda pujaanya.

c. Tanda hata olo (tukar cicin) : tukar cicin antara dua sijoli yang sudah memadu cinta dan berjanji sehidup semati dalam bentuk suami isteri adalah istilah baru mengikuti jaman, dahulu istilah ini disebut mangalehon tana hata.

d. Marhusip : adalah suatu kegiatan penjajakan akan kelanjutan yang akan dilaksakan kedua belah pihak kerabat akibat dari tukar cincin tadi.

e. Marhata sinamot ; adalah perkenalan resmi antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan di depan undangan, atau suatu cara untuk menjajaki sejauh


(30)

mana beban yang dapat dipundak oleh kedua belah pihak agar perkawinan itu dapat dilaksanakan.

1.4.5. Upacara Perkawinan

Masyarakat memandang perkawinan itu suci, perpaduan hakekat antara kehidupan laki-laki dengan perempuan menjadi satu sehingga sering kita dengar para pemberi nasehat kepada pengantin dengan mengatakan, bahwa satu tambah satu adalah dua, tetapi dalam perkawinan bahwa satu tambah satu itu adalah satu. Artinya dua insan manusia yang menjadi suami istri harus menjadi satu pada kehidupan berkeluarga.

1.4.6. Upacara pasca perkawinan

Dalam hal di atas, adapun yang menjadi bagian-bagian dari pada upacara pasca perkawinan adalah sebagai berikut

a. Paulak panaru yang dimaksud dengan panaru adalah gadis pengiring pengantin permpuan dari desa pihak perempuan ke desa pengantin laki-laki. Setelah tugas

panaru sudah selesai, maka untuk mengantar panaru pulang ke deasa asalnya maka harus dilengkapi dengan makanan, yaitu dengan acara adat lengkap dengan

tudu-tudu ni sipanganon.

b. Paulak une adalah keluarga pihak laki-laki mengunjungi pihak perempuan dengan jalan membawa makanan adat beserta kedua pengantin.

c. Maningkir tangga adalah upacara adat, dimana pihak perempuan lengkap dengan unsur dalihan na tolu, membawa makanan adat yaitu dengke sitio-tiosimudurudur


(31)

mengunjungi keluarga pihak laki-laki. Mereka disambut pihak laki-laki dengan lengkap dengan unsur dalihan na tolu juga maningkir tangga bukan sekedar melihat tangga atau desa keluarga pihak paranak, melainkan bagaimana membuat agar rumah tangga baru itu berjalan dengan baik bagaimana layaknya rumah tangga Batak Toba. Setelah maningkir tangga selesai maka lengkaplah prosedur adat perkawinan masyarakat Batak Toba sacara keseluruhan.

1.5. Defenisi Konsep

Perubahan ini berarti perubahan nilai atau penilaian yang diberikan oleh individu atau masyarakat baik dari segi positif ke negatif atau sebaliknya terhadap suatu objek yang dalam penelitian ini adalah perkawinan dipengaruhi oleh adanya perubahan situasi dan kondisi dan berbagai faktor yang dijadikan sebagai pertimbangan. Faktor tersebut antara lain ; pendidikan, status ekonomi uang, teknologi, kemajuan media informasi. berdasarkan adat istiadat suku tertentu, Upacara adat perkawinan suku Batak Toba berarti keseluruhan rangkaian kegiatan yang telah ditentukan dalam adat istiadat Batak Toba dalam melaksanakan suatu perkawinan.

1. Nilai sosial budaya adalah berupa aturan-aturan yang menjadi pengangan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh masyarakat Batak Toba yang menyangkut hubungan antara anak dengan ayah, anak dengan ibu, saudara dengan saudara, kemenakan dengan paman, hubungan menantu dengan mertua, antara individu dengan individu, atau merupakan petunjuk


(32)

yang telah berlangsung lama dan akan mengarahkan perilaku dan memberi kepuasan dalam kehidupan sehari-hari

2. Perkawinan Batak Toba adalah merupakan suatu ikatan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana mereka mengikatkan diri untuk bersatu dalam kehidupan bersama. 3. Masyarakat asal adalah merupakan masyarakat itu sendiri yang tinggal di

daerah tersebut dan yang melakukan perkawinan.

4. Masyarakat perantauan adalah merupakan masyarakat yang pergi merantau ke daerah lain, dan disana mereka melangsungkan perkawinan dan tinggal menetap di daerah tersebut..

1.7. Defenisi Operasional

Perkawinan adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk atau menjalin suatu hubungan sehingga terbentuk suatu keluarga. Perkawinan terbagi atas dua bentuk, yaitu :

1. Perkawinan Marbagas adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan.

2. Perkawinan Mangabia adalah perkawinan bagi janda atau duda sesama anggota keluarga.

Perkawinan mangabia dapat dilaksanakan dalam dua cara yaitu:

a. Cara merunjuk adalah bentuk perkawinan melalui syarat-syarat meminang dan pembayaran mas kawin.

b. Cara mangalua adalah kawin lari sepasang pemuda-pemudi tanpa membayar mas kawin.


(33)

1.8. Operasional Variabel

Merupakan unsur-unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel, sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui indikator apa saja sebagai pendukung untuk dianalisis dari variabel-variabel tersebut, (Singarimbun 1989 :46) devenisi operasional merupakan gambaran teliti mengenai prosedur yang diperlukan untuk memasukkan unit-unit dalam kategori tertentu dari tiap-tiap variabel. Berdasarkan pengertian devenisi operasional diatas, maka operasionalisasi variabel adalah pengukuran konsep yang abstrak teoritis menjadi kata tentang tingkah laku gejala yang dapat diamati, dapat diuji dan dapat ditentukan kebenaranya oleh orang lain.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Nilai-nilai sosial meliputi berbagai pola-pola tingkah laku yang luas. Suatu nilai yang penting adalah perkawinan itu sendiri. Pada dasarnya, sikap terhadap perkawinan, seperti suatu nilai sering merupakan faktor penentu dalam keberhasilan perkawinan. Dalam kehidupan sehari-hari, perkawinan adalah nilai tunggal mereka paling penting, dan mereka akan berbuat segalanya yang dapat mereka lakukan untuk menyesuaikan secara memuaskan. Bagi yang lain, perkawinan tidaklah penting seperti kebahagian pribadi mereka, kesenangan, atau kesuksesan pribadi mereka

Nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat batak toba dapat dilihat dan dapat dirasakan dalam bentuk salah satu sistem kemasyarakatan atau sistem kekerabatannya. Nilai-nilai budaya ini dapat merupakan aturan-aturan yang menjadi pegangan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari oleh kehidupan masyarakat batak toba yang menyangkut hubungan antara anak dengan ayah, anak dengan ibu, saudara dengan saudara, kemenakan dengan paman, menantu dengan mertua dan hubungan individu dengan individu. Oleh karena itu perkawinan pada masyarakat batak toba tidak melanggar sistem kemasyarakatan atau kekerabatannya.

29 September

2010 jam 18-19.30

Dalam hal ini Etnis Batak Toba menurut adat-istiadat, pada etnis Batak Toba dalam dalihan na tolu merupakan bentuk interaksi yang mengatur hubungan diantara mereka bahkan ikatan keluarga idaman yang keturunan di ambil dari garis ayah


(35)

(patrilineal) dan diturunkan kepada keturunannya, dengan adanya marga hubungan diantara satu kumpulan marga akan semakin dekat.

Etnis Batak Toba melihat garis keturunan dari pihan laki-laki atau sistem patrilineal sehingga anak laki-laki dianggap mempunyai suatu kekhususan tertentu, terutama dalam menuruskan warisan marga dan penerusan keturunan, dianggap sebagai pelindung nantinya di hari tua bagi kedua orang tua dan penolong orang tua yang tidak mampu lagi menghadapi diri sendiri.

Etnis Batak Toba khususnya laki-laki diwajibkann mengetahui silsilahnya minimal nenek monyangnya yang menurunkan marga dan teman semarganya

(dongan sabutuha). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatanya

(partuturanya) dalam suatu klan dan marga. Marga merupakan suatu identitas diri karena dengan mengetahui marganya maka dengan sendirinya akan mengatur dirinya sendiri, mengatur sikapnya, mengatur sifat sopan santunya, sikap perilakunya terhadap orang lain, apakah dia marhula-hula, apakah mardongan tubu atau marboru.

29 September

2010 jam 18-19.30

Perkawinan merupakan suatu saat yang terpenting pada daur hidup dari semua manusia diseluruh dunia., karena merupakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarganya. Perkawinan adalah penerimama status baru dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan status baru oleh orang lain. Perkawinan membentuk suatu tali hubungan sosial yang baru dan juga jumlah anggota keluarga bertambah, masuknya keluarga suami/ istri menimbulkan banyak


(36)

sekali peran kewajiban baru, dan juga penyesuaian dan ketengangan-ketengagan baru. (Koentjaraningrat, 2002)

Oleh karena itu suatu perkawinan menimbulkan berbagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluarga termasuk suami/istri itu sendiri. Perkawinan adalah peritah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan kekeluargaan, sama konsepnya dengan pasal 1 ayat (1) undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. (H.R O Salman Soemadingrat 2002 ; 173).

Masyarakat Batak Toba juga menganggap bahwa perkawinan adalah suatu peristiwa yang sakral antara laki-laki dan perempuan yang telah mengikat diri dalam perkawinan akan dianggap menjadi satu. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang terikart perkawinan akan saling membantu dan melengkapi kekurangan pasangan dalam membagun sebuah keluarga. Hal ini jelas terlihat sudah banyaknya perempuan Batak Toba yang telah berumah tangga ikut serta dalam mencari nafkah membantu suaminya demi kelangsungan hidup keluarga. Masalah perkawinan adalah masalah yang pokok dalam kehidupan manusia karena perkawinan mempunyai pengaruh besar terhadap roda kehidupanya malah kadang-kadang merupakan tingkat yang menentukan dalam perjalanan hidup seseorang, oleh karena itu perkawinan diataur berdasarkan aturan-aturan yang berlaku dalam adat istiadat dan kebudayaanya.


(37)

Kebudayan Batak Toba juga mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi masyarakat Batak Toba yang akan yang akan melakukan atau melangsungkan sebuah perkawinan. Salah satu unsur penting ketika terjadinya transaksi perkawinan pada masyarakat Batak Toba adalah penentuan jumlah mas kawin (sinamot). Mas kawin menjadi syarat utama apakah sebuah perkawinan dapat dilaksanakan atau tidak. Mas kawin yang ditentukan dahulunya pada masyarakat Batak Toba selalu menjadi beban atau tanggungan dari pihak pengantin laki-laki tetapi dengan berlalunya waktu mas kawin sudah ditanggang bersama kedua belah pihak antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak agar upacara perkawinan tersebut dapat dilaksanakan.

Adat istiadat merupakan bagian dari tiga wujud dari kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang dibiasakan dengan belajar. Ketiga wujud dari kebudayaan itu antara lain:

• Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, perantauan dan sebagainya.

• Wujud kebuyaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

• Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama disebut juga wujud ideal dari kebudayaan sifatnya abstrak, tidak dapat diraba dan difoto karena berada dalam alam pikiran masyarakat yang disebut juga sebagai adat-istiadat, yang mana biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan


(38)

perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud kedua dari kebudayaan disebut sebagai sistem sosial yang disebut sebagai sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud dari ketiga budaya disebut kebudayaan fisik karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto (Koentjaraningrat 2002).

Masyarakat Batak Toba menganggap perkawinan itu adalah pranata yang menghubungakan tiga kelompok klen. Bila diartikan keturunan yang disebut juga orang-orang yang saompu (satu kakek moyang bersama) yang dapat diidentifikasi dengan jelas garis keturunannya. Klen penerima perempuan ( ayah dari pengantin laki-laki) disebut boru, ayah yang memberi perempuan disebut hula-hula, sedangkan klen Kecamatanil sesama marga kesuatu kelompok kekerabatan (dihitung berdasarkan garis laki-laki) disebut dongan sabutuha. Penghubung ketiga klen inilah yang disebut dalihan na tolu yang sebenarnya merupakan hubungan besan (Ihromi, 2003:110).

Dalihan na tolu memiliki beberapa unsur yaitu elek marboru, somba marhula

-hula dan manat mardongan tubu.Elek marboru maksudnya adalah agar hula-hula itu selalu dalam sikap membujuk sayang terhadap boru, karena borulah sebagian penanggung jawab kegiatan. Boru itu selalu dibujuki sayang oleh hula-hula, itu bukan berarti agar boru itu menjadi manja, perbuatan hula-hula itu harus dipandang hormat oleh boru. Somba marhula-hula maksudnya adalah agar setiap boru


(39)

hendakalah bersikap sembah atau hormat kepada hula-hula. Manat mardongan tubu maksudnya adalah agar sesama marga hendaklah bersikap prihatin dan hati-hati. Arti hubungan itu adalah dengan keadaan demikian agar sesuatu kegiatan itu dapat dilaksanakan dengan sempurna (Gultom, 1992: 53).

Dalihan na tolu pada masyarakat Batak Toba ada karena sebuah perkawinan. Semua perkawinan pada masyarakat Batak Toba harus melalui pemberian mas kawin oleh pihak pengantin laki. Mas kawin yang diberikan oleh pihak pengantin laki-laki biasanya berupa uang, tetapi mas kawin bukanlah sebagai harga beli untuk memperoleh istri sebagai milik. Mas kawin hanya merupakan syarat formal untuk melangsungkan perkawinan, karena sebagai sarana adat pada upacara perkawinan yang wajib dilaksanakan agar kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan saling berkenalan. Tidak dipungkiri, tiap kebudayaan yang ada, pasti mengalami perubahan cepat atau lambat. Perubahan itu tidak hanya terbatas pada bentuk lahirnya saja, tetapi tidak jarang terjadi pada masyarakat atau makna yang terkandung didalamnya.

Perubahan-perubahan terjadi pada masyarakat pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat kebagian dunia lain karena adanya komunikasi modern, sehingga penemuan-penemuan baru yang terjadi disuatu tempat dapat diketahui oleh masyarakat lain dengan cepat yang berada jauh dari tempat tersebut. Perubahan ini terjadi pada pelaksanaan tata cara adat perkawinan masyarakat batak toba. Semakin lama pelaksanaan tata cara adat perkawinan mulai berubah karena proses tata cara adat perkawinan tersebut sudah lebih praktis atau tidak bertele-tele lagi. Hal ini


(40)

di daerah perantauan. Perubahan-perubahan ini terjadi juga pada pelaksanaan tata cara adat perkawinan masyarakat Batak Toba. Semakin lama pelaksanan tata cara adat perkawinan mulai berubah karena proses tata cara adat perkawinan tersebut sudah lebih praktis atau tidak bertele-tele lagi. Hal ini terutama bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal khususnya di daerah perkotaan atau di daerah perantauan.

Bezalel dan Lontung (2007:9) juga berpendapat sesuai dengan perjalanan waktu, dimana populasi masyarakat batak semakin meningkat, dan demikian juga pemukiman baru yang semakin meluas, serta terjadinya perubahan status dan kesejahtraan masyarakat batak adat inti atau adat sebenarnya dan adat nadiadathon atau adat yang diadatkan pun mengalami perubahan.

Perubahan tata cara perkawinan ini bukan hanya terjadi pada masyarakat batak toba saja, karena dengan berjalannya waktu upacara perkawinan adat sekarang ini juga mengalami perubahan yang mana pelaksanaannya upacara perkawinannya sudah tidak bertele-tele lagi dan tidak mengeluarkan banyak biaya lagi karena sudah lebih praktis. Perubahan ini juga karena adanya teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin canggih yang mempermudah terjadinya tukar menukar kebudayaan baik antara suku bangsa maupun dengan kebudayaan asing (Moertjipto, 2002).


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang dilakukan menjelaskan suatu fenomena yang terjadi objek penelitian melalui tehnik pengumpulan data, (Moleong , 2006:31). Penelitian komparatif dengan menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan perubahan pelaksanan tahapan-tahapan adat perkawinan pada masyarakat Batak Toba, dan juga mendeskripsikan tata cara upacara perkawinan masyarakat Batak Toba secara terperinci.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Huta Julu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan dimana, peneliti dapat menemukan perubahan dan perbedaan nilai sosial budaya adat perkawinan yang terjadi di daerah tersebut. Peneliti memilih daerah tersebut adalah karena peneliti melihat perubahan dan pergeseran nilai sosial budaya terutama di dalam nilai budaya perkawinan masyarakat Batak Toba yang ada di daerah tersebut.


(42)

3.3. Populasi Dan Teknik Penarikan Sampel

Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti (Prasetyo, 2005:119). Populasi dalam penelitian ini adalah para keluarga yang mengadakan atau melakukan perkawinan di Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan, yang sebagian besar berasal dari Kabupaten Humbang Hasundutan.

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, yang jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili popolasi (Iqbal Hasan, 2002 : 58). Penentuan sampel penelitian menggunakan tehnik penarikan sampel acak sistematis, jumlah seluruh populasi untuk masyarakat Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak 450 kepala keluarga, dan jumlah seluruh populasi untuk masyarakat Kecamatan Medan Perjuangan sebanyak 17.615 orang sehingga jumlah seluruh populasi : 450 + 17.650 = 18065. Dengan demikian peneliti membatasi jumlah sampel sebanyak 200 orang dengan spesifikasi responden sebagai berikut : masyarakat batak toba yang berada di daerah Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak 100 orang, dan masyarakat batak toba yang berdomisili di daerah Kecamatan Medan Perjuangan yang sebagian besar berasal dari Kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak 100 orang.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data di lakukan dengan tujuan untuk mendapatkan atau mengumpulkan data (informasi) yang dapat menjelaskan atau menjawab


(43)

permasalahan penelitian yang bersangkutan secara objektif dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data dengan metode kuantitatif, sebagai berikut:

1. Kuesioner

Merupakan teknik pengumpulan data yang dilaksanakan degan menyebarkan angket yang berisi pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada keluarga yang melakukan perkawinan sebagai responden.

2. Dokumenter dan studi kepustakaan

Dokumenter data adalah data yang diperoleh dari suatau dokumentasi, sedangkan studi kepustakan meliputi menelaah permasalahkan melalui sumber buku, majalah, atau surat kabar atau bentuk tulisan lainya yang di anggap relevan terhadap masalah penelitian.

3. 5. Analisis Data

Dalam analisis data penelitian akan mentabulasi data-data yang di hasilkan dari kuesioner ke dalam beberapa bentuk tabel distribusi frekuensi sehingga data-data yang terkumpul dapat di deskripsikan dan dianalisis, sedangkan peryataan tambahan yang terdapat pada kuesioner, jawabanya akan di analisis atau di interpretasikan sebagai data yang akan melengkapi hasil penelitian (Burhan Bungin, 2001:187).

3. 6. Keterbatasan Penelitian

Peneliti dalam melakukan penelitian ini mengalami banyak kendala yang menjadi keterbatasan penelitian adalah sebagai berikut:


(44)

1. Keterbatasan dalam penyebaran kuesioner karena penyebaran dilakukan dalam beberapa tempat yang masing-masing tidak berdekatan dan dalam daerah lokasi yang banyak.

2. Keterbatasan dalam kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian ilmiah.

3. Keterbatasan dalam mendapatkan teori dan pemahaman analisis data perbandingan pemilihan teori yang cocok dengan analisis yang rumit sehingga membutuhkan kesabaran dan ketelitian dalam menyelesaikan penelitian.

3.7. Jadwal Kegiatan

No Jadwal Kegiatan

Bulan Ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Pra Observasi √

2. ACC Judul √

3. Penyusunan Proposal √ √

4. Seminar Proposal √

5. Revisi Proposal Penelitian √

6. Penelitian Kelapangan √

7. Pengumpulan Data dan Analisis Data

8. Bimbingan √ √ √ √

9. Penulisan Laporan Akhir √ √


(45)

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Gambaran Kota Medan Secara Umum

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang asa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 orang. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat

perdagangan dan keuangan regional nasional.

(http:www.pemkoMedan.go.id/perekonomian-pertumbuhan.php 29 september 2010 jam 18-19.30 wib).

Secara umum ada 3 (tiga )faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial


(46)

yang secara umum simulasi mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan disesuaikan dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas kota medan menjadi 5. 130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melalui peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administtrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/227/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan memjadi 144 Kelurahan.

(http:www.pemkoMedan.go.id/perekonomian-pertumbuhan.php 29 september 2010 jam 18-19.30 wib

Perkembangan terakhir berdasrkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140. 22/2772. K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefisitan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republlik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Penbentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembagan administrasi ini, kota medan


(47)

kemudian tumbuh secara geografis, demogartis dan secara sosial-ekonomi akibat penanaman modal (investasi).

Secara administrasi, wilayah kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selat dan Timur. Sepanjang wilayah Utara berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahiu merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandaliling Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini memjadikan kota medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya. Disamping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka kota Medan memiliki posisi srategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa,, baik perdagan domestic maupun luar negeri (ekpor-impor).

Penduduk kota Medan memiliki ciri majemuk yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk kota Medan bersifat terrbuka. Secara Demografis, kota medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin


(48)

adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonomi lainya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian.

Dalam kependudukan tersebut istilah transisi penduduk. Komponen kependudukan lainya umumnya mengambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, Kecamatanuali disebabkan oleh faktor migrasi atau urbanisasi

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memilki keragaman susku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakatnya yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai-nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat di yakini pula hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat memjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragam suku, tarian daerah, alat musik, nyayian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya.

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainya, merupakan sarana vital bagi masrayakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainya.


(49)

4.1.1.1. Gambaran Medan Perjuangan Secara Umum

Daerah Kecamatan Medan Perjuangan seluas 866 ha terdiri atas tanah kering seluas 430 ha, tanah pekarangan /bangunan seluas 385 ha, dan tanah untuk fasilitas umum seperti lapangan olah raga, taman rekreasi, jalur hijau, kuburan seluas 5 ha, dan selebihnya (tanah tandus, pasir)seluas 41 ha.

Kecamatan Medan Perjuangan terbentuk berdasarkan Perantaun Daerah Nomor : 35 Tahun 1992 tanggal 13 juli 1992, yang mana sebelumnya merupakan bagian wilayah Kecamatan Medan Timur. Dan pada tanggal 2 September 1992, Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara melantik Camat Medan Perjuangan yang secara definatif membawahi 9 kelurahan dan 123 Lingkungan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.1

Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan Jumlah Kelurahan

No Nama Kelurahan Jumlah Lingkungan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tegal Rejo Sidorame Timur Sidorame Barat I Sidorame Barat II Sei Kera Hilir I Sei Kera Hilir II Pandau Hilir Sei Kera Hulu Pahlawan 11 Lingkungan 15 Lingkungan 14 Lingkungan 9 Lingkungan 13 Linkungan 14 Lingkungan 9 Lingkungan 21 Lingkungan 17 Lingkungan Jumlah 123 Lingkungan


(50)

Adapun letak wilayah Kecamatan Medan Perjuangan adalah sebagai berikut : Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Tembung

( parik Sei Kera / Sungai Sulang Suling )

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Kota.

Sebelah Barat : Berbatasan dengan KecamatanMedan Timur. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Timur

Secara geografis Kecamatan Medan Perjuangan merupakan tanah daratan yang setiap tahunya dilalui oleh dua musim ( musim panas dan musim hujan dengan suhu antara 23-32 derajat Celsius). Daerah ini didiami oleh berbagai sub suku bangsa dan sebahagian besar wilayah ini adalah pemukiman yang mana selah Utara merupakan daerah tempat tinggal dan sebelah Selatan merupakan rumah pertokoan, industri.

Dalam menjalankan roda pemerintah dan terlaksananya pembangunan di Kecamatan Medan Perjuangan dibekali 1 (satu) unit Gedung Kantor Camat, berlantai dua, dan memiliki 23 orang tenaga personil, 9 orang Kepala Kelurahan, dan 40 orang Perangkat Kelurahan. Dan Dinas / Instansi Lintas Sektoral di Kecamatan Medan Perjuangan, sebagai berikut:

1. Dan Ramil-02 Medan Timur /Perjuangan 2. Kapolsekta Medan Timur /Perjuangan 3. Kepala Seksi Dinas Kecamatan

4. Kepala Puskesmas dan 2 Puskesmas pembantu 5. PPL KB Kecamatan


(51)

6. Kantor Urusan Agama Kecamatan 7. Mentari Statistik Kecamatan 8. Juru penerangan Kecamatan

9. Kepala Kantor Depdikbur Kecamatan

Data kependudukan yang diperoleh dari kantor Kecamatan Medan Perjuangan menunjukkan jumlah penduduk seluruhnya pada tahun 2000 sebanyak 94,789 orang yang terdiri atas suku bangsa, agama, yang berbeda-beda atau heterogen. Penduduk Kecamatan Medan Perjuangan yang terdiri atas suku-suku bangsa berdasArkan Kelurahan, dapat di gambarkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4. 2

Distribusi Penduduk Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan Tingkat suku Bangsa

Suku Jumlah Persentase

Melayu

Batak Tap.Selatan Batak Tap. Utara Batak Karo Minangkabau Aceh Jawa Keturunan Asing Lainya 8.764 orang 20.457 orang 20.579 orang 4.739 orang 9.654 orang 4.836 orang 15.796 orang 7.837 orang 2.127 orang 9,24 % 21,58 % 21,71 % 4,99 % 10, 18 %

5, 18 % 16,66 %

8,26 % 2, 24 Jumlah 94.789 orang 100,00 %


(52)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa suku Batak (Tapsel, Toba dan Karo) berada pada peringkat yang tertinggi dari suku lainya berjumlah 20.579 orang atau 21,71 % dari keseluruhan jumlah penduduknya. Dan sub suku Batak merupakan sub suku yang tertinggi jumlahnya yakni 20.457 orang atau 21,58 % dari jumlah suku Batak, dan 21,71 % dari keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Medan Perjuangan Dan suku yang terendah jumlahnya di daerah ini adalah sub suku bangsa Batak Karo yaitu 4.739 orang atau 10.00 % dari jumlah keseluruhan suku Batak di Kecamatan Medan Perjuangan, dan 4,99 % dari keseluruhan penduduknya.

Penduduk yang berjumlah 94.789 orang tersebut ditinjau berdasarkan mata pencaharian dapat di gambarkan sebagai berikut:

Tabel 4 3

Distribusi Penduduk Kecamatan Medan perjuangan Berdasarkan Mata Pencaharian

Pekerjaan Jumlah Persentase Pegawai Negeri

ABRI Berdagang Pegawai Swasta Pinsiunan Buruh, dll

3.341 orang 2.232 orang 8.738 orang 3.153 orang 3.960 orang 2.581 orang

3,52% 2.35% 9,21% 3,32% 4,17% 2,44% Jumlah 24.015 orang 25,33% Sumber: Kantor Kecamatan Medan Perjuangan, 2010

Berdasarkan tabel 4.3 diatas jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 24.015 atau 25,33% dari keseluruhan jumlah penduduk. Dari hal tersebut dapat diasumsikan bahwa diKecamatan Medan Perjuangan terdapat kira 75% usia muda dan yang belum


(53)

bekerja. Dengan kata lain perbandingan yang bekerja dengan yang belum / tidak bekerja adalah 1:3, artinya seorang yang bekerja menanggung 3 orang yang belum bekerja.

Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk Kecamatan Medan Perjuangan digambarkan sebagai berikut ;

Tabel 4.4

Distribusi Penduduk Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase Buta Huruf

Tamatan SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamatan Akademik Tamatan Sarjana

2.118 orang 7.580 orang 15.414 orang 23.099 orang 10.898 orang 6.067 orang

3,252 % 11,63 % 23,65 % 35, 44 % 16,72 % 9,31 % Jumlah 65,176 orang 100,00%

Sumber : Kantor Kecamatan Medan Perjuangan, 2010

Berdasarkantabel 4.4 di atas, dari keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Medan Perjuangan terdapat 65.176 orang yang masuk kategori berdasarkan tingkat pendidikan atau 66,78 % dari 94,789 orang. Dari hal tersebut dapat diasumsikan bahwa pendidikan cukup berhasil di Kecamatan Medan Perjuangan.

Selanjutnya apabila masyarakat Kecamatan Medan Perjuangan di gambarkan menurut agama dan kepercayaan, akan terlihat pada tabel berikut ini


(54)

Tabel 4. 5

Distribusi Penduduk Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan Agama

Agama Jumlah Persentase

Islam

Kristen Protestan Kristen Katolik Hindu

Budha

56.577 orang 18.928 orang 7.252 orang

529 orang 11.504 orang

59 % 20 % 8 % 1 % 12 %

Jumlah 94.789 orang 100 %

Sumber :Kantor Kecamatan Medan Perjuangan, 2010

Berdasarkan table 4.5 yang dikemukakan di atas, maka diambil suatu kesimpulan bahwa sebagian besar penduduk menganut agama Islam dengan jumlah 56.577 atau 56 % dari keseluruhan jumlah penduduk, diikuti urutan kedua yaitu Kristen Protestan dengan jumlah 18.928 atau 20 % dari keseluruhan jumlah penduduknya, sedangkan urutan yang terendah adalah penduduk beragama Hindu yakni dengan jumlah 529 orang atau 1 % dari keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Medan Perjuangan.

Dari keseluruhan data yang menggambarkan mengenai potensi alami maupun potensi kependudukan Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan, dapat disimpulkan bahwa daerah ini memiliki derajat heterogen ataupun derajat kemajemukan yang dapat diasumsikan mempunyai teori terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakatnya. Penggambaran jumlah penduduk menurut suku bangsa memperlihatkan bahwa ada dua sub suku yang mendominasi daerah Kecamatan


(55)

Medan Perjuangan masing-masing sub suku bangsa Batak Tapanuli Selatan (Tapsel), dan Sub Suku Bangsa Batak Toba.

Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa daerah ini dapat lebih mendominasi oleh kedua suku ini baik dalam pola pikiranya, pola berbicara, maupun pola bertindak /bertingkah laku dari setiap penduduknya. walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa walaupun kedua suku tersebut lebih banyak jumlahnya untuk tidak mendominasi pola kehidupan bermasyrakat di Kecamatan Medan Perjuangan. Asumsi yang lain mengenai kedua suku yang mendominasi dalam jumlah tersebut juga tidak tertutup kemungkinan dipengaruhi oleh budaya suku lain sekalipun jumlahnya terbesar. Juga apabila ditinjau mengenai jumlah penduduk yang digambarkan berdasarkan penganut agama, terlihat bahwa yang menganut agama Islam mendominasi jumlah keseluruhan dibandingkan dengan agama lain.

4.1.1.2 Gambaran Umum Kelurahan Sidorame Barat II

Peraturan Daerah Nomor 35 Tahun 1992 menetapkan Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan yang terdiri atas 9 Kelurahan, salah satu adalah Kelurahan Sidorame Barat II, Kelurahan ini dulunya merupakan Wilayah bagian /Kelurahan Kecamatan Medan Timur, tetapi setelah peraturan Pemerintah yang dikeluarkan, maka Daerah Kelurahan Sidorame Barat II menjadi Wilayah bagian / kelurahan Kecamatan Medan Perjuangan. Pada bulan oktober 1992. Camat Medan Perjuangan melantik Kepala Kelurahan Sidorame Barat II yang membawahi 9 Lingkungan,


(56)

Tabel 4. 6

Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Lingkungan

Lingkungan Nama Kepling Lokasi siskamling I II III IV V VI VII VIII IX Zack Sinambela Syahdan Girsang Ricard Purba

Edy Yus Karim Siregar Sabaruddin Siregar Daulat Aritonang Sapihi Hutabarat Burhanuddin P Limin A. Nasution

Jl.Ngalengko Jl.Ngalengko Jl. Pelita I Jl. Pelita I Jl. Pelita II Jl. Pelita II Jl. Pelita III Jl. Pelita IV Jl. Pelita IV Sumber : Kantor Kelurahan Sidorame Barat II 2010

Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II yang memiliki luas 40 hektar, berbatasan dengan wilayah-wilayah di bawah ini, antara lain :

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Sidorame Timur Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Sidorame Barat II Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Tegal Rejo

Sebelah Selatan :Berbatasan dengan Kelurahan Sidodadi Kecamatan. Medan Timur. Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II hampir seluruhnya merupakan tanah kering yang sudah didirikan bangunan tempat tinggal, sarana umum, tempat peribadatan, dan lain-lain. Secara geografis, juga dilalui oleh dua musim setiap tahunya, suhu udara berkisar antara 23-32 C. Sarana umum, seperti jalan beraspal sudah mencapai bahkan sampai ke gang-gang di wilayah ini. Sarana pendidikan juga cukup memadai di Kelurahan ini, kondisi lingkungannya cukup bersih dan rapi.


(57)

Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II yang terdiri atas 9 lingkungan memiliki penduduk sejumlah 8.985 orang, yakni terdiri atas 4.139 orang laki-laki, dan 4.846 orang perempuan, dengan persebaran penduduk menurut lingkungan sebagai beriku:

Tabel 4. 7

Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II

No Lingkungan KK

Jenis Kelamin Jumlah

Dewasa Anak-anak

Lk Pr jumla h

Lk Pr Lk Pr

1 2 3 4 5 6 7 8 9 I II III IV V VI VII VIII IX 173 134 113 138 165 115 72 107 165 287 218 241 263 216 327 210 265 290 321 234 261 360 370 240 285 316 368 200 197 140 220 207 213 130 225 190 280 210 165 225 285 215 111 314 295 487 415 381 483 523 540 340 490 480 592 444 426 585 655 455 396 430 662 1079 859 807 1068 1178 995 736 1120 1185 Jumlah 1242 2317 2746 1722 2100 4149 4846 8985

Sumber : Kantor Kelurahan Sidorame Barat II, 2010

Berdasarkan tabel 4.7 di atas, dapat di lihat bahwa lingkungan yang paling banyak penduduknya adalah Lingkungan V, dengan jumlah 1178 orang, dikepalai oleh kepala kepala lingkungan Sabaruddin Siregar, dengan lokasi Pos kapala lingkungan di Jl. Pelita II. Sedangkan yang terendah adalah jumlah penduduk Lingkungan VII dengan jumlah 376 orang, dipimpin oleh kepala lingkungan Sapihi Hutabarat, yang lokasi Pos Kapala lingkungan di Jl. Pelita III.


(58)

Data diatas juga menunjukkan bahwa perbandingan penduduk berdasarkan jenis kelamin adalah tidak sama, dimana data menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan laki-laki sebanyak 4149 orang dan perempuan sebanyak 4846 orang.

Selanjutnya, penduduk keseluruhan Sidorame Barat II dapat di paparkan berdasarkan mata pencaharian umunya, antara lain sebagai berikut:

Tabel 4. 8

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase Jlh Pkrja Jlh Pddk 1 2 3 4 5 6 Pegawai Negegi ABRI Berdagang Pegawai Swasta Pensiunan Buruh, dll 370 orang 18 orang 937 orang 986 orang 90 orang 668 orang 12,05 % 0,58 % 30, 21 % 32, 53 % 2,93 % 21,70 %

4, 11 % 0,20 % 10, 40 %

10,90 % 1, 00 % 7, 43 % Jumlah 3069 orang 100,00 % 34,04 % Sumber : Kantor Kelurahan Sidorame Barat II, 2010

Data di atas menunjukkan bahwa ada dua jenis pekerjaan yang mendominasi penduduk produktif di Kelurahan Sidorame Barat II, jenis berdagang dan Pegawai Swasta, dan dari keseluruhan penduduk terdapat 34,04 % yang bekerja.


(59)

Tabel 4. 9

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Tingkat Usia

No Tingkat Usia Jumlah Persentase 1

2 3 4

1 - 9 tahun 11 - 15 tahun 19 - 55 tahun 56 tahun ke atas

1405 orang 2417 orang 2166 orang 2997 orang 15,63 % 26,90 % 24,11% 33,36% Jumlah 8985 orang 100,00 %

Sumber : Kantor Kelurahan Sidorame Barat II, 2010

Dari uraian tabel 4.9 di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan penduduk yang tinggal di kelurahan Sidorame adalah usia 56 tahun keatas yaitu sebanyak 33,36% ini menunjukkan bahwa penduduk kelurahan Sidorame, mulai umur 19 tahun keatas sudah pindah ke kota untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi atau kuliah, sebagian pergi merantau ke kota yang lebih besar untuk mencari pekerjaan.

Apabila digambarkan berdasarkan keturunan (Warga Negeri Asli dan Warga Negara keturunan ), adalah sebagai berikut :

Tabel 4. 10

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Kewarganegaraan

No Kewarganegaraan Jumlah 1 2 WNI Asli WNI Keturunan 8.975 orang 12 orang

Jumlah 8.985 orang


(60)

Dari data di atas dapat di asumsikan bahwa penduduk Kelurahan sidorame Barat II hampir seluruhnya adalah warga negara asli, dimana hanya 12 orang yang merupakan warga negara keturunan. Pendidikan merupakan usaha yang terencana untuk mewujudkan suasana pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangakan potensi dirinya (Nugraheni) Berdasarkan tingkat pendidikan, ditemukan penduduk yang buta huruf di Kelurahan Sidorame Barat II dapat di gambarkan tabel berikut ini :

Tabel 4. 11

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah 1

2 3 4 5 6

Buta Huruf Lulusan SD Lulusan SLTP Lulusan SLTA Lulusan Akademik Lulusan Sarjana

123 orang 270 orang 460 orang 390 orang 134 orang 102 orang

Jumlah 1479 orang

Sumber : Kantor Kelurahan Sidorame Barat II, 2010

Dari sisi agama di Kelurahan Sidorame Barat II, dapat digambarkan menurut Agama, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :


(61)

Tabel 4. 12

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Persentase

1 2 3 4

Islam

Kristen Protestan Kristen Katolik Budha

4.561 orang 2.803 orang 1.609 orang 8.985 orang

50,76 % 31,29 % 17,90 % 0,14 % Jumlah 17958 orang 100,00 %

Sumber : Kantor Kelurahan Sidorame Barat II, 2010

Data di atas menunjukkan suatu perbandingan seimbang antara penduduk yang menganut agama Islam dengan Kristen (Protestan dan Katolik). Hal tersebut bila di gabungkan, tetapi jika dipisahkan keduanya (Protestan dan Katolik), maka terdapat urutan dimana agama Islam sebagai urutan pertama, disusul dengan agama Kristen Protestan, dan selanjutnya Kristen Katolik dan Budha.

Jika dilihat dari suku etnis penduduk Kelurahan Sidorame Barat II dapat digambarkan dalam table 13 dibawah ini :


(62)

Tabel 4. 13

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Suku Bangsa

No Suku Jumlah Persentase

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Melayu

Batak Tap. Selatan Batak Tap Utara Batak Karo Simalungun Minangkabau Aceh Jawa Suku Asing Lainya 323 orang 2.607 orang 3.119 orang 356 orang 712 orang 218 orang 349 orang 1.237 orang 12 orang 87 orang 3,60 % 29, 00 % 34,78 % 3, 97 % 7, 93 % 2, 43 % 3, 89 % 13,77 % 0,13 % 0,96 %

Jumlah 8 .985 orang 100,00 %

Sumber :Kantor Kelurahan Sidorame Barat II, 20010

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa ada kira-kira 10 suku bangsa yang mendiami wilayah Kelurahan Sidorame Barat II, dengan penduduk suku yang terbanyak adalah suku Batak Toba, yang sebagian besar berasal dari Humbang Hasundutan yaitu berjumlah 3119 orang atau 34,72 % dari keseluruhan penduduknya. Jadi secara kebudayaan dan latar suku daerah ini adalah merupakan daerah yang heterogen penduduknya.

Gambaran di atas merupakan suatu gambaran mengenai suatu kondisi wilayah dan kependudukan Kelurahan Sidorame Barat II. Apabila kita meninjau daerah ini dari sudut pandang organisasi sosial budaya seperti LKMD ada 1 unit, STM ada 18


(1)

menimbulkan tinggi hati sehingga kelar dari jalur agama dan juga menimbulkan konflik dalam keluarga setelah acara adat selesai.

Pelaksanan adat upacara perkawianna jaganlah di persulit atau di perpanjang-panjang misalnya pembicaraan-pembicaraan dalam acara adat yang sering bertele-tele, kalau boleh dipersingkat tanpa mengurnagi makna dan inti adat tersebut. Agar para generasi muda tidak jenuh mengikuti proses adat yang sekarang mengingat kondisi waktu dan ekonomi yang semakin sempit dan adat janganlah dianggap sebagai suatu beban yang harus dipenuhi. Semakin perlu keterbukaan antar generasi muda dengan generasi sebelunya, agar bentuk tata cara perkawinan manapun yang akan di tempuh adalah merupakan kesepakatan bersama sehingga nilai-nilai yang ada dalam perkawinan tetap dipertahankan dan dapat terus diturunkan kegenerasi berikutnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Bunggan, Burhim. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta : prenada Media. Faisal, Sanafiah. 2007. Format-format Penelitian Sosial Dasar-Dasar dan

Aplikasinya. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Gultom, Rajamarpodang. Dj, 1992. Dalihan Natolu Nilai Budaya Batak. Medan: CVArmada.

Iraianto, S. 2003. Perempuan Di antara Berbagai Pilihan Hukum Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, PT Rosdakarya. Poloma, Margaret. 2004. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Prasetyo, Bambang. & Lina Miftahul Jannah. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif

Teori dan Aflikasi. Jakarta, Rajagrafindo Persada.

Rizert, George. 2003. Teori Sosiologi Modren, Jakarta:Prenada Media

Siagian, Bezalel. 2007. Ulaon Adat Batak. Medan, Harian Sinar Indonesia Baru Penerbit Andi Yogyankarta.

Suyanto, Bagong. & Sutinah.2005. Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan. Surabaya, Kencana Prenada Media Group.

T.O. Ihromi. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.


(3)

Sumber lain :

http:/www.lupkhimm.com/perkawinan dari sudut pandang sosiologi htm, Diakses tanggal 8 Agustus 2010.

15.30 wib.

Diakases tanggal 15

September 2010 pukul 15.30 wib.

September 2010 pukul 19.30 wib.

Diakses tanggal 26

September 2010 pukul 16.00 wib.

Oktober 2010 pukul 16.00 wib.

Diakses 29

September 2010 pukul 18.00-19.30 wib.

Diakses 29


(4)

KUESIONER

Dengan hormat, dengan ini peneliti memohon kesediaan saudara untuk mengisi kuesioner yang saya buat untuk melengkapi data penelitian saya dalam menyelesaikan skripsi saya yang berjudul Komparatif nilai sosian budaya Batak Toba pada masyarakat Desa Hutajulu dengan Kelurahan Sidorame. Adapun yang pertanyaan saya terhadap saudara yaitu sebagai berikut:

I. PETUNJUK PENGISIAN

Dalam memberikan jawaban ditetepkan saudara/I mengikuti ketentuan sebagai berikut:

1. Bacalah pertanyaan-pertanyaan debawah ini dengan baik

2. Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang paling sesuai dengan pendapat anda hanya satu jawaban untuk setiap pertanyaan

3. Mohon mengisi seluruh pertanyaan dan jawaban dengan sejujurnya

4. Daftar pertanyaan ini hanya untuk tujuan akademik tidak untuk disebarluaskan.

II. IDENTITAS RESPONDEN Nama : Usia :


(5)

Pendidikan : Pekerjaan : III. PERTANYAAN

No Pertanyaan SS S KS TS

1

2

Dalam melaksanakan upacara perkawinan ada tahapan–tahapan seperti

Tahapan Pra Perkawinan

a. Martandang

a. Mangiririt b. Tanda hata olo. c. Marhusip d. marhata sinamot

3 Tahapan Upacara

Perkawinan

a. Marsibuha-buhai b. Marunjuk

4 Tahapan Pasca

Perkawinan

a. paulak panaru b. Paulak une.


(6)

c. Maningkir tangga d. paulak panaru e. Paulak une. f. Maningkir tangga

o

Pertanyaan

S S S

Apakah anda setuju tentang perubahan nilai sosial budaya perkawinan pada masyarakat Batak Toba

Apakah anda setuju tentang adanya modernisasi menyebabkan terjadinya perubahan bentuk perkawinan

.

Bagaimana tindakan dan sikap anda terhadap perubahan dalam menjalankan tata cara upacara perkawinan

Keterangan:

SS : Sangat setuju KS : Kurang setuju