Kedudukan Pemerintah Desa Dalam Hukum Administrasi Negara

45 melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa semua aparatur pemerintah desa dalam hubungannya dapat bersinergi dan bermitra dengan baik dan tepat dalam meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang profesional dan akuntabel.

3. Kedudukan Pemerintah Desa Dalam Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara mempunyai kekuasaan untuk mewajibkan semua pihak mengimplementasikan prinsip Good Governance pada aktivitas administrasi Negara sehari-hari, memberikan sanksi dan memberikan kriteria- kriteria yang berkaitan dengan implementasi Good Governance bagi pejabat dan petugas administrasi Negara. Good Governance di dalam HAN sudah merupakan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah. Dengan demikian paradigma yang harus dipegang teguh adalah melayani masyarakat to serve people. 41 Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai RUU Program Legislasi Nasional prioritas pada tahun 2007. RUU ini diharapkan dapat menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang cukup revolusioner dan menjadi instrument untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. RUU ini juga akan menjadi hukum materiil bagi Hukum Administrasi Negara di Indoneisia melengkapi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara UU 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004 yang lebih dulu ada. 42 41 Bachsan Mustafa, SH. Sistem Hukum Administrasi NegaraIndonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2012, Hlm 45 42 Ibid Hlm 46 46 Hukum administrasi materil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma- norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak partikelir. Diantara kedua bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Setelah reformasi dipilih menjadi bagian dari bangsa Indonesia, ada beberapa Konsekwensi yang diterima oleh bangsa Indonesia atau beberapa perubahan yang Fundamental bagi bangsa Indonesia. Mendefinisikan Desa Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, Secara sosiologis, desa merupakan sebuah gambaran dari suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka masyarakat saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam. Komunitas masyarakat di atas kemudian berkembang menjadi satu kesatuan hukum dimana kepentingan bersama penduduk menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan Atau dalam bahasa Soetardjo Kartohadikoesoemo, “suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang mengadakan pemerintahan sendiri”. Ciri dari masyarakat hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri dengan batas yang sah, berhak mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak 47 mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri, berhak mempunyai sumber keuangan sendiri, serta berhak atas tanahnya sendiri menurut I Nyoman Beratha. Dalam konteks inilah kemudian Desa menemukan identitasnya sebagai sebuah kesatuan hukum yang memiliki hak untuk mengurus kepentingannya sendiri, yang dalam bahasa lain disebut hak otonomi. Dengan demikian desa secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk, dimana otonomi yang dimilikinya bukan pemberian pihak lain. Desa di masa Orde Baru Kemunculan Orde Baru ditandai dengan motif melakukan pemulihan kehidupan ekonomi yang porak poranda pada masa Soekarno. Keinginan tersebut membawa konsekuensi adanya jaminan stabilitas politik yang berwujud terbentuknya sistem politik yang mendukung transformasi ekonomi serta jika diperlukan mampu dan dapat mengendalikan akibat-akibatnya terutama dengan menjinakkan oposisi agar jangan sampai “menggangu” pemerintah. Sistem kekuasaan Orde Baru kemudian dijalankan secara sentralistik-otoriter dengan memberikan porsi yang sangat besar terhadap peran negara. Khusus untuk menata desa, Orde Baru telah melakukan pengaturan- pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa. Dengan mengeluarkan UU No.51979 desa oleh Orde Baru dikonsepsikan sebagai “suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan 48 langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatan Republik Indonesia “. Jika kemudian ditinjau lebih jauh, konsepsi desa Orde Baru merupakan suatu konsepsi desa dalam pengertian administratif. Desa dalam pengertian administratif adalah satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu, suatu satuan masyarakat, dan suatu satuan pemerintahan, yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan. Dengan diartikannya desa sebagai satuan ketatanegaraan yang memiliki satuan pemerintahan memberikan kejelasan arti desa dalam konteks di atas, yaitu desa merupakan bagian dari organisasi pemerintahan, baik horizontal maupun vertikal, yang berada di daerah, baik berdasarkan asas dekonsentrasi maupun desentralisasi. 43 Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif, UU No.51979 juga telah melakukan perubahan-perubahan struktur desa, yaitu : 1. Penyeragaman struktur pemerintahan desa. Ini merupakan strategi dari Orde Baru untuk memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa. 2. Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah nasional. Menempatkan pemerintah desa sebagai rantai akhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintah yang sentralistik. Ini menjadikan desa hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat. 3. Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada Kepala Desa. 43 Bachsan Mustafa, SH. Sistem Hukum Administrasi NegaraIndonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2012, Hlm 80 49 Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama Orde Baru atas desa, yaitu pertama, mengarahkan pengertian desa pada sudut administrasi negara. Kedua, menempatkan desa sebagai alat dari pemerintah pusat. Titik inilah yang kemudian merubah arti desa yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan masyarakat hukum adat tertentu bergeser ke arah pengertianarti desa yang dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan-satuan ketatanegaraan, atau satuan–satuan administratif pemerintahan. Dengan kalimat lain kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom makin lama makin turun karena menjadi subsistem terbawah dari birokrasi pemerintahan nasional. Otonomi asli desa tidak bisa lagi dilaksanakan karena kedudukan desa yang telah berubah menjadi subsistem dari negara. Desa di Era Reformasi Pada era reformasi, rezim yang baru diliputi persoalan lemahnya legitimasi serta ancaman disintegrasi bangsa akibat adanya keinginan dari beberapa daerah untuk memerdekakan diri, lepas dari Republik Indonesia. Hal di atas direspon oleh pemerintah Habibie dengan mengeluarkan UU No. 221999 dan UU No. 251999 yang berisi tentang pemberian otonomi kepada daerah untuk mengurus kepentingan dan rumah tangganya sendiri. Pada UU No. 221999 terutama pasal 93-111, pasal-pasal yang mengatur tentang desa, mengandung semangat mengakhiri sentralisasi serta mengembangkan desa sebagai wilayah otonom. Desa dikembalikan statusnya sebagai lembaga yang diharapkan demokratis dan otonom, hal ini terlihat dari pertama, adanya 50 ‘keinginan’ untuk mendudukkan kembali desa terpisah dari jenjang birokrasi pemerintah. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal usul, dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat. Kedua, memulihkan demokrasi di tingkat yang paling rendah dengan pembentukan Badan Perwakilan Desa BPD. Berkaitan dengan struktur desa, ada beberapa perubahan yang dibawa oleh UU No.221999, yaitu : 1. Penghapusan penyeragaman struktur pemerintahan desa. 2. Pembentukan struktur pemerintahan desa baru yang terdiri atas pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa 3. Pembentukan lembaga perwakilan di tingkat desa dan penghapusan fungsi kepala desa sebaga pusat kekuasaan di desa. Jika ditinjau secara umum, apa yang telah dilakukan pemerintah pada era reformasi berkaitan dengan regulasi-regulasi yang dibuat bagi desa, telah membawa angin segar atas harapan akan adanya otonomi desa. Harapan bagi terbukanya ruang-ruang pelaksanaan otonomi dan demokratisasi ditingkatan desa telah dipupuk. Namun demikian dalam UU No. 221999 masih juga menyisakan persoalan- persoalan yang berkaitan dengan otonomi di tingkat desa. Pada beberapa pasal dalam UU No. 221999 justru membuat orang ragu atas kesungguhan pemerintah untuk benar-benar memberikan otonomi kepada desa. Hal ini didasarkan pada pertama, desa masih dibuat tergantung pada dinamika pembentukan kebijakan kabupaten pasal 93. Kedua, desa masih harus melakukan tugas pembantuan dari 51 pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan kabupaten pasal 99. Ketiga, pemerintah desa masih ditempatkan sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan bagian Penjelasan Umum Pemerintah Desa. Keempat, keluarnya Keputusan Mendagri No. 641999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Otonomi Desa sebagaimana yang dikonsepkan dalam UU No. 221999 adalah otonomi yang berasal dari “niat baik” negara. Karena sifatnya pemberian maka adanya pasal-pasal yang kontradiktif merupakan hal yang lumrah. Hadirnya UU No. 221999 lebih didasarkan atas usaha untuk meredam potensi disintegarasi bangsa dibandingkan sebagai usaha yang tulus dari negara untuk mengembalikan otonomi kepada desa menjadikan otonomi desa yang dikonsepkan dalam UU tersebut bukanlah otonomi desa sebagaimana konsep aslinya, yaitu desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengurusi kepentingannya sendiri Perangkat Pemerintahan Desa Dalam Hukum Administrasi Negara Pengangkatan Sekdes menjadi PNS memang sedikit menimbulkan persoalan. Tanggapan beragam yang tidak mendukung tentunya akan menghambat jalannya kebijakan ini. Pemerintah diharapkan mampu menjadi wadah dalam menampung aspirasi masyarakat dan melibatkan pendapat dan partisipasi stakeholders diluar pemerintah dalam menjalankan peraturan tersebut. Mulai dari tujuan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut sampai pada proses pengangkatan Sekdes itu sendiri. Kebijakan tersebut harus lebih 52 dipertimbangkan sebab semakin kukuhnya posisi dan status sekdes sebagai pegawai negeri atau bagian struktur formal pemerintahan, maka berimbas pada jalannya roda pemerintahan desa yang mengacu karakter legal secara ketat. Sangat mungkin nuansa sentralisasi pemerintahan kian kental, di mana dalam kondisi tertentu orientasi pada kebijakan pemerintah tingkat atasnya lebih mendominasi. Meski demikian, tidak bisa seratus persen dikatakan bahwa pergeseran posisi dan status sekdes otomatis akan semakin “menjauhkannya” dari komunitas masyarakat, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sekdes masih sebagai bagian warga setempat. 44 Jika ditinjau dari jumlah desa di Indonesia yang mencapai 70.611 desa, kebijakan pemerintah yang akan diimplementasikan tidak akan terwujud 100. Hal ini dikarenakan masih terdapat 5000an desa yang belum terdaftar dalam kantor Departemen Dalam Negeri. Kendala terbesar lainnya yaitu jika kebijakan pemerintah tersebut benar-benar terealisasikan akan menjadikan dana APBN semakin membengkak. Hal ini akan memicu permasalahan baru dalam pemerintahan. Dengan kata lain mangatasi masalah dengan memunculkan masalah baru. 45 Adanya dukungan dan kesiapan dari para sekdes dalam melaksanakan kebijakan ini pada kenyataanya belum disertai dukungan dari masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap kebijakan sekdes PNS seakan-akan terkesan diskriminatif bagi kepala desa, perangkat desa dan juga Badan Permusyawaratan Desa BPD yang berstatus sama sebagai unsur pemerintahan desa. Kebijakan ini 44 Widjaja, Pemerintah DesaMarga, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2001, hlm. 13 45 Ibid 53 banyak memunculkan penafsiran, opini, dan tanda tanya yang hingga saat ini belum menemukan titik terang. Bukan tidak mungkin berdampak resonansi dimana semua Perangkat Desa lainnya juga mengharapkan atau menuntut untuk menjadi PNS. Tuntutan ini secara praktikal dan realita lapangan tidak memungkinkan mengingat bahwa definisi dari perangkat desa lainnya termasuk didalamnya ialah Kepala DusunDukuh atau RW dan sebagainya yang masih belum memungkinkan dan belum pernah dikaji kemungkinan serta kepentingannya untuk di PNS-kan. Seperti dimaklumi bahwa kepengurusan Kepala DusunKuwu Kepala Dukuh atau RW dan RT dll sebagai perangkat desa masih bersifat volunteer seperti halnya terjadi di berbagai negara. Lahirnya PP baru yang sudah disiapkan pemerintah untuk Sekdes adalah PNS tersebut semakin membangun optimisme perbaikan birokrasi Indonesia.

C. Kewenangan Badan Permusyaratan Desa Sebagai Unsur Penyelengara