Hubungan Badan Permusyawaratan Desa Dengan Perangkat

72

BAB IV HUBUNGAN YURIDIS ANTARA BADAN PERMUSYAWARATAN

DESA DAN PERANGKAT DESA

A. Hubungan Badan Permusyawaratan Desa Dengan Perangkat

Pemerintahan Desa Untuk tercapainya tujuan organisasi pemerintahan desa yang dimanifestasikan oleh kepala desa hubungan kerja dengan kecamatan maupun pemerintah kabupatenkota sangat diperlukan. Apalagi kalau menengok masa diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dimana kedudukan kepala desa dibuat sedemikian rupa sehingga akan selalu lebih banyak berorientsi keatas, meskipun kepala desa dipilih dan dibiayai oleh masyarkat akan tetpai kepala desa tidak bertanggungjawab kepada pemilihknya baik secara langsung maupun tidak langsung. Berkaitan dengan itu hubungan BPD dengan pemerintahan desa, BPD sebagai badan legislasi yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, sedangkan pemerintahan desa selaku badan eksekutif yang berfungsi melaksanakan kegiatan pemerintah desa. Lahirnya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan pengganti UU No. 32 Tahun 2004 dapat dikatakan relative cepat perubahannya, karena secara efektif implementasi dari UU No. 32 Tahun 2004 baru berjalan awal tahun 2001 di seluruh pemerintah Kabupaten dan Pemerintah kota. 73 Latar belakang mengapa UU No. 32 Tahun 2004 yang relatif baru, dirubah jadi PP No. 72 Tahun 2005, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diamandemen, terutama 14 empat belas, pasal yang terkait dengan system penyelenggaraan Pemerintahan Desa. 2. Ketetapan MPR yang secara langsung mengamanatkan perubahan Undang- Undang pemerintahan daerah yaitu Ketetapan MPR No. IVMPR2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. 3. Penyerasian dan penyelarasan dengan Undang-Undang lainnya. 4. Hasil evaluasi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004, mendapatkan permasalahan baik pada tataran konsep, instrument dan implementasi sehingga tidak dapat mengarah kepada pencapaian tujuan diselenggarakannya otonomi daerah. 5. Pengaruh lingkungan strategis, yaitu globalisasi ekonomi dan perdagangan yang cenderung menuntut efisiensi dan daya saing masyarakat, bangsa dan Negara yang lebih tinggi, memerlukan arahan normatif yang jelas pada tingkatan Undang-Undang. UU No. 32 Tahun 2004 yang diganti dengan PP No. 72 Tahun 2005 secara normatif didalamnya mengatur desa sebagia unit organiasi pemerintahan terendah yang pada Undang-Undang sebelumnya diatur sendiri dengan UU No. 23 Tahun 2004 yang bercorak sentralistik, namun pergeseran perubahan yang menonjol pada UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP No. 72 Tahun 2005 yaitu filosofi yang digunakan adalah “keanekaragaman dalam kesatuan” sebagai kontra konsep dari 74 filosofi “keseragaman” yang digunakan dalam UU No. 32 Tahun 2004, disamping itu upaya simplikasi pengaturan mengenai desa dan kelurahan karena sebelumnya diatur dalam Undang-Undang tersendiri, oleh karenanya agar tidak menyebabkan adanya desa-desa yang tidak terbina aut of control perlu dibuat pedoman umum pengaturan desa melalui peraturan daerah masing-masing yang mengacu pada peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 72 Tahun 2005. Desa seringkali digambarkan secara romantic sebagai suatu wilayah yang masyarakatnya ramah tamah, terbuka serta memiliki ikatan kekerabatan yang cukup kuat yang pada pemerintahan orde baru diseragamkan melalui UU No. 32 Tahun 2004 baik nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa dengan corak nasional yang banyak diilhami oleh pola desa di Jawa dan Madura. Pada PP No. 72 Tahun 2005 dikembalikan sesuai jiwa pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang perlunya mengakui serta menghormati hak-hak, asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Penegasan desa tersebut terlihat pada pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya desa, adalah kesatuan masyarakat hokum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk berwenang untuk mengatur dan menguru kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila berbicara tentang penyelenggaraan pemerintahan desa, maka sesuai PP No. 72 Tahun 2005 pemahamannya berangkat dari pasal 200 sampai dengan pasal 216 atau dengan kata lain terdapat sejumlah 16 pasal yang mengatur 75 tentng desa. Pasal 200 ayat 1 PP No. 72 Tahun 2005 menyebutkan “Dalam pemerintahan daerah kabupatenkota dibentuk pemerintahan desa dan Badan Permusyawaratan Desa”. Untuk lebih terfokus pemahaman pasal ini, maka berikut ini akan diuraikan mengenai pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut : 2. Pemerintah Desa Pemerintahan desa terdiri dari kata pemerintah dan desa, pemerintah berarti orang yang melaksanakan atau menjabat yang menjalankan kekuasaan Negara. Sedangkan pengertian pemerintah desa sesuai pasal 201 ayat 1 disebutkan “Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa”, pasal ini mengandung makna bahwa kepala des sebagai unsur pimpinan melaksanakan tugas dan kewajiban dibidang eksekutif yang dibantu oleh perangkat des yang penjelasannya sebagai berikut :

a. Kepala Desa

Sebagai pencerminan otonomi desa, kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga Negara Republik Indonesia. Adapun masa jabatan, pelantikan dan kewajiban kepala desa sebagai berikut: 1. Masa jabatan kepala desa adalah 6 enam tahun dan dapat dipilih kembali hanya 1 satu kali masa jabatan berikutnya pasal 204; 2. Kepala desa terpilih dilantik oleh bupatiwalikota paling lambat 30 tiga puluh hari setelah pemilihan pasal 205 ayat 1; 3. Sebelum memangku jabatannya kepala desa mengucapkan sumpahjanji pasal 205 ayat 20; 76 4. Tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa diatur lebih lanjut dengan perda berdasarkan peraturan pemerintahan pasal 208. PP No. 72 Tahun 2005 memberikan koridor kewenangan desa menyangkut urusan pemerintahan yang dijadikan pedoman dasar bagi pembuatan kebijakan, baik yang dibuat oleh pemerintah pusat berbentuk peraturan daerah. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup : 5. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. 6. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupatenkota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. 7. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah; provinsi, danatau pemerintah kabupatenkota. 8. Urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perUndang- Undangan diserahkan kepada desa.

b. Perangkat Desa

Sesuai pasal 2 PP No. 72 Tahun 2005 menyebutkan Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa, perubahan yang mendasar yang belum pernah terjadi pada Undang-Undang sebelumnya adalah menempatkan sekretaris desa harus diisi dari pegawai negeri sipil sebagaimana tercantum dalam pasal 202 ayat 3 yang menyebutkan Sekretaris desa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. 77

c. Pola Struktur Organisasi Pemerintah Desa

Penjelasan pasal 202 ayat 2 Yang dimaksud dengan perangkat desa lainnya dalam ketentuan ini adalah perangkat pembantu kepala desa yang terdiri dari sekretari desa, pelaksanan teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur kewilayahan seperti kepala dusun atau dengan sebutan lainnya, dari penjelasan tersebut apabila dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang dijabarkan dalam Peraruran Pemermtah No. 72 Tahun 2005 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa, sebenamya dilihat dari susunan organisasinya tidak jauh berbeda, di manan sesuai PP tersebut perangkat desa dapat terdiri dari: 1. Unsur pelayanan seperti sekretaris desa dan atau tata usaha. 2. Unsur pelaksana teknis lapangan. 3. Unsur pembantu kepala desa di wilayahnya seperti kepala dusun. Adapun nama dan jumlah perangkat desa dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, untuk lebih jelasnya berikut ini contoh bagan organisasi pemerintahan desa mengacu PP No. 72 Tahun 2005. 78 Bagan Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Berdasarkan PP No. 32 Tahun 2004 Peraturan pemerintah tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa sebagai penjabaran dari PP No. 33 Tahun 2005 belum dikeluarkan, akan tetapi bila mencermati dari pasal 200 ayat 1, pasal 202 ayat 1, pasal 202 ayat 3, maka bagan Struktur organisasi pemerintahan desa digambarkan sebagai berikut: 79 Kekurang harmonisan hubungan antara pemerintah desa dengan BPD merupakan fakta empiris dalam tatanan implementasi pada UU No. 32 Tahun 2004, sehingga dengan melihat pada ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 2005 sekarang berupaya mengembalikan budaya politi lokal yang sudah ada pada masyarakat pedesaan, yaitu dengan pendekatan filosofi musyawarah dan mufakat. Dengan demikian ke depan, proses perekrutan anggota BPD- tidak lagi melalui pilihan langsung akan tetapi anggota BPD diwakili oleh penduduk yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat, Selain itu pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan tidak saling menunjukkan egois sektoral niasing-masing dan dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi bersama dengan cara musyawarah untuk mencari mufakat, semua ini dapat terwujud apabila didasari hubungan kemitraan yang harmonis. Desa yang secara yuridis formal diakui keberadaannya memiliki otonomi yang bersifat tradisional, kenyataannya menunjukkan selama diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No. 32 Tahun 2004 kurang mengalanii kemajuan yang cukup signifikan, bahkan sebaliknya masyarakat desa sangat tergantung pada bantuan pihak luar pada segi dana maupun kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi pemerintah terendah guna mengemban tugas, misi dari seluruh Departemen Kementerian, sehingga idealnya desa harus memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa. Keberhasilan pembangunan 80 desa sangat dipengaruhi adanya kemauan politik political will dan tindakan politik political action dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya untuk dapat memamkan peranan penting dalam proses pembangunan di desanya. Sesuai PP No. 72 Tahun 2005 pasal 212 ayat 3 sumber pendapatan desa teridiri atas : a. Pendapatan Asli Desa; b. Bagi hasil pajak daerah dan restribusi daerah KabupatenKota; c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterinia oleh KabupatenKota; d. Bantuan dari Pemerintah. Pemerintah Propinsi dan Pemerintah KabupatenKota; e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga. Pengamatan empirik sumber pendapatan desa menunjukkan fakta bahwa : Pertama : pendapatan asli desa pada umumnya berasal dari tanah desa yang tidak semua desa memiliki, kalaupun ada digunakan untuk penghasilan pamong desa. Badan Usaha Desa yang berbentuk perusahaan desa yang menghasilkan sebagaimana diatur dalam pasal 213 Undang-Undang ini, hampir dipastikan belum ada, sedangkan hasil swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat mampu. Kedua : bantuan kepada desa dari KabupatenKota baru sebatas melestarikan kebijakan yang sudah ada dari Pemerintah Pusat, berupa program Bantuan Desa. Ketiga : bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi lazimnya disebut ganjaran, namun jumlahnya sangat terbatas hanya untuk 81 tambahan penghasilan bagi perangkat desa. Keempat: hibah dan sumbangan dari pihak ketiga jarang terjadi. Kenyataan dilapangan menunjukkan selama ini kebijakan pemerintah berbentuk Program Bantuan Desa yang sifatnya berbentuk stimulant untuk merangsang agar tumbuh partisipasi amsyarakat dalam menunjang pembangunan desa, justru menjadi sumber utama yang diharapkan dalam pembiayaan pembangunan di desa. Salah satu peluang lain sumber pendapatan desa sesuai PP No. 72 Tahun 2005 adalah berupa bantuan dari pemerintah kabupatenkota dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupatenkota dapat diberikan secara proposional dalam arti setiap desa tidak hams sama nilai nominal bantuannya, akan tetapi perlu diperhatikan juga dari aspek luas wilayah, jumlah penduduk tingkat perkembangan desa maupun jarak lokasi desa. Tercapainya tujuan organisasi pemerintahan desa yang dimanifestasikan oleh kepala desa, hubungan kerja dengan keeamatan maupun Pemerintah kabupatenkota sangat diperlukan. Apalagi kalau menengok masa diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 dimana kedudukan kepala desa dibuat sedemikian rupa sehingga akan selalu lebih banyak berorientasi ke atas meskipun kepala desa dipilih dan dibiayai oleh masyarakat, akan tetapi kepala desa tidak bertanggung jawab kepada para pemilihnya baik secara langsung amupun tidak langsung. Sesuai Undang-Undang ini, kepala desa bertanggung jawab sepenuhnya kepada camat, ia hanya memberikan keterangan pertanggung jawaban kepada Lembaga Musyawarah Desa LMD. 82 Camat sebagai kepala wilayah pada masa PP No. 72 Tahun 2005 memiliki kewenangan atributif dan kewenangan delegatif. Kewenangan atributif menunjukkan camat sebagai kepala wilayah sedangkan kewenangan delegatif yang dijalankan camat berasal dari kepala wilayah yang lebih tinggi kedudukannya gubemur, bupati, walikotamadya, walikota. Berbeda dengan PP No. 72 Tahun 2005 hubungan kerja camat dengan pemerintah desa dan pemerintah kelurahan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Camat tidak memiliki kewenangan atributif, melainkan hanya memiliki kewenangan delegatif, hal ini tersirat dalam pasal 126 ayat 2 menyebutkan Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. 2. Hubungan camat dengan pemerintah desa bersifat koordinatif dan fasilitatif, hal ini sebagaimana terlihat pada pasal 126 ayat 3 menyebutkan Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 2, camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi: a. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; c. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakkan peraturan perundang- Undangan; d. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; 83 e. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintah di tingkat kecamatan; f. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa danatau kelurahan; g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya danatau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan. 3. Hubungan kerja camat dengan lurah bersifat hierarkhis, sebab lurah adalah bawahan camat, pasal 127 ayat 5 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 3, lurah bertanggung jawab kepada bupatiwalikota melalui camat. 4. Tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan desa diatur lebih lanjut dengan perda berdasarkan peraturan pemerintah pasal 208. 5. Desa dapat mengadakan kerjasama untuk kepentingan desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada bupatiwalikota melalui camat pasal 213 ayat 1. Kepala desa sesuai UU No. 32 Tahun 2004 bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Permusyawaratan Desa, dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada bupati. Pada PP No. 72 Tahun 2005 pengaturan mengenai pertanggung jawaban kepala desa belum terlihat dengan jelas karena pasal ini perlu penjabaran lagi dengan perda yang mengacu pada peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum dikeluarkan. 84 Hubungan camat dengan pemerintah desa dilihat dari pasal-pasal yang telah dikemukakan, baik yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP No. 72 Tahun 2005 hanya bersifat koordinatif dan fasilitatif tidak bersifat hirarkhis. Namun apabila dilihat dari kepentingannya, sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki kewenangan mengatur dirinya sendiri self government society secara organisatoris desa dengan kabupatenkota memiliki hubungan hirarkhis. Hal ini dilandaskan pada prinsip umum pemerintahan yang dipakai bahwa pada dasarnya kepentingan masyarakat yang lebih kecil tunduk kepada kepentingan yang lebih luas. Tugas camat diantaranya adalah membina penyelenggaraan pemerintahan desa kelurahan sebagaimana diatur PP No. 72 Tahun 2005 tersebut memperkuat prisip umum pemerintahan, sekalipun kepala desa berdasarkan Undang-Undang ini tidak ada hubungan hirarkis dengan camat. Bila dicermati arah pasal 202 ayat 3 tersebut diatas terlihat UU No 32 Tahun 2004 memandang perlu untuk meniperkuat kedudukan sekretaris desa sebagai unsur staf yang dianggap tepat bertugas memberikan pelayanan administratif dijabat oleh pegawai negeri sipil yang sudah berpengalaman. Berbeda dengan otonomi desa sesuai UU No. 32 Tahun 2004 yang menonjol dalam kelembagaan organisasi desa banyak mengadopsi dari lembaga adat, konsekuensinya telah membawa pula sebutanpredikat yang menyangkut untuk gelar jabatan kepala desa maupun perangkat desa berbeda, selain itu sekretaris desa tidak dijabat dari pegawai negeri sipil. 85

B. Kendala-kendala Badan Permusyawaratan Desa Dalam Menjalankan