Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya adalah suatu lembaga jaminan, dimana benda yang dijaminkan berada pada penerima jaminan. Lembaga
jaminan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu: a.
Mortgage, yaitu pembebanan jaminan atas benda tak bergerak b.
Chattel mortgage, yaitu mortgage atas benda-benda bergerak. Umumnya ialah mortgage atas kapal laut dan kapal terbang dengan tanpa menguasai bendanya
c. Fiduciary transfer of ownership, yaitu perpindahan hak milik atas kepercayaan
yang dipakai jaminan hutang d.
Leasing, yaitu suatu perjanjian dimana si peminjam lease menyewa barang modal untuk usaha tertentu dengan pembayaran secara angsuran.
173
Penggolongan ini dimaksudkan untuk mempermudah pihak debitur untuk membebani
hak-hak yang akan digunakan dalam pemasangan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.
B. Penilaian Agunan Dalam Perjanjian Kredit
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan, perubahan atas Undang Undang Nomor 71992 jo Undang-Undang Nomor 101998 pasal 1 ayat 23 menyatakan,
“Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan prinsip syariah. Agunan
hanya salah satu syarat yang diharuskan dalam pemberian fasilitas kredit selain bank juga harus menilai watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha dari nasabah
debitur”. Berarti agunan bukan sesuatu yang harus atau mutlak disediakan debitur. Namun agunan merupakan “benteng” terakhir dalam upaya pengembalian kredit
172
Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta, Liberty, 2003, hal. 25-28
173
H. Salim, Op Cit, hal. 27
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009
USU Repository © 2008
apabila terjadi kegagalan pembayaran kredit yang bersumber dari first way out. Oleh karena itu, nilai agunan sangat penting sebagai indikator pembayaran kembali
kegagalan pembayaran kredit. Praktek penilaian untuk kepentingan agunan diatur pada beberapa Peraturan
Bank Indonesia PBI, meliputi pada PBI No.72PBI2005, penilaian dikategorikan pada dua hal yaitu:
1. Agunan untuk kepentingan jaminan kredit 2. Agunan Yang Diambil Alih AYDA sebagai bagian dari aktiva yang tercatat di
neraca Ditinjau dari kepentingan kualitas aktiva Bank Umum, kategori pertama dapat
digolongkan pada kepentingan aktiva produktif, maka nilai agunan hanya mempengaruhi besaran pencadangan bagi kredit bermasalah dan pelaksanaan
penilaian yang bertujuan Jaminan Pelunasan Hutang dan Bentuk Hak Tanggungan dan Surat Pengakuan Hutang Standar Penilaian Indonesia – SPI-2. Sedangkan
kategori dua digolongkan pada aktiva non produktif, agunan dinilai menggunakan Nilai Realisasi Bersih Net Realizable Value-NRV yang dicatat sebagai AYDA di
neraca bank, sehingga tujuan penilaian adalah untuk laporan keuangan SPI-3. Penilaian agunan oleh bank dimaksudkan untuk memperoleh nilai dari
barang-barang yang akan diikat sebagai agunan kredit. Penilaian lebih dititik beratkan pada penerapan metode pendekatan untuk menghasilkan opini yang mendekati
kebenaran Nilai Pasar dan turunannya adalah Nilai Realisasi Bersih Nilai Pasar yang telah dikurangi biaya-biaya yang timbul dari transaksi seperti pajak, biaya penjualan,
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009
USU Repository © 2008
biaya notaris, dan biaya-biaya pengosongan lainnya bila ada. Untuk transaski yang dibatasi waktu dengan tujuan pelelangan digunakan Nilai Likuidasi atau Nilai Jual
Paksa dan turunannya Nilai Realisasi Bersih Terbatas. Metode yang digunakan dalam penilaian barang agunan adalah metode pendekatan data pasar, metode pendekatan
biaya dan metode pendekatan pendapatan. Dimana setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga harus disesuaikan dengan tujuan penilaian, jenis dan
macam barang yang dinilai, kesesuaian validitas data yang diproses pada tiap metode penilaian yang digunakan.
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 pada pasal 8 penjelasannya dapat membedakan antara pengertian agunan dan jaminan. Dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan tidak dikenal istilah agunan yang ada adalah istilah jaminan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan memberikan pengertian yang tidak sama dengan istilah “jaminan’ menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan arti “jaminan”
menurut undang-undang tersebut diberi istilah “agunan” sedangkan “jaminan” menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diberi arti
sebagai “keyakinan atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan”.ini berarti “jaminan kredit” yang dimaksud dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan bukanlah jaminan kredit
yang selama ini dikenal dengan sebutan collateral sebagai bagian dari pada 5 C.
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009
USU Repository © 2008
Istilah collateral Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang diartikan dengan “agunan” .
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa dalam era Undang Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan, industri perbankan Indonesia sangat collateral
oriented. Hal ini disebabkan Pasal 24 Undang-Undang tersebut secara tegas menentukan bahwa Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapa
pun juga. Ketentuan pasal ini telah menciptakan orientasi krediturbank yang bukan lebih mengutamakan feasibility dari proyek atau kegiatan usaha nasabah debitur, akan
tetapi lebih mengutamakan kecukupan agunan.
174
Seringkali proyek atau usaha-usaha yang feasible ditolak permohonan kreditnya hanya karena calon nasabah debitur tidak menyediakan agunan tambahan
yang cukup. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ingin mengubah orientasi bank ini. Bahkan memberikan kelonggaran kepada nasabah
debitur dalam hubungannya dengan nasabah debitur untuk dapat menyerahkan
174
Dari penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan yang diubah, dapat diketahui ada dua jenis agunan, yaitu agunan pokok dan agunan tambahan. Agunan pokok adalah barang, surat berharga
atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang-barang yang dibeli dengan kradit yang dijaminkan, proyek-proyek yang dibiayai dengan
kredit yang bersangkutan, maupun tagihan-tagihan nasabah debitur. Sedangkan agunan tambahan adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai
dengan kredit yang bersangkutan, yang ditambahkan sebagai sesuai dengan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan yang diubah, maka agunan tambahan bukan sesuatu yang pokok dalam
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip hukum, sebab tanpa itupun Bank Umum dapat memberikan kredit atau kredit berdasarkan hukum asalkan berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat
diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah mengembalikan hutangnya. Bahkan dikatakan agunan dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit atau pembiayaan yang
bersangkutan. Kenyataan ini disebabkan orientasi bank yang berbeda sebelum periode Undang- Undang Perbankan yang diubah, tahun 1992. Dengan demikian Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat tidak tertalu terikat pada ada atau tidak adanya agunan, asalkan jaminan pemberian kredit atau pembiayaan telah terpenuhi.
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009
USU Repository © 2008
agunan. Sekalipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak lagi collateral oriented, namun praktek perbankan nampaknya masih belum
mengubah orientasinya.
175
Bagaimanapun sangat penting unsur-unsur lainnya selain collateral, hal itu belum menjamin pelunasan atau pengembalian hutang nasabah debitur. Lebih baik
jika pemberian kredit itu seyogianya diamankan melalui pengikatan agunan tambahan dan corporate quarantee. Secara yuridis, agunan tambahan merupakan sesuatu yang
sudah pasti dan meyakinkan, harta kekayaan milik pribadi nasabah debitur, terkecuali kredit yang diberikan diperuntukkan untuk pembelian barang atau benda-benda
tertentu. Dengan diserahkan atau dijaminkannya harta pribadi milik nasabah debitur, sehingga dan semula nasabah debitur, telah menyadari bahwa bila kegiatan usahanya
mengalami kegagalan, maka agunan tambahan itulah menjadi penggantinya, tetapi sebaliknya jika kegiatan usaha nasabah debitur berhasil, keuntungan yang akan
didapat boleh jadi jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh krediturbank. Sehubungan dengan itu, asas pemberian jaminan kredit yang
tertera pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan kiranya masih relevan untuk diterapkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
penilaian yang bersifat subjektif dan menutupi kemungkinan adanya kolusi dan nepotisme dalam manipulasi pemberian kredit dan krediturbank kepada nasabah
debiturnya.
175
Rahmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan, Op.Cit, h. 285, bandingkan dengan Sutan Rerny Sjahdeini, 1993, Peran Claim Jaminan Kredit Macet Perbankan, 1992, Op. Cit
hal. 21-22
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009
USU Repository © 2008
Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa pertimbangan dan penilaian terhadap unsur-unsur character, capital, capacity, condition of economy nasabah
debitur tanpa memberi tekanan kepada collateral memang dapat membantu pengusaha yang menjalankan kegiatan usaha dengan prospek yang baik, karena
kondisi perusahaannya sehat dan berjalan dengan baik. Kemudian akan menjadi masalah bagi pihak krediturbank, apabila dalam perusahaan nasabah debitur tersebut
tidak berjalan mulus sebagaimana yang telah dinilai semula oleh pihak krediturbank. Hal ini merupakan satu dilema. Di satu sisi krediturbank harus membantu
golongan ekonomi lemah, namun pada sisi lain juga melindungi pihak krediturbank Begitu tingginya risiko yang harus dihadapi pihak krediturbank, karena itu perlu
dibutuhkan kembali ketentuan perundang-undangan tentang jaminan dalam perjanjian kredit yang lebih menjamin kepastian kembalinya kredit yang telah disalurkan.
Sebagai salah satu tindakan preventif, akan lebih baik apabila dalam penilaian perjanjian kredit tertentu misal terhadap proyek nasabah debitur kurang
meyakinkan, maka krediturbank selain melakukan tindakan pengawasan terhadap jalannya proyek dan penggunaan kredit yang diterima nasabah debitur, dalam
kaitannya dengan jaminan. Pihak krediturbank selain meminta jaminan pokok, juga dapat meminta jaminan tambahan kepada calon nasabah debiturnya.
176
Sesungguhnya kelonggaran dalam menerima agunan tersebut kurang mendukung pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Hak
176
Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Atas Pemisahan Horizontal, Op.Cit. hal. 210-
211
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009
USU Repository © 2008
Tanggungan. Dalam penjelasan Pasal 8 memberikan bukti kuat bahwa kepemilikan tanah berupa girik, petok dan lain lain yang sejenis dijadikan sebagai agunan. Padahal
bukti kepemilikan tersebut bukanlah menunjukkan sebagai tanda bukti kepemilikan atas tanah seperti halnya sertifikat hak atas tanah. Dengan lahirnya Undang-Undang
Hak Tanggungan, maka penjelasan Pasal 8 ini hanyalah tinggal sejarah dan tidak dapat diterapkan lagi karena bertentangan. Penjelasan Pasal 8 yang dimaksud adalah
“tanah yang kepemilikannya berupa girik, petok dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan”.
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan keheranannya mengenai penegasan dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menyatakan bukti
kepemilikan tanah berupa girik atau petok dapat digunakan sebagai agunan, karena menurut hukum, girik atau petok bukanlah tanda bukti hak milik atas tanah, tetapi
hanya sekedar tanda bukti siapa yang harus membayar pajak atas penggunaan tanah yang bersangkutan. Sekalipun memang seringkali mereka yang namanya tercantum
pada girik atau petok bukanlah tanda bukti hak milik atas tanah yang bersangkutan, sehingga tidak dapat diterima sebagai agunan.
177
177
Sutan Remy Sjahdeini, Penyelamatan dan Penyelesaian Kredit Macet Makalah disampaikan pada aspek-aspek Hukum dan Bank Indonesia, Surabaya 1993, hal.22
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009
USU Repository © 2008
C. Akta Jaminan Fidusia Atas Agunan Dalam Perjanjian Kredit Di Pulau Batam