Latar Belakang dan Kronologis Pembentukan Undang-undang SJSN di

BAB III KEBERADAAN BUMN PERSERO DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM

JAMINAN SOSIAL NASIONAL

A. Latar Belakang dan Kronologis Pembentukan Undang-undang SJSN di

Indonesia Sangat jelas bahwa masyarakat menginginkan adanya suatu jaminan sosial terutama jaminan sosial dalam bentuk uang pensiun dan jaminan kesehatan. Namun demikian, terdapat berbagai desakan untuk mempertajam dan memikirkan kembali beberapa rumusan dalam RUU SJSN sewaktu penyusunannya. Desakan datang dari berbagai stakeholders termasuk dari pekerja, pengusaha, badan-badan pemerintah yang menangani asuransi dan jaminan sosial, berbagai lembaga penelitian, serta berbagai pakar termasuk pakar ekonomi dan sosial. Beberapa hal yang perlu dipertajam dan dilakukan pengkajian yang mendalam adalah: 34 1. Keberlanjutan jangka panjang dari pembiayaan jaminan sosial. Program pensiun menggunakan defined benefit dan pay-as-you-go membutuhkan kecermatan dan kedalaman dalam memperhitungkan arus penerimaan dan pengeluarannya dalam jangka panjang. 2. Cakupan program. Program jaminan sosial yang mencakup seluruh pekerja formal, informal dan masyarakat miskin dalam satu payung perlu dikaji dengan baik kelayakannya feasibility. 34 Bappenas, ” Membangun Sistem Jaminan Sosial yang Dapat Terlaksana, Efisien dan Adil” Rumusan Hasil Seminar, dengan tema: Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial yang Dapat Diimplementasikan”, Rumusan Hasil Seminar, Jakarta, Agustus 2004, hlm. 2. Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 3. Monopoli penyelenggara. Jaminan sosial secara terpusat akan menghilangkan pilihan bagi masyarakat untuk menentukan jenis dan perusahaan jaminan sosial yang sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, pemusatan terhadap satu lembaga untuk menangani jaminan sosial akan rawan dari penyalahgunaan dan intervensi politik. 4. Dampak peningkatan kontribusi dari para pekerja, pengusaha dan pemerintah yang besarnya diperkirakan berkisar antara 7-20. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai dampak peningkatan kontribusi terhadap penciptaan kesempatan kerja terutama bagi para pekerja dengan upah sekitar upah minimum yang ditetapkan. 5. Proses penyusunan RUU. Berbagai stakeholders merasa tidak dilibatkan oleh Komite Jaminan Sosial Nasional yang terkesan bekerja secara tertutup. Komite Jaminan Sosial Nasional tidak pernah memberikan perhitungan besarnya biaya yang dibutuhkan analisa aktuaria serta dampaknya terhadap peningkatan kontribusi bagi pekerja, pengusaha dan pemerintah. Sampai saat ini belum tergambar secara jelas adanya kajian dan analisa mengenai besarnya iuran, siapa yang akan menanggung, serta bagaimana manajemen keuangan akan dilaksana- kan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Apabila suatu pemerintahan mencanangkan untuk melaksanakan suatu sistem jaminan sosial, sebenarnya pemerintah tersebut berjanji kepada para pekerja dan anggota keluarganya akan masa depan kesejahteraan mereka. Janji ini tidak saja diberikan kepada para pekerja pada saat ini yang akan pensiun dalam jangka waktu 15 sampai 30 tahun mendatang, tetapi mencakup juga generasi pekerja yang akan datang. Bila janji tersebut gagal dipenuhi maka kredibilitas pemerintah yang telah dibangun dengan susah payah akan sulit dipulihkan. Pengalaman negara lain dalam mengelola program pensiunnya seringkali menunjukkan bahwa pemerintahan berikutnya biasanya gagal dalam memenuhi janjinya yang disebabkan karena perhitungan yang tidak tepat. Ketidaktepatan perhitungan biasanya karena terlalu tingginya perkiraan over estimate akan Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 pemasukan dan rendahnya perkiraan under estimate akan biaya yang harus ditanggung dari program tersebut. Akibatnya generasi berikutnya harus menanggung beban dengan membayar pajak lebih tinggi atau memperoleh santunan jaminan sosial dengan jumlah yang lebih kecil dari yang dijanjikan. Baru-baru ini Pemerintah Jepang mengumumkan kepada rakyatnya bahwa manfaat yang diperoleh oleh para pensiunan akan dikurangi agar program pensiun dapat berkelanjutan. Sedangkan di Philipina, pemerintah terpaksa meningkatkan pajak dan tidak menaikkan santunan sejak tahun 2001. Dengan demikian perencanaan dalam pengembangan jaminan sosial merupakan sesuatu yang sangat serius. Perencanaan untuk membangun jaminan sosial harus dipikirkan secara matang dengan menyerap masukan dari semua pihak serta didasarkan pada ekspektasi yang realistis. Beberapa isu strategis dalam pengembangan Jaminan Sosial Nasional JAMSOSNAS, sebagai berikut: 35 1. Tujuan dari kebijakan publik yang diambil. JAMSOSNAS adalah suatu kebijakan publik dengan demikian harus jelas tujuan yang ingin dicapai. Apakah tujuannya mendorong agar pekerja formal menabung bagi hari tuanya? Apakah tujuannya agar pekerja formal mengasuransikan dirinya terhadap penyakit berat dan kecelakaan? Apakah sistem JAMSOSNAS yang akan kita laksanakan direncana- kan untuk memiliki unsur pemerataan? Apakah tujuannya untuk juga melindungi pekerja informal? Untuk memenuhi tujuan yang berbeda tersebut diperlukan berbagai kebijakan dan program yang berbeda pula. Misalnya, program JAMSOSNAS yang mengharuskan peserta untuk mengiur sangat tidaklah tepat bagi pekerja informal. Pekerja informal di Indonesia jumlahnya sangat besar sekitar 70 dari angkatan kerja dan sangat tersebar diseluruh pelosok per- desaan sampai perkotaan. Biaya untuk memungut iuran ini akan sangat mahal dan tidak sebanding dengan jumlah iuran yang dapat dikumpulkan. Dengan kata 35 Ibid., hlm. 4 Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 lain kuranglah tepat kalau program JAMSOSNAS akan dibangun hanya menggunakan satu pilar untuk mencakup semua jenis manfaat dan mencakup seluruh lapisan masyarakat. Program JAMSOSNAS harus dibangun melalui beberapa pilar. Bagi masyarakat miskin program JAMSOSNAS akan lebih baik diselenggarakan melalui program tersendiri yang dibiayai oleh dana pemerintah. 2. Keberlanjutan pembiayaan JAMSOSNAS. Cara pembiayaan yang berbeda sangat mempengaruhi keberlanjutan pembiayaan financial sustainability dari program jaminan sosial. Untuk itu, pada saat kita merancang sistem jaminan sosial, perlu diketahui dengan benar apa implikasi yang timbul dari skenario pembiayaan yang berbeda. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa, program pensiun yang menjanjikan defined benefit dibiayai dari pungutan dari pekerja payroll taxes dan menggunakan cara pay-as-you-go, biasanya mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya menyebabkan hutang publik yang besar. Program kesehatan universal yang dikelola oleh negara biasanya berujung pada kesulitan keuangan. Banyak negara maju maupun berkembang, yang mulai mengembangkan program pensiun seperti di atas sekitar pertengahan abad ke 20, untuk 40 tahun pertama memang dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan orang yang bekerja jumlahnya masih banyak sedangkan orang yang pensiun pada saat program dimulai masih sedikit. Tetapi pada saat banyak orang memasuki masa pensiun dan rasio dari jumlah pekerja dengan jumlah orang pensiun mengecil maka biaya yang harus dikeluarkan meningkat dengan pesat sementara pemasukan tidak berubah banyak. Hal ini terjadi pada negara tetangga kita Philipina. Pemerintah Philipina memperkenalkan program pensiun menggunakan defined benefit pada tahun 1950 dengan kontribusi 6 dari gaji pekerja. Pada tahun 1990 pemerintah Philipina mulai merasakan kesulitan yang diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena jumlah orang yang pensiun mencapai puncaknya. Biaya yang harus ditanggung meningkat dari 1 PDB pada tahun 1990 menjadi 4 PDB pada tahun 1999, hutang publik yang ditimbulkannya adalah US 21 miliar pada tahun 2000. Untuk menanggulangi ini pemerintah Philipina meningkatkan kontribusi menjadi 9,4 dan tidak meningkatkan manfaat sejak tahun 2001. Dengan demikian dapat diambil pelajaran bahwa skema jaminan sosial menggunakan defined benefit sangat rawan terhadap kesulitan keuangan di masa depan. Banyak negara sekarang berpindah ke skema iuran pasti defined contribution yang mengaitkan antara iuran yang dibayarkan oleh pekerja dengan besarnya manfaat yang akan diperoleh. Untuk itu kecermatan perhitungan aktuaria sangat dibutuhkan. Sebagai gambaran, pada saat ini hanya sekitar 10 penduduk Indonesia menjadi anggota dana pensiun dan hanya 15 yang mempunyai asuransi kesehatan. Program TASPEN yang sekarang berjalan mewajibkan setiap pegawai negeri membayar iuran sebesar 4,75 dari pendapatannya kepada PT TASPEN. Pada saat ini pemerintah sebagai pemberi kerja memang belum ikut memberikan iuran, tetapi pada saat membayar uang pensiun pegawai, dengan menggunakan skema defined benefit, pemerintah membayar 77,5 yang dibebankan kepada APBN. Sisanya dibayar oleh PT Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 TASPEN. Dana pensiun bagi pegawai negeri tersebut diperkirakan akan mengalami defisit pada tahun 2006. Kalau JAMSOSNAS dimaksudkan untuk mencakup seluruh masyarakat maka perlu dilakukan studi yang mendalam mengenai jumlah biaya yang diperlukan serta sumber pembiayaannya. Pengembangan program JAMSOSNAS dengan mengabaikan perhitungan aktuaria akan menimbulkan beban dikemudian hari. 3. Peranan pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Berdasarkan pengalaman negara lain program pensiun yang dikelola oleh pemerintah memberikan tingkat manfaat return yang kecil kepada para pekerja dibandingkan dengan program yang dikelola oleh swasta. Selain itu pelayanan yang diberikan juga kadang kurang memuaskan dibandingkan dengan program yang dikelola oleh swasta. Manajer investasi program pensiun swasta mempunyai insentif yang lebih tinggi untuk melakukan investasi yang terbaik, namun demikian bukan berarti pengelolaan oleh swasta bukan tanpa masalah. Untuk itu peranan pemerintah dalam regulasi keuangan program pensiun serta dalam pengawasan sangat diperlukan. Dalam kasus negara berkembang seperti Indonesia peran pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelenggarakan program JAMSOSNAS pasti masih akan besar. Namun demikian bukan berarti menghilangkan peran stakeholders lainnya. Lebih jauh lagi sebenarnya pengembangan suatu sistem JAMSOSNAS jangan sampai menghilangkan kebebasan bagi calon peserta untuk memilih program dan perusahaan mana yang sesuai dengan kebutuhannya. Isu good governance dalam pelaksanaan JAMSOSNAS perlu mendapat perhatian terutama di negara yang birokrasinya terkenal sarat dengan KKN. Program yang sudah ada seperti JAMSOSTEK mempunyai angka tunggakan iuran yang tinggi, nilai pengembalian investasi yang rendah, serta manfaat yang rendah pula. Dari potensi peserta JAMSOSTEK yaitu 22 juta pekerja formal, hanya sekitar 9 juta yang benar-benar secara teratur membayar iuran tiap bulannya. Bila pelaksanaan terpusat hanya pada birokrasi pemerintah tanpa memberikan ruang gerak bagi pihak swasta maka rasanya akan sulit untuk mendorong terciptanya sistem JAMSOSNAS yang efisien. 4. Dampak program jaminan sosial terhadap penciptaan kesempatan kerja. Kalau kita cermati pasar tenaga kerja pada saat ini maka akan jelas terlihat bahwa jumlah pekerja informal masih lebih dari dua kali jumlah pekerja formal. Jumlah pekerja informal pada saat ini berjumlah sekitar 70 juta orang sedangkan pekerja formalnya berjumlah sekitar 30 juta orang. Dapat dibayangkan kesulitan yang akan dihadapi kalau pekerja informal yang jumlahnya 70 juta dan tersebar diseluruh pelosok Indonesia harus mengiur program JAMSOSNAS. Dilihat dari pendapatannya maka pekerja kita baik di desa dan di kota yang berstatus kepala rumah tangga masih didominasi oleh mereka yang berpendapatan antara 600-800 ribu rupiah perbulannya. Mereka yang berstatus kepala rumah tangga yang berpendapatan di atas 1 juta rupiah perbulan hanyalah sekitar 4,5 juta orang. Upah minimum di DKI saat ini sekitar 800 rupiah perbulannya. Dengan upah Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 minimum sebesar inipun masih banyak pekerja yang memperoleh upah di bawah upah minimum. Dan mereka yang beruntung memperoleh upah minimum masih merasakan betapa beratnya memenuhi kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Dengan demikian peningkatan iuran bagi pekerja bila tidak direncanakan dengan baik bisa jadi memberatkan dan bahkan berpotensi mengurangi kesempatan kerja formal. Angka-angka ini bisa saja tidak akurat, namun demikian kecermatan perhitungan konsekuensi biaya yang diperlukan untuk mendanai program JAMSOSNAS tidak dapat diabaikan begitu saja. Keadaan pasar tenaga kerja masih belum menggembirakan. Lapangan pekerjaan formal terus berkurang selama kurun waktu 2001 sampai 2003. Padahal diketahui bahwa sebagian besar dari pekerja kita di sektor tersebut adalah pekerja yang kurang terampil sekitar 50 adalah lulusan SD dan SD ke bawah. Dengan demikian bila sampai mereka di PHK dari pekerjaan formal maka dapat terbayangkan akan sangat lama bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan formal lagi. Untuk itu menjaga agar lapangan kerja formal tetap bertumbuh adalah cita-cita kita bersama. Apabila iuran yang nantinya akan dipungut untuk membiayai program JAMSOSNAS dirasakan sangat berat baik oleh pekerja maupuan pemberi kerja maka kemungkinan menciutnya lapangan pekerja formal tidak dapat dihindari. Parahnya lagi adalah bahwa korban dari PHK tadi biasanya adalah pekerja yang kurang terampil atau pekerja yang berusia muda atau pekerja wanita. Bertambahnya pengangguran usia muda sangat tidak menguntungkan mengingat jumlah penganggur usia muda terus meningkat jumlahnya beberapa tahun terakhir ini. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial dilaksanakan melalui tiga pilar dengan penyelenggara yang berbeda. Banyak negara baik negara maju maupun berkembang melakukan perombakan, terutama yang berkaitan dengan skema defined benefit, dalam rangka menghindari kesulitan di kemudian hari. Perombakan sistem jaminan sosial kebanyakan menuju sistem jaminan sosial tiga pilar. Pilar pertama adalah sistem jaminan sosial yang merupakan program jaring pengaman sosial. Program ini dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi penduduk usia lanjut atau mereka yang tergolong miskin. Dalam hal ini maka skema defined benefit dapat digunakan secara hati-hati. Namun cakupan Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 dan ragam dari program ini sangat tergantung dari kemampuan pemerintah. Pilar kedua adalah sistem jaminan sosial bagi pekerja formal dengan skema defined contribution. Manfaat yang akan diperoleh sesuai dengan jumlah iuran yang dipungut. Program ini dapat dilaksanakan oleh swasta dan pemerintah. Pilar ketiga merupakan program sukarela untuk peserta yang menginginkan manfaat yang lebih baik bagi kebutuhan hari tua mereka. Akan sangat tidak bijaksana bila memaksakan sistem jaminan sosial bagi negara besar dan beragam ini ke dalam satu pilar. Dalam pelaksanaan jaminan sosial, Pemerintah mempunyai beberapa peran penting. Pertama, pemerintah berperan dalam membuat regulasi yang berkaitan dengan rambu-rambu pengelolaan dana jaminan sosial. Kedua, pemerintah diharap- kan tetap berperan untuk melaksanakan pilar jaminan sosial yang merupakan bagian dari sistem jaring pengaman sosial. Misalnya di Nepal, pemerintah di sana memberikan manfaat yang merata bagi orang lanjut usia berusia di atas 70 tahun yang tidak mampu. Sekitar 30 negara menggunakan sistem jaminan sosial tiga pilar. Namun demikian negara-negara ini menggunakan pendekatan yang berbeda dalam rangka memberikan pilihan bagi peserta dalam memilih perusahaan yang menyelenggarakan jaminan sosial. Di Amerika Latin misalnya, digunakan model pasar eceran retail market, artinya pekerja dapat memilih dengan bebas perusahaan penyelenggara jaminan sosial sesuai dengan kebutuhannya. Kelemahannya adalah banyak sekali pilihan yang kadang membingungkan dan juga dengan harga yang lebih mahal. Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 Pengalaman negara lain, seperti Kolombia khususnya untuk pengelolaan jaminan kesehatan yang sangat menarik untuk dikemukakan. Pada awalnya pemerintah Kolombia membatasi pilihan perusahaan asuransi kepada satu perusahaan penyelenggara monopoli untuk melaksanakan program jaminan kesehatannya. Namun karena banyaknya keluhan terhadap kualitas program kesehatan ini maka pemerintah melakukan reformasi yang sangat mendasar. Program jaminan kesehatan pada dasarnya dibagi dua: Pertama, adalah asuransi kesehatan wajib bagi pekerja formal yang disebut Social Health Insurance SHI. Kedua, adalah program jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat miskin. 36 Pemerintah Kolombia membuka account, dimana pekerja formal anggota SHI mengiur sebesar 11 dari pendapatannya untuk program ini. Pembayaran sebesar 11 dari pendapatan ini ditanggung 13 oleh pekerja dan 23 oleh pemberi kerja. Pengelolaan account tidak diserahkan kepada sebuah perusahaan pemerintah tetapi kepada tiga bank. Pemerintah menetapkan standar dan jenis layanan komprehensif yang harus dicakup dalam SHI. Selanjutnya pemerintah melakukan seleksi kepada perusahaan asuransi penyelenggara jaminan kesehatan. Perusahaan yang mengikuti seleksi ini dapat berbentuk perusahaan pemerintah, swasta atau swasta asing. Dari seleksi ini terpilih 28 perusahaan peserta penyelenggara jaminan kesehatan. Pekerja peserta SHI dapat memilih salah satu dari 28 perusahaan ini sebagai penyelenggara jaminan kesehatan untuk pekerja itu sendiri dan keluarganya. 36 http:id.wikipedia.org. Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 Setelah pekerja menetapkan pilihannya maka uang premi akan dibayarkan dari account tadi langsung kepada perusahaan asuransi penyelenggara jaminan kesehatan. Bila sudah memilih salah satu perusahaan penyelenggara maka pekerja tidak diperbolehkan untuk pindah perusahaan minimal dalam 3 tahun. Perusahaan asuransi penyelenggara jaminan kesehatan ini dapat bekerja sama dengan berbagai rumah sakit pemerintah dan swasta yang ada atau dapat juga melaksanakan sebagian dari pelayanan kesehatannya sendiri. 37 Program jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat miskin disubsidi oleh peserta pekerja formal dan pemerintah. Jumlah pekerja formal yang dicakup oleh SHI berjumlah sekitar 30 dari penduduk. Penduduk miskin dan pekerja informal berjumlah sekitar 60. Mereka ini tidak mampu untuk membayar iuran jaminan kesehatan. Untuk itu pemerintah melakukan subsidi yang diambil dari anggaran pemerintah dan juga sumbangan 1 dari pendapatan pekerja formal. Program jaminan kesehatan bersubsidi ini dilaksanakan melalui pemerintah daerah. Pemerintah daerah melakukan seleksi untuk memilih siapa yang berhak menerima bantuan uang iuran jaminan kesehatan. Setelah pemerintah daerah menentukan siapa yang berhak menerima maka pemerintah pusat mengirim dana tadi ke pemerintah daerah dan dana tersebut dibayarkan sebagai uang premi jaminan kesehatan kepada perusahaan penyelenggara jaminan kesehatan yang dipilih oleh pekerja informal dan penduduk miskin tadi. Dari 60 penduduk yang tergolong pekerja informal dan miskin tadi hanya sekitar 30 yang berhak untuk memperoleh bantuan jaminan 37 Ibid. Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 kesehatan atau hanya sekitar 20 dari populasi. Dengan demikian masih ada sekitar 40 penduduk yang tidak tercakup dalam program jaminan kesehatan. Mereka ini tidak tergolong miskin sehingga tidak berhak untuk memperoleh bantuan jaminan kesehatan tetapi tidak cukup mampu untuk membayar premi SHI sebesar 11 dari pendapatan. Selain itu, kebanyakan masyarakat yang dicakup adalah masyarakat perkotaan dan hanya sebagian masyarakat perdesaan. Ini merupakan tantangan berat yang sedang terus diupayakan untuk dipecahkan oleh pemerintah Kolombia. 38 Model jaminan kesehatan di negara Chili juga merupakan model lain yang menarik untuk dipertimbangkan. Reformasi jaminan kesehatan di Chili dilakukan mulai tahun 1980-an. Jaminan kesehatan dibagi dua, bagi peserta yang mampu mengikuti program kesehatan yang disebut dengan ISAPRE sedangkan bagi yang tidak mampu mengikuti program yang disebut FONASA. ISAPRE adalah program asuransi jaminan kesehatan yang terdiri dari 18 perusahaan asuransi kesehatan swasta. Kriteria dari mampu atau tidak adalah dengan melihat 7 dari pendapatan calon peserta. Seandainya 7 dari pendapatan calon peserta sesuai dengan premi yang harus dibayarkan kepada ISAPRE maka pekerja tadi dapat memilih untuk masuk sebagai peserta ISAPRE atau FONASA. Namun bila penghasilan pekerja tadi tidak mencukupi maka tidak ada pilihan kecuali menjadi peserta FONASA. 39 38 Ibid. 39 http:www.freelists.orgarchivesppi. Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 ISAPRE didanai dari iuran peserta yang besarnya adalah 7 dari pendapatan pekerja dan bagi yang menginginkan manfaat yang lebih luas dapat membayar iuran tambahan. ISAPRE inilah yang menjual paket-paket asuransi kesehatan kepada pekerja. Sampai saat ini ada kurang lebih 10.000 paket kesehatan yang dapat dibeli melalui ISAPRE. Untuk melaksanakan pelayanan kesehatan ISAPRE bekerja sama dengan penyelenggara layanan kesehatan swasta. Pemerintah menetapkan standar manfaat kesehatan yang harus dipenuhi oleh ISAPRE tetapi pemerintah tidak memberikan subsidi kepada ISAPRE. Sedangkan FONASA murni dikelola oleh pemerintah, selain dibiayai dari 7 iuran pekerja pemerintah juga memberikan tambahan sebesar iuran yang terkumpul dari pekerja. Jaringan penyedia layanan kesehatan FONASA adalah gabungan antara penyedia layanan kesehatan pemerintah dan swasta. 40 Di Indonesia sendiri telah lama beroperasi program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh beberapa badan penyenyelenggara jaminan sosial yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, PT. Asabri, Bapel JPKM dan berbagai program- program jaminan sosial mikro, tetapi cakupannya masih relatif rendah dan terbatas pada pekerja sektor formal. Badan-badan penyelenggara tersebut beroperasi secara parsial masing-masing berlandaskan Undang-undang atau peraturan-peraturan yang terpisah, tumpang tindih, tidak konsisten dan kurang tegas. Sementara itu, diketahui bahwa manfaat yang diterima peserta masih terbatas sehingga peserta tidak 40 Ibid. Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 terlindungi secara optimal. Pengelolaan lembaga dianggap belum transparan dan dengan manajemen yang profesionalitasnya masih perlu ditingkatkan. Menyadari kekurangan-kekurangan di atas, pemerintah merasa perlu memiliki undang-undang yang berlaku nasional dan mampu menyempurnakan undang-undang dan peraturan yang mengatur baik substansi, kelembagaan maupun mekanisme penyelenggaraan jaminan sosial. Undang-undang tersebut disusun berlandaskan konsep jaminan sosial nasional yang sahih dan integral sehingga dapat menjadi payung yang memberikan arahan dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, sebagaimana dalam Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952. Di Indonesia, jaminan sosial diamanatkan dalam UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002, Pasal 5 ayat 1, Pasal 20, Pasal 28H ayat 1, ayat 2 dan ayat 3, serta Pasal 34 ayat 1 dan ayat 2, TAP MPR RI No. XMPR2001 menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional. Amanat ini direalisasikan dengan dibentuknya Kelompok Kerja Sistem Jaminan Nasional Pokja SJSN Tahun 2001 oleh Wakil Presiden RI Kepseswapres, Nomor 7 Tahun 2001, tanggal 21 Maret 2001, dengan tugas utama menyiapkan Naskah Akademik NA Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN dan konsep Rancangan Undang Undang RUU SJSN. Kepseswapres tersebut diperbaharui dengan Keppres Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 No. 20 Tahun 2002, tanggal 10 April 2002, tentang pembentukan Tim SJSN dengan bentuk penugasan yang sama. Penyusunan NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan RUU SJSN dan NA SJSN yang merupakan hasil kajian dan pemahaman tentang jaminan sosial, yang dilengkapi dengan hasil studi banding, lokakarya, pembahasan informasi dengan DPR RI, sosialisasi dan masukan dari masyarakat lainnya. NA SJSN mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 delapan kali dan naskah terakhir dihasilkan tertanggal 26 Januari 2004. Naskah Akademik SJSN secara lengkap diterbitkan terpisah dan selanjutnya dituangkan dalam konsep RUU SJSN. Perkembangan pembahasan sejak konsep awal RUU SJSN, 9 Pebruari 2003, terdiri dari 11 sebelas bab dan 42 empat puluh dua pasal, hingga konsep terakhir, 14 Januari 2004, terdiri dari 12 dua belas bab dan 74 tujuh puluh empat pasal, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, setelah mengalami 52 lima puluh dua kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian Pemerintah menyerahkan RUU SJSN yang terdiri dari 12 dua belas bab dan 80 delapan puluh pasal kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004. Selama pembahasan Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI, RUU SJSN hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 tiga kali perubahan. Sehingga dalam perjalanannya, konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 lima puluh enam kali, UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi Undang-undang Ahmad Ansyori : Analisis Terhadap Tujuan Pendirian BUMN Persero Dalam Undang-Undang BUMN…, 2008 USU e-Repository © 2008 Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004, terdiri dari 9 bab dan 53 lima puluh tiga pasal.

B. AsasPrinsip dan Tujuan Penyelenggaraan SJSN