Analisis Terhadap Tujuan Pendirian Bumn Persero Dalam Undang-Undang Bumn Dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

(1)

ANALISIS TERHADAP TUJUAN PENDIRIAN BUMN PERSERO

DALAM UNDANG-UNDANG BUMN DAN UNDANG-UNDANG

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN)

TESIS

Oleh

AHMAD ANSYORI

067005062/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

ANALISIS TERHADAP TUJUAN PENDIRIAN BUMN PERSERO

DALAM UNDANG-UNDANG BUMN DAN UNDANG-UNDANG

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

AHMAD ANSYORI

067005062/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : ANALISIS TERHADAP TUJUAN PENDIRIAN BUMN PERSERO DALAM UNDANG-UNDANG BUMN DAN UNDANG-UNDANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN)

Nama Mahasiswa : Ahmad Ansyori Nomor Pokok : 067005062 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN ,M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.,M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 12 Agustus 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2.

Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum

3.

Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Pasal 33 Undang Undang 1945 adalah landasan hukum yang memperboleh-kan negara melakumemperboleh-kan kegiatan berusaha, dengan membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kedudukan dan peranan BUMN tergantung hukum yang mengaturnya dan bentuknya direfleksikan dalam Inpres Nomor 17 Tahun 1967 dalam bentuk Departement Agency (Perjan), Public Corporation (Perum) dan State

Company (Perseroan). Peranan BUMN tidak hanya sebatas pengelolaan sumber daya

dan produksi barang yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan yang merupakan porsi swasta. Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dibentuknya BUMN Persero adalah untuk mengejar keuntungan. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dibentuk untuk tujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Terdapat ketidaksesuaian kedua undang-undang tersebut dalam tujuan pembentukan-nya, khususnya dalam tujuan persero sebagai asosiasi modal yang merupakan entitas bisnis yang mengejar keuntungan bagi pemegang saham, dengan tujuan UU SJSN yang bersifat nirlaba dan seluruh hasil pengembangannya dikembalikan untuk kepentingan peserta program jaminan sosial tersebut.

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan atau menginventarisasi hukum positif yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan atau mengkaji data sekunder. Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis, dimaksudkan untuk menggambarkan dan sekaligus meng-analisis mengenai fakta-fakta dalam tujuan pembentukan Badan Usaha Milik Negara Persero, khususnya dalam tujuan komersial dan implikasi atau penerapannya dalam pelaksanaan UU SJSN.

Terdapat 3 (tiga) alternatif kelembagaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia, yakni: (a) Langsung berada di bawah koordinasi Presiden, (b) Berada dibawah koordinasi sebuah kementerian, dan (c) Independen dan bertanggung jawab langsung kepada DPR-RI. Sedangkan bentuk badan hukum badan penyelenggara dapat berupa: (a) Dana Amanat (Board of Trustees), (b) Badan Usaha Milik Negara, dan (c) Badan Usaha Milik Swasta (Free Choice).


(6)

ABSTRACT

Article 33 of the 1945 Constitution is legal principle of State to run a business activity in the form of State Owned Company (SOC). The position and role of SOC depending on law or regulation and its form reflected in Presidential Instruction Number 17/1967 in the form of Agency Department, Public Corporation and State Company. The role of SOC is not only limited for resources management and goods production which cover a lot of people’s life style, but it is also concerning to production activity and private public service. Base on Law Number 19/2003 regarding to State Owned Company, its aim is to achieve profit. Law Number 40/2004 regarding to National Social Guarantee System (NSGS), its aim is to guarantee a living basic need for every participant and his family member. Above both laws have no adjustment in the aim of its enactment particularly in the aim of company is capital association that constitutes profitable business entity for share holder, with the aim of Law of NSGS which is non profitable and all its developmental outcome returned to participant’s interest in the social guarantee program.

The method of this research uses juridical normative approaches, library research study by inventorying positive law which is relevant to researching issues and referring to legal norms of laws or regulations secondarily. The specification of research used descriptively and analytically. This means to describe and to analyze the fact in establishing SOC especially in the commercial aim and its implication and application in the execution of law NSGS.

There are three alternate institutions or Boards of Social Guarantee in Indonesia, namely: (a) Under direct coordination of President, (b) Under coordination of a Ministry, (c) Independent and directly responsible to RI-House of Representa-tives. While the corporate body can be: (a) Board of Trustees, (b) State Owned Company, and (c) Private Company.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya dalam penyelesaian tesis dengan judul: Analisis Terhadap

Tujuan Pendirian BUMN Persero dalam undang BUMN dan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Shalawat dan salam juga

disampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, karena telah membawa umat manusia dari alam kegelapan menuju alam terang benderang.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum. dan Dr. T. Keizerina Devi A., S.H., C.N., M.Hum. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang selalu memperhatikan dan meluangkan waktunya memberikan bimbingan, petunjuk dan saran-saran dalam penulisan tesis ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga disampaikan kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. dan Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. selaku tim penguji tesis ini.

Penyelesaian tesis ini banyak mendapatkan bantuan materil maupun moril serta motivasi dan doa restu dari banyak pihak yang tidak mungkin dapat disebutkan satu persatu secara keseluruhan. Melalui kata pengantar ini, dengan penuh rasa hormat yang tulus ikhlas, tidak lupa disampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:


(8)

1. Rektor dan para Pembantu Rektor di Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Direktur dan para Asisten Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua dan Sekretaris serta para Dosen Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Rekan-rekan di Sekolah Pascasarja Universitas Sumatera Utara dan rekan-rekan lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, telah turut serta dalam membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Teristimewa, diucapkan terima kasih yang tiada henti-hentinya kepada yang mulia kedua orang tua ku tercinta serta isteri ku Ety Retnawati dan anak-anak ku: Luthfi Musaddad, Asri Retno Wulan, Fahmi Yusuf Musaddad, Asri Choirun Nisa, Ahmad Hanif dan Asri Scientia Qolby, yang telah berkorban memberikan semangat serta selalu mendoakan agar penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang tulus dan tidak terhingga atas segala pengorbanan kasih sayang, waktu maupun pengorbanan materi serta memberikan dorongan semangat dan doanya, demi penyelesaian studi penulis.


(9)

Semua bantuan dan dorongan serta doa restu yang diberikan oleh semua pihak, baik yang tersebut maupun yang tidak tersebut di atas, penulis kembalikan kepada Allah SWT dan semoga kiranya mendapat keridhaan dan pahala yang berlipat ganda dari-Nya. Akhirnya kepada Allah SWT penulis bermohon agar kiranya tesis yang mungkin masih terdapat kekurangannya, dapat bermanfaat bagi semua pihak. Tiada ilmu yang sempurna, kecuali ilmu-Nya, amin.

Medan, Agustus 2008

Ahmad Ansyori 067005062/HK


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ahmad Ansyori

Tempat/Tgl. Lahir : Plaju/ 23 Juli 1963

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Instansi : PT. Jamsostek (Persero)

Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri 88 Plaju (Lulus Tahun 1976)

- Sekolah Menengah Pertama Negeri 16, Palembang, (Lulus Tahun 1980)

- Sekolah Menengah Atas Negeri 16 Palembang (Lulus Tahun 1983)

- Fakultas Hukum Universitas Balikpapan (Lulus Tahun 1990)

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Lulus Tahun 2008)


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SINGKATAN... x

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Kerangka Teori dan Konsep... 6

E. Keaslian Penelitian... 9

F. Metode Penelitian ... 10

BAB II : ASPEK YURIDIS BUMN PERSERO DALAM SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL ... 14

A. Pengertian dan Elemen Yuridis dari Perseroan Terbatas... 14

B. Klasifikasi Perseroan Terbatas... 23

C. Aspek Yuridis Pembentukan BUMN di Indonesia ... 31


(12)

BAB III : KEBERADAAN BUMN PERSERO DALAM

UNDANG-UNDANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL ... 39

A. Latar belakang dan Kronologis Pembentukan Undang-undang SJSN di Indonesia ... 39

B. Asas/Prinsip dan Tujuan Penyelenggaraan SJSN ... 52

C. Mekanisme Penyelenggaraan SJSN... 64

D. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial... 68

E. BUMN Persero sebagai Penyelenggara SJSN ... 72

F. Keselarasan Tujuan Pembentukan BUMN Persero dalam Menjalankan Undang-Undang SJSN ... 75

BAB IV : ALTERNATIF KELEMBAGAAN JAMINAN SOSIAL UNTUK INDONESIA... 78

A. Sistem Pertanggungjawaban BUMN Persero dalam Penyelenggaraan SJSN ... 78

B. Alternatif Kelembagaan Jaminan Sosial ... 81

C. Tiga Pilar Perlindungan Sosial... 84

D. Sejarah Jaminan Sosial... 90

E. Bentuk Badan Hukum Badan Penyelenggara ... 99

F. Jumlah Penyelenggara dan Undang-Undang Jaminan Sosial .... 106

G. Kelebihan dan Kelemahan BPJS Berbentuk BUMN atau Badan Hukum Baru... 115

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Saran ... 121


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Profil dan Posisi BUMN ... 37

2. Kelebihan dan Kelemahan BPJS Berbentuk BUMN ... 115

3. Kelebihan dan Kelemahan BPJS Berbentuk Badan Hukum Baru ... 117

4. Pembentukan BPJS dengan Pendekatan Program ... 118


(14)

DAFTAR SINGKATAN

ASABRI : Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ASKES : Asuransi Kesehatan

Bapel : Badan Penyelenggara BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

ILO : Internasional Labour Organization Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja JHT : Jaminan Hari Tua

JK : Jaminan Kesehatan

JKK : Jaminan Kecelakaan Kerja

JKM : Jaminan Kematian

JPKM : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat.

JP : Jaminan Pensiun

MK : Mahkamah Konstitusi

PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa PNS : Pegawai Negeri Sipil

PP : Peraturan Pemerintah

PT : Perseroan Terbatas

RUU : Rancangan Undang-Undang SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 33 Undang-Undang 1945 hasil amandemen ke-3, khususnya ayat (2) yang berbunyi “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” adalah landasan hukum yang memperbolehkan negara melakukan kegiatan berusaha, dengan membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Di Indonesia, peranan BUMN tidak hanya sebatas pengelolaan sumber daya dan produksi barang yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan yang merupakan porsi swasta. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, monopoli atas sumber daya dan kegiatan ekonomi tertentu yang berada di tangan negara dapat dilakukan. Negara memainkan peranan penting secara langsung dan tidak langsung dalam kehidupan ekonomi untuk menghindari dampak eksternal dan khusus dampak sampingan bagi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Peran negara muncul dalam berbagai bentuk, misalnya: (1) stabilitas sistem ekonomi, (2) alokasi dan distribusi sumber daya, termasuk produk dan konsumsi.

Kedudukan dan peranan BUMN tergantung hukum yang mengaturnya (hukum publik atau hukum privat) dan bentuknya (departement government

enterprise, statutory public corporation, commercial companies), direfleksikan dalam


(16)

corporation (Perum) dan state company (Perseroan). Kedudukan dan peran dilihat

dari segi ekonomi untuk membenarkan keterlibatan pemerintah secara langsung dalam kegiatan ekonomi adalah untuk menjembatani bentuk ketidaksempurnaan pasar.1

Sejak tahun 1945, sejarah BUMN ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 dengan nasionalisasi perusahaan Belanda, hingga Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disingkat BUMN) yang berlaku saat ini, Telah terjadi beberapa kali perubahan dalam undang-undang tentang BUMN yang lebih merupakan penyesuaian terhadap kondisi perekonomian yang terus berkembang, namun inti atau tujuan pendirian BUMN pada dasarnya tetap. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang memuat maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:2

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

2. Mengejar keuntungan.

3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. 4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh

sektor swasta dan koperasi.

1

R. Ibrahim, “Landasan Filosofis dan yuridis keberadaan BUMN, Sebuah Tinjauan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 No.1 Tahun 2007.

2

Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Penerbit Harvarindo, 2007, hlm. 5.


(17)

5. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.

Pada Pasal 12 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, memuat lebih khusus tentang maksud dan tujuan pendirian Persero adalah:3

1. Menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat. 2. Mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.

Berdasarkan kedua pasal dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN tersebut, sangat jelas bahwa dibentuknya BUMN Persero adalah untuk mengejar keuntungan atau profit oriented.

Di sisi lain, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disingkat UU SJSN), dibentuk untuk tujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN bahkan secara jelas dan berulang, menyatakan bahwa dalam pelaksanaannya, SJSN tersebut bersifat nirlaba, sebagaimana tercantum pada Pasal 4, bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip:4

1. Kegotongroyongan. 2. Nirlaba.

3. Keterbukaan. 4. Kehati-hatian.

3

Ibid, hlm. 9. 4

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004, L.N. 150, T.L.N. No.4456 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.


(18)

5. Akuntabilitas. 6. Portabilitas.

7. Kepesertaan bersifat wajib. 8. Dana amanat.

9. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengem-bangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004, mengatur tentang Badan Penyelenggara yang pada pokoknya harus berdasarkan undang-undang. Dalam pasal yang ama, ditetapkan bahwa badan penyelenggara terdiri dari PT. Jamsostek, PT. Taspen, PT. Asabri dan PT. Askes, dan dalam hal diperlukan badan penyeleng-gara selain empat badan badan penyelengpenyeleng-gara tersebut, dapat dibentuk yang baru, dengan undang-undang.

Uraian di atas, menunjukkan bahwa ketidaksesuaian kedua undang-undang tersebut dalam tujuan pembentukannya, khususnya dalam tujuan Persero sebagai asosiasi modal yang merupakan entitas bisnis yang mengejar keuntungan bagi pemegang saham, dengan tujuan Undang-undang SJSN yang bersifat nirlaba dan seluruh hasil pengembangannya dikembalikan untuk kepentingan peserta program jaminan sosial tersebut. Ketidakharmonisan dalam kedua undang-undang tersebut tidak hanya dapat mengakibatkan tujuan pembentukan undang-undang tersebut tidak dapat tercapai dengan baik, tetapi berpeluang pula mengakibatkan masalah hukum yang lebih luas, baik berupa ketidaksesuaian pemenuhan hak masyarakat dalam


(19)

jaminan sosial maupun dari segi pengurusan perusahaan Persero yang tunduk pada hukum perusahaan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana landasan yuridis tujuan pembentukan BUMN Persero dan Sistem Jaminan Sosial Nasional?

2. Bagaimana tujuan BUMN Persero dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional?

3. Bagaimana alternatif kelembagaan Sistem Jaminan Sosial untuk Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka pelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk memahami landasan yuridis tujuan pembentukan BUMN Persero dan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

2. Untuk memahami tujuan BUMN Persero dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

3. Untuk memahami alternatif kelembagaan Jaminan Sosial untuk Indonesia.

Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang hukum


(20)

bisnis secara luas. Secara praktis dapat jadi masukan dan informasi bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya dalam memahami kedudukan hukum tentang penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial dalam pelaksanaannya oleh BUMN Persero.

D. Kerangka Teori dan Konsep

Pada dasarnya, salah satu tujuan pembentukan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 dimaksudkan untuk mengejar keuntungan, sementara program Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaimana Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 dibentuk untuk tujuan per-lindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang di dalamnya menganut prinsip nirlaba yang berarti tidak akan memberikan keuntungan kepada BUMN badan pelaksananya.

Inkonsistensi atau kerancuan sistem dalam kedua undang-undang tersebut menyebabkan status hukum BUMN dan tujuan pembentukan BUMN menjadi tidak jelas atau setidaknya telah terjadi kerancuan diantara kedua undang-undang tersebut.

Gagasan untuk membangun Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mampu mengayomi kepentingan dan hak seluruh rakyat Indonesia, adalah sebuah pemikiran maju dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak, namun gagasan tersebut hanya akan menjadi gagasan semata, bila dalam sistem tersebut terdapat kerancuan atau bahkan dapat mengakibatkan kerusakan dari sistem yang sudah ada saat ini, jika transisi program dan penyelenggaraannya tidak dilaksanakan dengan cermat dan terencana.


(21)

Pembaharuan hukum perusahaan menurut UUPT ditujukan untuk memberi jawaban atas tuntutan perkembangan pesat dari eksistensi dan peranan Perseroan Terbatas sebagai salah satu bentuk badan hukum dari pelaku ekonomi.5

Perlu diperhatikan tujuan dari Undang-undang BUMN dan berbagai per-aturan perundang-undangan tidak akan tercapai apabila dalam pelaksanaannya terdapat berbagai permasalahan dan hambatan yang pada gilirannya pula membuat undang-undang tersebut tidak dapat dijalankan dilapangan. Oleh karena itu, menjadi perhatian kita untuk mengkaji berbagai hal yang perlu dibuat mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan Undang-undang BUMN ini kedepan dan pada gilirannya dapat menjadi dasar sistem pembinaan dan pengelolaan BUMN efektif dan efisien.6 Karena itu UUPT yang baru ini ditujukan untuk memberi perlindungan kepentingan bagi setiap pemegang saham, kreditur dan para pihak ketiga yang berhubungan dengan aktivitas perseroan terbatas.

Sejak tahun 2001 seluruh BUMN dikoordinasikan pengelolaannya oleh Kementerian BUMN, yang dipimpin oleh seorang Menteri Negara BUMN. Perusahaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah, yang tujuannya mengejar keuntungan. Maksud dan tujuan mendirikan persero ialah untuk

5

Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat. Lihat Wikipedia Indonesia, hlm. 3.

6

Bismar Nasution 1, “Menuju Sistem Pengelolaan BUMN yang Efektif dan Efisien”, disampaikan pada Sosialisasi UU BUMN dan Peraturan Pelaksanaannya Serta Eksistensinya dalam Sistem Pembinaan dan Pengelolaan BUMN, Medan, 14 Desember 2005, hlm. 28.


(22)

menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat dan mengejar keuntungan untuk meningkatkan nilai perusahaan.

Menurut Leonard J. Theberg dalam “Law and Economic Development”, dalam rangka pembangunan ekonomi, badan legislatif dalam merumuskan suatu produk hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:7

1. Predictability

Hukum harus mampu memprediksi, yaitu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum dalam memberikan proyeksi pembangunan ke depan.

2. Procedural Capability

Hukum harus memiliki kemampuan prosedural dalam menyelesaikan suatu sengketa.

3. Codification of Goals

Kodifikasi hukum harus bertujuan untuk pembangunan negara. 4. Education

Hukum harus dapat bertindak sebagai kekuatan yang membentuk kebiasaan yang menegaskan kebiasaan lama dan atau menciptakan respon dan kondisi yang baru.

5. Balance

Hukum harus dapat menciptakan keseimbangan. 6. Definition and Clarity of Status

7

Bismar Nasution 2, “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,” Pidato Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Medan, Universitas Sumatera Utara, 2004.


(23)

Hukum harus dapat memberikan definisi dan status yang jelas. 7. Accomodation

Hukum harus dapat mengakomodasi keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi individu atau kelompok dalam masyarakat.

8. Stability

Hukum harus dapat mempertahankan keseimbangan nilai masyarakat .

Kerangka teori dan konsepsional yang diajukan di atas, khususnya huruf a, b dan f merupakan pemikiran yang akan melandasi pembahasan tesis ini. Pada dasarnya tesis ini akan menguraikan dan menjelaskan bagaimana kedudukan hukum penye-lenggaraan Undang-undang Jaminan Sosial yang berbeda tujuan pembentukannya dengan Persero dalam Undang-undang BUMN.

E. Keaslian Penelitian

Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran secara pribadi secara keseluruhan dengan melihat dan memahami substansi hukum dalam tujuan pembentukan BUMN Persero menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 dalam penerapannya terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Sepanjang yang diketahui dan dikonfirmasi, ihwal analisis terhadap tujuan pendirian BUMN Persero dalam Undang-undang BUMN dan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum pernah diteliti. Oleh karena itu, keaslian (orisinalitas) dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.


(24)

F. Metode Penelitian

Istilah metode berasal dari bahasa Yunani “Methods” yang berarti cara atau jalan sesuai dengan penelitian ini menyangkut tentang cara kerja yaitu cara kerja yang berfungsi untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu yang bersangkutan.8

Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Metode pendekatan

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan atau menginventarisasi hukum positif yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan atau mengkaji data sekunder.

Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan penelitian doctrinal (Doctrinal Research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis, baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun sebagai law as it decided

by judge through judicial process.9 2. Spesifikasi penelitian

8

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 16.

9

Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perban-dingan Hukum dan Hasil Penulisan pada Majalah Akreditasi, (Medan: FH-USU, 2003), hlm. 2.


(25)

Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat Deskriptif Analitis, dimaksud-kan untuk menggambardimaksud-kan dan sekaligus menganalisis mengenai fakta-fakta dalam tujuan pembentukan Badan Usaha Milik Negara Persero, khususnya dalam tujuan komersial, dan implikasi atau penerapannya dalam pelaksanaan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

3. Tahap pengumpulan data

Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder, maka bahan kepustakaan yang digunakan dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer yaitu peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berikut peraturan pelaksana lainnya dan ketentuan lain yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas, serta Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Persero. Bahan hukum primer lainnya, adalah berbagai peraturan perundangan tentang Jaminan Sosial, baik yang eksis saat ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maupun peraturan terkait lainnya. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu yang memberikan penjelasan bahan hukum

primer, dalam hal ini hasil penelitian para ahli, memori penyusunan undang-undang.

c. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder dalam hal ini kamus hukum dan ensiklopedia.


(26)

4. Alat pengumpulan data

Data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi dokumen yang dilakukan melalui pengumpulan data sekunder. Data tersebut berupa perundang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian, majalah dan dokumen lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.

5. Analisis data

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul melalui pengamatan.Selanjutnya diadakan analisis secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh tersebut disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif yaitu dalam bentuk uraian. Data yang telah diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan diklasifikasikan guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur masalah hukum BUMN dan Hukum Jaminan Sosial Nasional.

Melakukan kegiatan penelitian dengan penelusuran teori-teori hukum, yang berkaitan dengan hukum perusahaan, hukum ekonomi, hukum jaminan sosial, tata kelola perusahaan (good corporate governance) yang baik serta kebijaksanaan pemerintah.

Dalam mencermati peraturan hukum, diperlukan bantuan ajaran interpretasi.10 Metode interpretasi yang digunakan dalam rangka memahami hukum dengan cara mencari kesesuaian asas hukum yang ada yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

10


(27)

Selanjutnya melakukan analisis secara deskriptif terhadap hukum positif yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang diteliti, terutama dalam kaitannya dengan hukum perusahaan terkait dengan tujuan pembentukan BUMN Persero serta tujuan penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Melalui proses data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.11

11

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 195-196.


(28)

BAB II

ASPEK YURIDIS BUMN PERSERO DALAM SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

A. Pengertian dan Elemen Yuridis dari Perseroan Terbatas

Hukum bagaimanapun juga sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, apakah itu kehidupan sosial, kehidupan politik, budaya dan yang tak kalah pentingnya adalah untuk mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas di satu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi di lain pihak sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi.

Negara Indonesia dilaksanakan berdasarkan hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, demikian penegasan Undang-undang Dasar 1945 yang mengan-dung makna bahwa di negara Republik Indonesia hukum harus berperan sentral sebagai pengarah dan pengayom kehidupan berbangsa. Untuk mewujudkan cita-cita negara hukum tersebut, diperlukan upaya pembangunan hukum yang berkesinam-bungan dan menuntut penataan kembali dari waktu ke waktu, terutama dalam suasana politik, sosial dan ekonomi nasional serta global yang selalu berubah dengan begitu cepat.

Kegiatan perekonomian di Indonesia diatur oleh seperangkat kaidah-kaidah hukum di bidang ekonomi yang disebut Hukum Ekonomi Indonesia (sebagian ahli


(29)

lebih cenderung menggunakan istilah bisnis). Hukum Ekonomi Indonesia adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi di Indonesia. Kaidah-kaidah hukum mengenai ekonomi Indonesia tersebut ada yang bersifat Hukum Ekonomi Pembangunan dan ada yang bersifat Hukum Ekonomi Sosial.12

Dijelaskan oleh Sunaryati Hartono, bahwa Hukum Ekonomi Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian, yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu: pertama, Hukum Ekonomi Pembangunan yang menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional, menyeluruh dan berencana. Materi Hukum Ekonomi Pembangunan ini akan mencakup kaidah-kaidah yang menyangkut usaha-usaha peningkatan dan pengembangan bidang-bidang ekonomi, perdagangan dan keuangan, dimana pemerintah memainkan peranan yang penting sebagai pengarah, pengatur dan

modernizing agent. Kedua, Hukum Ekonomi Sosial yang berdasarkan Pancasila (Sila

Perikemanusiaan) dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan kesejahteraan manusia/warga negara Indonesia, sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Materi Hukum Ekonomi Sosial ini akan memuat kaidah-kaidah yang menyangkut usaha-usaha peningkatan

12

Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1982), hlm. 53.


(30)

kemampuan ekonomi dan kesejahteraan warga negara Indonesia sebagai per-seorangan.13

Hubungan antara Hukum Ekonomi Pembangunan dan Hukum Ekonomi Sosial, jika bertitik tolak dan didasarkan pada pemikiran pembangunan dan peningkatan ketahanan ekonomi nasional secara makro, maka titik tolak dan dasar pemikiran dari Hukum Ekonomi Sosial adalah kehidupan ekonomi Indonesia yang berperikemanusiaan dan perataan pendapatan, di mana setiap warga negara Indonesia berhak atas kehidupan dan pekerjaan yang layak. Dalam hubungan ini perlu diingat, bahwa segala usaha pembangunan ekonomi Indonesia itu bertujuan untuk mencipta-kan kesejahteraan tiap-tiap dan masing-masing warga negara Indonesia, sehingga pembangunan ekonomi Indonesia itu sekali-kali tidak akan dan tidak boleh ber-langsung dengan merendahkan derajat manusia Indonesia menjadi alat produksi, atau alat dari pembangunan ekonomi itu, tetapi justru harus berlangsung dengan men-junjung tinggi hak-hak hidup manusia yang asasi.14

Hukum dan ekonomi adalah merupakan dua sub sistem dari suatu sistem kemasyarakatan yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Hukum dapat dilihat sebagai hasil dari berbagai kekuatan sosial dan ekonomi yang terdapat dalam proses kemasyarakatan, sehingga hukum itu sangat tergantung sekali pada faktor-faktor yang cukup dominan dalam kehidupan masyarakat terutama faktor-faktor-faktor-faktor ekonomi. Dengan demikian hukum itu tempatnya adalah berada di belakang dan

13

Ibid., hlm. 49-50. 14


(31)

mengikuti perkembangan ekonomi. Hal ini sesuai dengan anggapan klasik mengenai hukum yang berasal dari orang-orang Belanda dahulu yang mengatakan bahwa “het

recht hink achter de feiten aan” (hukum itu ada dibelakang dan mengikuti

kejadian-kejadian).

Berhubungan dengan persoalan tersebut di atas, maka antara sistem hukum dan sistem ekonomi di suatu negara terdapat hubungan yang sangat erat dan pengaruh timbal balik. Kalau pada satu pihak pembaharuan dasar-dasar pemikiran dibidang ekonomi ikut mengubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang ber-sangkutan, maka penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga akan memperlancar terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki. Sebaliknya penegakan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan.15 Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa pelaksanaan hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan sebaliknya hukum juga dapat mem-pengaruhi perkembangan ekonomi dalam masyarakat.

Pembicaraan mengenai hukum dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang apa sebenarnya fungsi hukum dalam masyarakat. Dalam pandangan yang klasik hukum itu hanya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial (social control) dalam artian untuk menciptakan keteraturan, ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Hukum juga sering disebut sebagai sarana penyelesaian sengketa (settle dispute) dalam artian

15


(32)

untuk memberikan sarana agar berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Mengenai fungsi hukum itu di dalam masyarakat, terdapat banyak perbedaan pandangan di kalangan para ahli hukum. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa hukum selain berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control) juga berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial (law as facilitation of human interaction). Dikemukakannya bahwa mana yang lebih utama senantiasa tergantung pada bidang hukum yang dipersoalkan dan kadang-kadang kedua fungsi tadi berkaitan dengan eratnya sehingga sulit untuk dibedakan secara tegas.16 Dalam bukunya yang lain beliau masih menyebutkan adanya fungsi hukum yang lain yaitu hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat.17

Hukum di dalam suatu masyarakat yang sedang membangun tidak hanya mempunyai fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban, tetapi juga mempunyai fungsi untuk mempercepat proses pendidikan masyarakat (merupakan sebagian “social education”) ke arah suatu sikap mental yang paling sesuai dengan masyarakat yang dicita-citakan. Dengan lain perkataan, hukum merupakan suatu “prasarana mental” untuk memungkinkan terjadinya pembangunan dengan cara tertib dan ter-atur, tanpa menghilangkan martabat kemanusiaan dari anggota-anggota masyarakat.18

16

Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 44.

17

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1980), hlm. 115.

18

Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1972), hlm. 335.


(33)

Bertitik tolak dari anggapan dasar yang demikian, maka akan terlihat adanya suatu hubungan interdependensi antara hukum di satu pihak dan ekonomi di lain pihak. Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat dalam mengatur dan menata perekonomian masyarakat diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan di bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi hanya dapat terlaksana dengan baik jika dilaksanakan atas dasar suatu tertib hukum yang memungkinkan dan dapat menga-mankan pelaksanaannya. Kemudian dari peraturan hukum dimaksud diharapkan dapat memberikan dampak yang bersifat positif yang dapat mempercepat lajunya pertumbuhan ekonomi.19

Pembaharuan di bidang hukum untuk mengakomodasi perubahan di dalam menghadapi perkembangan pertumbuhan perekonomian nasional serta perkembangan perekonomian internasional yang ditandai adanya liberalisasi perdagangan bebas, kiranya perlu dilakukan. Pembaharuan hukum tersebut di bidang kegiatan ekonomi dalam pembangunan dilakukan untuk dapat mewujudkan hukum ekonomi yang kondusif mendukung kegiatan ekonomi. Pembaharuan hukum itu harus dijiwai oleh nilai-nilai dasar, nilai praktis dari Pancasila, UUD 1945 dan Kebijaksanaan Nasional. Di lain pihak juga harus memperhitungkan lingkungan strategis yang mendukungnya yaitu mekanisme pasar, sinergi manajemen, sumberdaya dan globalisasi ekonomi. Pembaharuan hukum di bidang kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan

19

Abdurrahman, Beberapa Pokok Pikiran di Sekitar Pembinaan Hukum Ekonomi di Indonesia, (Jakarta: BPHN, 1980), hlm. 126.


(34)

melakukan perubahan ketentuan perangkat peraturan hukum dan perundang-undangan dibidang ekonomi yang meliputi:20

1. Peraturan hukum dan perundang-undangan yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembaga-lembaga yang mewadahi para pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi ekonomi pasar (Substantial Legal Rules).

2. Peraturan hukum dan perundang-undangan yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku ekonomi dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis dan ekonomi pada pasar bebas yang berupa hukum-hukum yang mengatur setiap sektor ekonomi yang akan dilakukan oleh swasta (Level Playing Field).

3. Peraturan hukum dan perundang-undangan mengenai penyelesaian sengketa yang mendukung kelangsungan hidup pasar bebas.

Pendekatan yuridis tersebut di atas perlu diimbangi dengan pendekatan ekonomi transaksi bisnis, karena perangkat prediktibilitas dan kepercayaan atas hukum kemungkinan akan memberi dampak negatif terhadap transaksi ekonomi, ditinjau dari sudut pandangan efisiensi dan produktivitas yaitu berupa hambatan-hambatan yuridis yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Selanjutnya, suatu kerangka kerja hukum harus dikembangkan untuk memenuhi tujuan dan sasaran dari efisiensi ekonomi.

Dengan demikian, peranan hukum nasional khususnya Hukum Ekonomi harus mampu membangun kerangka kerja pengaturan hukum yang melandasi kegiatan

20

Normin S. Pakpahan, “Perangkat Hukum dalam Rangka Menghadapi Era Perdagangan Bebas”, Majalah Hukum Nasional, No. 2 Tahun 2002, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, hlm. 37-39.


(35)

transaksi ekonomi pada dunia usaha serta mampu memberikan solusi yang obyektif bagi penyelesaian perselisihan perdagangan.

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah RI, guna menata kembali aturan hukum yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi adalah dengan memperbaharui undang-undang tentang Perseroan Terbatas, yakni dengan dikeluar-kannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-undang tersebut perlu diperbaharui karena memang dalam praktek banyak dijumpai pelaku usaha (pelaku ekonomi) yang menjalankan bisnisnya dengan membentuk Perseroan Terbatas (PT). PT merupakan model bisnis yang lazim dilakukan sehingga berbeda dengan bentuk badan usaha lain seperti Firma, Perusahaan Komanditer, Koperasi dan lain-lain.

Terhadap Perseroan Terbatas ini dalam beberapa bahasa disebut sebagai berikut:21

1. Dalam bahasa Inggris disebut dengan Limited (Ltd.) Company atau Limited

Liability Company ataupun Limited (Ltd) Corporation.

2. Dalam bahasa Belanda disebut dengan Naamlooze Vennootschap atau yang sering disingkat dengan NV saja.

3. Dalam bahasa Jerman terhadap perseroan terbatas ini disebut dengan

Gesellschaft mit Beschrankter Haftung.

21

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 1.


(36)

4. Dalam bahasa Spanyol disebut dengan Sociedad dengan Responsabilidad

Limitada.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Perseroan Terbatas adalah: suatu perusahaan yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian dan para pendirinya, untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar, dimana modal dasar tersebut dibagi ke dalam saham-saham, dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang yang terkait dan peraturan perundang-undangan lainnya.22

Selain itu ada juga yang memberikan arti Perseroan Terbatas sebagai suatu asosiasi pemegang saham (atau bahkan seorang pemegang saham jika dimungkinkan untuk itu oleh hukum di negara tertentu) yang diciptakan oleh hukum dan diberlaku-kan sebagai manusia semu (artificial person) oleh Pengadilan. PT merupadiberlaku-kan badan hukum karena sama sekali terpisah dengan orang-orang yang mendirikannya, dengan mempunyai kapasitas untuk bereksistensi yang terus menerus. Sebagai suatu badan hukum Perseroan Terbatas berwenang untuk menerima, memegang dan mengalihkan harta kekayaan, menggugat atau digugat dan melaksanakan kewenangan-kewenangan lainnya yang diberikan oleh hukum yang berlaku.

Menurut Munir Fuady setidak-tidaknya ada 15 (lima belas) elemen yuridis dari suatu Perseroan Terbatas yaitu:23

1. Dasarnya adalah perjanjian.

22

Lebih lanjut lihat Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

23


(37)

2. Adanya para pendiri.

3. Pendiri/pemegang saham bernaung di bawah suatu nama bersama.

4. Merupakan asosiasi dari pemegang saham atau hanya seorang pemegang saham. 5. Merupakan badan hukum atau manusia semu atau badan intelektual.

6. Diciptakan oleh hukum. 7. Mempunyai kegiatan usaha.

8. Berwenang melakukan kegiatannya sendiri.

9. Kegiatannya termasuk dalam ruang lingkup yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.

10. Adanya modal dasar (dan ada juga modal ditempatkan dan modal setor). 11. Modal perseroan dibagi kedalam saham-saham.

12. Eksistensinya terus berlangsung meskipun pemegang sahamnya silih berganti. 13. Berwenang menerima, mengalihkan dan memegang aset-asetnya.

14. Dapat menggugat dan digugat di Pengadilan. 15. Mempunyai organ perusahaan.

B. Klasifikasi Perseroan Terbatas 1. Dasar hukum Perseroan Terbatas

Untuk mengetahui tentang landasan yuridis dari suatu Perseroan Terbatas, maka perlu juga diketahui dengan pasti apa sebenarnya yang menjadi dasar hukum dari Perseroan Terbatas sehingga ia memiliki status tersendiri dalam dunia bisnis.


(38)

Tentang dasar hukum bagi suatu Perseroan Terbatas, dapat dibagi ke dalam dua kelompok sebagai berikut:24

a. Dasar hukum umum b. Dasar hukum khusus

Yang dimaksud dengan dasar hukum yang umum adalah ketentuan hukum yang mengatur suatu Perseroan Terbatas secara umum tanpa melihat siapa pemegang sahamnya dan tanpa melihat dalam bidang apa Perseroan Terbatas tersebut berbisnis, beserta sejumlah peraturan pelaksanaannya.

2. Klasifikasi Perseroan Terbatas

Suatu Perseroan Terbatas dapat diklasifikasi ke dalam beberapa bentuk jika dilihat dari beberapa kriteria, yaitu:25

a. Dilihat dari banyaknya pemegang saham.

Jika dilihat dari segi banyaknya pemegang saham, suatu perseroan terbatas dapat dibagi ke dalam:

1) Perusahaan Tertutup

Yang dimaksud dengan perusahaan tertutup adalah suatu Perusahaan Terbatas yang belum pernah menawarkan sahamnya pada publik melalui penawaran umum dan jumlah pemegang sahamnya belum sampai kepada jumlah pemegang saham dari suatu perusahaan publik. Kepada perusahaan tertutup berlaku undang-undang Perseroan Terbatas, yaitu UU No. 40 Tahun 2007.

24 Ibid

., hlm. 13. 25 Ibid


(39)

2) Perusahaan Terbuka

Yang dimaksud dengan perusahaan terbatas terbuka (PT. Tbk.) adalah suatu perseroan terbatas yang telah melakukan penawaran umum atas sahamnya atau telah memenuhi syarat dan telah memproses dirinya menjadi perusahaan publik, sehingga telah memiliki status perusahaan publik, dimana perda-gangan saham sudah dapat dilakukan di bursa-bursa efek. Terhadap per-usahaan terbuka ini berlaku undang-undang Perseroan Terbatas maupun undang-undang pasar modal.

3) Perusahaan Publik

Yang dimaksud dengan perusahaan publik adalah perusahaan terbuka dimana keterbukaannya itu tidak melalui proses penawaran umum, tetapi melalui proses khusus, setelah dia memenuhi syarat untuk menjadi perusahaan publik, antara lain: jumlah pemegang sahamnya yang sudah mencapai jumlah tertentu yang oleh undang-undang pasar modal ditentukan jumlah pemegang saham-nya minimal sudah menjadi 300 (tiga ratus) orang. Terhadap perusahaan publik ini berlaku undang-undang tentang Perseroan Terbatas maupun undang-undang tentang Pasar Modal.

b. Dilihat dari jenis Penanaman Modal

Jika dilihat dari segi jenis penanaman modalnya, suatu perseroan terbatas dapat dibagi ke dalam:


(40)

1) Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Yang dimaksud dengan Perusahaan Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah suatu perusahaan yang didalamnya terdapat penanaman modal dari sumber dalam negeri dan perusahaan tersebut telah diproses menjadi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sehingga dengan status per-usahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tersebut dia sudah berhak atas fasilitas-fasilitas tertentu dari pemerintah yang tidak akan didapati oleh perusahaan yang bukan PMDN. Untuk perusahaan PMDN berlaku undang-undang Perseroan Terbatas maupun undang-undang-undang-undang tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

2) Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA)

Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) adalah suatu Perseroan Terbatas (PT) yang sebahagian atau seluruh modal sahamnya berasal dari luar negeri sehingga mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Jika seluruh modal saham berasal dari luar negeri disebut PMA murni, tetapi jika sebahagian saja dari modal saham yang berasal dari luar negeri sedangkan sebahagian dari dalam negeri maka dikatakan perusahaan patungan (joint venture), terhadap perusahaan PMA ini berlaku undang-undang PT maupun undang-undang PMA.

3) Perusahaan non-Penanaman Modal Asing (PMA)/Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).


(41)

Yang dimaksud dengan perusahaan non-PMA/PMDN adalah perusahaan domestik yang tidak memperoleh status sebagai PMDN, sehingga tidak mendapat fasilitas dari pemerintah kepada perusahaan PMA/PMDN pada pokoknya berlaku ketentuan undang-undang tentang Perseroan Terbatas. c. Dilihat keikutsertaan Pemerintah

1) Perusahaan Swasta

Perusahaan swasta adalah suatu perseroan dimana seluruh sahamnya dipegang oleh pihak swasta tanpa ada saham pemerintah didalamnya. Kepada perusahaan swasta ini, berlaku ketentuan dalam undang-undang tentang Perseroan Terbatas.

2) Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah suatu perusahaan dimana didalamnya terdapat saham yang dimiliki oleh pihak pemerintah. Perusahaan BUMN memiliki misi bisnis, dan terdapat juga misi sosial. Jika BUMN berbentuk Perseroan Terbatas maka perusahaan tersebut disebut (PT Persero). Kepada BUMN berlaku ketentuan undang-undang Perseroan Terbatas dan perundang-undangan yang berkenaan dengan BUMN.

3) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan salah satu varian dari BUMN. Hanya saja BUMD unsur pemerintah yang memegang saham didalamnya adalah pemerintah daerah setempat, untuk BUMD berlaku kebijaksanaan dan perusahaan daerah setempat.


(42)

d. Dilihat dari sedikitnya pemegang saham

Jika dilihat dari sedikitnya pemegang saham, maka suatu Perseroan Terbatas dapat dibagi kedalam:

1) Perusahaan Pemegang Saham Tunggal (Corporation Sole)

Yang dimaksud dengan Perusahaan Pemegang Saham Tunggal adalah suatu Perseroan Terbatas dimana pemegang sahamnya hanya terdiri dari 1 orang saja. Undang-undang Perseroan Terbatas tidak memungkinkan eksistensi perusahaan Pemegang Saham Tunggal ini. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) undang Perseroan Terbatas. Undang-undang hanya memungkinkan adanya pemegang saham tunggal dalam suatu Perseroan Terbatas jika:

a) Perusahaan tersebut adalah BUMN

b) Dalam waktu maksimal 6 (enam) bulan setelah terjadinya perusahaan pemegang saham tunggal.

2) Perusahaan Pemegang Saham Banyak (Corporation Agregate)

Perusahaan pemegang saham banyak adalah Perseroan Terbatas yang jumlah pemegang sahamnya 2 (dua) orang atau lebih yang pada prinsipnya hal inilah yang dikehendaki oleh undang-undang Perseroan Terbatas.

e. Dilihat dari hubungan saling memegang saham

Jika dilihat dari hubungan saling memegang saham antar perseroan terbatas maka suatu perseroan terbatas dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori yakni:


(43)

1) Perusahaan Induk (holding)

Perusahaan induk (holding) adalah suatu perseroan terbatas yang ikut memegang saham dalam beberapa perusahaan lain. apabila yang dipegang lebih dari 50% (lima puluh persen) saham maka perusahaan holding tersebut dapat mengontrol anak perusahaan, demikian juga perusahaan pengontrol. Sebuah perusahaan holding dapat memegang saham di beberapa anak perusahaan yang kesemua perusahaan tersebut bernaung dalam 1 (satu) kelompok perusahaan. Secara hukum masing-masing anak perusahaan tetap dianggap terpisah satu sama lain karena masing-masing anak perusahaan merupakan suatu badan hukum sendiri-sendiri, karena itu kecuali dalam hal-hal yang sangat khusus pihak ketiga hanya dapat menggugat terhadap anak perusahaan yang mempunyai masalah dengannya, tidak dapat diperlebar terhadap anak perusahaan lain atau terhadap perusahaan holding-nya.

2) Perusahaan anak (subsidiary)

Sebaliknya, perseroan terbatas dimana ada saham-saham dipegang oleh per-usahaan holding yang disebut dengan anak perper-usahaan atau perper-usahaan anak. 3) Perusahaan terafilisasi (affiliate)

Selanjutnya, hubungan antar anak perusahaan dalam 1 (satu) induk perusahaan disebut hubungan terafiliasi. Dengan demikian dilihat dari hubungan tersebut maka perusahaan yang bersangkutan disebut dengan perusahaan terafiliasi atau perusahaan saudara (sister company).


(44)

f. Dilihat dari segi Kelengkapan Proses Pendirian 1) Perusahaan De Jure

Perusahaan De Jure adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan secara wajar dan memenuhi segala formalitas dalam proses pendiriannya, dari pembuatan akta pendirian secara notariil sampai dengan pengesahan aktanya oleh Menteri, serta pendaftarannya dalam daftar perusahaan dan peng-umumannya dalam berita negara.

2) Perusahaan De facto

Yang dimaksud dengan perusahaan De Facto adalah perseroan terbatas yang secara itikad baik diyakini oleh pendirinya sebagai suatu perseroan terbatas yang legal, tetapi tanpa disadarinya ada cacat yuridis dalam proses pendiriannya, sehingga eksistensinya secara de jure diragukan, tetapi perseroan tersebut tetap berbisnis sebagaimana perseroan yang normal lainnya. Menurut hukum Indonesia, ada konsekuensi tertentu dari ketidak-adaan salah satu mata rantai dalam proses pendirian perseroan. Jika tidak disahkan oleh Menteri sehingga para pendirinya yang bertanggung jawab secara renteng. Sementara jika terjadi kealpaan dalam proses pendaftaran dan pengumuman perseroan, tetapi perseroan tersebut telah disahkan oleh Menteri maka badan hukum perseroan tersebut sudah eksis, tetapi belum berlaku terhadap pihak ketiga sehingga yang mesti bertanggung jawab terhadap pihak ketiga adalah Direksi (Pasal 14 UU No. 40 Tahun 2007).


(45)

Dengan diundangkan dan diberlakukan undang-undang tentang Perseoran Terbatas dimaksudkan agar Negara dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi para pihak yang terlibat didalamnya. Negara diharapkan berperan lebih aktif dalam masalah yang cukup rawan ini. Negara mempunyai kekuasaan otoriter terhadap rakyatnya, sehingga Negara dapat memberikan perlindungan hukum terhadap warganya.26

C. Aspek Yuridis Pembentukan BUMN di Indonesia

Istilah Badan Usaha Milik Negara, ditemukan sejak tahun 1980. Menteri Sekretaris Negara, dalam Surat Edaran Nomor SE-04/M.SESNEG/4/80 tanggal 5 April 1980 telah menggunakan istilah Badan-badan Usaha Milik Negara. Dalam Surat Edaran tersebut, Menteri/Sekretaris Negara menyampaikan pesan Presiden kepada Pimpinan Badan-badan Usaha Milik Negara dan Bank-Bank Milik Peme-rintah agar tidak memberikan fasilitas dan/atau pembiayaan kepada Para Pejabat Negara/Pemerintah baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, bila tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, dalam Keputusan Presiden nomor 59 Tahun 1980 yang diterbitkan tanggal 11 Oktober 1980 telah pula ditemukan istilah Badan Usaha Milik Negara. Keputusan Presiden adalah Pembangunan Gedung Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan dan perusahaan umum. Selanjutnya dalam Keputusan

26


(46)

Menteri Keuangan Nomor 74/KMK.011/1981 tanggal 6 Pebruari 1981 telah pula ditemukan istilah Badan Usaha Milik Negara.

Pasal 1 angka 2 KMK tersebut, Badan Usaha dimana Negara melakukan penyertaan modal secara langsung baik sebagian maupun seluruhnya termasuk proyek-proyek pemerintah yang direncanakan dijadikan badan usaha dan badan/ proyek lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Sentosa Sembiring dalam bukunya “Hukum Perusahaan dalam peraturan perundang-undangan” menyimpulkan bahwa kelahiran UU No. 9 tahun 1969 merupa-kan permulaan munculnya terminologi/istilah BUMN. Berdasarmerupa-kan Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972, selain pengertian usaha-usaha negara berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 jo Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 1967, terdapat “usaha-usaha Negara” yang ditetapkan dengan undang-undang.

Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat.

Pada beberapa BUMN di Indonesia, pemerintah telah melakukan perubahan mendasar pada kepemilikannya dengan membuat BUMN tersebut menjadi perusahaan terbuka yang sahamnya bisa dimiliki oleh publik. Contohnya adalah PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Sejak tahun 2001 seluruh BUMN dikoordinasikan pengelolaannya oleh Kementerian BUMN, yang dipimpin oleh seorang Menteri Negara BUMN.


(47)

Perusahaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah, yang tujuannya mengejar keuntungan. Maksud dan tujuan mendirikan persero ialah untuk menye-diakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat dan mengejar keuntungan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Sedangkan ciri-ciri Persero, sebagai berikut:27

1. Pendirian persero diusulkan oleh menteri kepada presiden.

2. Pelaksanaan pendirian dilakukan oleh menteri dengan memperhatikan perundang-undangan.

3. Statusnya berupa perseroan terbatas yang diatur berdasarkan undang-undang. 4. Modalnya berbentuk saham.

5. Sebagian atau seluruh modalnya adalah milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan.

6. Organ persero adalah RUPS, direksi dan komisaris.

7. Menteri yang ditunjuk memiliki kuasa sebagai pemegang saham milik peme-rintah.

8. Apabila seluruh saham dimiliki pemerintah, maka menteri berlaku sebagai RUPS, jika hanya sebagian, maka sebagai pemegang saham perseroan terbatas.

9. RUPS bertindak sebagai kekuasaan tertinggi perusahaan. 10.Dipimpin oleh direksi.

27


(48)

11.Laporan tahunan diserahkan ke RUPS untuk disahkan. 12.Tidak mendapat fasilitas negara.

13.Tujuan utama memperoleh keuntungan.

14.Hubungan-hubungan usaha diatur dalam hukum perdata. 15.Pegawainya berstatus pegawai swasta

Fungsi RUPS dalam persero pemerintah ialah memegang segala wewenang yang ada dalam perusahaan tersebut. RUPS juga berwenang untuk mengganti komisaris dan direksi. Direksi persero adalah orang yang bertanggung jawab atas pengurusan persero baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pengangkatan dan pemberhentian dilakukan okeh RUPS. Komisaris adalah organ persero yang bertugas dalam pengawasan kinerja persero itu dan melaporkannya pada RUPS.

Hal yang menjadi pemikiran dalam hukum perusahaan diantaranya adalah kondisi perusahaan yang berbentuk badan usaha milik negara (BUMN) yang juga tunduk pada hukum "Perseroan Terbatas" atau Limited Liability Company.28 Di Indonesia perangkat hukum yang mengatur perusahaan berbentuk badan hukum "Perseroan Terbatas" atau Limited Liability Company (selanjutnya disingkat "PT"), sebelumnya diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan segala perubahannya, terakhir yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971, lalu kemudian digantikan posisinya oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang

28

Bismar Nasution 3, “Hukum Perusahaan”, Diktat, Program Magíster Ilmu Hukum USU, 2003, hlm. 1-2.


(49)

Perseroan Terbatas (selajutnya disingkat UUPT),29 sampai kemudian pada 16 Agustus 2007 digantikan lagi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selajutnya disingkat UUPT).30

Pembaharuan hukum perusahaan menurut UUPT ini ditujukan untuk memberi jawaban atas tuntutan perkembangan pesat dari eksistensi dan peranan PT sebagai salah satu bentuk badan hukum dari pelaku ekonomi.31

Perlu diperhatikan tujuan dari Undang-undang BUMN dan berbagai peraturan perundang-undangan tidak akan tercapai apabila dalam pelaksanaannya terdapat berbagai permasalahan dan hambatan yang pada gilirannya pula membuat undang-undang tersebut tidak dapat dijalankan di lapangan. Oleh karena itu menjadi perhatian kita untuk mengkaji berbagai hal yang perlu dibuat mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan Undang-undang BUMN ini ke depan dan pada gilirannya dapat menjadi dasar sistem pembinaan dan pengelolaan BUMN efektif dan efisien.32 Karena itu UUPT yang baru ini ditujukan untuk memberi perlindungan kepentingan bagi setiap pemegang saham, kreditur dan para pihak ketiga yang berhubungan dengan aktivitas perseroan terbatas. Sejak tahun 2001

29

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995, tentang Perseroan Terbatas, L.N. 13, T.L.N. No. 3587.

30

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, L.N. 106, T.L.N. No.4756.

31

Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat. Lihat Wikipedia Indonesia.

32


(50)

seluruh BUMN dikoordinasikan pengelolaannya oleh Kementerian BUMN, yang dipimpin oleh seorang Menteri Negara BUMN.

Perusahaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas ( PT ) yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah, yang tujuannya mengejar keuntungan. Maksud dan tujuan mendirikan persero ialah untuk menye-diakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat dan mengejar keuntungan untuk meningkatkan nilai perusahaan.

Fungsi RUPS dalam persero pemerintah ialah memegang segala wewenang yang ada dalam perusahaan tersebut. RUPS juga berwenang untuk mengganti komisaris dan direksi. Direksi persero adalah orang yang bertanggung jawab atas pengurusan persero baik didalam maupun diluar pengadilan. Pengangkatan dan pem-berhentian dilakukan oleh RUPS. Komisaris adalah organ persero yang bertugas dalam pengawasan kinerja persero itu, dan melaporkannya pada RUPS.

Selanjutnya mengenai tujuan pendirian BUMN, sebagai berikut:

1. Memberikan sumbangsih pada perekonomian nasional dan penerimaan kas negara.

2. Mengejar dan mencari keuntungan. 3. Pemenuhan hajat hidup orang banyak. 4. Perintis kegiatan-kegiatan usaha.

5. Memberikan bantuan dan perlindungan pada usaha kecil dan lemah.

BUMN utama berkembang dengan monopoli atau peraturan khusus yang bertentangan dengan semangat persaingan usaha sehat (Undang-undang Nomor 5


(51)

Tahun 1999), tidak jarang BUMN bertindak selaku pelaku bisnis sekaligus sebagai regulator. BUMN kerap menjadi sumber korupsi, yang lazim dikenal sebagai sapi

perahan bagi oknum pejabat atau partai.

Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari BUMN. Sebagai akibatnya, banyak BUMN yang terancam gulung tikar, tetapi beberapa BUMN lain berhasil memperkokoh posisi bisnisnya.

D. Klasifikasi BUMN dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003

Sejak masa kemerdekaan sampai sekarang, klasifikasi BUMN dapat dibeda-kan dalam 7 (tujuh) periode. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:33

Tabel 1. Profil dan Posisi BUMN

Periode Sistem Politik-Ekonomi Profil dan Posisi BUMN 1945-1953 Masa revolusi dan perjuangan

konferensi meja bundar

BUMN generasi pertama, seperti BNI, Jawatan Kereta Api, Pos Telepon dan Telegrap dan lain-lain. 1953-1959 Liberal dan UUDS 1950 Bank Indonesia, BRI, Bank

Pembangunan Indonesia, Pelni, PT.Semen Gresik, Pupuk Sriwijaya, dan lain-lain.

1959-1967 Etatisme/Sosialisme BUMN generasi kedua, yaitu eks nasionalisasi perusahaan Belanda 1967-1974 De-etatisme, PMA &PMDN Rasionalisasi BUMN, swastanisasi

eks perusahaan Belanda dan porsi swasta membesar.

1974-1982 Neo etatisme the dutch disease proteksi infant industry

BUMN generasi ketiga, seperti Pertamina sebagai godfather benih konglomerat swasta.

33


(52)

Lanjutan tabel.

1982-1990 De-etatisme II, deregulasi dan debirokratisasi

BUMN generasi keempat, quasi BUMN dan swastanisasi. 1990-2020 Demokratisasi, APEC,

GATT/WTO

UU Larangan praktik monopoli dan Perasingan usaha tidak sehat, UU UKM, dan lain-lain.

Di Indonesia, peranan BUMN tidak hanya sebatas pengelolaan sumber daya dan produksi barang yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan yang merupakan porsi swasta. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, monopoli atas sumber daya dan kegiatan ekonomi tertentu yang berada ditangan negara.

Negara memainkan peranan penting secara langsung dan tidak langsung dalam kehidupan ekonomi untuk menghindari dampak eksternal dan khusus dampak sampingan bagi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Peran negara muncul dalam berbagai bentuk, misalnya: (1) stabilitas sistem ekonomi dan (2) alokasi dan distribusi sumber daya, termasuk produk dan konsumsi.

Kedudukan dan peran BUMN tergantung hukum yang mengaturnya (hukum publik atau hukum privat) dan bentuknya (departement goverment enterprise,

statutory public corporation, commercial companies), direfleksikan dalam Inpres No.

17 Tahun 1967 dalam bentuk departemen agency (Perjan), public corporation (Perum) dan state company (Perseroan). Kedudukan dan peran dilihat dari segi ekonomi untuk membenarkan keterlibatan pemerintah secara langsung dalam kegiatan ekonomi adalah untuk menjembatani bentuk ketidaksempurnaan pasar.


(53)

BAB III

KEBERADAAN BUMN PERSERO DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

A. Latar Belakang dan Kronologis Pembentukan Undang-undang SJSN di Indonesia

Sangat jelas bahwa masyarakat menginginkan adanya suatu jaminan sosial terutama jaminan sosial dalam bentuk uang pensiun dan jaminan kesehatan. Namun demikian, terdapat berbagai desakan untuk mempertajam dan memikirkan kembali beberapa rumusan dalam RUU SJSN sewaktu penyusunannya. Desakan datang dari berbagai stakeholders termasuk dari pekerja, pengusaha, badan-badan pemerintah yang menangani asuransi dan jaminan sosial, berbagai lembaga penelitian, serta berbagai pakar termasuk pakar ekonomi dan sosial. Beberapa hal yang perlu dipertajam dan dilakukan pengkajian yang mendalam adalah:34

1. Keberlanjutan jangka panjang dari pembiayaan jaminan sosial. Program pensiun menggunakan defined benefit dan pay-as-you-go membutuhkan kecermatan dan kedalaman dalam memperhitungkan arus penerimaan dan pengeluarannya dalam jangka panjang.

2. Cakupan program. Program jaminan sosial yang mencakup seluruh pekerja formal, informal dan masyarakat miskin dalam satu payung perlu dikaji dengan baik kelayakannya (feasibility).

34

Bappenas, ” Membangun Sistem Jaminan Sosial yang Dapat Terlaksana, Efisien dan Adil” Rumusan Hasil Seminar, dengan tema: Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial yang Dapat Diimplementasikan”, Rumusan Hasil Seminar, Jakarta, Agustus 2004, hlm. 2.


(54)

3. Monopoli penyelenggara. Jaminan sosial secara terpusat akan menghilangkan pilihan bagi masyarakat untuk menentukan jenis dan perusahaan jaminan sosial yang sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, pemusatan terhadap satu lembaga untuk menangani jaminan sosial akan rawan dari penyalahgunaan dan intervensi politik.

4. Dampak peningkatan kontribusi dari para pekerja, pengusaha dan pemerintah yang besarnya diperkirakan berkisar antara 7-20%. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai dampak peningkatan kontribusi terhadap penciptaan kesempatan kerja terutama bagi para pekerja dengan upah sekitar upah minimum yang ditetapkan.

5. Proses penyusunan RUU. Berbagai stakeholders merasa tidak dilibatkan oleh Komite Jaminan Sosial Nasional yang terkesan bekerja secara tertutup. Komite Jaminan Sosial Nasional tidak pernah memberikan perhitungan besarnya biaya yang dibutuhkan (analisa aktuaria) serta dampaknya terhadap peningkatan kontribusi bagi pekerja, pengusaha dan pemerintah. Sampai saat ini belum tergambar secara jelas adanya kajian dan analisa mengenai besarnya iuran, siapa yang akan menanggung, serta bagaimana manajemen keuangan akan dilaksana-kan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Apabila suatu pemerintahan mencanangkan untuk melaksanakan suatu sistem jaminan sosial, sebenarnya pemerintah tersebut berjanji kepada para pekerja dan anggota keluarganya akan masa depan kesejahteraan mereka. Janji ini tidak saja diberikan kepada para pekerja pada saat ini yang akan pensiun dalam jangka waktu 15 sampai 30 tahun mendatang, tetapi mencakup juga generasi pekerja yang akan datang. Bila janji tersebut gagal dipenuhi maka kredibilitas pemerintah yang telah dibangun dengan susah payah akan sulit dipulihkan.

Pengalaman negara lain dalam mengelola program pensiunnya seringkali menunjukkan bahwa pemerintahan berikutnya biasanya gagal dalam memenuhi janjinya yang disebabkan karena perhitungan yang tidak tepat. Ketidaktepatan perhitungan biasanya karena terlalu tingginya perkiraan (over estimate) akan


(55)

pemasukan dan rendahnya perkiraan (under estimate) akan biaya yang harus ditanggung dari program tersebut. Akibatnya generasi berikutnya harus menanggung beban dengan membayar pajak lebih tinggi atau memperoleh santunan jaminan sosial dengan jumlah yang lebih kecil dari yang dijanjikan.

Baru-baru ini Pemerintah Jepang mengumumkan kepada rakyatnya bahwa manfaat yang diperoleh oleh para pensiunan akan dikurangi agar program pensiun dapat berkelanjutan. Sedangkan di Philipina, pemerintah terpaksa meningkatkan pajak dan tidak menaikkan santunan sejak tahun 2001. Dengan demikian perencanaan dalam pengembangan jaminan sosial merupakan sesuatu yang sangat serius. Perencanaan untuk membangun jaminan sosial harus dipikirkan secara matang dengan menyerap masukan dari semua pihak serta didasarkan pada ekspektasi yang realistis.

Beberapa isu strategis dalam pengembangan Jaminan Sosial Nasional (JAMSOSNAS), sebagai berikut:35

1. Tujuan dari kebijakan publik yang diambil. JAMSOSNAS adalah suatu kebijakan publik dengan demikian harus jelas tujuan yang ingin dicapai. Apakah tujuannya mendorong agar pekerja formal menabung bagi hari tuanya? Apakah tujuannya agar pekerja formal mengasuransikan dirinya terhadap penyakit berat dan kecelakaan? Apakah sistem JAMSOSNAS yang akan kita laksanakan direncana-kan untuk memiliki unsur pemerataan? Apakah tujuannya untuk juga melindungi pekerja informal? Untuk memenuhi tujuan yang berbeda tersebut diperlukan berbagai kebijakan dan program yang berbeda pula. Misalnya, program JAMSOSNAS yang mengharuskan peserta untuk mengiur sangat tidaklah tepat bagi pekerja informal. Pekerja informal di Indonesia jumlahnya sangat besar (sekitar 70% dari angkatan kerja) dan sangat tersebar diseluruh pelosok per-desaan sampai perkotaan. Biaya untuk memungut iuran ini akan sangat mahal dan tidak sebanding dengan jumlah iuran yang dapat dikumpulkan. Dengan kata

35


(56)

lain kuranglah tepat kalau program JAMSOSNAS akan dibangun hanya menggunakan satu pilar untuk mencakup semua jenis manfaat dan mencakup seluruh lapisan masyarakat. Program JAMSOSNAS harus dibangun melalui beberapa pilar. Bagi masyarakat miskin program JAMSOSNAS akan lebih baik diselenggarakan melalui program tersendiri yang dibiayai oleh dana pemerintah. 2. Keberlanjutan pembiayaan JAMSOSNAS. Cara pembiayaan yang berbeda sangat

mempengaruhi keberlanjutan pembiayaan (financial sustainability) dari program jaminan sosial. Untuk itu, pada saat kita merancang sistem jaminan sosial, perlu diketahui dengan benar apa implikasi yang timbul dari skenario pembiayaan yang berbeda. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa, program pensiun yang menjanjikan defined benefit dibiayai dari pungutan dari pekerja (payroll taxes) dan menggunakan cara pay-as-you-go, biasanya mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya menyebabkan hutang publik yang besar. Program kesehatan universal yang dikelola oleh negara biasanya berujung pada kesulitan keuangan. Banyak negara maju maupun berkembang, yang mulai mengembangkan program pensiun seperti di atas sekitar pertengahan abad ke 20, untuk 40 tahun pertama memang dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan orang yang bekerja jumlahnya masih banyak sedangkan orang yang pensiun pada saat program dimulai masih sedikit. Tetapi pada saat banyak orang memasuki masa pensiun dan rasio dari jumlah pekerja dengan jumlah orang pensiun mengecil maka biaya yang harus dikeluarkan meningkat dengan pesat sementara pemasukan tidak berubah banyak. Hal ini terjadi pada negara tetangga kita Philipina. Pemerintah Philipina memperkenalkan program pensiun menggunakan defined benefit pada tahun 1950 dengan kontribusi 6 % dari gaji pekerja. Pada tahun 1990 pemerintah Philipina mulai merasakan kesulitan yang diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena jumlah orang yang pensiun mencapai puncaknya. Biaya yang harus ditanggung meningkat dari 1 % PDB pada tahun 1990 menjadi 4 % PDB pada tahun 1999, hutang publik yang ditimbulkannya adalah US 21 miliar pada tahun 2000. Untuk menanggulangi ini pemerintah Philipina meningkatkan kontribusi menjadi 9,4 % dan tidak meningkatkan manfaat sejak tahun 2001. Dengan demikian dapat diambil pelajaran bahwa skema jaminan sosial menggunakan defined benefit sangat rawan terhadap kesulitan keuangan di masa depan. Banyak negara sekarang berpindah ke skema iuran pasti (defined contribution) yang mengaitkan antara iuran yang dibayarkan oleh pekerja dengan besarnya manfaat yang akan diperoleh. Untuk itu kecermatan perhitungan aktuaria sangat dibutuhkan. Sebagai gambaran, pada saat ini hanya sekitar 10 % penduduk Indonesia menjadi anggota dana pensiun dan hanya 15 % yang mempunyai asuransi kesehatan. Program TASPEN yang sekarang berjalan mewajibkan setiap pegawai negeri membayar iuran sebesar 4,75 % dari pendapatannya kepada PT TASPEN. Pada saat ini pemerintah sebagai pemberi kerja memang belum ikut memberikan iuran, tetapi pada saat membayar uang pensiun pegawai, dengan menggunakan skema defined benefit, pemerintah membayar 77,5 % yang dibebankan kepada APBN. Sisanya dibayar oleh PT


(57)

TASPEN. Dana pensiun bagi pegawai negeri tersebut diperkirakan akan mengalami defisit pada tahun 2006. Kalau JAMSOSNAS dimaksudkan untuk mencakup seluruh masyarakat maka perlu dilakukan studi yang mendalam mengenai jumlah biaya yang diperlukan serta sumber pembiayaannya. Pengembangan program JAMSOSNAS dengan mengabaikan perhitungan aktuaria akan menimbulkan beban dikemudian hari.

3. Peranan pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Berdasarkan pengalaman negara lain program pensiun yang dikelola oleh pemerintah memberikan tingkat manfaat (return) yang kecil kepada para pekerja dibandingkan dengan program yang dikelola oleh swasta. Selain itu pelayanan yang diberikan juga kadang kurang memuaskan dibandingkan dengan program yang dikelola oleh swasta. Manajer investasi program pensiun swasta mempunyai insentif yang lebih tinggi untuk melakukan investasi yang terbaik, namun demikian bukan berarti pengelolaan oleh swasta bukan tanpa masalah. Untuk itu peranan pemerintah dalam regulasi keuangan program pensiun serta dalam pengawasan sangat diperlukan. Dalam kasus negara berkembang seperti Indonesia peran pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelenggarakan program JAMSOSNAS pasti masih akan besar. Namun demikian bukan berarti menghilangkan peran stakeholders lainnya. Lebih jauh lagi sebenarnya pengembangan suatu sistem JAMSOSNAS jangan sampai menghilangkan kebebasan bagi calon peserta untuk memilih program dan perusahaan mana yang sesuai dengan kebutuhannya. Isu good governance dalam pelaksanaan JAMSOSNAS perlu mendapat perhatian terutama di negara yang birokrasinya terkenal sarat dengan KKN. Program yang sudah ada seperti JAMSOSTEK mempunyai angka tunggakan iuran yang tinggi, nilai pengembalian investasi yang rendah, serta manfaat yang rendah pula. Dari potensi peserta JAMSOSTEK yaitu 22 juta pekerja formal, hanya sekitar 9 juta yang benar-benar secara teratur membayar iuran tiap bulannya. Bila pelaksanaan terpusat hanya pada birokrasi pemerintah tanpa memberikan ruang gerak bagi pihak swasta maka rasanya akan sulit untuk mendorong terciptanya sistem JAMSOSNAS yang efisien.

4. Dampak program jaminan sosial terhadap penciptaan kesempatan kerja. Kalau kita cermati pasar tenaga kerja pada saat ini maka akan jelas terlihat bahwa jumlah pekerja informal masih lebih dari dua kali jumlah pekerja formal. Jumlah pekerja informal pada saat ini berjumlah sekitar 70 juta orang sedangkan pekerja formalnya berjumlah sekitar 30 juta orang. Dapat dibayangkan kesulitan yang akan dihadapi kalau pekerja informal yang jumlahnya 70 juta dan tersebar diseluruh pelosok Indonesia harus mengiur program JAMSOSNAS. Dilihat dari pendapatannya maka pekerja kita baik di desa dan di kota yang berstatus kepala rumah tangga masih didominasi oleh mereka yang berpendapatan antara 600-800 ribu rupiah perbulannya. Mereka yang berstatus kepala rumah tangga yang berpendapatan di atas 1 juta rupiah perbulan hanyalah sekitar 4,5 juta orang. Upah minimum di DKI saat ini sekitar 800 rupiah perbulannya. Dengan upah


(58)

minimum sebesar inipun masih banyak pekerja yang memperoleh upah di bawah upah minimum. Dan mereka yang beruntung memperoleh upah minimum masih merasakan betapa beratnya memenuhi kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Dengan demikian peningkatan iuran bagi pekerja bila tidak direncanakan dengan baik bisa jadi memberatkan dan bahkan berpotensi mengurangi kesempatan kerja formal. Angka-angka ini bisa saja tidak akurat, namun demikian kecermatan perhitungan konsekuensi biaya yang diperlukan untuk mendanai program JAMSOSNAS tidak dapat diabaikan begitu saja. Keadaan pasar tenaga kerja masih belum menggembirakan. Lapangan pekerjaan formal terus berkurang selama kurun waktu 2001 sampai 2003. Padahal diketahui bahwa sebagian besar dari pekerja kita di sektor tersebut adalah pekerja yang kurang terampil (sekitar 50 % adalah lulusan SD dan SD ke bawah). Dengan demikian bila sampai mereka di PHK dari pekerjaan formal maka dapat terbayangkan akan sangat lama bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan formal lagi. Untuk itu menjaga agar lapangan kerja formal tetap bertumbuh adalah cita-cita kita bersama. Apabila iuran yang nantinya akan dipungut untuk membiayai program JAMSOSNAS dirasakan sangat berat baik oleh pekerja maupuan pemberi kerja maka kemungkinan menciutnya lapangan pekerja formal tidak dapat dihindari. Parahnya lagi adalah bahwa korban dari PHK tadi biasanya adalah pekerja yang kurang terampil atau pekerja yang berusia muda atau pekerja wanita. Bertambahnya pengangguran usia muda sangat tidak menguntungkan mengingat jumlah penganggur usia muda terus meningkat jumlahnya beberapa tahun terakhir ini.

Pengalaman internasional menunjukkan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial dilaksanakan melalui tiga pilar dengan penyelenggara yang berbeda. Banyak negara baik negara maju maupun berkembang melakukan perombakan, terutama yang berkaitan dengan skema defined benefit, dalam rangka menghindari kesulitan di kemudian hari. Perombakan sistem jaminan sosial kebanyakan menuju sistem jaminan sosial tiga pilar. Pilar pertama adalah sistem jaminan sosial yang merupakan program jaring pengaman sosial. Program ini dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi penduduk usia lanjut atau mereka yang tergolong miskin. Dalam hal ini maka skema defined benefit dapat digunakan secara hati-hati. Namun cakupan


(59)

dan ragam dari program ini sangat tergantung dari kemampuan pemerintah. Pilar kedua adalah sistem jaminan sosial bagi pekerja formal dengan skema defined

contribution. Manfaat yang akan diperoleh sesuai dengan jumlah iuran yang

dipungut. Program ini dapat dilaksanakan oleh swasta dan pemerintah. Pilar ketiga merupakan program sukarela untuk peserta yang menginginkan manfaat yang lebih baik bagi kebutuhan hari tua mereka. Akan sangat tidak bijaksana bila memaksakan sistem jaminan sosial bagi negara besar dan beragam ini ke dalam satu pilar.

Dalam pelaksanaan jaminan sosial, Pemerintah mempunyai beberapa peran penting. Pertama, pemerintah berperan dalam membuat regulasi yang berkaitan dengan rambu-rambu pengelolaan dana jaminan sosial. Kedua, pemerintah diharap-kan tetap berperan untuk melaksanadiharap-kan pilar jaminan sosial yang merupadiharap-kan bagian dari sistem jaring pengaman sosial. Misalnya di Nepal, pemerintah di sana memberikan manfaat yang merata bagi orang lanjut usia (berusia di atas 70 tahun) yang tidak mampu.

Sekitar 30 negara menggunakan sistem jaminan sosial tiga pilar. Namun demikian negara-negara ini menggunakan pendekatan yang berbeda dalam rangka memberikan pilihan bagi peserta dalam memilih perusahaan yang menyelenggarakan jaminan sosial. Di Amerika Latin misalnya, digunakan model pasar eceran (retail market), artinya pekerja dapat memilih dengan bebas perusahaan penyelenggara jaminan sosial sesuai dengan kebutuhannya. Kelemahannya adalah banyak sekali pilihan yang kadang membingungkan dan juga dengan harga yang lebih mahal.


(1)

yang menyelenggarakan program jaminan sosial berdasarkan jenis program dari lima program jaminan sosial yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004. Untuk melihat kelebihan dan kekurangan dari konsep tersebut, dapat diuraikan pada tabel-tabel berikut.

Tabel 4. Pembentukan BPJS dengan Pendekatan Program

Kelebihan Kelemahan

1. Badan Penyelenggara menangani secara spesialis dan terfokus. 2. Memberikan manfaat yang

maksimal.

3. Memudahkan dampak mobilitas penduduk terhadap kemungkinan pergantian profesi pekerja. 4. Iuran akan lebih kecil karena

terpenuhinya hukum angka besar.

1. Menyulitkan Perusahaan dalam administrasi kepesertaan dan iuran. 2. Menimbulkan biaya penyelenggaraan

yang lebih besar bagi setiap Badan Penyelenggara.

3. Pemberian identitas tunggal bagi peserta menyulitkan koordinasi Badan Penyelenggara.

4. Bagi program jangka panjang untuk masa transisinya membutuhkan waktu yang cukup panjang.

5. Perubahan dari pendekatan segmen menjadi pendekatan program akan bersifat trial and error.

6. Menimbulkan permasalahan teknis mengenai sinkronisasi terhadap program yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara yang sudah ada 7. Beban Badan Penyelenggara sangat

besar jika harus mencakup seluruh penduduk (+ 250 juta).


(2)

Tabel 5 : Pembentukan BPJS dengan Pendekatan Segmen Peserta

Kelebihan Kelemahan

1. Perusahaan akan lebih mudah dalam administrasi dan iuran karena hanya berhubungan dengan satu Badan Penyelenggara

2. Biaya penyelenggaraan akan lebih efisien bagi setiap Badan

Penyelenggara.

3. Dapat mengoptimalkan manfaat karena pengelolaan yang lebih efisien.

4. Tidak menimbulkan masalah/gejolak karena penyelenggaraan jaminan sosial saat ini berdasarkan segmen peserta relatif sudah berjalan baik. 5. Beban Badan Penyelenggara akan

lebih ringan karena menangani segmen peserta tertentu.

6. Lebih mudah untuk memberikan kartu identitas tunggal untuk kepesertaan pada program yang diikuti.

1. Pemerintah harus membuat

kebijakan mengenai besarnya iuran dan jenis/ besarnya manfaat yang sama untuk masing-masing BPJS. 2. Iuran relatif lebih tinggi karena

kepesertaan terbagi dalam beberapa BPJS.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka atas permasalahan yang dikemukakan dalam Bab I, dapat disusun kesimpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

a. Landasan yuridis pembentukan BUMN Persero adalah berdasarkan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara, dan implementasi penguasaannya antara lain ditafsirkan dilakukan oleh pelaku ekonomi yaitu BUMN.

b. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengisyaratkan bentuk kelembagaan Jaminan Sosial di Indonesia, tidak diselenggarakan oleh BUMN Persero, tetapi oleh Badan Nirlaba yang mengadopsi prinsip-prinsip Persero.

c. Terdapat 3 (tiga) alternatif kelembagaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia, yakni: (a) langsung berada di bawah koordinasi Presiden, (b) berada di bawah koordinasi sebuah kementerian, dan (c) independen, bertanggung jawab langsung kepada DPR-RI, sedangkan bentuk badan hukum badan penyelenggara dapat berupa: (a) dana amanat


(4)

(board of trustees), (b) Badan Usaha Milik Negara, dan (c) Badan Usaha Milik Swasta (free choice).

B. Saran

1. Perlu kajian yang lebih mendalam, tentang bentuk badan hukum penyelenggara Jaminan Sosial, mengingat terdapat kelemahan dan kekuatan dalam konsep penyelenggaraan jika diselenggarakan oleh selain BUMN Persero.

2. Untuk terlaksananya jaminan sosial yang merupakan hak dasar bagi setiap warga negara, tidak akan berjalan baik bila tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang konsisten, oleh sebab itu perlu memastikan berfungsinya pengawasan dan penegakan hukum.

3. Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004, idealnya diselenggarakan oleh badan hukum persero Badan Usaha Milik Negara.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdurrahman. 1980. Beberapa Pokok Pikiran di Sekitar Pembinaan Hukum Ekonomi di Indonesia, Jakarta, BPHN.

Bambang Sunggono. 2001. Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta, RajaGrafindo Persada.

Bismar Nasution. 2003. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum dan Hasil Penulisan pada Majalah Akreditasi, Medan, FH-USU. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. 2006.

Reformasi Sistem Jaminan Sosial di Indonesia, Jakarta, German Technical Cooperation.

Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia. Munir Fuady. 2003. Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung, Citra Aditya

Bakti.

Purwoko Bambang. 1999. Jaminan Sosial dan Sistem Penyelenggaraannya, Jakarta, Meganet Dutatama.

Sunaryati Hartono. 1972. Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bandung, Binacipta.

---. 1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung, Binacipta.

Soerjono Soekanto. 1980. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Pers. ---. 1981. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung,

Alumni.

Tim SJSN. 2004. Naskah Akademis UU Nomor 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta, Kantor Menkokesra.


(6)

Jurnal/Makalah:

Bappenas, ” Membangun Sistem Jaminan Sosial yang Dapat Terlaksana, Efisien dan Adil” Rumusan Hasil Seminar, dengan tema: Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial yang Dapat Diimplementasikan”, Rumusan Hasil Seminar, Jakarta, Agustus 2004

Bismar Nasution, “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,” Pidato Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Medan, Universitas Sumatera Utara, 2004.

Bismar Nasution, “Menuju Sistem Pengelolaan BUMN yang Efektif dan Efisien”, disampaikan pada Sosialisasi UU BUMN dan Peraturan Pelaksanaannya Serta Eksistensinya dalam Sistem Pembinaan dan Pengelolaan BUMN, Medan, 14 Desember 2005.

Normin S. Pakpahan, “Perangkat Hukum dalam Rangka Menghadapi Era Perdagangan Bebas”, Majalah Hukum Nasional, No. 2 Tahun 2002, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI.

R. Ibrahim, “Landasan Filosofis dan yuridis keberadaan BUMN, Sebuah Tinjauan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 No.1 Tahun 2007.

Peraturan Perundang-undang:

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995, tentang Perseroan Terbatas.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.