remaja, khususnya awal masa remaja, seseorang lebih mengikuti standar-standar teman sebaya dari pada yang dilakukan pada masa kanak-kanak. Para peneliti
telah menemukan bahwa pada kelas Sembilan, konformitas dengan teman sebaya memuncak Berndt, 1979; Berdent Perry, 1990; Leventhal, 1994; dalam
Santrock, 1995 dan berkurang pada kelas 12 Santrock, 1996. Konformitas yang terjadi pada masa remaja dapat bersifat positif maupun
negatif Camarena, 1991; Foster-Clark Blyth, 1991; Pearl, Bryan, Her og,
1990; Wall, 1993; dalam Santrock, 2002. Umumnya remaja terlibat dalam semua bentuk perilaku konformitas yang negatif, salah satunya adalah perilaku
menyontek. Berdasarkan teori belajar sosial Bandura, McCabe, Trevino dan Butterfield
2001 menyimpulkan bahwa pengaruh kuat dari perilaku teman-teman menunjukkan bahwa perilaku menyontek tidak hanya belajar dari mengamati
perilaku teman sebaya, tapi juga teman-teman rekan memberikan dukungan normatif untuk menyontek.
Berdasarkan pengertian di atas, pengertian konformitas dalam penelitian ini adalah suatu bentuk pengaruh sosial, dimana individu mengubah sikap dan
tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial dalam lingkungannya dalam penelitian ini dikhususkan lingkungan sekolah, seperti mengikuti pendapat dan
tingkah laku teman-teman di sekolah.
2.2.2. Dimensi-dimensi konformitas
Mayers 1988; dalam Sarwono Meinarno, 2009 membagi konformitas dalam dua bentuk, yaitu:
1. Acceptance Pada bentuk konformitas acceptance, tingkah laku dan keyakinan
individu sesuai dengan tekanan dalam kelompok yang diterimanya. Pada bentuk acceptance ini, konformitas terjadi karena kelompok
menyediakan informasi penting yang tidak dimiliki oleh individu informational influence.
Konformitas pada jenis ini terjadi karena orang lain merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali mereka mengetahui sesuatu
yang tidak kita ketahui, dengan melakukan apa yang mereka lakukan kita akan memperoleh manfaat dari pengetahuan mereka Sears,
Freedman, Peplau, 1985. 2. Compliance
Pada bentuk konformitas compliance, individu bertingkah laku sesuai dengan tekanan kelompok, sementara secara pribadi ia tidak
menyetujui tingkah lakunya tersebut. Pada bentuk compliance ini, individu menghindari penolakan kelompok dan mengharapkan reward
atau penerimaan kelompok normative influence. Alasan utama konformitas ini adalah demi memperoleh persetujuan
atau menghindari celaan kelompok, karena tidak ada seorangpun yang mau mendapat celaan dari lingkungan sosialnya akan tetapi seseorang
selalu menginginkan harapan untuk dapat diterima dari kelompok sosialnya Sears, Freedman, Peplau, 1985.
2.3.3. Kondisi yang mendorong terjadinya konformitas
Menurut Sears, Freedman dan Peplau 1985, kondisi yang mendorong terjadinya konformitas antara lain:
1. Keadaan yang mendorong terjadinya konformitas Acceptance:
a. Kepercayaan terhadap kelompok
Faktor utamanya adalah apakah individu mempercayai informasi yang dimiliki oleh kelompok atau tidak. Oleh karena itu,
semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan
untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Bila orang tersebut berpendapat bahwa kelompok selalu benar, dia akan mengkuti
apapun yang
dilakukan kelompok
tanpa memperdulikan
pendapatnya sendiri. Demikian pula, bila kelompok mempunyai informasi penting yang belum dimiliki individu, konformitas akan
semakin meningkat. b. Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan konformitas adalah tingakat keyakinan seseoarng pada kemampuannya sendiri untuk
menampilkan suatu reaksi. Sedangkan hal yang diduga dapat menurunkan konformitas
adalah dengan membuat seseorang merasa lebih menguasai suatu persoalan. Karena segala sesuatu yang meningkatkan rasa percaya
individu terhadap penilaiannya sendiri akan menurunkan tingkat konformitas, dengan demikian kelompok bukan merupakan sumber
informasi yang unggul lagi. 2.
Keadaan yang mendorong terjadinya konformitas compliance a. Rasa takut terhadap penyimpangan
Rasa takut dianggap sebagai orang yang menyimpang, merupakan alasan utama terjadinya konformitas compliance.
Seseorang biasanya ingin agar kelompok tempatnya berada dapat menerimanya.
Penyimpangan dari kelompok dapat mengakibatkan seseorang menerima resiko yang tidak menyenangkan, seperti dikucilkan atau
ditolak oleh kelompok. b.
Kekompakan kelompok Konformitas dipengaruhi oleh eratnya hubungan antar individu
dengan kelompoknya. Jika individu semakin tertarik kepada kelompok, maka konformitas akan semakin mungkin terjadi, ketika
anggota-anggota kelompok bekerja untuk satu tujuan yang sama, mereka cendrung untuk konform dibandingkan jika mereka tidak
berada dalam satu kesatuan. Jika rasa suka anggota kelompok satu terhadap yang lain
semakin besar, maka semakin besar pula harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok dan kelompok
tersebut makin kompak. Kekompakan yang semakin tinggi akan mempertinggi tingkat konformitas.
c. Kesepakatan kelompok Faktor yang sangat penting bagi timbulnya konformitas adalah
kesepakatan pendapat kelompok. Jika kesepakatan dari kelompok mayoritas dilanggar, maka konformitas akan menurun secara
signifikan. Bila seseorang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat, maka ia akan mendapatkan tekanan yang kuat
untuk menyesuaikan pendapat atau perilakunya. Namun jika kelompok
tidak bersatu
akan menyebabkan
penurunan konformitas.
d. Ukuran kelompok Konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yang
sependapat juga meningkat. Dari hasil eksperimen Asch 1951 dalam Sears, Freedman, Peplau, 1985 dapat disimpulkan bahwa
untuk menghasilkan tingkat konformitas yang paling tinggi, ukuran konformitas adalah tiga atau empat orang.
e. Keterikatan pada penilaian bebas Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat
suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap penilaian kelompok yang berlawanan. Hal ini
menebabkan orang yang berlawanan dengan penilaian kelompok
harus menanggung resiko mendapat celaan sosial karena menyimpang dari pendapat kelompok.
2.3.
Goal orientation
Teori goal orientation dikembangkan secara khusus untuk menjelaskan perilaku prestasi. Teori ini diciptakan oleh ahli psikologi perkembangan, motivasi
dan pendidikan untuk menjelaskan kondisi belajar siswa dan kinerja pada tugas- tugas akademik dan pengaturan sekolah. Dengan demikian, teori goal orientation
sangat relevan dengan pembelajaran dan pengajaran Pintrich Schunk, 1996.
2.3.1. Pengertian goal orientation