1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam  era  globalisasi  saat  ini  kompetisi  antar  individu  dengan  individu yang  lainnya  sangat  ketat  disegala  bidang.  Kompetisi  yang  terjadi  tidak  hanya
antar  individu  dalam  negeri  saja,  akan  tetapi  juga  antar  bangsa.  Hal  terpenting dalam  era  globalisasi  ini  adalah  kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  yang
begitu  pesat.  Negara  yang  maju  adalah  Negara  yang  mampu  mengusai  ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu menciptakan teknologi baru.
Negara Indonesia sebagai Negara berkembang, termasuk salah satu Negara yang  sedang  giat-giatnya  membangun  dan  meningkatkan  sumber  daya  manusia
melalui  pendidikan.  Oleh  karena  itu  untuk  mengantisipasi  era  globalisasi,  dunia pendidikan  dituntut untuk  mempersiapkan  sumber  daya  manusia  yang  kompeten
agar mampu bersaing dalam segala hal. Agar  tidak  ketinggalan  dengan  Negara-negara  yang  lain,  Indonesia
dituntut untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju sangat pesat. Mau tidak mau peningkatan sumberdaya manusia mutlak diperlukan.
Dalam  hal  ini  pemerintah  Indonesia  sangat  menyadari  pentingnya menciptakan warga Negara yang berkualitas, agar sumberdaya manusia Indonesia
tidak  kalah  dari  sumber  daya  manusia  di  Negara  lain.  Agar  dapat  mengontrol kualitas  manusia  Indonesia  dalam  jalur  pendidikan  dilakukan  Ujian  Nasional
UN.
Ujian  merupakan  salah  satu  cara  untuk  mengevaluasi  proses  belajar. Dalam  dunia  pendidikan,  ujian  dimaksudkan  untuk  mengukur  taraf  pencapaian
suatu  tujuan  pengajaran  oleh  siswa  sebagai  peserta  didik,  sehingga  siswa  dapat mengetahui  tingkat  kemampuannya  dalam  memahami  pelajaran  yang  sedang
ditempuh.  Bila  ternyata  hasilnya  belum  maksimal,  maka  proses  belajar  harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas Maradina, 2008.
Dalam  usaha  untuk  meraih  keberhasilan  mendapatkan  nilai  yang  baik dalam ujian, ada siswa  yang belajar dengan tekun dan ada pula siswa  yang tidak
belajar,  akan  tetapi  mengandalkan  teman  atau  berbuat  curang,  misalnya menyontek saat mengikuti ujian. Hal ini terjadi karena hasil ujian dan ulangan itu
merupakan  salah  satu  kriteria  yang  dipakai  pendidik  atau  pengajar  dalam menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar yang dilakukan. Tak dipungkiri
lagi, dalam pelaksanaan ujian dan ulangan itu, sebagian peserta didik mencontek Silvano dkk, 2008.
Perilaku  menyontek  dapat  dilakukan  oleh  siapapun  juga  untuk mendapatkan  nilai  yang  tinggi  dan  mengurangi  kemungkinan  mendapatkan  nilai
yang buruk. Karena masyarakat berpandangan bahwa seseorang dikatakan cerdas atau pintar jika nilai-nilai raport atau ija
ahnya tinggi. Oleh karena itu para pelajar berlomba-lomba  untuk  mendapat  nilai  tinggi  Silvano  dkk,  2008.  Pandangan
tersebut  menimbulkan  tekanan  pada  siswa  untuk  mencapai  nilai  yang  tinggi. Tekanan yang dirasakan akan membuat siswa lebih berorientasi pada nilai, bukan
pada ilmu. Siswa dapat mempersepsi ujian sebagai alat untuk menyusun peringkat dan  dapat  menyebabkan  dirinya  mengalami  kegagalan,  bukan  sebagai  instrumen
yang dapat menunjukkan kemajuan dalam proses belajar Sujana  Wulan, dalam Setyani, 2007.
Kecenderungan menyontek dalam  kegiatan akademis  kerap kali terjadi di dunia pendidikan. Oleh karena itu, menyontek menjadi salah satu fenomena yang
muncul  menyertai  aktifitas  proses  belajar-mengajar  sehari-hari  di  sekolah khususnya bila ada ulangan dan ujian. Oleh karena itu perilaku mencontek bukan
hal  baru  dalam  dunia  pendidikan,  menyontek  sudah  sangat  populer  mulai  dari pelajar  SD,  SMP,  hingga  SMA  sampai  Perguruan  tinggi.  Bahkan  dalam  sejarah
Cina  Kuno  menyebutkan  bahwa  pada aman  pemerintahan  Kaisar  Wen  Ti  pada
tahun 77 Masehi telah diberlakukan aturan ujian yang ketat bagi orang-orang yang mengikuti  ujian  menjadi  pegawai  kerajaan.  Peserta  yang  kedapatan  menyontek
dalam  ujian  tersebut  diancam  hukuman  mati  Alhad a  dalam  Setyani,  2007.
Akan  tetapi  walaupun  perilaku  menyontek  telah  dikenal  sejak  lama  tetapi  dalam Kamus  Bahasa  Indonesia  Suharto    Iryanto,  1995,  kata  tersebut  tidak  dapat
ditemukan  secara  langsung,  kata  menyontek  baru  ditemukan  pada  kata  jiplak- menjiplak  yang  artinya  meniru  tulisan  atau  pekerjaan  orang  lain.  Sedangkan
Dalam  Kamus  Bahasa  Inggris  Echols    Shadily,  2003  kata  menyontek  atau menjiplak  disebut  dengan  istilah  Cheating.  Hal  ini  sesuai  dengan  artikel  yang
ditulis  oleh  Alhad a,  kata  menyontek  sama  dengan  cheating.  Beliau  mengutip
pendapat Bower, yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara  yang  tidak  sah  untuk  tujuan  yang  sahterhormat  yaitu  mendapatkan
keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis Alhad a, 2007.
Menurut  Mulyana  dalam  Setyani,  2007,  perilaku  menyontek  dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: menulis contekan di meja atau di
telapak  tangan,  menulis  di  sobekan  kertas  yang  disembunyikan  di  lipatan  baju, bisa juga dengan melihat buku pedoman atau buku catatan sewaktu ujian. Seiring
dengan  perkembangan  teknologi,  telepon  genggam  dapat  digunakan  sebagai sarana  untuk  menyontek,  yaitu  dengan  menyimpan  data  contekan  di  memori
telepon  genggam  atau  saling  berkirim  jawaban  melalui  SMS  short  message service pada saat ujian Muljadi, dalam setyani 2007.
Berdasarkan  pengertian  di  atas,  menyontek  adalah  suatu  perbuatan  atau cara-cara yang tidak jujur, curang dan menghalalkan segala cara untuk mencapai
nilai  yang  terbaik  dalam  ulangan  atau  ujian  pada  setiap  mata  pelajaran.  Dapat disimpulkan  menyontek  dalam  pelaksanaan  ujian  adalah  mengambil  jawaban
soal-soal ujian dari cara-cara yang tidak dibenarkan dalam tata tertib ujian seperti: dari  buku,  catatan,  hasil  pemikiran  temannya  dan  media  lain  yang  kemudian
disalin pada lembar jawaban ujian pada saat ujian berlangsung. Pada dasarnya perilaku menyontek dapat merugikan banyak pihak, baik itu
orang  yang  menyontek  ataupun  orang  yang  dicontek.  Dengan  menyontek,  orang yang  menyontek  tidak  dapat  mengetahui  seberapa  besar  kemampuan  dirinya
dalam memahami atau menguasai pelajaran  yang  didapat, sedangkan orang  yang dicontek  secara  tidak  langsung  haknya  diambil  oleh  orang  yang  menyontek.
Selain  itu  perilaku  menyontek  dapat  menyulitkan  guru  dalam  mengukur  tingkat keberhasilan dari proses belajar-mengajar di  sekolah. Sebab nilai  yang diperoleh
siswa  dengan  hasil  menyontek  bukanlah  nilai  yang  sesungguhnya  yang
menunjukan  tingkat  kemampuan  dan  pemahaman  siswa  itu  sendiri.  Secara psikologispun, perilaku nyontek memiliki dampak yang tidak baik, sebab perilaku
menyontek  dapat  mendidik  siswa  untuk  berbohong  demi  mendapatkan  sesuatu yang  nantinya  akan  menjadi  kebiasaan  dan  menjadikan  pribadi  pembohong.
Padahal  seharusnya  sekolah  adalah  tempat  untuk  belajar  menjadi  pribadi  yang lebih baik bukan tempat untuk belajar berbohong atau berbuat curang.
Secara  keseluruhan  bila  melihat  dari  kenyataan  yang  terjadi,  perilaku menyontek  cheating  merupakan  masalah  serius  dan  penting  dalam  dunia
pendidikan.  Akan  tetapi  sepertinya  masalah  ini  kurang  mendapatkan  perhatian khusus,  meskipun  beberapa  penelitian  mengenai  perilaku  menyontek  kerap
dilakukan.  Oleh  karena  itu  sebaiknya  semua  pihak  dalam  dunia  pendidikan sepakat  untuk  mengatasi  masalah  menyontek  dan  tidak  hanya  terpaku  oleh  nilai
semata akan tetapi berusaha untuk dapat mencapai prestasi akademis yang optimal dengan memahami materi yang diberikan.
Dengan semakin maraknya perilaku menyontek cheating dalam kalangan siswa  maka  perlunya  diantisipasi  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  terjadinya
perilaku menyontek cheating. Salah satu faktor yang diduga dapat meningkatkan dan  menurunkan  perilaku  menyontek  pada  kalangan  remaja  Siswa  SMP  adalah
keyakinan  dalam  diri  siswa  akan  kemampuannya  sendiri.  Keyakinan  akan kemampuan diri ini dikenal dengan istilah self-efficacy.
Self-efficacy  adalah  evaluasi  seseorang  terhadap  kemampuan  atau kompetensinya  untuk  melakukan  sebuah  tugas,  mencapai  tujuan  atau  mengatasi
hambatan  Bandura  dalam  Baron    Byrne,  2003.  Evaluasi  ini  dapat  bervariasi
tergantung pada situasi Cervone dalam Baron   Byrne, 2003. Oleh  karena  itu, seorang siswa yang memiliki keyakinan diri yang baik akan mampu menampilkan
kemampuan  terbaiknya  dalam  menyelesaikan  tugas-tugas  yang  diberikan disekolah dan mampu mengatasi hambatan demi tercapainya suatu tujuan dengan
apa yang dimilikinya. Self-efficacy  merupakan  bagian  dari  psikologi  positif.  Self-efficacy  yang
tinggi sangat baik apabila dimiliki oleh setiap individu terutama siswa  yang akan atau  sedang  menghadapi  ujian,  sebab  self-fficacy  merupakan  persepsi  atau
keyakinan  seseorang  akan  kemampuan  dirinya  sendiri.  Selain  itu  menurut Bandura 1994, self-efficacy menentukan bagaimana seseorang merasa, berpikir,
memotivasi diri sendiri dan berperilaku. Jadi sudah jelas sekali kalau self-efficacy ini  sangat  penting  untuk  dimiliki  oleh  siswa.  Sebab  dengan  adanya  keyakinan
pada  kemampuan  diri  tersebut  akan  ikut  mempengaruhi  kinerja  siswa  dalam mencapai  keberhasilan,  sehingga  self  efficacy  pada  siswa  dalam  mengerjakan
ujian sangat diperlukan. Menurut  Bandura  1994,  Self-efficacy  berkaitan  dengan  keyakinan
seseorang  akan  kemampuan  yang  dimilikinya  untuk  menjalankan  kontrol  atau fungsi mereka sendiri lebih dari peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Keyakinan  dalam  keberhasilan  mempengaruhi  pilihan  hidup  seseorang,  motivasi dan ketahanan terhadap kesulitan baik itu stress atau depresi.
Seorang  siswa  yang  memiliki  self-efficacy  yang  baik  dalam  menghadapi ujian  akan  memiliki  pengharapan  akan  nilai  yang  bagus  dan  hasil  yang
memuaskan dengan mempersiapkan diri sebelum dilakukannya ujian. Sebaliknya,
siswa  yang  memiliki  self-efficacy  yang  rendah  pada  saat  menghadapi  ujian  akan merasakan  perasaan  yang  cemas,  menunjukkan  sikap  yang  tidak  tenang  karena
tidak  mampu untuk  menyelesaikan  soal-soal  ujian,  sehingga  siswa  tersebut  akan merasa  putus  asa  dalam  menghadapi  rintangan  saat  ujian  dilaksanakan  dan
akhirnya memutuskan untuk menyontek sebagai alternatif terakhir. Pernyataan  ini  sesuai  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Clara
Maradina 2008 yang dari penelitiannya menghasilkan: bahwa adanya hubungan negatif  yang  signifikan  antara  self-efficacy  dalam  menghadapi  ujian  dengan
kecenderungan  menyontek  pada  mahasiswa  semester  akhir  Fakultas  Psikologi Ubaya.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  semakin  tinggi  self-efficacy  maka  semakin
rendah  kecenderungan  menyontek  dan  begitu  juga  sebaliknya  semakin  rendah self-efficacy maka semakin tinggi kecenderungan untuk menyontek.
Selain  self-efficacy  faktor  yang  diduga  dapat  meningkatkan  perilaku menyontek  adalah  faktor  konformitas.  Sebab  seringkali  kita  mendengar  tentang
solidaritas  remaja  yang  kadang  kala  disalahartikan.  Dengan  beranggapan  bahwa sikap  solider  itu  adalah  bagaimana  kita  membantu  teman,  baik  itu  dalam  hal
positif  maupun  negatif,  baik  dengan  rasa  senang  hati  atau  keterpaksaan  karena takut  dibilang  tidak  solider.  Melihat  fenomena  ini  kita  juga  sering  melihat  para
siswa  di  sekolah  misalnya  pada  saat  ujian  berlangsung  mereka  membantu temannya dengan cara memberikan jawaban dengan alasan bahwa itu merupakan
sikap solider. Menurut  Sujana  dalam  Nadhirah,  2008, perilaku menyontek  tidak  lepas
dari  pengaruh  adanya  pengakuan  atau  persetujuan  terhadap  tindakan  menyontek
dan  contoh  tindakan  menyontek  yang  dilakukan  oleh  teman  sebaya  dalam  satu kelompok atau teman sekelas. Jadi pengaruh kelompok sebaya akan sangat besar
dalam pemberian norma tingkahlaku yang akan dianut oleh individu, dimana salah satu tingkahlaku tersebut adalah perilaku menyontek.
Perilaku  mengikuti  orang  lain  yang  dimaksud  disini  adalah  perilaku konformitas.  Biasanya  perilaku  konformitas  ini  terjadi  karena  mengikuti  orang
lain yang ada dalam lingkungan individu berada, baik itu dengan terpaksa maupun dengan sukarela.
Istilah konformitas pertama kali dipublikasikan oleh seorang ahli psikologi sosial Solomon Asch tahun 1951, 1955. Eksperimen Asch ini menunjukan bahwa
orang  cenderung  melakukan  konformitas,  mengikuti  penilaian  orang  lain, ditengah  tekanan  kelompok  yang  mereka  rasakan  Sarwono    Meinarno, 2009.
Sedangkan  dalam  Wade  2007  setiap  orang  pasti  akan  melakukan  konformitas dalam  situasi  tertentu  dan  untuk  alasan  yang  sama  dengan  yang  lain.  Ada  orang
yang  melakukannya  karena  mereka  mengidentifikasikan  diri  mereka  dengan kelompok dan anggota kelompok, serta ingin tampil serupa dengan mereka, sebab
teman-teman menggunakan pengaruh sosial satu sama lain. Dalam kamus lengkap Psikologi J.P. Chaplin 2008 konformitas diartikan
sebagai  kecendrungan  untuk  memperbolehkan  satu  tingkah  laku  seseorang dikuasai oleh sikap dan pendapat  yang sudah berlaku. Selain itu disebutkan  juga
kalau  konformitas  merupakan  ciri  pembawaan  kepribadian  yang  cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya.
Sedangkan  dalam  Wikipedia  istilah  konformitas  diartikan  sebagai  proses dimana  seorang  individu  bersikap,  meyakini,  dan  berperilaku  yang  dikondisikan
oleh sesuatu untuk menjadi apa yang orang lain bisa lihat. Dilain pihak seseorang menyesuaikan  keinginannya  sendiri  untuk  mencapai  rasa  aman  dalam
kelompoknya  yang  biasanya  terdapat  kesamaan  dalam  hal  usia,  budaya,  agama, bahkan  status  pendidikan.  Akan  tetapi  konformitas  ini  sering  dikaitkan  dengan
remaja  dan  budaya  kaum  muda,  karena  remaja  sangat  terikat  dengan  kelompok teman  sebaya  terutama  di  lingkungan  sekolah  http:translate.google.co.id.
http:en.wikipedia.orgConformity. Dari  fenomena  yang  biasa  terjadi,  konformitas  pada  remaja  lebih  banyak
memiliki efek yang buruk, padahal tidak semua konformitas memiliki efek buruk, karena  baik  atau  buruk  tergantung  pada  situasi,  kondisi  dan  tentunya  pada
individu  itu  sendiri.  Akan  tetapi  yang  sering  terjadi  pada  remaja  adalah  hal-hal yang negatif Santrock, 2002.
Konformitas  dapat  berperan  secara  positif  atau  negatif  pada  seorang remaja, yang dimaksud peran negatif disini adalah perilaku menyontek
cheating
. Seperti  yang  terjadi  baru-baru  ini  di  SDN  2  Gadel,  Surabaya,  adanya  fenomena
konformitas menyontek massal saat Ujian  Nasional 2011, dimana seorang murid bernama  Alifah  Ahmad  Maulana  Aam  diminta  oleh  pihak  sekolah  “memadu”
teman-temannya  menggarap  soal  ujian,  karena  takut  kepada  guru  akhirnya  Aam memberikan hasil jawabannya kepada teman-temannya, dan hasilnya baik Riadi,
2011.  Sedangkan  konformitas  yang  berperan  secara  positif  adalah  bagaimana
siswa  mempersiapkan  diri  dengan  belajar  bersama  teman-temannya  untuk menghadapi ujian sekolah.
Biasanya  pada  perilaku  konformitas  seseorang  mengikuti  perilaku kelompoknya  meskipun  ia  berbeda  pendapat  dengan  kelompoknya  Khrisnaresa,
2009.  Semakin  tinggi  konformitas  terhadap  kelompok  sebaya,  maka kecenderungan  perilaku  menyontek  pun  akan  semakin  tinggi.  Hal  ini  sesuai
dengan penelitian  yang dilakukan oleh  Nadhirah 2008  yang dari penelitiannya menghasilkan  kalau  adanya  hubungan  yang  positif  dan  signifikan  antara
konformitas  kelompok  dan  perilaku  menyontek  pada  mahasiswa  IAIN  “SMH” Banten Fakultas Tarbiyah. semakin tinggi konformitas terhadap kelompok sebaya,
maka makin tinggi pula kecenderungan menyontek. Selain  self-efficacy  dan  konformitas  kecendrungan  menyontek  siswa  juga
dapat  dikaitakan  oleh  goal  orientation.  Sebab  ketika  siswa  menyontek,  siswa tersebut  memiliki  tujuan  yang  ingin  dicapainya  dan  tentunya  tujuan  dari  setiap
siswa  yang  menyontek  berbeda-beda.  Akan  tetapi  tujuan  tersebut  sangat  terkait dengan pencapain prestasi di kelas. Ini berarti perilaku menyontek
cheating
yang terjadi  pada  siswa  dapat  dikaitkan  dengan  bagaimana  siswa  mengorientasikan
tujuannya. Beragam  usaha  yang  dilakukan  siswa  untuk  meraih  prestasi  dalam
kegaiatan  akademis  terkait  dengan  suatu  orientasi  tujuan  itu  sendiri  dalam mencapai tujuan  yang diharapkannya. Orientasi tujuan atau biasa disebut dengan
istilah goal orientation.
Wikipedia mengartikan goal orientation GO adalah tujuan. Disini GO sebagai  cara  untuk  mengejar  dan  mencapaian  tujuan  dalam  konteks  prestasi.
Selain  itu  GO  merupakan  motivasi  internal  dalam  diri  siswa  dalam  kompetensi mengejar prestasi akademik disekolah http:en.wikipedia.orgwikiGoal-oriented.
Goal  atau  tujuan  adalah  sesuatu  yang  diusahakan  oleh  seseorang  untuk dicapai, dan sesuatu itu berada diluar diri individu Locke  latham, 1990 dalam
Pintrich  Schunk, 1996. Sedagkan goal orientation merupakan pola keyakinan yang  mengarahkan  pada  cara  yang  berbeda  dalam  pendekatan,  penggunaan  dan
respon  terhadap  achievement  situation  Ames,  1992,  dalam  Pintrich    Schunk, 1996.  Goal  orientation  merefleksikan  standar  individu  dalam  mencapai
keberhasilan. Sedangkan  dalam  kamus  lengkap  Psikologi  J.P.  Chaplin  2008  goal
orientation  diartikan  sebagai  kondisi  dituntun  menuju  kearah  sasaran.  Dalam kegiatan belajar keluar dari jalan yang ruwet simpang-siur, merupakan upaya atau
jalan  tempuh  yang  mengarah  pada  sasaran,  baik  merupakan  jalan  buntu  atau menjadi bagian dari jalan yang benar.
Berkaitan  dengan  hal  di  atas,  maka  dapat diketahui bahwa  seorang  siswa yang memiliki tujuan dalam proses belajar, maka siswa tersebut akan menetapkan
tujuan sebagai harapan, hal ini dapat dikatakan mengikuti ujian dan mendapatkan kelulusan  dengan  nilai  yang  baik  merupakan  harapan  yang  harus  dicapai.  Maka
untuk memantapkan tujuan siswa  yaitu mendapatkan  keberhasilan  saat ujian dan meningkatkan prestasi, siswa akan mempersiapkan dirinya dengan banyak belajar
dan  meningkatkan  waktu  untuk  membaca  berbagai  literatur  yang  mendukung materi pelajaran Maradina, 2008.
Secara  umum  ada  dua  jenis  orientasi  tujuan  dalam  kegiatan  akademis, yaitu tujuan untuk mengembangkan kemampuan mastery orientation dan tujuan
untuk menunjukan  kemampuan performance orientation. Menurut Pintrich dan Schunk  1996,  siswa  yang  berorientasi  pada  mastery  orientation  akan
memfokuskan  tujuannya  pada  pengembangan  kemampuan,  dan  berusaha  untuk memahami  setiap  tugas  yang  diberikan  oleh  para  guru, dan  selalu  meningkatkan
kompetensi  diri.  Sebaliknya,  siswa  yang  berorientasi  pada  performance orientation    lebih  memfokuskan  pada  bagaimana  penilaian  orang  lain  terhadap
kemampuan yang dimiliki oleh para siswa. Bila  melihat  kedua  jenis  orientasi  tujuan,  performance  orientation  lebih
mengarah pada pola perilaku maladaptip dari pada mastery goals. Oleh karena itu siswa yang berorientasi pada performance orientation cenderung menggambarkan
siswa  yang  melakukan  menyontek,  sedangkan  siswa  yang  berorientasi  pada mastery orientation cenderung menghindari perilaku menyontek
cheating
dalam mencapai  tujuan  pembelajarannya.  Oleh  karena  itu  tidak  setiap  siswa  yang
berorientasi  pada  performance  orientation  dia  akan  selalu  menyontek  dan  siswa yang berorientasi pada mastery orientation tidak akan menyontek.
Hal  ini  sesuai  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  setya  2005  yang menghasilkan  kalau  orientasi  tujuan  siswa  dan  struktur  tujuan  kelas  secara
bersama-sama  memberikan  sumbangan  pada  perilaku  menyontek  siswa  SMP dalam pelajaran Matematika. Hal ini berarti orientasi tujuan siswa memiliki peran
adanya  kecendrungan  menyontek  siswa  SMP  dalam  pelajaran  Matematika.  Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa orientasi tujuan dapat mempengaruhi
seseorang  untuk  menyontek  atau  tidak  dalam  mencapai  tujuan  yang diharapkannya.
Dari  pernyataan  di  atas  sudah  jelas  kalau  Goal  orientation  dapat mempengaruhi  kemampuan  individu  dalam  menghadapi  hambatan  untuk
mencapai  tujuan  sesuai  dengan  apa  yang  diharapkan.  Baik  itu  hambatan  dalam pendidikan  dan  ujian  ataupun  hambatan  dalam  menyesuaikan  diri  dengan
perubahan,  seperti  halnya  siswa  SMPMTs  yang  harus  menyesuaikan  diri  dari kehidupan Sekolah Dasar di masa anak-anak menuju masa remaja awal di Sekolah
Menengah  Pertama.  Oleh  karena  itu,  sebaiknya  siswa  dalam  menghadapi  ujian menganggap  tugas  mereka  sebagai  tantangan,  bukan  sebagai  ancaman.  Sebab
ketika  siswa  memandang  tugas  sebagai  tantangan,  bukan  sebagai  ancaman, mereka tidak akan merasa takut dalam menghadapi kegagalan. Akan tetapi malah
termotivasi untuk meningkatkan prestasi belajar dengan hasil yang maksimal. Selain  variabel  independen  di  atas,  penelitian  ini  juga  menggunakan
variabel demografis  yang terdiri dari  jenis  kelamin dan tingkatan  kelas. Variabel demografis  ini  digunakan  berdasarkan  penelitian-penelitian  sebelumnya  yang
mengungkapkan  mengenai  jenis  kelamin  dan  tingkatan  kelas  dalam  hal menyontek, seperti penelitian  yang dilakukan oleh Calabrese dan Cochran 1990
dalam Anderman, Griesinger  Westerfield, 1998 yang mengemukakan bahwa di Sekolah  Negeri  atau  Swasta,  perilaku  menyontek  cheating  lebih  umum
dilakukan  oleh  laki-laki.  Dalam  penelitian  yang  dilakukan  pada  kalangan
mahasiswapun  menyatakan  hal  yang  sama,  bahwa  laki-laki  lebih  sering menyontek  daripada  perempuan.  Selain  itu  laki-laki  juga  mengatakan  bahwa
mereka lebih banyak menyontek pada saat ulangan dengan menggunakan berbagai metode  menyontek.  Di  sisi  lain  perempuan  menyetujui  kalau  cheating  lebih
banyak  dilakukan  oleh  laki-laki,  sebab  perempuan  akan  merasa  bersalah  jika mereka menyontek Baird, 1980 dalam Andermana  Midgley, 2004.
Sedangkan  dalam  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Newstead  et  al.  1996 dalam  Anderman,  Griesinger    Westerfield,  1998  mengungkapkan  bahwa  di
kalangan  mahasiswa,  laki-laki  lebih  banyak  menyontek  dari  pada  perempuan, selain  itu  dalam  penelitian  itu  pula  diungkapkan  kalau  mahasiswa  yang  lebih
muda atau semester bawah lebih banyak menyontek dari pada murid yang tua atau semester  atas.  Begitu  juga  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  McCabe,
Trevino dan Butterfield 2001 menunjukkan bahwa mahasiswa yang lebih muda cenderung untuk menyontek dari mahasiswa yang lebih tua. McCabe dan Trevino
mengemukakan  bahwa  pada  kesatu dan  kedua  tahun  pertama  mahasiswa  merasa berat  dengan  program  fakultas,  dan  tidak  ingin  mengulang  kembali  mata  kuliah
yang telah dipelajari, oleh karena itulah mahasiswa semester bawah lebih memilih untuk  menyontek.  Sebaliknya,  pada  tahun  katiga  dan  keempat  perkuliahan,
mahasiswa tampaknya lebih antusias akan program fakultas karena sudah terbiasa
dengan program tersebut.
Berdasarkan  asumsi  penelitian  yang  dilakukan  sebelumnya  mengenai variabel demografis, peneliti ingin mengetahui apakan benar perilaku menyontek
itu lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dari pada perempuan ataukah berbanding
terbalik  dengan  penelitian  sebelumnya.  Selain  itu  apakah  dalam  jenjang pendidikan  Sekolah  Menengah  Pertama  SMPMTs  perilaku  menyontek  lebih
banyak dilakukan oleh kelas bawah ataukah berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya.
Adapun  dalam  penelitian  ini,  fokusnya  adalah  para  siswa  pada  jenjang Sekolah  Menengah  Pertama  SMP.  Sebab  siswa  SMPMTs  merupakan  usia
peralihan  dari  usia  anak-anak  menuju  usia  remaja  awal,  selain  itu  merekapun mengalami masa peralihan dari Sekolah Dasar ke jenjang yang lebih tinggi yakni
Sekolah Menengah Pertama. Pada masa ini siswa perlu menyesuaikan diri dengan konteks  sosial  yang  berbeda  dengan  sebelumnya  dan  proses  pencapaian
prestasipun  berbeda  degan  sekolah  dasar.  Oleh  karena  itu  perlunya  kesiapan dalam diri siswa dalam menghadapi proses perubahan yang terjadi, sebab apabila
siswa  kesulitan  dalam  menghadapi  perubahan  ini  maka  mereka  akan  berusaha mencari  jalan  keluar  yang  belum  tentu  benar.  Dalam  kondisi  tersebut  perilaku
menyontek mungkin akan terjadi karena dipandang sebagai jalan keluar termudah agar mereka tetap dapat berprestasi di sekolah.
Hal  ini  sesuai  dengan  hasil  penelitian  longitudinal  Anderman  dalam Murdock    Anderman, 2006  menunjukkan  bahwa  menyontek  sering  dilakukan
siswa Sekolah Menengah Pertama SMP dikarenakan adanya perubahan keadaan lingkungan belajar  yang dialami siswa,  yaitu siswa mengalami masa transisi dari
Sekolah  Dasar  ke  Sekolah  Menengah  Pertama,  yang  mana  perubahan  struktur kelas  yang  kecil  menjadi  struktur  kelas  yang  lebih  besar,  sehingga  lingkungan
sekolah menjadi lebih kompetitif.
Selain  itu  karena  siswa  SMPMTs,  termasuk  siswa  MTs.  Al-Hidayah Bekasi  adalah  termasuk  pada  masa  remaja  awal  yang  mana  masa  ini  merupakan
masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, maka pada masa ini seseorang banyak  sekali  mengalami  perubahan  dalam  dirinya,  baik  itu  pertumbuhan  dan
perkembangan  fisik,  pertumbuhan  dan  kematangan  seks  serta  perkembangan sosial. Oleh karena itu, remaja sangat dituntut untuk bisa memiliki rasa keyakinan
akan  kemampuan  diri  dalam  menghadapi  ujian  dan  tidak  mudah  terpengaruh dalam perilaku konformitas serta dapat menentukan tujuan mereka dalam bidang
akademis  untuk  mencapai  prestasi  sesuai  dengan  apa  yang  diharapkan  tanpa menyontek.
Berdasarkan  penjelasan  di  atas,  ada  indikasi  bahwa  sebenarnya  self- efficacy,  konformitas  dan  goal  orientation  serta  variabel  demografis  dapat
menjelaskan  terjadinya  perilaku  menyontek  di  sekolah.  Berdasarkan  pada pemikiran  tersebut  penelitian  ini  dilakukan  untuk  menguji  pengaruh  keempat
faktor  self-efficacy,  konformitas  dan  goal  orientation  serta  variabel  demografis terhadap perilaku menyontek siswa MTs. Al-Hidayah Bekasi.
Alasan  mendasar  penelitian  ini  dilakukan  di  MTs.  Al-Hidayah  Bekasi karena  sekolah  ini  memiliki  siswa  cukup  banyak  dalam  satu  kelas,  yang
memungkinkan siswa untuk melakukan konformitas dalam menyontek.
1.2. Pembatasan dan Rumusan Masalah 2.1.