1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi saat ini kompetisi antar individu dengan individu yang lainnya sangat ketat disegala bidang. Kompetisi yang terjadi tidak hanya
antar individu dalam negeri saja, akan tetapi juga antar bangsa. Hal terpenting dalam era globalisasi ini adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
begitu pesat. Negara yang maju adalah Negara yang mampu mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu menciptakan teknologi baru.
Negara Indonesia sebagai Negara berkembang, termasuk salah satu Negara yang sedang giat-giatnya membangun dan meningkatkan sumber daya manusia
melalui pendidikan. Oleh karena itu untuk mengantisipasi era globalisasi, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten
agar mampu bersaing dalam segala hal. Agar tidak ketinggalan dengan Negara-negara yang lain, Indonesia
dituntut untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju sangat pesat. Mau tidak mau peningkatan sumberdaya manusia mutlak diperlukan.
Dalam hal ini pemerintah Indonesia sangat menyadari pentingnya menciptakan warga Negara yang berkualitas, agar sumberdaya manusia Indonesia
tidak kalah dari sumber daya manusia di Negara lain. Agar dapat mengontrol kualitas manusia Indonesia dalam jalur pendidikan dilakukan Ujian Nasional
UN.
Ujian merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi proses belajar. Dalam dunia pendidikan, ujian dimaksudkan untuk mengukur taraf pencapaian
suatu tujuan pengajaran oleh siswa sebagai peserta didik, sehingga siswa dapat mengetahui tingkat kemampuannya dalam memahami pelajaran yang sedang
ditempuh. Bila ternyata hasilnya belum maksimal, maka proses belajar harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas Maradina, 2008.
Dalam usaha untuk meraih keberhasilan mendapatkan nilai yang baik dalam ujian, ada siswa yang belajar dengan tekun dan ada pula siswa yang tidak
belajar, akan tetapi mengandalkan teman atau berbuat curang, misalnya menyontek saat mengikuti ujian. Hal ini terjadi karena hasil ujian dan ulangan itu
merupakan salah satu kriteria yang dipakai pendidik atau pengajar dalam menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar yang dilakukan. Tak dipungkiri
lagi, dalam pelaksanaan ujian dan ulangan itu, sebagian peserta didik mencontek Silvano dkk, 2008.
Perilaku menyontek dapat dilakukan oleh siapapun juga untuk mendapatkan nilai yang tinggi dan mengurangi kemungkinan mendapatkan nilai
yang buruk. Karena masyarakat berpandangan bahwa seseorang dikatakan cerdas atau pintar jika nilai-nilai raport atau ija
ahnya tinggi. Oleh karena itu para pelajar berlomba-lomba untuk mendapat nilai tinggi Silvano dkk, 2008. Pandangan
tersebut menimbulkan tekanan pada siswa untuk mencapai nilai yang tinggi. Tekanan yang dirasakan akan membuat siswa lebih berorientasi pada nilai, bukan
pada ilmu. Siswa dapat mempersepsi ujian sebagai alat untuk menyusun peringkat dan dapat menyebabkan dirinya mengalami kegagalan, bukan sebagai instrumen
yang dapat menunjukkan kemajuan dalam proses belajar Sujana Wulan, dalam Setyani, 2007.
Kecenderungan menyontek dalam kegiatan akademis kerap kali terjadi di dunia pendidikan. Oleh karena itu, menyontek menjadi salah satu fenomena yang
muncul menyertai aktifitas proses belajar-mengajar sehari-hari di sekolah khususnya bila ada ulangan dan ujian. Oleh karena itu perilaku mencontek bukan
hal baru dalam dunia pendidikan, menyontek sudah sangat populer mulai dari pelajar SD, SMP, hingga SMA sampai Perguruan tinggi. Bahkan dalam sejarah
Cina Kuno menyebutkan bahwa pada aman pemerintahan Kaisar Wen Ti pada
tahun 77 Masehi telah diberlakukan aturan ujian yang ketat bagi orang-orang yang mengikuti ujian menjadi pegawai kerajaan. Peserta yang kedapatan menyontek
dalam ujian tersebut diancam hukuman mati Alhad a dalam Setyani, 2007.
Akan tetapi walaupun perilaku menyontek telah dikenal sejak lama tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia Suharto Iryanto, 1995, kata tersebut tidak dapat
ditemukan secara langsung, kata menyontek baru ditemukan pada kata jiplak- menjiplak yang artinya meniru tulisan atau pekerjaan orang lain. Sedangkan
Dalam Kamus Bahasa Inggris Echols Shadily, 2003 kata menyontek atau menjiplak disebut dengan istilah Cheating. Hal ini sesuai dengan artikel yang
ditulis oleh Alhad a, kata menyontek sama dengan cheating. Beliau mengutip
pendapat Bower, yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sahterhormat yaitu mendapatkan
keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis Alhad a, 2007.
Menurut Mulyana dalam Setyani, 2007, perilaku menyontek dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: menulis contekan di meja atau di
telapak tangan, menulis di sobekan kertas yang disembunyikan di lipatan baju, bisa juga dengan melihat buku pedoman atau buku catatan sewaktu ujian. Seiring
dengan perkembangan teknologi, telepon genggam dapat digunakan sebagai sarana untuk menyontek, yaitu dengan menyimpan data contekan di memori
telepon genggam atau saling berkirim jawaban melalui SMS short message service pada saat ujian Muljadi, dalam setyani 2007.
Berdasarkan pengertian di atas, menyontek adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang dan menghalalkan segala cara untuk mencapai
nilai yang terbaik dalam ulangan atau ujian pada setiap mata pelajaran. Dapat disimpulkan menyontek dalam pelaksanaan ujian adalah mengambil jawaban
soal-soal ujian dari cara-cara yang tidak dibenarkan dalam tata tertib ujian seperti: dari buku, catatan, hasil pemikiran temannya dan media lain yang kemudian
disalin pada lembar jawaban ujian pada saat ujian berlangsung. Pada dasarnya perilaku menyontek dapat merugikan banyak pihak, baik itu
orang yang menyontek ataupun orang yang dicontek. Dengan menyontek, orang yang menyontek tidak dapat mengetahui seberapa besar kemampuan dirinya
dalam memahami atau menguasai pelajaran yang didapat, sedangkan orang yang dicontek secara tidak langsung haknya diambil oleh orang yang menyontek.
Selain itu perilaku menyontek dapat menyulitkan guru dalam mengukur tingkat keberhasilan dari proses belajar-mengajar di sekolah. Sebab nilai yang diperoleh
siswa dengan hasil menyontek bukanlah nilai yang sesungguhnya yang
menunjukan tingkat kemampuan dan pemahaman siswa itu sendiri. Secara psikologispun, perilaku nyontek memiliki dampak yang tidak baik, sebab perilaku
menyontek dapat mendidik siswa untuk berbohong demi mendapatkan sesuatu yang nantinya akan menjadi kebiasaan dan menjadikan pribadi pembohong.
Padahal seharusnya sekolah adalah tempat untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik bukan tempat untuk belajar berbohong atau berbuat curang.
Secara keseluruhan bila melihat dari kenyataan yang terjadi, perilaku menyontek cheating merupakan masalah serius dan penting dalam dunia
pendidikan. Akan tetapi sepertinya masalah ini kurang mendapatkan perhatian khusus, meskipun beberapa penelitian mengenai perilaku menyontek kerap
dilakukan. Oleh karena itu sebaiknya semua pihak dalam dunia pendidikan sepakat untuk mengatasi masalah menyontek dan tidak hanya terpaku oleh nilai
semata akan tetapi berusaha untuk dapat mencapai prestasi akademis yang optimal dengan memahami materi yang diberikan.
Dengan semakin maraknya perilaku menyontek cheating dalam kalangan siswa maka perlunya diantisipasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
perilaku menyontek cheating. Salah satu faktor yang diduga dapat meningkatkan dan menurunkan perilaku menyontek pada kalangan remaja Siswa SMP adalah
keyakinan dalam diri siswa akan kemampuannya sendiri. Keyakinan akan kemampuan diri ini dikenal dengan istilah self-efficacy.
Self-efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan atau mengatasi
hambatan Bandura dalam Baron Byrne, 2003. Evaluasi ini dapat bervariasi
tergantung pada situasi Cervone dalam Baron Byrne, 2003. Oleh karena itu, seorang siswa yang memiliki keyakinan diri yang baik akan mampu menampilkan
kemampuan terbaiknya dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan disekolah dan mampu mengatasi hambatan demi tercapainya suatu tujuan dengan
apa yang dimilikinya. Self-efficacy merupakan bagian dari psikologi positif. Self-efficacy yang
tinggi sangat baik apabila dimiliki oleh setiap individu terutama siswa yang akan atau sedang menghadapi ujian, sebab self-fficacy merupakan persepsi atau
keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya sendiri. Selain itu menurut Bandura 1994, self-efficacy menentukan bagaimana seseorang merasa, berpikir,
memotivasi diri sendiri dan berperilaku. Jadi sudah jelas sekali kalau self-efficacy ini sangat penting untuk dimiliki oleh siswa. Sebab dengan adanya keyakinan
pada kemampuan diri tersebut akan ikut mempengaruhi kinerja siswa dalam mencapai keberhasilan, sehingga self efficacy pada siswa dalam mengerjakan
ujian sangat diperlukan. Menurut Bandura 1994, Self-efficacy berkaitan dengan keyakinan
seseorang akan kemampuan yang dimilikinya untuk menjalankan kontrol atau fungsi mereka sendiri lebih dari peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Keyakinan dalam keberhasilan mempengaruhi pilihan hidup seseorang, motivasi dan ketahanan terhadap kesulitan baik itu stress atau depresi.
Seorang siswa yang memiliki self-efficacy yang baik dalam menghadapi ujian akan memiliki pengharapan akan nilai yang bagus dan hasil yang
memuaskan dengan mempersiapkan diri sebelum dilakukannya ujian. Sebaliknya,
siswa yang memiliki self-efficacy yang rendah pada saat menghadapi ujian akan merasakan perasaan yang cemas, menunjukkan sikap yang tidak tenang karena
tidak mampu untuk menyelesaikan soal-soal ujian, sehingga siswa tersebut akan merasa putus asa dalam menghadapi rintangan saat ujian dilaksanakan dan
akhirnya memutuskan untuk menyontek sebagai alternatif terakhir. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Clara
Maradina 2008 yang dari penelitiannya menghasilkan: bahwa adanya hubungan negatif yang signifikan antara self-efficacy dalam menghadapi ujian dengan
kecenderungan menyontek pada mahasiswa semester akhir Fakultas Psikologi Ubaya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi self-efficacy maka semakin
rendah kecenderungan menyontek dan begitu juga sebaliknya semakin rendah self-efficacy maka semakin tinggi kecenderungan untuk menyontek.
Selain self-efficacy faktor yang diduga dapat meningkatkan perilaku menyontek adalah faktor konformitas. Sebab seringkali kita mendengar tentang
solidaritas remaja yang kadang kala disalahartikan. Dengan beranggapan bahwa sikap solider itu adalah bagaimana kita membantu teman, baik itu dalam hal
positif maupun negatif, baik dengan rasa senang hati atau keterpaksaan karena takut dibilang tidak solider. Melihat fenomena ini kita juga sering melihat para
siswa di sekolah misalnya pada saat ujian berlangsung mereka membantu temannya dengan cara memberikan jawaban dengan alasan bahwa itu merupakan
sikap solider. Menurut Sujana dalam Nadhirah, 2008, perilaku menyontek tidak lepas
dari pengaruh adanya pengakuan atau persetujuan terhadap tindakan menyontek
dan contoh tindakan menyontek yang dilakukan oleh teman sebaya dalam satu kelompok atau teman sekelas. Jadi pengaruh kelompok sebaya akan sangat besar
dalam pemberian norma tingkahlaku yang akan dianut oleh individu, dimana salah satu tingkahlaku tersebut adalah perilaku menyontek.
Perilaku mengikuti orang lain yang dimaksud disini adalah perilaku konformitas. Biasanya perilaku konformitas ini terjadi karena mengikuti orang
lain yang ada dalam lingkungan individu berada, baik itu dengan terpaksa maupun dengan sukarela.
Istilah konformitas pertama kali dipublikasikan oleh seorang ahli psikologi sosial Solomon Asch tahun 1951, 1955. Eksperimen Asch ini menunjukan bahwa
orang cenderung melakukan konformitas, mengikuti penilaian orang lain, ditengah tekanan kelompok yang mereka rasakan Sarwono Meinarno, 2009.
Sedangkan dalam Wade 2007 setiap orang pasti akan melakukan konformitas dalam situasi tertentu dan untuk alasan yang sama dengan yang lain. Ada orang
yang melakukannya karena mereka mengidentifikasikan diri mereka dengan kelompok dan anggota kelompok, serta ingin tampil serupa dengan mereka, sebab
teman-teman menggunakan pengaruh sosial satu sama lain. Dalam kamus lengkap Psikologi J.P. Chaplin 2008 konformitas diartikan
sebagai kecendrungan untuk memperbolehkan satu tingkah laku seseorang dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah berlaku. Selain itu disebutkan juga
kalau konformitas merupakan ciri pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya.
Sedangkan dalam Wikipedia istilah konformitas diartikan sebagai proses dimana seorang individu bersikap, meyakini, dan berperilaku yang dikondisikan
oleh sesuatu untuk menjadi apa yang orang lain bisa lihat. Dilain pihak seseorang menyesuaikan keinginannya sendiri untuk mencapai rasa aman dalam
kelompoknya yang biasanya terdapat kesamaan dalam hal usia, budaya, agama, bahkan status pendidikan. Akan tetapi konformitas ini sering dikaitkan dengan
remaja dan budaya kaum muda, karena remaja sangat terikat dengan kelompok teman sebaya terutama di lingkungan sekolah http:translate.google.co.id.
http:en.wikipedia.orgConformity. Dari fenomena yang biasa terjadi, konformitas pada remaja lebih banyak
memiliki efek yang buruk, padahal tidak semua konformitas memiliki efek buruk, karena baik atau buruk tergantung pada situasi, kondisi dan tentunya pada
individu itu sendiri. Akan tetapi yang sering terjadi pada remaja adalah hal-hal yang negatif Santrock, 2002.
Konformitas dapat berperan secara positif atau negatif pada seorang remaja, yang dimaksud peran negatif disini adalah perilaku menyontek
cheating
. Seperti yang terjadi baru-baru ini di SDN 2 Gadel, Surabaya, adanya fenomena
konformitas menyontek massal saat Ujian Nasional 2011, dimana seorang murid bernama Alifah Ahmad Maulana Aam diminta oleh pihak sekolah “memadu”
teman-temannya menggarap soal ujian, karena takut kepada guru akhirnya Aam memberikan hasil jawabannya kepada teman-temannya, dan hasilnya baik Riadi,
2011. Sedangkan konformitas yang berperan secara positif adalah bagaimana
siswa mempersiapkan diri dengan belajar bersama teman-temannya untuk menghadapi ujian sekolah.
Biasanya pada perilaku konformitas seseorang mengikuti perilaku kelompoknya meskipun ia berbeda pendapat dengan kelompoknya Khrisnaresa,
2009. Semakin tinggi konformitas terhadap kelompok sebaya, maka kecenderungan perilaku menyontek pun akan semakin tinggi. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nadhirah 2008 yang dari penelitiannya menghasilkan kalau adanya hubungan yang positif dan signifikan antara
konformitas kelompok dan perilaku menyontek pada mahasiswa IAIN “SMH” Banten Fakultas Tarbiyah. semakin tinggi konformitas terhadap kelompok sebaya,
maka makin tinggi pula kecenderungan menyontek. Selain self-efficacy dan konformitas kecendrungan menyontek siswa juga
dapat dikaitakan oleh goal orientation. Sebab ketika siswa menyontek, siswa tersebut memiliki tujuan yang ingin dicapainya dan tentunya tujuan dari setiap
siswa yang menyontek berbeda-beda. Akan tetapi tujuan tersebut sangat terkait dengan pencapain prestasi di kelas. Ini berarti perilaku menyontek
cheating
yang terjadi pada siswa dapat dikaitkan dengan bagaimana siswa mengorientasikan
tujuannya. Beragam usaha yang dilakukan siswa untuk meraih prestasi dalam
kegaiatan akademis terkait dengan suatu orientasi tujuan itu sendiri dalam mencapai tujuan yang diharapkannya. Orientasi tujuan atau biasa disebut dengan
istilah goal orientation.
Wikipedia mengartikan goal orientation GO adalah tujuan. Disini GO sebagai cara untuk mengejar dan mencapaian tujuan dalam konteks prestasi.
Selain itu GO merupakan motivasi internal dalam diri siswa dalam kompetensi mengejar prestasi akademik disekolah http:en.wikipedia.orgwikiGoal-oriented.
Goal atau tujuan adalah sesuatu yang diusahakan oleh seseorang untuk dicapai, dan sesuatu itu berada diluar diri individu Locke latham, 1990 dalam
Pintrich Schunk, 1996. Sedagkan goal orientation merupakan pola keyakinan yang mengarahkan pada cara yang berbeda dalam pendekatan, penggunaan dan
respon terhadap achievement situation Ames, 1992, dalam Pintrich Schunk, 1996. Goal orientation merefleksikan standar individu dalam mencapai
keberhasilan. Sedangkan dalam kamus lengkap Psikologi J.P. Chaplin 2008 goal
orientation diartikan sebagai kondisi dituntun menuju kearah sasaran. Dalam kegiatan belajar keluar dari jalan yang ruwet simpang-siur, merupakan upaya atau
jalan tempuh yang mengarah pada sasaran, baik merupakan jalan buntu atau menjadi bagian dari jalan yang benar.
Berkaitan dengan hal di atas, maka dapat diketahui bahwa seorang siswa yang memiliki tujuan dalam proses belajar, maka siswa tersebut akan menetapkan
tujuan sebagai harapan, hal ini dapat dikatakan mengikuti ujian dan mendapatkan kelulusan dengan nilai yang baik merupakan harapan yang harus dicapai. Maka
untuk memantapkan tujuan siswa yaitu mendapatkan keberhasilan saat ujian dan meningkatkan prestasi, siswa akan mempersiapkan dirinya dengan banyak belajar
dan meningkatkan waktu untuk membaca berbagai literatur yang mendukung materi pelajaran Maradina, 2008.
Secara umum ada dua jenis orientasi tujuan dalam kegiatan akademis, yaitu tujuan untuk mengembangkan kemampuan mastery orientation dan tujuan
untuk menunjukan kemampuan performance orientation. Menurut Pintrich dan Schunk 1996, siswa yang berorientasi pada mastery orientation akan
memfokuskan tujuannya pada pengembangan kemampuan, dan berusaha untuk memahami setiap tugas yang diberikan oleh para guru, dan selalu meningkatkan
kompetensi diri. Sebaliknya, siswa yang berorientasi pada performance orientation lebih memfokuskan pada bagaimana penilaian orang lain terhadap
kemampuan yang dimiliki oleh para siswa. Bila melihat kedua jenis orientasi tujuan, performance orientation lebih
mengarah pada pola perilaku maladaptip dari pada mastery goals. Oleh karena itu siswa yang berorientasi pada performance orientation cenderung menggambarkan
siswa yang melakukan menyontek, sedangkan siswa yang berorientasi pada mastery orientation cenderung menghindari perilaku menyontek
cheating
dalam mencapai tujuan pembelajarannya. Oleh karena itu tidak setiap siswa yang
berorientasi pada performance orientation dia akan selalu menyontek dan siswa yang berorientasi pada mastery orientation tidak akan menyontek.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh setya 2005 yang menghasilkan kalau orientasi tujuan siswa dan struktur tujuan kelas secara
bersama-sama memberikan sumbangan pada perilaku menyontek siswa SMP dalam pelajaran Matematika. Hal ini berarti orientasi tujuan siswa memiliki peran
adanya kecendrungan menyontek siswa SMP dalam pelajaran Matematika. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa orientasi tujuan dapat mempengaruhi
seseorang untuk menyontek atau tidak dalam mencapai tujuan yang diharapkannya.
Dari pernyataan di atas sudah jelas kalau Goal orientation dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi hambatan untuk
mencapai tujuan sesuai dengan apa yang diharapkan. Baik itu hambatan dalam pendidikan dan ujian ataupun hambatan dalam menyesuaikan diri dengan
perubahan, seperti halnya siswa SMPMTs yang harus menyesuaikan diri dari kehidupan Sekolah Dasar di masa anak-anak menuju masa remaja awal di Sekolah
Menengah Pertama. Oleh karena itu, sebaiknya siswa dalam menghadapi ujian menganggap tugas mereka sebagai tantangan, bukan sebagai ancaman. Sebab
ketika siswa memandang tugas sebagai tantangan, bukan sebagai ancaman, mereka tidak akan merasa takut dalam menghadapi kegagalan. Akan tetapi malah
termotivasi untuk meningkatkan prestasi belajar dengan hasil yang maksimal. Selain variabel independen di atas, penelitian ini juga menggunakan
variabel demografis yang terdiri dari jenis kelamin dan tingkatan kelas. Variabel demografis ini digunakan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang
mengungkapkan mengenai jenis kelamin dan tingkatan kelas dalam hal menyontek, seperti penelitian yang dilakukan oleh Calabrese dan Cochran 1990
dalam Anderman, Griesinger Westerfield, 1998 yang mengemukakan bahwa di Sekolah Negeri atau Swasta, perilaku menyontek cheating lebih umum
dilakukan oleh laki-laki. Dalam penelitian yang dilakukan pada kalangan
mahasiswapun menyatakan hal yang sama, bahwa laki-laki lebih sering menyontek daripada perempuan. Selain itu laki-laki juga mengatakan bahwa
mereka lebih banyak menyontek pada saat ulangan dengan menggunakan berbagai metode menyontek. Di sisi lain perempuan menyetujui kalau cheating lebih
banyak dilakukan oleh laki-laki, sebab perempuan akan merasa bersalah jika mereka menyontek Baird, 1980 dalam Andermana Midgley, 2004.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Newstead et al. 1996 dalam Anderman, Griesinger Westerfield, 1998 mengungkapkan bahwa di
kalangan mahasiswa, laki-laki lebih banyak menyontek dari pada perempuan, selain itu dalam penelitian itu pula diungkapkan kalau mahasiswa yang lebih
muda atau semester bawah lebih banyak menyontek dari pada murid yang tua atau semester atas. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh McCabe,
Trevino dan Butterfield 2001 menunjukkan bahwa mahasiswa yang lebih muda cenderung untuk menyontek dari mahasiswa yang lebih tua. McCabe dan Trevino
mengemukakan bahwa pada kesatu dan kedua tahun pertama mahasiswa merasa berat dengan program fakultas, dan tidak ingin mengulang kembali mata kuliah
yang telah dipelajari, oleh karena itulah mahasiswa semester bawah lebih memilih untuk menyontek. Sebaliknya, pada tahun katiga dan keempat perkuliahan,
mahasiswa tampaknya lebih antusias akan program fakultas karena sudah terbiasa
dengan program tersebut.
Berdasarkan asumsi penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai variabel demografis, peneliti ingin mengetahui apakan benar perilaku menyontek
itu lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dari pada perempuan ataukah berbanding
terbalik dengan penelitian sebelumnya. Selain itu apakah dalam jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama SMPMTs perilaku menyontek lebih
banyak dilakukan oleh kelas bawah ataukah berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya.
Adapun dalam penelitian ini, fokusnya adalah para siswa pada jenjang Sekolah Menengah Pertama SMP. Sebab siswa SMPMTs merupakan usia
peralihan dari usia anak-anak menuju usia remaja awal, selain itu merekapun mengalami masa peralihan dari Sekolah Dasar ke jenjang yang lebih tinggi yakni
Sekolah Menengah Pertama. Pada masa ini siswa perlu menyesuaikan diri dengan konteks sosial yang berbeda dengan sebelumnya dan proses pencapaian
prestasipun berbeda degan sekolah dasar. Oleh karena itu perlunya kesiapan dalam diri siswa dalam menghadapi proses perubahan yang terjadi, sebab apabila
siswa kesulitan dalam menghadapi perubahan ini maka mereka akan berusaha mencari jalan keluar yang belum tentu benar. Dalam kondisi tersebut perilaku
menyontek mungkin akan terjadi karena dipandang sebagai jalan keluar termudah agar mereka tetap dapat berprestasi di sekolah.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian longitudinal Anderman dalam Murdock Anderman, 2006 menunjukkan bahwa menyontek sering dilakukan
siswa Sekolah Menengah Pertama SMP dikarenakan adanya perubahan keadaan lingkungan belajar yang dialami siswa, yaitu siswa mengalami masa transisi dari
Sekolah Dasar ke Sekolah Menengah Pertama, yang mana perubahan struktur kelas yang kecil menjadi struktur kelas yang lebih besar, sehingga lingkungan
sekolah menjadi lebih kompetitif.
Selain itu karena siswa SMPMTs, termasuk siswa MTs. Al-Hidayah Bekasi adalah termasuk pada masa remaja awal yang mana masa ini merupakan
masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, maka pada masa ini seseorang banyak sekali mengalami perubahan dalam dirinya, baik itu pertumbuhan dan
perkembangan fisik, pertumbuhan dan kematangan seks serta perkembangan sosial. Oleh karena itu, remaja sangat dituntut untuk bisa memiliki rasa keyakinan
akan kemampuan diri dalam menghadapi ujian dan tidak mudah terpengaruh dalam perilaku konformitas serta dapat menentukan tujuan mereka dalam bidang
akademis untuk mencapai prestasi sesuai dengan apa yang diharapkan tanpa menyontek.
Berdasarkan penjelasan di atas, ada indikasi bahwa sebenarnya self- efficacy, konformitas dan goal orientation serta variabel demografis dapat
menjelaskan terjadinya perilaku menyontek di sekolah. Berdasarkan pada pemikiran tersebut penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh keempat
faktor self-efficacy, konformitas dan goal orientation serta variabel demografis terhadap perilaku menyontek siswa MTs. Al-Hidayah Bekasi.
Alasan mendasar penelitian ini dilakukan di MTs. Al-Hidayah Bekasi karena sekolah ini memiliki siswa cukup banyak dalam satu kelas, yang
memungkinkan siswa untuk melakukan konformitas dalam menyontek.
1.2. Pembatasan dan Rumusan Masalah 2.1.