Hukuman Aborsi Provokatus Criminalis Bagi Pelakunya Menurut Hukum Islam

Ahli hukum melihatnya dari sisi tindakan aborsinya, yang berarti membunuh calon makhluk hidup baru yang termasuk dalam unsur kriminal atau kejahatan. Beberapa pasal yang mengatur abortus provokatus dalam KUHP yaitu Pasal 299, 341, 342, 343, 346, 347, 348, 349 dan 535. Namun demikian Rancangan Undang- Undang RUU KUHP yang dipersiapkan untuk mengubah KUHP yang berlaku saat ini, nampaknya tidak memberikan perubahan ke arah perbaikan malah sebaliknya. Karena dalam Rancangan Undang-Undang RUU KUHP ini pengaturan aborsi tidak disamakan dengan pembunuhan. Oleh karena itu, pengaturan aborsi seharusnya tidak diatur dalam KUHP melainkan diatur dalam Undang-Undang Kesehatan.

B. Hukuman Aborsi Provokatus Criminalis Bagi Pelakunya Menurut Hukum Islam

Praktik-praktik aborsi yang terjadi dipenjelasan bab sebelumnya adalah praktik yang tidak boleh dilakukan walau dengan alasan apapun. Tak ada alasan miskin dan lapar atau yang lainnya yang membolehkan lelaki atau perempuan membunuh anak-anak. Orang tua yang mengugurkan kandungannya serta para dokter yang melakukan usaha tersebut kesemuanya berdosa dengan kejahatan ini. Secara garis besarnya pun dasar hukum dalam kasus ini pun juga sudah dijelaskan di bab II. Menurut fiqih klasik pembunuhan janin disini masuk dalam kategori syibhul ‘amdi pembunuhan sengaja dan terkadang pembunuhan karena tak sengaja karena pelaku sengaja menghilangkan nyawa anak Adam yang hidup yang bisa mengakibatkan 70 pelakunya dihukum qishash kecuali bila tidak sengaja dengan tahapan proses medis. 89 Jika kehamilan itu sudah masuk masa ditiupkannya ruh pada janin dan mati oleh sebab aborsi, maka hal itu dianggap pembunuhan nyawa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh secara tidak haq, sehingga ulama Islam menyimpulkan bahwa semua kasus serangan terhadap janin dikenakan al-ghurrah. Tetapi, ada perbedaan pendapat dalam perlunya memenuhi kewajiban ini. Imam Malik mengatakan bahwa ghurrah dibayar walau janin dalam keadaan belum terbentuk. Imam Abu Hanifah dan Al-Syafi’i mengatakan bahwa al-ghurrah tetap harus dibayar karena yang keluar dari tubuh sang ibu merupakan awal dari penciptaan manusia. Imam Hanbali mengatakan bahwa tidak perlu membayar al- ghurrah apabila tindakan untuk mengakhiri kehamilannya dilakukan sebelum 40 hari. Untuk nilai al-ghurrah sendiri sebanding dengan 120 seperduapuluh dari diyat atau kompensasi lengkap. Yang dapat dibayar dengan cara membebaskan seorang budak laki-laki atau perempuan yang terbaik kualitasnya atau dalam bentuk 100 domba atau dalam bentuk uang tunai sebesar 500 dirham atau menurut Sayyid Sabiq menambahkan dapat juga dilakukan dalam bentuk 5 ekor unta. Yang bertanggung jawab dalam membayar al-ghurrah ini menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’i yaitu keluarga dari pihak ayah wanita hamil jika wanita ini yang bertanggung jawab atas serangan pada janinnya atau oleh keluarga lain yang secara 89 Abdur Rahman I. Doi., Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, Cet. I, h. 20-21. 71 tak langsung, menyebabkan wanita hamil mengalami keguguran. Berbeda dengan Mazhab Hanbali bahwa bila janin meninggal bersama ibunya atas kehendaknya sendiri melakukan pengguguran, maka kompensasi penuh terhadap ibunya dan al- ghurrah adalah tanggung jawab keluarga sang ibu hamil. Tetapi, apabila hanya janin yang meninggal maka yang bertanggung jawab dalam membayar al-ghurrah adalah sang ibu hamil. Sedangkan Mazhab Maliki bahwa yang bertanggung jawab itu si penyerang baik sang ibu atau orang lain. Sedangkan untuk sang dokter, atau ahli bedah bahkan dukun pun juga dibebani tanggung jawab untuk setiap kesalahan yang dilakukannya saat melaksanakan tugasnya pendapat Ibnu Rusyd dan ulama Islam lainnya yang menyepakati hal ini. Yang dikenakan diyat atau kompensasi, tetapi diyat ini dibayar oleh keluarga, atau pihak keluarga laki-laki dari dokter dan bukan dari kekayaan dokter, karena kesalahan ini dianggap tidak disengaja. Jadi, bila aborsi dilakukan dokterahli bedah atau dukun setelah bulan keempat setelah peniupan ruh terjadi untuk alasan non-medis dia harus bertanggung jawab membayar sebagian dari diyat kamilah dan diharapkan dia bertobat atas perannya dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut yang dianggap sebagai kaffarah. Tetapi, bila dokter melakukan aborsi untuk alasan non-medis sebelum bulan keempat maka dia harus membayar al- ghurrah sebagai kompensasi. 90 Sedangkan menurut pandangan salah satu wakil Sekretaris Komisi Fatwa 90 Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi Kontrasepsi Dan Mengatasi Kemandulan Isu-Isu Biomedis Dalam Perspektif Islam , Bandung: Mizan, 1997, Cet. I, h. 166-173. 72 MUI Pusat, di Jakarta yaitu Bpk. Drs. H. Sholahuddin al-Aiyub M. Si mengenai hukuman yang diberikan kepada pelaku yang terlibat dalam aborsi ilegal ini diserahkan kepada hukum positif yang mempunyai sistem hukum yang berwenang yang berlaku di Indonesia, aborsipengguguran janin jenis ini, yang menerima hukuman: 91 1. Ibu yang melakukan aborsi, 2. Dokterbidanperawatdukun yang membantu melakukan aborsi dan 3. Orang yang mendukung terlaksananya aborsi.

C. Analisis Undang-Undang Terhadap Aborsi Provokatus Criminalis