BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Jika ditanya tentang agama, yang muncul adalah beragam pandangan mengenai makna, fungsi, dan eksistensi agama dalam masyarakat, karena agama
selalu diterima secara subyektif oleh manusia, yang hakikatnya agama akan didefinisikan sesuai dengan pengalaman dan penghayatan terhadap agama yang
dianutnya. Ahli sosiologi agama J. Milton Yinger, melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek, yang mana suatu masyarakat atau kelompok manusia
berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari kehidupan.
1
Sedangkan menurut mantan Mentri Agama Republik Indonesia Prof. Dr. Mukti Ali, agama didefinisikan sebagai suatu kepercayaan akan adanya Tuhan
Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusaNya untuk kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Ya Rasulullah apakah agama itu”. Rasulullah SAW menjawab,”Agama adalah akhlak yang baik,”
laki-laki tersebut terus bertanya kepada Rasul dari sebelah kanan, kiri, dan
1
Hendropuspito, Sosiologi Agama Jakarta : Penerbit Kanisius, 1984, hal 35
belakang, namun jawaban Rasullullah tetaplah sama “Agama adalah akhlak yang baik”.Al-Targib Wa Al-Tahrib 3:405.
2
Begitu beragam pandangan yang bergulir mengenai definisi dan fungsi agama dalam kehidupan, yang akan selalu menjadi bahan pembicaraan bahkan tak
jarang menjadi bahan perdebatan di lingkungan kehidupan masyarakat beragama. Jika kita amati agama secara struktur dan fungsinya, agama berperan melayani
kebutuhan-kebutuhan manusia untuk mencari suatu kebenaran serta mengatasi berbagai hal buruk dalam kehidupan. Agama dapat kita lihat dalam dua kategori,
salah satunya adalah agama sebagai suatu keimanan atau keyakinan, dimana manusia percaya terhadap kehidupan kekal dikemudian hari dan untuk itulah maka
manusia akan mengabdikan dirinya untuk kepercayaan yang dianutnya tersebut. Sedangkan apabila kita melihat agama dari terminologi sosial, agama merupakan
sebuah tatanan-tatanan nilai yang memberikan pengaruh bagi perilaku manusia. Agama dapat menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam menempuh
kehidupan, dengan harapan terciptanya keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan.
3
Sesuatu yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa kesadaran beragama manusia akan muncul mana kala manusia ditimpa berbagai macam masalah, dan dengan
itulah maka manusia mulai menyadari bahwa ia adalah makhluk yang lemah yang
2
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Bandung : PT Mizan Pustaka, 2003, hal 14-20.
3
M.Imam Aziz dan M.Jadul Maula, Agama Dan Demokrasi Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal 20-21.
tidak dapat sepenuhnya menyandarkan masalah dan kesulitannya hanya kepada manusia yang sama-sama memiliki keterbatasan, hingga timbul kesadaran bahwa
yang dapat membantunya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Namun, jika kita melihat realita yang ada, eksistensi agama perlahan-lahan
mulai dipinggirkan, dan mengalami penciutan yang cukup signifikan. Kondisi masyarakat yang mulai menyerap pengaruh dan pola pikir modernisasi dan
globalisasi, perlahan-lahan merubah sudut pandang masyarakat terhadap makna dan fungsi agama tersebut.
4
Posisi agama saat ini bisa dikatakan telah terjatuh dan hanya sekedar bagian pelengkap dari kehidupan manusia. Masyarakat saat ini lebih
disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang pada dasarnya telah keluar dari batas tegas dan aturan-aturan agama.
Kualitas moral masyarakat pun cenderung dalam kondisi yang mengenyampingkan suara hati atau naluri kemanusiaan, sehingga sulit membangun
masyarakat yang berjalan pada koridor kerukunan, kedamaian, dan kemaslahatan bersama. Dalam buku “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emotional Dan
Spiritual” karya Ary Ginanjar Agustian dikatakan bahwa, manusia akan
menghadapi sebuah bahaya besar bukan berarti ledakan bom atom atau peperangan
4
Soejatmoko dkk, Agama Dan Tantangan Zaman Jakarta : LP3ES,1985, hal 11.
dahsyat melainkan perubahan fitrah, kebobrokan moral dan dikesampingkannya nilai-nilai agama.
5
Keruntuhan sendi-sendi kehidupan sosial dan moral secara besar-besaran dimasa sekarang ini, menjadikan kita amat kesulitan untuk menjumpai seseorang
yang sungguh-sungguh menapaki jalan yang benar. Nyaris saat ini manusia mulai berlomba-lomba antar sesama untuk mengejar hal-hal yang bersifat duniawi atau
materialis. Kehidupan dan kesenangan material jauh lebih diutamakan ketimbang pencarian susah payah tentang nilai-nilai moral dan agama.
6
Agama yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman hidup dan aturan- aturan perilaku manusia, saat ini oleh sebagian masyarakat hanya diartikan dan
dipahami sebagai ajaran-ajaran yang berbentuk ritual dan simbol semata. Agama yang dahulu menjadi landasan hidup perlahan menghilang dan tergantikan oleh
tuhan-tuhan baru seperti jabatan, harta, dan kebahagian-kebahagian duniawi lainnya.
Untuk itu maka langkah awal yang harus diambil adalah, bagaimana membangun kesadaran beragama dalam masyarakat, khususnya membangun
dimensi keyakinan atau kepercayaan, bahwa ada sang Maha Adikodrati dan kehidupan setelah kehidupan di dunia. Karena dengan membangun keyakinanlah
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Membangun Kecerdasan Emotional Dan Spiritual Jakarta:Penerbit Arga, 2001, hal xIiii.
6
Mujtaba Lari, Budaya Yang Terkoyak Diantara Islam Dan Barat Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2001 , hal 6.
maka agama tidak hanya dijadikan pelarian semata saat manusia berada pada posisi yang sulit dan menghadapi masalah. Untuk menjalankan syariat suatu agama maka
haruslah dimulai dengan keyakinan atau keimanan terlebih dahulu, karena hakikatnya manusia pasti memiliki naluri instink yakni suatu saat akan
menanyakan apakah keyakinan yang dianutnya saat ini benar atau salah, dan dengan itulah ia akan mencari suatu kebenaran agar keyakinannyapun terjawab.
7
Kehidupan yang begitu kompleks dan tidak luput dari permasalahan, dimana pertikaian terjadi dimana-mana, kemaksiatan merajalela, menjadikan manusia
perlahan mulai menyadari bahwa segala kebahagian duniawi ternyata tidak menjanjikan dan hanya memberikan kebahagiaan yang bersifat sementara.
Jika semula masyarakat lebih mengandalkan kecerdasan intelektual, dan menjadikan tekhnologi dan ilmu pengetahuan sebagai tonggak awal kemajuan dan
kebahagian manusia, maka perlahan manusia mulai beralih kepada wacana spiritual. Ini tidak hanya terjadi pada masyarakat timur saja, tetapi pada masyarakat
modern lainnya seperti beberapa kawasan di Eropa pun mulai merasakan hal yang sama. Mereka mulai jenuh terhadap kehidupan yang hanya diorientasikan kepada
sisi duniawi semata. Pasca revolusi industri masyarakat barat memang mengalami kemajuan yang
sangat cepat dari segi tekhnologi dan ilmu pengetahuan, tapi disisi lain kebangkitan
Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama, hal 44.
barat tersebut perlahan telah kosong dan terlepas dari dunia spiritual dan ajaran- ajaran agama. Masyarakat barat mulai merasakan banyak kegagalan-kegagalan
terjadi yang merupakan dampak dari hegemoni barat. Lalu secara spontan, masyarakat barat mulai beralih kepada dunia spiritual. Terbukti bahwa pada
akhirnya manusia mulai mencari jalan untuk mengetahui jati diri mereka dan menyadari bahwa banyak terjadi krisis dalam kehidupan manusia.
8
Ini merupakan suatu hal yang cukup menarik, karena pada dasarnya manusia pasti akan menyadari
bahwa ada kekuatan-kekuatan diluar dirinya, kesuksesan duniawi tersebut dapat direalisasikan pada suatu hal yang lebih menjanjikan setelah kehidupan di dunia.
Untuk membangun suatu masyarakat yang seimbang antara kepentingan duniawi dan rohani, maka yang diperlukan tidak hanya spiritualitas yang tinggi
saja, tetapi dibutuhkan keseimbangan emotional dan intelektual yang baik pula. Sinergi dari ketiga point inilah yang akan membentuk suatu masyarakat yang dapat
menyeimbangkan antara kepentingan materialistik dan nonmaterialistik. Rasulullah SAW dalam setiap khutbahnya tidak lupa senatiasa menyampaikan tiga keutamaan
yang harus dijalankan oleh umat manusia dimuka bumi ini, yang pertama yaitu mengutamakan Allah SWT diatas segala-galanya, yang kedua adalah
mengutamakan kasih sayang sesama manusia, dan yang ketiga adalah mengutamakan ilmu pengetahuan dengan segenap cabangnya.
8
Ruslani, Wacana Spiritualitas Timur dan Barat Jakarta: Qalam, 2000, hal ,6-8.
Dari realita pada masyarakat inilah, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai dimensi keyakinan beragama yang merupakan pondasi awal
dalam memaknai agama, yang lebih dispesifikasikan kepada lembaga Training Emotional Spiritual Quotient, sejauh mana dampak yang dirasakan alumni setelah
mengikuti training, khususnya terhadap peningkatan keyakinan beragama. Memang suatu hal yang cukup sulit untuk mengukur keyakinan agama seseorang. Namun
peneliti optimis dengan didukung teori-teori yang ada mengenai keyakinan agama, dan dilengkapi dengan hasil observasi yang maksimal, maka keyakinan agama
seseorang dapat dilihat dalam kehidupan kesehariaanya. Disaat itulah terlihat wujud nyata manifestasi dari keyakinan agama. Peneliti juga mengadakan perbandingan
antara hasil wawancara dan hasil observasi. Data tersebut juga diperkuat dengan melihat latar belakang pendidikan agama yang diterapkan dalam lingkungan
keluarga maupun lingkungan pergaulan keseharian dari para responden. Training ESQ dipilih menjadi sasaran utama dalam penelitian ini, karena
training ESQ adalah salah satu pelopor sekaligus icon baru dalam dunia training, khususnya training yang membangun semangat untuk meraih kecerdasan emotional
dan spiritual. ESQ merupakan suatu gebrakan baru, yang memiliki pandangan kedepan yang sangat peduli terhadap kualitas masyarakat, tidak hanya menjunjung
tinggi nilai-nilai akademisi tetapi juga membangun nilai-nilai moral dan spiritual. Untuk itu dalam penulisan skiripsi ini, peneliti akan mengangkat judul yaitu
“Training Emotional Spiritual Quotient dan Peningkatan Keyakinan
Beragama”Studi kasus: Alumni Training Emotional Spiritual Quotient Yang Tergabung Dalam Forum Silaturahmi Mahasiswa Fosma Wilayah Bekasi,
dan masalah utama adalah meneliti bagaimana dampak training Emotional Spiritual Quotient terhadap peningkatan keyakinan beragama.
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH