akan ditemui dalam mekanisme pasar. Jadi pilihan publik merupakan variabel utama dalam kebijakan publik.
1.7.2.6. Pendekatan Peran Serta Warga Negara
Menurut Winarno, pendekatan peran serta warga negara dalam proses kebijakan publik berpijak pada pemikiran demokrasi klasik Jhon Locke dan Jhon
Stuart Mill yang menekankan pengaruh yang baik dari warga Negara dalam perkembangan kebijakan publik
29
Pendekatan peran serta warga negara didasarkan pada harapan yang tinggi tentang kualitas warga Negara dan keinginan mereka untuk terlibat dalam
kehidupan publik. Pendekatan ini membutuhkan warga negara yang memiliki struktur-struktur kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi
demokrasi. Setiap warga negara memiliki kebebasan yang cukup untuk berperan serta dalam masalah-masalah politik publik, mempunyai sikap kritis yang sehat
dan harga diri yang cukup dan yang lebih penting adalah perasaan mampu dari warga negara. Di atas segalanya warga negara harus tertarik dalam politik dan
terlibat di dalamnya secara bermakna . Melalui keikutsertaannya dalam masalah-
masalah sosial, warga negara akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat, mengembangkan rasa
tanggung jawab yang penuh, dan menjangkau perspektif mereka di luar batas- batas kehidupan pribadi.
30
29
Winarno, op., cit., hal. 21.
. Bebearapa penelitian terdahulu tentang pendekatan ini mengungkapkan bahwa para pembuat kebijakan lebih responsif
30
Louis W. King, An Introduction to Public Policy, Engelwood Cliffs: Prentice Hall, 1986, dalam Winarno, op., cit., hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
terhadap warga negara yang berpartisipasi ketimbang warga negara yang tidak partisipastif.
1.7.2.7. Pendekatan Pluralisme
Sebagai suatu pendekatan dalam ilmu poltik, pendekatan pluralisme dikembangkan dengan berpijak pada pendekatan institusionalisme dan pendekatan
behavioralisme. Pendekatan pluralisme menekankan peran partai sebagai mata rantai yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah, dan melahirkan hubungan
yang dinamis di antara keduanya. Keharmonisan hubungan antara rakyat dan pemerintah terwujud dalam keterlibatan politik dalam jumlah atau dalam
efektivitas yang pada akhirnya akan membawa perubahan yang cukup besar dalam proses pembuatan kebijakan publik. Pluralisme menekankan segi yang
aktif, pengetahuan politik yang cukup dan adaptif melalui sarana peran serta umum pada berbagai tingkatan politik dan dalam keragaman lembaga-lembaga
politik. Penggabungan antara pendekatan kelembagaan dan pendekatan tingkah laku
telah melahirkan tinjauan tentang proses yang terjadi di dalam struktur. Pendekatan ini kurang memperhatikan bagaimana badan-badan pemerintah, badan
pembuat kebijakan, badan pekerja aparat pemerintah biasa bekerja, ketimbang bagaimana kekuasaan dibagi di antara berbagai macam kelompok, baik swasta
maupun pemerintah. Kelompok-kelompok tersebut bisa saja berupa kelompok kepentingan etnis seperti persatuan suku, agama, dan lain-lain. Dari sudut
pandang pluralisme menurut David E. Apter, politik merupakan proses interaksi
Universitas Sumatera Utara
warga negara untuk mempengaruhi arah maupun substansi kebijakan publik
31
Semakin banyak masyarakat yang berperan serta dalam politik dan semakin beragamnya pola dan cara berperan serta, maka semakin tajam pula persaingan
antar kelompok. Jika tidak ditemukan cara mengkoordinasi dan mengontrol, atau cara mengarahkan persaingan yang demikian, maka sistem politik akan kelebihan
beban, yang nantinya akan menyebabkan ambruknya sistem tersebut. Maka peran serta masyarakatpun menjadi tidak berarti.
. Pendekatan ini melahirkan dua pokok yang menjadi perhatian kaum pluralis itu
sendiri. Yang pertama adalah non-partisan yakni warga negara yang tidak berperan aktif, yang diasingkan atau mengasingkan diri dari proses politik, yang
kedua, boleh dikatakan sebagai paradoks pluralis, yang berkenaan dengan peran serta yang berlimpah. Tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat bisa
mengakibatkan para pembuat kebijakan tidak bisa berbuat banyak, karena pertentangan kebijakan yang hendak dibuat, dengan isu-isu kebijakan yang
ditawarkan kelompok-kelompok masyarakat.
Dalam analisisnya, kaum pluralis memanfaatkan dan mengembangkan dua pokok pemikiran institusional, yaitu “kontrol legislatif terhadap eksekutif”, dan
kedaulatan rakyat. Artinya, bagaimana kekuasaan negara dikendalikan oleh rakyat, dan bagaimana rakyat diwakili sebagai warga negara. Merujuk pada
prinsip ini, kaum pluralis beranggapan bahwa, karena berbagai pelayanan dan kegiatan pemerintah dibiayai oleh warga negara, maka adalah hak warga negara
untuk ikut serta dalam mengelola pemerintahan.
31
David E. Apter, Pengantar Analisa Kebijakan Politik, Jakarta: CV. Rajawali Press, 1988.
Universitas Sumatera Utara
Dalam teori kaum pluralis, kedua prinsip tersebut dikembangkan melampaui batas-batas politik yang formal. Syarat pluralisme adalah pemilih harus mencakup
seluruh warga negarapemilih harus bersifat semesta. Menurut pendekatan ini, tidak boleh ada pembatasan diskriminatif dalam pemberian suara. Sebaliknya,
prinsip kontrol legislatif terhadap eksekutif harus diperluas, tidak hanya sampai tingkat pemerintahan yang terendah kecamatan, kabupatenkota, tetapi juga
harus meliputi seluruh lembaga pemerintahan. Pluralisme masyarakat selanjutnya akan melahirkan pluralisme politik.
Luasnya kesempatan dan beragamnya cara berperan serta dalam politik telah menyambung perantaraan perbedaan yang ada di antara berbagai kelompok yang
ada dalam masyarakat. Cakupan hal ini diperluas melalui sarana pertumbuhan jaringan masyarakat yang berinteraksi, perkumpulan sukarela, kelompok
kepentingan, dan partai-partai politik. Perbedaan antara ruang privat dan publik telah semakin semu. Karena politik semakin kompleks, timbullah masalah
kesopanan, atau hal-hal yang menyangkut kelakuan baik atau buruk. Pengaruh telah menembus jalur-jalur kekuasaan, sehingga kelompok lobby sering kali
berhasil merancang sebuah kebijakan yang sangat menguntungkan usaha atau kegiatan para kliennya pelanggannya. Dalam suatu sistem, di mana informasi
sama dengan kekuasaan, organisasi-organisasi dalam sistem tersebut akan berusaha memobilisasi informasi tersebut. Dalam sistem yang seperti ini, siapa
yang menguasai informasi, dialah yang memperoleh kekuasaan yang istimewa. Pluralisme selanjutnya dari kehendak dan kecenderungan individu dan
kelompok, dan bagaimana kesemua hal itu dimanifestasikan dalam sebuah kebijakan publik. Meskipun pendekatan ini dibangun di atas pendekatan
Universitas Sumatera Utara
behaviraolisme, namun perpektif yang digunakan lebih didominasi oleh tradisi filsafat utilitarianisme. Teori perilaku utility kepentingankeperluan berhubungan
erat dengan bagaimana membentuk koalisi, perilaku pemilih, dan kecenderungan lainnya yang ada dalam masyarakat. Model dasar dalam banyak hal, sama halnya
dengan ilmu ekonomi, ia juga semakin terperosok pada masalah
kuantifikasi.manfaat dan maksimumisasi harus dapat diukur dengan indikator, seperti bagaimana frekuensi kemenangan berdebat koalisi legislatif, sejauh mana
frekuensi pemilih dan dukungan partai. Stabilitasi politik merupakan ukuran pelaksanaan kegiatan pemerintah, yaitu ”kebaikan yang terbesar untuk jumlah
yang terbesal“ dengan menetapkan dan mewujudkan agenda dan program yang menguntungkan.
Kaum pluralis mengarah ke model utility atau model politik psikologis sesuai dengan tinjauan mereka. Pertama membantu mereka menilai strategi
pengambilan kebijakan pemerintah melalui sarana umpan balik. Menurut pendekatan ini, stimulus dan persaingan kelompok akan menghasilkan berbagai
bentuk masukan, sehingga pemerintah bisa membuat kebijakan yang layak. Dengan kata lain, dengan adanya masukan dari berbagai kelompok yang ada
dalam masyarakat, maka pemerintah akan mampu membuat kebijakan yang memberi kepuasan maksimum bagi sebagian besar warga masyarakat.
Dalam menjawab persoalan masalah penelitian yang telah dirumuskan, penulis hanya menggunakan pendekatan instituonalisme. Hal ini disebabkan oleh
konsepsi penelitian yang telah dirumuskan lebih merujuk pada apa yang telah digambarkan oleh pendekatan instituonalisme. dengan kata lain, peneliti
mendefinisikan nilai-nilai politik sebagai wujud dari kesetiaan para anggota
Universitas Sumatera Utara
dewan terhadap garis kebijakan partai, di mana mereka bernaung. Jadi politik dalam hal ini lebih merujuk pada institusi politiknya, bukan pada perilaku.
1.7.3. Nalar dan Etika dalam Penetapan Kebijakan