The Development and Validation of Method Analysis for Vitamin A Determination in Palm Oil by High Performance Liquid Chromatography

(1)

PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE ANALISIS

PENETAPAN KADAR VITAMIN A DALAM MINYAK GORENG

SAWIT SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SLAMET SUKARNO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ”Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A dalam Minyak Goreng Sawit Secara Kromatografi Cair kinerja Tinggi” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, September 2011

Slamet Sukarno F 252070025


(3)

ABSTRACT

SLAMET SUKARNO. The Development and Validation of Method Analysis for Vitamin A Determination in Palm Oil by High Performance Liquid Chromatography. Under Direction of FERI KUSNANDAR and HANIFAH NURYANI LIOE.

The fortification of vitamin A in cooking palm oil is being mandatorily regulated in 2013. To control the implementation this standard, the laboratory capacity to analyze vitamin A is required. The vitamin A analysis must be valid, selective, rapid, easy and practical. The objective of this study was to validate a modified standardized method of vitamin A analysis by a High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

All validation parameters (liniearity, accuracy, precision, selectivity, robustness, LOD, and LOQ) met the requirement. Vitamin A in palm oil matrix could be analyzed by HPLC method by using a mobile phase of acetonitrile:water (80:20) with flux rate of 1,75 mL/min, and ultraviolet detector at 325 nm. This condition used a C-18 column.


(4)

RINGKASAN

SLAMET SUKARNO. Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A dalam Minyak Goreng Sawit secara Kromatografi Cair kinerja Tinggi. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR dan HANIFAH NURYANI LIOE.

Penyakit akibat kurang vitamin A (KVA) merupakan masalah global yang menimpa sebagian besar penduduk di dunia termasuk juga di Indonesia. KVA disebabkan oleh kurangnya vitamin A di dalam jaringan yang dapat menimbulkan gangguan secara subklinis atau klinis. Salah satu kebijakan pemerintah yang ditempuh untuk menanggulangi masalah KVA adalah fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng sawit. Tahun 2013 pemerintah akan mengimplementasikan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib minyak goreng sawit yang difortifikasi dengan vitamin A. Menurut Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) tentang persyaratan mutu minyak goreng sawit, jumlah vitamin A yang harus ditambahkan ke dalam produk tersebut minimal 45 IU/g. Seiring dengan peraturan dan kondisi diatas maka perlu dilakukan pengawasan atau monitoring terhadap kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit, baik pada tingkat industri, distributor dan konsumen. Untuk itu dibutuhkan suatu metode analisis yang valid, selektif, cepat, mudah dan praktis untuk identifikasi dan penetapan kadar vitamin A, khususnya vitamin A dalam minyak goreng sawit.

Metode analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit masih sulit didapat, namun metode analisis vitamin A dalam produk pangan dengan menggunakan peralatan moderen, diantaranya dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) sudah banyak yang dikembangkan oleh peneliti terdahulu. Namun kelemahan dari metode yang ada adalah kerumitan dalam penyiapan sampel (saponifikasi, ekstraksi dan pemekatan atau penguapan pelarut organik yang digunakan). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan metode analisis penetapan kadar vitamin A minyak goreng sawit yang mudah dan praktis, namun memberikan hasil yang valid. Metode analisis yang dikembangkan oleh peneliti ini berbasis kromatografi, tanpa proses saponifikasi, tanpa ekstrasi dan tanpa penguapan pelarut organik.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan kondisi optimum untuk analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit, melakukan validasi metode analisis yang sudah dipilih pada optimasi metode dan melakukan uji coba penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran menggunakan metode yang telah dikembangkan.

Teknik penyiapan sampel dilakukan dengan cara melarutkan sampel meng-gunakan campuran n-pentana dan 2-propanol, ditambahkan larutan butil hidroksi toluena sebagai antioksidan dan tetra-n-butil amonium hidroksida untuk melaku-kan reaksi subsitusi retinil palmitat menjadi retinol, yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi.

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dilakukan dengan menggunakan teknik isokratik menggunakan kolom C18 (Waters Xbridge®, dengan panjang 250 mm, diameter 4,6 mm ukur an partikel 5,0 µ m). Parameter kondisi KCKT yang dioptimasi adalah: komposisi fase gerak metanol 100 % dengan laju alir: 0,6; 0,8;


(5)

1,0 mL/menit; metanol dan air (97,5:2,5; 95:5; 90:10; dan 85:15) dengan laju alir 1,5 mL/menit; asetonitril dan metanol (75:25; 50:50; dan 25:75) dengan laju alir 1,0 mL/menit, asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25) dengan laju alir: 1,5 dan 1,75 mL/menit dan detektor yang digunakan detektor ultraviolet dan detektor fluoresens. Kromatogram yang dihasilkan dievaluasi berdasarkan waktu retensi (Rt), resolusi (Rs), jumlah lempeng teoritis (N) dan faktor ikutan (Tf). Hasil pemilihan kondisi optimum yang memberikan skor tertinggi adalah: komposisi fase gerak asetonitril dan air (80:20), laju alir 1,75 mL/menit menggunakan detektor ultraviolet pada panjang gelombang 325 nm.

Metode ini valid yang ditunjukkan dengan kurva kalibrasi dan linieritas pada rentang konsentrasi 0,4443 IU/mL sampai dengan 13,5233 IU/mL dengan koefesien regresi (r) 0,99997 dan standar deviasi relatif regresi linier (Vxo) 2,54 %; presisi dengan 3 tingkat konsentrasi dengan nilai % RSD antara 1,87 sampai 1,97; akurasi dengan 3 tingkat konsentrasi yang memberikan nilai persen pero-lehan kembali antara 96,84 - 102,39 %; selektivitas dan robustness bila diban-dingkan dengan hasil uji presisi yang memberikan nilai yang tidak berbeda bermakna, batas deteksi (LOD) 1,66 IU/g dan batas kuantisasi (LOQ) 5,89 IU/g.

Hasil analisis terhadap 4 merek sampel minyak goreng sawit yang beredar di pasaran menggunakan metode analisis hasil pengembangan diperoleh kadar vitamin A berturut-turut adalah: 16,75; 28,39; 29,07 dan 66,35 IU/g. Matriks sampel yang terkandung dalam berbagai merek minyak goreng sawit yang beredar di pasaran tidak mengganggu dalam analisis penetapan kadar vitamin A.


(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE ANALISIS

PENETAPAN KADAR VITAMIN A DALAM MINYAK GORENG

SAWIT SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SLAMET SUKARNO

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Pada Program Studi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

Judul Tugas Akhir : Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A dalam Minyak Goreng Sawit secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Nama Mahasiswa : Slamet Sukarno Nomor Pokok : F252070025

Program Studi : Magister Profesi Teknologi Pangan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ferif Kusnandar, M.Sc Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi (Ketua) (Anggota)

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tugas akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Magister Profesional Teknologi Pangan. Tema penelitian ini diangkat dari masalah yang dijumpai oleh peneliti dalam pekerjaan sehari-hari. Tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan di Indonesia mengenai validasi metode analisis untuk pengujian kimia pangan dan bagi pemerintah dalam rangka pengawasan program fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng sawit.

Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi. selaku komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar dalam menyusun tugas akhir ini, mulai dari awal hingga akhir. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Lilis Nuraida, MSc selaku Koordinator Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan yang telah membantu, memberikan dorongan dan kesempatan yang begitu banyak kepada penulis.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen pengajar di Program Studi Teknologi Pangan yang telah mencurahkan pengetahuan kepada penulis selama menjalani kuliah di sekolah pascasarjana Magister Profesi Teknologi Pangan. Tidak lupa terima kasih juga kepada ibu Tika dan ibu Mar yang telah banyak membantu dalam masalah administrasi.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Drs. Siam Subagyo, Apt., MSi selaku Kepala Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di kampus tercinta, IPB.

Tak lupa kepada Dra. Niza Nemara, Apt., MSi selaku Kepala Bidang Pangan, penulis ucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya atas dukungannya selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sejawat di Bidang Pangan Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional terutama kepada ibu Herni, ibu Yuli dan pak Yanto. Terima kasih juga kepada teman-teman yang telah memberikan motivasi kepada penulis. Juga kepada teman-teman MPTP batch 4, terima kasih semua. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada istri, anak, orang tua dan keluarga tercinta atas dukungan dan doanya.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, sehingga penulis lain dapat melanjutkan untuk penyempurnaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2011 Slamet Sukarno


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 1965 sebagai anak kedua dari ayah Musnindar (almarhum) dan Ibu Hartini. Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Indonesia Depok dan mendapatkan gelar sarjana Farmasi pada tahun 1991. Penulis melanjutkan ke program profesi apoteker pada perguruan tinggi yang sama dan menamatkannya pada tahun 1993.

Mulai tahun 1993 penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Sintang Kalimantan Barat sampai dengan tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1996 penulis mutasi kerja ke Balai Pengawas Obat dan Makanan di Pontianak hingga tahun 2003. Sejak tahun 2003 hingga sekarang penulis mutasi kerja ke Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Badan POM RI di Jakarta dan ditempatkan pada Laboratorium Pangan. Berbagai pelatihan, seminar dan tugas-tugas kantor tentang laboratorium kimia pangan dan keamanan pangan telah diikuti oleh penulis selama bekerja di Badan POM RI.


(12)

xi

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 4

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vitamin A ………... 5

2.2 Minyak Goreng Sawit ……... 8

2.3 Fortifikasi Pangan ... 11

2.4 Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A ... 13

2.5 Instrumentasi KCKT ... 18

2.6 Validasi Metode Analisis ... 22

III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat ... 27

3.2 Alat dan Bahan ... 27

3.3 Metode Penelitian ... 28

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 41

V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………... 69

5.2 Saran ……... 69

DAFTAR PUSTAKA ………. 71


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Rumus empiris dan bobot molekul dari vitamin A alkohol (retinol)

dan ester vitamin A (ester retinil) ... 5

Tabel 2 Sifat-sifat kimia fisika retinol dan retinil palmitat ... 6

Tabel 3 Angka kecukupan gizi (AKG) vitamin A ……….. 8

Tabel 4 RSNI 3 Persyaratan mutu minyak goreng sawit ……… 11

Tabel 5 Keberterimaan akurasi berdasarkan persen rekoveri ... 25

Tabel 6 Kondisi parameter KCKT untuk optimasi metode ……… 31

Tabel 7 Penentuan skor untuk penilaian kromatogram ... 32

Tabel 8 Data hasil uji penetapan aktivitas baku vitamin A ... 41 Tabel 9 Data pengamatan kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks

minyak goreng sawit) menggunakan komposisi fase gerak metanol 100 % kecepatan laju alir 1,0 mL/menit, 0,8 mL/menit dan 0,6 mL menit dan detektor UV………

47

Tabel 10 Data pengamatan kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan komposisi fase gerak metanol 100 % kecepatan laju alir 1,0 mL/menit, 0,8 mL/menit dan 0,6 mL/menit dan detektor fluoresens ………...

47

Tabel 11 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak methanol:air dengan perbandingan: 85:15; 90:10; 95:5 dan 97,5:2,5 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor UV ……….

47

Tabel 12 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak methanol:air dengan perbandingan: 85:15; 90:10; 95:5 dan 97,5:2,5 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor fluoresens ………..

48

Tabel 13 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril :metanol dengan perbandingan: 75:25; 50:50 dan 25:75 pada kecepatan laju alir 1,0 mL/menit dan detektor UV ………

48

Tabel 14 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril: metanol dengan perbandingan 75:25; 50:50 dan 25:75 pada kecepatan laju alir 1,0 mL/menit dan detektor fluoresens ………..

49

Tabel 15 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor dengan detektor UV ………

49

Tabel 16 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor dengan


(14)

xiii dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,75 mL/menit dan detektor dengan detektor UV ……… Tabel 18 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak

goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,75 mL/menit dan detektor dengan detektor fluoresens ……….

51

Tabel 19 Data hasil uji kesesuaian sistem (UKS) baku vitamin A ... 52 Tabel 20 Data uji presisi penetapan kadar vitamin A dalam matriks minyak

goreng sawit ...

57 Tabel 21 Data uji akurasi penetapan kadar vitamin A dalam matriks minyak

goreng sawit ………...

58 Tabel 22 Data uji selektivitas (spesifisitas) vitamin A dalam matriks minyak

goreng sawit ………...

61 Tabel 23 Data hasil uji robustness dengan perubahan penambahan jumlah

pereaksi menjadi: n-pentana 3 mL, larutan antioksidan butil hidroksi toluena 3 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 10,5 mL ...

62 Tabel 24 Data hasil uji robustness dengan perubahan pengurangan jumlah

pereaksi n-pentana 2 mL, larutan antioksi dan butil hidroksi toluena 2 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 9,5 mL ……….

62 Tabel 25 Data hasil uji robustness dengan perubahan komposisi fase gerak

asetonitril:air (81:19) dan kecepatan laju alir 1,74 mL/menit …….…...

63 Tabel 26 Data hasil uji robustness dengan perubahan komposisi fase gerak

asetonitril:air (79:21) dan kecepatan laju alir 1,76 mL/menit ….……...

63 Tabel 27 Data uji robustness vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit

dengan perubahan metode penggunakan kolom C 18 yang mereknya berbeda (kolom merek Shimadzu Shim-pack, Jepang: panjang 250 mm, diameter dalam 1,46 mm dan ukuran partikel 5 µm) ……….

64

Tabel 28 Data hasil analisis penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran ………


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Struktur molekul vitamin A alkohol (retinol), ester vitamin A (ester

retinil) ……….. 5

Gambar 2 Diagram blok sistem KCKT ... 19 Gambar 3 Reaksi antara vitamin A palmitat dengan tetra-n-butil ammonium

hidroksida ...

42 Gambar 4 Kromatogram A (blanko minyak goreng sawit yang tidak

mengandung vitamin A) dan kromatogram B (baku vitamin A palmitat dalam matriks minyak goreng sawit); yang dianalisis menggunakan KCKT kolom C18 pada kondisi optimum dengan komposisi fase gerak yang terdiri dari campuran asetonitril:air (80:20), laju alir 1,7 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm………...

46

Gambar 5 Kurva kalibrasi baku vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit 53 Gambar 6 Hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon

detektor ... Gambar 7 Hubungan antara konsentrasi vitamin A terhadap residual …………. 54 Gambar 8 Kromatogram A (campuran senyawa kimia yang sedang dilakukan

uji selektivitasnya: butil hidroksi anisol, butil hidroksi toluena, propil galat, tersier butil hidrokuinon, vitamin D, vitamin E dan beta karoten) dan kromatogram B (baku vitamin A) dalam matriks sampel minyak goreng sawit yang dianalisis menggunakan KCKT kolom C18 pada kondisi optimum dengan komposisi fase gerak yang terdiri dari campuran asetonitril:air (80:20), laju alir 1,75 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………..

59

Gambar 9 Kurva regresi kadar vitamin A terhadap tinggi noise dengan sinyal (S/N) ...


(16)

xv Lampiran 1 Contoh menghitung aktivitas baku vitamin A ... 76 Lampiran 2 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 78 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 77 Lampiran 3 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 78 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 77

Lampiran 4 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,8 mL/menit (memberikan tekanan 64 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 78 Lampiran 5 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak methanol 100 %, laju alir 0,8 mL/menit (memberikan tekanan 64 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 78

Lampiran 6 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak methanol 100 %, laju alir 0,6 mL/menit (memberikan tekanan 45 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 79 Lampiran 7 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,6 mL/menit (memberikan tekanan 45 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 79

Lampiran 8 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 200 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 80 Lampiran 9 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 200 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 80

Lampiran 10 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 176 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 81


(17)

xvi Lampiran 11 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 176 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………. 81 Lampiran 12 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 147 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 82 Lampiran 13 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 147 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 82

Lampiran 14 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (97,5:2,5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 132 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 83 Lampiran 15 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (97,5:2,5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 132 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 83

Lampiran 16 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (75:25) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 49 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……….. 84 Lampiran 17 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (75:25) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 49 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 84

Lampiran 18 KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (50:50) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 54 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 85 Lampiran 19 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (50:50) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 54 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 85

Lampiran 20 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (25:75) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 63 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……….. 86


(18)

xvii fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 86

Lampiran 22 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 71 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 87 Lampiran 23 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 71 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 87

Lampiran 24 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 75 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 88 Lampiran 25 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 75 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 88

Lampiran 26 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 85 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 89 Lampiran 27 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 85 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 89 Lampiran 28 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 94 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 90 Lampiran 29 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 94 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 90

Lampiran 30 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril : air (80:20) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 103 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 91


(19)

xviii Lampiran 31 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (80:20) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 103 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 91 Lampiran 32 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 113 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 92 Lampiran 33 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 113 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………... 92

Lampiran 34 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril : air (100:0) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 83 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 93 Lampiran 35 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 83 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 93 Lampiran 36 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 90 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 94 Lampiran 37 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 90 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 94 Lampiran 38 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 100 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 95 Lampiran 39 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 100 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 95 Lampiran 40 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 111 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……… 96


(20)

xix fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………... 96

Lampiran 42 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (80:20) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 123 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 97

Lampiran 43 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air asetonitril:air (80:20) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 123 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ……….. 97

Lampiran 44 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 130 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………..………….. 98

Lampiran 45 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 130 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 98

Lampiran 46 Data kurva kalibrasi baku vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit ... 99

Lampiran 47 Contoh menghitung faktor respon detektor ……….. 99

Lampiran 48 Data hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon detektor ………. 100

Lampiran 49 Data hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan residual ... 101

Lampiran 50 Contoh menghitung kadar vitamin A dalam sampel (pada uji presi-si) ……….. 102

Lampiran 51 Contoh menghitung RSD Horwitz ………... 103

Lampiran 52 Contoh menghitung akurasi vitamin A ... 104

Lampiran 53 Contoh cara menghitung uji t ………... 105

Lampiran 54 Data hubungan antara konsentrasi vitamin A terhadap tinggi noise dengan tinggi sinyal (S/N) dan perhitungan batas deteksi (LOD) dan batas kuantisasi (LOQ) ………. 106


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kesehatan masyarakat dunia dewasa ini bukan dihadapkan pada masalah defisiensi gizi makro, tetapi pada masalah defisiensi gizi mikro. Masalah defisiensi gizi mikro yang yang utama dihadapi adalah anemia gizi besi, gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) dan kekurangan vitamin A (KVA) (Martianto, 2011). Kekurangan zat gizi mikro berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat, sehingga dapat merusak kualitas sumber daya manusia Indonesia. Subdit Bina Gizi Mikro Direktorat Bina Gizi Masyarakat juga mengemukakan bahwa masalah kekurangan gizi di kalangan masyarakat Indonesia terjadi pada setiap siklus kehidupan (World Bank 2006).

Sampai saat ini, penduduk Indonesia, terutama yang berpenghasilan rendah baik di perkotaan dan pedesaan, masih banyak yang mengalami masalah kekurangan zat gizi mikro. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2009 menunjukkan lebih dari sembilan juta anak-anak Indonesia dan satu juta perempuan menderita kekurangan vitamin A. Tercatat pula 25 - 30 % kematian bayi dan balita di dunia disebabkan oleh kekurangan vitamin A, sedangkan di Indonesia sekitar 14,6 % anak di atas usia satu tahun mengalami kekurangan vitamin A. (Krisnamurthi, 2010)

Penyakit akibat kurang vitamin A (KVA) disebabkan oleh kurangnya vitamin A di dalam jaringan yang dapat menimbulkan gangguan secara subklinis maupun klinis. Menurut WHO, kurang vitamin A subklinis ditandai dengan nilai retinol serum 0,35 – 0,70 µmol/L (10 -20 µg/dL), meskipun pada kadar retinol serum sampai 1,05 µ mol/L masih dijumpai gejala sub-klinis. Gejala KVA subklinis ditandai dengan gangguan diferensiasi sel dan gangguan pada sistem imunitas. KVA klinis terjadi bila retinol serum kurang dari 0,35 µmol/L (kurang dari 10 µg/dL) dengan gejala antara lain buta senja, gangguan pertumbuhan dan xeroptalmia (Smith, 2000).

Program penanggulangan kekurangan vitamin A di Indonesia dilakukan dengan 3 cara yaitu: diversifikasi konsumsi pangan, suplementasi vitamin A dosis tinggi dan fortifikasi pangan (Martianto, 2011).Strategi yang digunakan


(22)

untuk menanggulangi masalah kekurangan vitamin A harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem dan teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian air susu ibu (ASI), modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan pangan dan meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suple-mentasi. Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng sawit perlu dilakukan dengan alasan (1) produk pangan di Indonesia sebagian besar menggunakan minyak goring, (2) untuk mengurangi penyakit akibat KVA, maka perlu adanya kebijakan yang tepat untuk menanggulangi masalah KVA, (3) salah satu kebijakan yang ditempuh adalah fortifikasi vitamin A dalam minyak goring, dan (4) pemerintah akan menetapkan standar yang mewajibkan kepada seluruh produsen minyak goreng sawit untuk melakukan fortifikasi vitamin A ke dalam produknya.

Target pencapaian persiapan program fortifikasi minyak goreng sawit dengan vitamin A adalah sebagai berikut:

1. Tahun 2004-2011 : dilaksanakan studi konsumsi (intake minyak goreng), stabilitas, efficacy, effectiveness.

2. Tahun 2011-2012 SNI wajib untuk minyak goreng sudah selesai disiapkan.

3. Tahun 2011-2013 dilaksanakan pilot project di beberapa wilayah (dimulai di Jawa Timur dan Jawa Barat).

4. Tahun 2011-2012 selesai dilaksanakan capacity building.

5. Tahun 2013 diimplementasikan SNI Wajib minyak goreng yang difortifikasi.

6. Tahun 2013-2014 dilaksanakan monitoring dan evaluasi dampak forti-fikasi wajib.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Seiring dengan peraturan dan kondisi di atas, maka perlu dilakukan pengawasan atau monitoring terhadap pemenuhan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit, baik pada tingkat industri, distributor dan konsumen. Untuk itu dibutuhkan suatu metode analisis yang valid, selektif, cepat, mudah


(23)

3

dan praktis untuk mengidentifikasi dan menetapkan kadar vitamin A, khususnya vitamin A dalam minyak goreng sawit. Namun analisis vitamin A dalam produk pangan sulit dilakukan dengan metode yang tersedia, karena matriks pangan yang kompleks dan adanya bahan tambahan yang ditam-bahkan dalam produk pangan.

Di antara metode resmi atau metode standar pengujian vitamin A yang ada saat menggunakan metode analisis dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan metode yang ada tersebut adalah dalam tahap persiapan sampel yang harus melewati tahapan saponifikasi, ekstraksi dan pemekatan atau penguapan pelarut organik yang digunakan untuk ekstraksi. Panjangnya proses persiapan tersebut menyebab-kan hasil diperoleh kurang baik. Oleh karena itu, perlu dikembangmenyebab-kan metode analisis untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit dengan menggunakan KCKT tanpa proses saponifikasi, ekstraksi dan penguapan pelarut organik.

Suatu metode baru atau metode yang dimodifikasi dapat digunakan bila telah dilakukan validasi yang kondisinya disesuaikan dengan kondisi labora-torium dan peralatan yang tersedia, meskipun metode yang akan digunakan tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal, buku teks atau buku resmi (Indra-yanto, 1994). Validasi metode juga perlu dilakukan bila dilakukan penyeder-hanaan atau perbaikan metode oleh karena ada perbedaan dan keterbatasan alat, pereaksi atau kondisi lain yang menyebabkan metode tersebut tidak dapat diterapkan secara keseluruhan. Apabila dari hasil validasi metode tersebut sudah memberikan hasil yang baik, maka metode ini dianggap valid, dapat dipercaya dan dapat digunakan untuk analisis rutin.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1. Melakukan pengembangan metode analisis penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit menggunakan KCKT menggunakan kolom C 18, yaitu menentukan komposisi fase gerak dan laju alir yang cocok dalam pemisahan vitamin A dari komponen-komponen yang lain menggunakan KCKT; dan detektor yang cocok (detektor ultra violet atau


(24)

detektor fluoresens) pada penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit.

2. Melakukan validasi metode analisis hasil pengembangan untuk membuk-tikan bahwa metode yang telah dikembangkan tersebut valid.

3. Melakukan uji coba metode yang telah dikembangkan dan telah divali-dasi untuk membuktikan bahwa metode tersebut dapat digunakan untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran tanpa adanya gangguan matriks sampel yang ada di dalam berbagai merek minyak goreng sawit.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan metode analisis yang handal (valid, selektif, cepat, mudah dan praktis) untuk analisis penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng, sehingga dapat dijadikan kontrol yang lebih baik terhadap industri pangan dalam mensukseskan fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng sawit. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan baru bagi peneliti dan memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan di Indonesia mengenai validasi metode analisis pangan.

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium yang dilakukan dengan cara: mencari komposisi fase gerak, laju alir, dan detektor yang digunakan dalam pemisahan vitamin A dengan komponen-komponen lainnya menggunakan KCKT, sehingga didapatkan suatu metode untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit. Untuk membuktikan kehan-dalan metode yang didapat, maka dilakukan validasi terhadap metode tersebut dengan parameter validasi meliputi: linieritas, presisi, akurasi, selektivitas, robustness, batas deteksi dan batas kuantisasi; dan uji coba metode tersebut untuk penetapan kadar vitamin A dalam berbagai merek minyak goreng sawit yang beredar di pasaran.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1VITAMIN A

Vitamin A merujuk pada semua senyawa isoprenoid dari produk-produk hewani yang mempunyai aktivitas all trans-retinol ( Rohman dan Ibnu, 2007). Menurut Almatsier (2009), vitamin A merupakan terminologi nama generik yang menyatakan semua senyawa retinoid dan karotenoid (prekursor/ pro vitamin A) yang mempunyai aktivitas biologis seperti retinol. Bentuk kimiawi senyawa retinoid berupa retinol (vitamin A bentuk alkohol), retinal (aldehida), ester retinil dan asam retinoat. Menurut CE (2007) struktur kimia, rumus empiris dan bobot molekul dari: retinol, retinil asetat, retinil propionat dan retinil palmitat dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1. Menurut Eitenmiller dkk, (2008) sifat-sifat kimia-fisika dari retinol dan retinil palmitat dapat dilihat pada Tabel 2.

CH3

H3C CH3 CH3

O

R

CH3

Gambar 1. Struktur molekul vitamin A alkohol (retinol) dan ester vitamin A (ester retinil)

Tabel 1. Rumus empiris dan bobot molekul dari vitamin A alkohol (retinol) dan ester vitamin A (ester retinil)

Nama zat R Rumus empiris Bobot Molekul

Retinol Retinil asetat Retinil propionat Retinil palmitat

H CO-CH3 CO-C2H5 CO-C15H31

C20H30O C22H32O2 C23H34O2 C30H40O2

286,5 328,5 342,5 524,9 Sumber: CE (2007)


(26)

Tabel 2. Sifat-sifat Kimia Fisika Retinol dan Retinil Palmitat

Sifat Kimia Fisika Retinol Retinil Palmitat Bentuk Kristal kuning Kristal, amorf atau cairan

kental berwarna kuning Rumus Kimia Bobot Molekul C20H30O 286,46 C36H60O2 524,88 Kelarutan Larut dalam: metanol,

etanol, propanol, kloroform, eter, hidrokarbon, minyak

Larut dalam: metanol, etanol, propanol, kloroform, eter, hidrokarbon, minyak. Absorbsi UV:

λ maks. (etanol) E (1%, 1cm)

325 nm 1845

325 nm 940 Flourosensi:

λ eksitasi λ emisi

325 nm 470 nm

325 nm 470 nm Sumber: Eitenmiller dkk (2008)

Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali, namun mempunyai sifat yang mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar, dan lemak yang sudah tengik (Winarno, 2008). Menurut Favaro dkk, (1991) di dalam Hariyadi (2011) vitamin A yang difortifikasikan ke dalam minyak goreng stabil selama 6-9 bulan jika disimpan dalam wadah tertutup dan terlindung dari cahaya, vitamin A relatif stabil setelah proses penggorengan.

Menurut CE (2007), aktifitas vitamin A dinyatakan dalam Retinol Ekivalen (R.E.), 1 mg R.E. sebanding dengan aktifitas 1 mg All-trans retinol. Aktifitas ester retinol lain dihitung secara stoikiometris, sehingga didapat 1 mg R.E. vitamin A sebanding dengan: 1,147 mg all-trans-retinyl acetate, 1,195 mg all-trans-retinyl propionate dan 1,832 mg all-trans palmitate. Unit Internasional atau International Units (IU) juga digunakan untuk menyatakan aktifitas vitamin A. 1 IU Vitamin A ekivalen dengan aktivitas 0,300 μg All-trans retinol. Aktifitas retinol ester lain dihitung secara stoikiometris, sehingga didapat 1 IU vitamin A sebanding dengan aktifitas: 0,334 μg all-trans-retinyl acetate, 0,359 μg all-trans-retinyl propionate, dan 0,550 μg all-trans palmitate.1 mg R.E. sebanding dengan 3333 IU.


(27)

7

Aktifitas vitamin A ditentukan dengan tujuan untuk menghitung jumlah yang dibutuhkan pada pembuatan konsentrat. Menurut BP Commision (2009), aktivitas vitamin A palmitat ditetapkan dengan cara menimbang 25-100 mg vitamin A dengan akurasi 0,1 %, dilarutkan dengan menggunakan 5 mL pentana dan diencerkan dengan 2-propanol hingga diperolah konsentrasi 10 - 15 IU/mL. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang yang menghasilkan serapan maksimum pada 326 nm. Aktivitas vitamin A dihitung dalam satuan internasional unit (IU) per gram dengan persamaan:

A326 = Absorbansi pada panjang gelombang 326 nm

V = total volume pengenceran untuk mendapatkan kadar 10 – 15 IU/mL 1900 = faktor untuk mengkonversi absorbansi spesifik ester retinol menjadi IU per gram

m = bobot substansi yang di uji (dalam gram).

Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (esensial) bagi manusia, karena zat gizi ini tidak dapat disintesa oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar. Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan dan yang lebih penting lagi vitamin A meningkatkan daya tahan tubuh. Anak-anak yang cukup mendapatkan vitamin A, bila terkena diare, campak atau penyakit infeksi lainnya maka penyakit-penyakit tersebut tidak mudah men-jadi parah, sehingga tidak membahayakan jiwa anak. Dengan adanya bukti-bukti yang menunjukkan peranan vitamin A dalam menurunkan angka kematian, maka selain untuk mencegah kebutaan, pentingnya vitamin A saat ini lebih dikaitkan dengan kelangsungan hidup, kesehatan dan pertumbuhan anak (Depkes, 2009a). Fungsi vitamin A didalam tubuh adalah untuk diferen-siasi sel penglihatan, spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas, mempengaruhi indra perasa, pendengaran, nafsu makan, serta pertumbuhan (Bagriansky dan Ranum, 1998). Fungsi lain dari vitamin A adalah membantu memelihara penglihatan di dalam gelap dan mencegah rabun senja serta xeropthalmia, untuk pertumbuhan, dibutuhkan dalam pertumbuhan tulang dan


(28)

perkembangan gigi, sebagai koenzim dalam sintesis glikoprotein, memiliki fungsi seperti hormon steroid, diperlukan untuk pembentukan tiroksin dan pencegahan goiter, sintesis protein dan sintesis kortikosteron dari kolesterol, serta sintesis normal dari glikogen (Berdarnier dkk, 2002).

Angka kecukupan gizi untuk vitamin A biasanya dinyatakan dalam satuan retinol ekivalen (RE). Satu RE setara dengan 1 mikrogram retinol atau 6 mikrogram beta karoten atau 12 mikrogram beta karoten campuran. Status vitamin A dikatakan baik jika konsentrasi vitamin A dalam hati sebesar 20 mikrogram/gram. Penggunaan setiap harinya adalah sekitar 0,5% dari persediaan tersebut. Konsumsi vitamin A yang baik adalah jika setengahnya bisa disimpan didalam tubuh (Muhilal, Jalal dan Hardiansyah, 1998). Angka kecukupan gizi vitamin A rata-rata yang dianjurkan perhari dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Angka Kecukupan Gizi Vitamin A

Kelompok Usia (tahun) Angka Kecukupan (RE) Bayi 0-0,5 0,5-1 375 400 Anak-anak 1-2 2-6 6-10 400 450 500 Pria 10-12 12-70 500 600 Wanita 10-70 500 Wanita Hamil 800 Wanita Menyusui

0-6 bulan > 6 bulan

850 850

Sumber: FAO/WHO (2001) dalam Muhilal dan Sulae-man (2004)

2.2MINYAK GORENG SAWIT

Menurut Badan POM (2006), minyak goreng (frying oil atau frying fat) adalah: minyak dan lemak yang digunakan untuk menggoreng yang diperoleh dari proses rafinasi/pemurnian (refining/purifying) minyak nabati dalam bentuk tunggal atau campuran. Karakteristik dasar minyak goreng meliputi:


(29)

9

kadar air tidak lebih dari 0,15 %, kadar asam lemak bebas tidak lebih dari 0,3 %, kadar asam lemak linoleat tidak lebih dari 2 % dan bilangan peroksida tidak lebih dari 10 mek O2/kg.

Minyak kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Oil/RBDPO) adalah: minyak yang diperoleh dari hasil proses rafinasi/pemurniaan minyak kelapa sawit mentah. Karakteristik dasar minyak kelapa sawit meliputi: bilangan penyabunan 190 mg KOH/g, bilangan iod 50 Wijs hingga 55 Wijs, titik leleh 33 oC hingga 39 oC dan bilangan peroksida tidak lebih dari 10 mek O2/kg (Badan POM, 2006).

Minyak olein kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Oilein) adalah fraksi cair minyak kelapa sawit berwarna kekuningan yang diperoleh dari hasil proses rafinasi/pemurniaan minyak olein kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) atau fraksinasi minyak kelapa sawit yang sudah dirafi-nasi (RBD palm oil). Karakteristik dasar minyak olein kelapa sawit meliputi titik leleh/lebur tidak lebih dari 30oC, bilangan iod tidak kurang dari 56 Wijs, bilangan penyabunan 194 mg KOH/g hingga 202 mg KOH/g dan bilangan peroksida tidak lebih dari 10 mek O2/kg (Badan POM, 2006).

Minyak stearin kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Stearin) adalah fraksi padat minyak kelapa sawit yang berwarna kekuningan yang diperoleh dari hasil proses rafinasi/pemurnian stearin kelapa sawit mentah (Crude Palm Stearin) atau fraksinasi minyak kelapa sawit yang sudah dirafinasi (RBD palm oil). Karakteristik dasar minyak olein kelapa sawit meliputi: titik leleh/lebur tidak kurang dari 44oC dan bilangan iod tidak lebih dari 48 Wijs (Badan POM, 2006).\

Minyak sawit (palm oil) berbeda dengan minyak inti sawit (palm kernel oil). Minyak sawit diperoleh dari daging buah kelapa sawit bagian mesokarp, sedangkan minyak inti sawit diperoleh dari biji buah kelapa sawit. Minyak kelapa sawit diperoleh melalui proses ekstraksi secara rendering atau penge-presan dan proses pemurnian yang terdiri atas pengendapan dan pemisahan gum, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi. Secara umum minyak kelapa sawit mempunyai karakteristik warna kuning pucat sampai jingga tua,


(30)

memiliki aroma yang sedap dan stabil atau tahan terhadap ketengikan (Winarno, 2008).

Melalui proses rafinasi, pemucatan dan penghilangan bau atau disingkat RBD (Refined, Bleached, Deodorized), minyak kelapa sawit dapat diubah menjadi produk yang bernilai tinggi. Proses rafinasi dan fraksinasi menghasilkan minyak yang tidak berwarna, jernih dan bersih dari kotoran yang dikenal dengan RBD oil. Kehilangan beta karoten yang terkandung dalam minyak kelapa sawit banyak terjadi selama proses-proses tersebut berlangsung (Muchtadi, 1996).

Menurut Olson (1990), minyak kelapa sawit yang tidak mengalami proses penjernihan dan bleaching memiliki warna merah karena banyak mengandung karoten (α dan β karoten) dalam jumlah yang banyak. Kandungan karotenoid sebanyak 0,5 mg/mL minyak kelapa sawit. Kebutuhan vitamin A pada anak usia pra-sekolah dapat dicukupi dari konsumsi 7 mL minyak kelapa sawit merah per hari. Menurut Martianto, Marliyati dan Komari (2007), walaupun memiliki kandungan karotenoid yang tinggi, minyak kelapa sawit merah tidak dapat diterima dalam banyak penggunaan karena warna merah yang kuat dan rasanya yang sangat khas.

Menurut Kemperin (2010), minyak goreng sawit adalah: bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari minyak sawit, dengan atau tanpa pengubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses pemurnian dengan penambahan vitamin A. Komposisi minyak goreng sawit terdiri atas bahan baku minyak sawit dan bahan tambahan pangan (BTP) yang penggunaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku untuk diizinkan penggunaannya pada minyak goreng sawit. Adapun persyaratan mutu minyak goreng sawit sesuai dengan RSNI 3 Minyak goreng sawit 2010 dapat dilihat pada Tabel 4


(31)

11

Tabel 4 RSNI 3 Persyaratan Mutu Minyak Goreng Sawit

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal

1.3 Warna (merah/kuning) (Lovibond 5,25

cell)

maks. 5,0/50

2 Kadar air dan bahan menguap % (b/b) maks. 0,1

3 Asam lemak bebas (dihitung

sebagai asam palmitat)

% maks. 0,3

4 Bilangan peroksida mek O2/kg maks. 10*

5 Vitamin A IU/g min. 45*

6 Minyak pelikan - negatif

7 Cemaran logam

7.1 Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2

7.2 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,1

7.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0/250,0**

7.4 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,05

8 Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 0,1

Catatan:

* pengambilan contoh di pabrik ** dalam kemasan kaleng

2.3FORTIFIKASI PANGAN

Menurut Soekirman (2003), kekurangan zat gizi mikro dapat diatasi dengan berbagai pendekatan seperti diversifikasi pangan, suplementasi dan fortifikasi pangan. Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi mikro tertentu ke dalam bahan pangan dengan tujuan utama adalah mening-katkan mutu gizi makanan. Fortifikasi dapat bersifat sukarela maupun wajib. Fortifikasi yang dilakukan secara sukarela adalah fortifikasi yang dilakukan oleh produsen untuk meningkatkan nilai tambah produknya, sedangkan fortifikasi wajib merupakan fortifikasi yang diharuskan dan terdapat dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah dengan tujuan melindungi rakyat dari kurang gizi. Target utama dari fortifikasi wajib ini adalah masyarakat miskin yang umumnya menderita kekurangan gizi mikro seperti kekurangan yodium, zat besi, dan vitamin A. Bahan pangan yang dapat dilakukan fortifikasi harus memenuhi beberapa kriteria yaitu:

1. Bahan pangan harus dikonsumsi oleh semua atau sebagian besar populasi sasaran.


(32)

3. Rasa, penampakan dan bau bahan pangan yang difortifikasi tidak boleh berubah.

4. Zat yang digunakan untuk fortifikasi harus stabil pada kondisi yang ekstrim seperti pemasakan, pemrosesan, pengangkutan dan penyimpanan 5. Harga bahan pangan hasil fortifikasi tidak naik secara berarti.

Menurut Soekirman (2003) syarat-syarat bahan pangan yang akan dilakukan fortifikasi adalah produsen yang memproduksi dan mengolah bahan pangan tersebut terbatas jumlahnya, tersedianya teknologi fortifikasi untuk bahan pangan yang dipilih dan bahan pangan tersebut tetap aman untuk dikonsumsi dan dan tidak membahayakan kesehatan.

Menurut Martianto (2011), minyak goreng merupakan bahan pangan yang diproduksi secara terpusat dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat, sehingga dapat dipakai sebagai alternatif bahan pangan untuk difortifikasi. Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng sawit perlu dilakukan dengan alasan: (1) Produk makanan Indonesia sebagian besar menggunakan minyak goreng; (2) Untuk mengurangi penyakit akibat KVA, maka perlu adanya kebijakan yang tepat untuk menanggulangi masalah KVA; (3) Salah satu kebijakan yang ditempuh adalah fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng, dan (4) Pemerintah akan menetapkan standar yang mewajibkan kepada seluruh produsen minyak goreng sawit untuk melakukan fortifikasi vitamin A ke dalam produknya.

Menurut Hariyadi (2011), fortifikasi vitamin A pada minyak goreng dapat dilakukan dengan alasan: (1) Vitamin A dan pro-vitamin A sangat mudah larut dalam minyak goreng; (2) Vitamin A umumnya lebih stabil dalam minyak goreng dari pada dalam bahan pangan lainnya; (3) Minyak goreng (lipida) membantu proses absorbsi dan pemanfaatan vitamin A; (4) Minyak goreng digunakan oleh masyarakat luas; (5) Teknologinya tersedia dan sederhana, dan (6) Biaya fortifikasi terjangkau.


(33)

13

2.4METODE ANALISIS PENETAPAN KADAR VITAMIN A

Secara umum pengujian vitamin A dalam bahan pangan terdiri atas 3 tahap yaitu: tahap saponifikasi, tahap ektraksi, tahap pemekatan atau penguapan pelarut organik dan tahap pengukuran menggunakan instrumen. Saponifikasi dilakukan dengan menggunakan kalium hidroksida dengan pelarut campuran etanol dan air, penambahan zat anti oksidan (asam askorbat, pirogalol, butil hidroksi toluena) dan pemanasan pada suhu 60–80oC (Eitenmiller, 2008). Tahap ekstraksi dilakukan menggunakan pelarut organik seperti petroleum eter (Eitenmiller, 2008); eter, campuran etanol dengan tetra hidrofuran (USP Convention 2008). Selanjutnya dilakukan pemekatan atau penguapan terhadap pelarut organik yang digunakan, lalu dilarutkan kembali dengan pelarut lainnya seperti metanol atau etanol dan selanjutnya siap untuk ditetapkan kadarnya menggunakan instrumen seperti: spektrofotometri atau kromatografi cair kinerja tinggi. Metode penetapan kadar vitamin A menggunakan instrumen akan dijelaskan sebagai berikut:

2.4.1 Metode Spektrofotometri

2.4.1.1 Pengukuran secara langsung.

Spektrum absorbsi ultraviolet vitamin A dan vitamin A asetat mempunyai absorbsi maksimal pada panjang gelombang antara 325 sampai 328 nm dalam berbagai pelarut. Larutan vitamin A dalam isopropanol absorbansinya diukur pada panjang gelombang maksimal (λmaks) dan pada dua titik, yaitu satu disebelah kanan λmaks dan satunya pada sebelah kiri λmaks. Absorbansi pada λmaks dikoreksi terhadap senyawa pengganggu dengan menggunakan formula koreksi karena senyawa-senyawa ini akan ikut menyerap pada daerah UV. Beberapa pengganggu terutama pada minyak ikan adalah vitamin A2, kitol, anhidro vitamin A dan asam polien. Pada vitamin A sintetik senyawa pengganggunya adalah senyawa-senyawa antara (Rohman dan Sumantri, 2007).


(34)

2.4.1.2 Pengubahan retinol atau akseroftol menjadi anhidroakseroftol Akseroftol mudah diubah menjadi anhidroakseroftol dengan bantuan sejumlah kecil asam mineral atau asam organik kuat. Metode Budowski dan Bondi, akseroftol diubah menjadi anhidroakseroftol dalam pelarut benzen dengan katalisator asam toluen-p-sulfonat pada temperatur kamar. Kenaikan absorbansi pada 399 nm merupakan hasil dehidrasi yang berbanding langsung dengan jumlah akseroftol yang terkandung. Reaksi ini dapat dihentikan dengan penambahan alkali. Pengukuran absorbansi pada 358 nm, 377 nm dan 399 nm dalam benzen merupakan cara yang baik untuk mengetahui kemurnian akseroftol yakni dengan melihat bahwa A399 nm/A377 nm sebesar 0,868 dan A358 nm/A377 nm sebesar 0,692 (Rohman dan Sumantri, 2007). 2.4.1.3 Metode Maleat anhidrat untuk isomer vitamin A

Maleat anhidrat bereaksi dengan all-trans dan 9-cis isomer vitamin A menghasilkan senyawa yang tidak memberikan warna biru ketika diuji dengan menggunakan antimon (III) klorida. Potensi kehilangan terhadap all-trans dan 9-cis isomer dapat terjadi, sehingga perlu dilakukan dua kali pengukuran nilai antimon (III) klorida, pertama untuk isomer campuran dan setelah penghilangan kedua isomer tersebut. Dari perbedaan nilai pengukuran ini, maka komposisi isomer dalam campuran dan potensi biologisnya dapat ditentukan. 2.4.1.4 Penentuan secara simultan retinol (vitamin A1) dan

dehidro-retinol (vitamin A2)

Prinsip dari metode ini adalah perbedaan panjang gelombang maksimum dan nilai ekstinsi dari masing-masing vitamin A1 dan A2. Vitamin A1 mempunyai panjang gelombang maksimum pada 326 nm sedangkan vitamin A2 mempunyai panjang gelombang maksimum pada 351 nm.


(35)

15

2.4.2 Metode kolorimetri 2.4.2.1 Metode Carr-Price

Metode Carr-Pierce mencakup perlakuan vitamin A dengan antimon (III) klorida; warna biru yang timbul memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 620 nm dan mematuhi hukum Lambert-Beer. Antimon (III) klorida yang digunakan sebagai reagen penghasil warna bersifat korosif, dan membutuhkan penanganan secara khusus dan kadang-kadang menyebabkan kerusakan terhadap peralatan spektrofotometer. Dilihat dari formasi antimon (III) klorida, zat ini sulit untuk untuk dibersihkan dari kuvet dan juga peralatan preparasi. Warna biru yang timbul sangat tidak stabil dan pengukuran absorbansi harus dilakukan antara 5-10 detik dari penambahan reagen (Rohman dan Sumantri, 2007).

2.4.2.2 Pengukuran secara spektrofotometri dengan menggunakan Asam trifluoro asetat

Asam trifluoro asetat bereaksi dengan vitamin A dan turunannya sehingga mengasilkan warna biru yang memberikan serapan maksi-mum pada panjang gelombang 616 nm. Reaksi warna yang terjadi mematuhi hukum Lambert-Beer pada kisaran konsentrasi vitamin A sebesar 10-6 dan 10-5 M (Libman, 1966).

2.4.2.3Pengukuran secara spektrofotometri dengan menggunakan gliserol diklorohidrin aktif

Gliserol diklorohidrin aktif bereaksi dengan vitamin A dalam kloroform untuk menghasilkan warna ungu yang stabil dan mem-punyai serapan maksimum pada panjang gelombang 555 nm. Reaksi warna yang terjadi mematuhi hukum Lambert-Beer pada kisaran yang lebar. Intensitas warna yang timbul 1/3 jika dibandingkan dengan intensitas warna biru dari metode Carr-Pierce yang menggunakan antimon (III) klorida. Reaksi bergantung pada suhu pengujian dan disarankan pembuatan kurva kalibrasi dan analisis sampel dilakukan pada suhu yang sama (Libman, 1966).


(36)

2.4.2.4Pengukuran dengan menggunakan Asam fosfotungstat

Vitamin A dalam kloroform bereaksi dengan asam fosfotungstat dalam etil asetat dengan adanya asetat anhidrat maka menghasilkan warna biru dan memberikan serapan maksimum pada panjang gelom-bang 620 nm. Reaksinya mematuhi hukum Lambert-Beer. Pada pema-nasan dengan suhu 50°C menggunakan penangas air, warna biru yang ada akan berubah menjadi biru keunguan, ungu, dan akhirnya menjadi merah dan mempunyai serapan maksimum pada 530 nm. Warna merah yang timbul juga mematuhi hukum Lambert-Beer dan cocok untuk pengujian vitamin A, akan tetapi metode ini kurang sensitif untuk bahan dengan kadar vitamin A rendah (Libman, 1966).

2.4.2.5Pengukuran secara kolorimetri dengan aluminium klorida Metode ini mencakup reaksi larutan jenuh aluminium klorida dalam kloroform anhidrat dengan vitamin A. Warna yang timbul mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 618 nm dan mematuhi hukum Lambert-Beer (Libman, 1966).

2.4.2.6Pengukuran menggunakan asam fosfomolibdat

Metode ini melibatkan reaksi vitamin A dengan asam fosfo-molibdat; warna biru yang timbul memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 700 serta mematuhi hukum Lambert-Beer (Libman, 1966).

2.4.3 Metode Spektrofluorometri

Berdasarkan sifat vitamin A yang dapat memberikan flourosensi, maka vitamin A dalam bahan pangan yang telah diekstrasi dapat diu-kur menggunakan spektrofluorometer pada panjang gelombang eksi-tasi 330 nm dan emisi 480 nm. Pengukuran dengan metode spektro-fluorometri lebih spesifik dibandingkan cara spektrofotometri, karena banyak senyawa yang memberikan serapan pada daerah UV, namun tidak memberikan sifat flourosensi (Angustin dkk 1985).


(37)

17

2.4.4 Metode Kromatografi

2.4.4.1Pengukuran dengan kromatografi lapis tipis

Vitamin A dapat dipisahkan dengan komponen lainnya secara kromatografi lapis tipis menggunakan fase diam silika gel F254 dan fase gerak campuran siklo heksana dan eter dengan perbandingan 4:1, noda yang telah terpisah dideteksi menggunakan asam fosfomolibdat dan bercak biru hijau yang terjadi menunjukkan adanya vitamin A. Perkiraan harga Rf vitamin A dalam bentuk alkohol, asetat dan palmitat berturut-turut adalah 0,1; 0,45 dan 0,7 (Depkes 1995). Untuk mendeteksi noda vitamin A dapat juga digunakan larutan antimon (III) klorida yang akan memberikan warna biru (Depkes 1979) atau menggunakan UV pada pada panjang gelombang 254 nm (CE 2007). Sebagai fase gerak selain menggunakan campuran siklo heksana dan eter, juga dapat digunakan campuran siklo heksana dan etil asetat dengan perbandingan 9:1 (Libman 1966).

2.4.4.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Vitamin A dapat ditetapkan kadarnya menggunakan KCKT menggunakan kolom fase normal atau kolom fase terbalik. Dengan menggunakan kolom fase normal, vitamin A ditetapkan kadarnya menggunakan fase diam kolom silika, fase gerak n-heksana dan dideteksi menggunakan UV 325-nm (USP Convention 2008). Sebagai fase gerak dapat juga digunakan campuran heptana dan diisopropil eter, 95:5; heksana dan dietil eter 98:2; 1-5 % 2-propanol dalam heptana; heksana dan metil etil keton, 90:10 (Nollet 2000). Dengan kolom fase terbalk, vitamin A ditetapkan kadarnya menggunakan fase diam kolom C18, fase gerak campuran metanol dan air dengan perbandingan 860:140 dan dideteksi menggunakan UV 328-nm atau 313-nm (AOAC International, 2005). Sebagai fase gerak dapat juga digunakan campuran asetonitril dengan air 90:10 (Eitenmiller, 2008); campuran asetonitril dengan air, 90:10 atau campuran metanol dengan air, 80:20 (Augustin dkk 1985). Persiapan sampelnya terdiri atas


(38)

proses saponifikasi, ekstraksi, pemekatan dan melarutkan kembali menggunakan pelarut yang sesuai.

2.5INTRUMENTASI KCKT

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kuali-tatif maupun kuantikuali-tatif (Rohman 2007).

Kromatografi adalah suatu prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi difrensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalam zat tersebut menunjukkan perbedaan morbilitas disebab-kan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tedisebab-kanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion (Depkes 2009b)

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas komponen pokok yaitu wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan sampel kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung peng-hubung dan suatu komputer atau integrator atau perekam (Johnson, 1991). Diagram blok untuk sistem kromatografi cair kinerja tinggi ditunjukkan pada Gambar 2.


(39)

19

Gambar 2. Diagram Blok Sistem KCKT

2.5.1 Wadah Fase Gerak pada KCKT

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing (penghilang gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis.

2.5.2 Fase Gerak Pada KCKT

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam dan sifat komponen-kompo-nen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase


(40)

gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar dari-pada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut.

Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran larutan buffer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase normal, fase gerak yang paling sering digunakan adalah campuran pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau menggunakan pelarut-pelarut jenis alkohol.

2.5.3 Pompa pada KCKT

Pompa yang digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni pompa harus inert terhadap fase gerak. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 1-3 mL/menit. Untuk tujuan prepa-ratif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 20 mL/menit.

Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reproduksibel, konstan dan bebas dari gangguan.

2.5.4 Injektor/Penyuntikan Sampel Pada KCKT

Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sampel loop) internal atau eksternal.

Pada saat pengisian sampel digelontor melewati keluk sampel dan kelebihannya dikeluarkan ke pembuang. Pada saat penyuntikan, katup diputar sehingga fase gerak mengalir melewati keluk sampel dan


(41)

21

mengge lontor sampel ke kolom. Presisi penyuntikan dengan keluk sampel ini dapat mencapai nilai RSD 0,1%.

2.5.5 Kolom Pada KCKT

Kolom KCKT pada umumnya terbuat dari pipa baja tahan karat. Panjang kolom antara 10-30 cm dengan diameter dalam 4,5-5,0 mm. Kolom diisi dengan yang sesuai untuk pemisahan sampel tertentu. Kolom untuk pemisahan analitik umumnya mempunyai diameter dalam 2-4 mm. Kolom dapat dipanaskan sampai 60oC agar dihasilkan pemisahan yang lebih efisien. Jika tidak dinyatakan lain, kolom dipertahankan pada suhu kamar.

Fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil benzene. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH), Oktadesil silan (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi. Fase diam eksklusi dan penukar ion dapat menggunakan silika atau polimer.

2.5.6 Detektor KCKT

Detektor pada KCKT ada 2 yaitu (1) Detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa, dan (2) Detektor yang spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detector UV-VIS, detektor fluoresensi dan elektro kimia.

2.5.7 Komputer, Integrator atau Rekorder.

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator atau rekorder, dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektro-nik yang dihasilkan oleh detektor lalu memplotkannya sebagai suatu kromatogram.


(42)

2.6 VALIDASI METODE ANALISIS

Suatu metode analisis terdiri atas serangkaian langkah yang harus diikuti untuk tujuan analisis kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan teknik tertentu. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan pemilihan metode analisis adalah: tujuan analisis, biaya yang dibutuhkan, serta waktu yang diperlukan; level analit yang diharapkan dan batas deteksi yang diperlukan; macam sampel yang akan dianalisis serta pra-perlakuan sampel yang dibutuhkan; jumlah sampel yang dianalisis; ketepatan dan ketelitian yang diinginkan untuk analisis kuantitatif; ketersediaan bahan rujukan, senyawa baku, bahan-bahan kimia, dan pelarut yang dibutuhkan; peralatan yang tersedia; kemungkinan adanya gangguan pada saat deteksi atau pada saat pengukuran sampel. Menurut Rohman dan Ibnu (2007), kriteria yang harus dipenuhi suatu metode analisis yang baik adalah:

1. Peka (sensitive) artinya metode harus dapat digunakan untuk mene-tapkan kadar senyawa dalam konsentrasi yang kecil.

2. Selektif, artinya untuk penetapan kadar senyawa tertentu, metode tersebut tidak banyak terpengaruh oleh adanya senyawa lain.

3. Tepat (precise) artinya metode tersebut menghasilkan suatu hasil analisis yang sama atau hampir sama dalam satu seri pengukuran (penetapan).

4. Teliti (accurate) artinya metode dapat menghasilkan nilai rata-rata (mean) yang sangat dekat dengan nilai sebenarnya (true value).

5. Kasar (rugged) artinya ada perubahan komposisi pelarut atau variasi lingkungan tidak menyebabkan perubahan hasil analisis.

6. Praktis artinya metode tersebut mudah dikerjakan serta tidak banyak memerlukan waktu dan biaya.

Pengembangan metode analisis biasanya didasarkan pada metode yang sudah ada menggunakan instrumen yang sama atau hampir sama. Pengem-bangan metode analisis biasanya membutuhkan syarat-syarat metode tertentu dan memutuskan jenis alat yang akan digunakan. Pada tahap pengembangan metode, keputusan yang terkait dengan pemilihan kolom,


(43)

23

fase gerak, detektor dan metode kuantisasi harus diperhatikan. Ada beberapa alasan tertentu untuk pengembangan metode analisis yang baru, yaitu: 1. Belum ada metode yang sesuai untuk analit tertentu dalam suatu matriks

sampel tertentu.

2. Metode yang sudah ada terlalu rumit, terlalu banyak tahap perlakuan yang dapat menimbulkan kesalahan atau metode yang sudah ada tidak reliabel (presisi dan akurasinya rendah).

3. Metode yang sudah ada terlalu mahal, membutuhkan waktu dan energi yang besar atau tidak dapat diotomatisasikan.

4. Metode yang sudah ada tidak memberikan sensitivitas atau spesifisitas yang mencukupi pada sampel yang dituju.

5. Adanya kebutuhan untuk pengembangan metode alternatif, baik untuk alasan legal atau alasan saintifik.

Suatu metode perlu divalidasi terlebih dahulu sebelum metode tersebut digunakan untuk penggunaan lebih lanjut, sehingga metode tersebut dapat menjamin bahwa analisis yang dilakukan dapat dipercaya dan sesuai dengan tujuan penggunaanya serta dapat diandalkan untuk mengambil keputusan. Metode analisis yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kondisi laboratorium, peralatan dan pereaksi yang tersedia. Walaupun metode analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit masih sulit didapat, namun metode analisis vitamin A dalam produk pangan dengan meng-gunakan peralatan moderen, diantaranya dengan mengmeng-gunakan KCKT sudah banyak yang dikembangkan oleh peneliti terdahulu. Namun kelemahanya dari metode yang ada adalah kerumitan dalam penyiapan sampel (saponi-fikasi, ekstraksi dan pemekatan atau penguapan pelarut organik yang digunakan). Metode analisis yang dikembangkan oleh peneliti ini dipilih karena memiliki banyak kelebihan, yaitu metodenya tanpa proses saponi-fikasi, ekstraksi dan penguapan pelarut organik yang digunakan sehingga waktu analisinya relatif lebih cepat.

Menurut Gunzler (1996), validasi metode adalah menetapkan dengan percobaan laboratorium yang sistimatik, pemenuhan karakteristik unjuk kerja metode terhadap spesifikasi yang dikaitkan dengan penggunaan hasil


(44)

pengujian yang dimaksudkan. Karakreristik unjuk kerja (parameter) yang ditetapkan mencakup: presisi, akurasi, selektivitas dan spesifisitas, batas deteksi, batas kuantisasi, rentang, linieritas, sensitivitas dan kekasaran (ruggedness). Menurut Harmita (2004), beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis yaitu kecermatan (akurasi), keseksamaan (presisi), selektivitas (spesifisitas), linearitas dan rentang, batas deteksi dan batas kuantitasi, ketangguhan metode (ruggedness) dan kekuatan metode (robustness).

Validasi metode adalah konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan bukti yang objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu tujuan khusus dipenuhi. Proses validasi suatu metode biasanya sangat dekat dengan proses pengembangan suatu metode. Sebuah metode harus divalidasi bila kinerja parameter metode uji tersebut belum valid atau belum dibuktikan valid untuk penggunaan analisis khusus (BSN 2005).

Tujuan memvalidasi metode adalah untuk mengetahui sejauh mana penyimpangan suatu metode tidak dapat dihindari pada kondisi normal, dimana seluruh elemen terkait telah dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan memvalidasi metode, tingkat kepercayaan yang dihasilkan oleh suatu metode pengujian dapat diperkirakan dengan pasti ( Hadi, 2007)

Menurut USP Convention (2009), presisi adalah derajat kesesuaian diantara hasil uji individu (berdiri sendiri) jika metode uji dilakukan berulang-ulang terhadap multi sampling dari suatu sampel yang homogen. Presisi biasanya dinyatakan sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi) dari serangkaian pengukuran. Presisi hendaknya dilakukan pada tiga tingkat berbeda yaitu: ripitabilitas, presisi intermediat dan reprodusibilitas. Ripitabilitas adalah penggunaan metode pengujian di dalam satu laboratorium dalam satu periode waktu yang singkat menggu-nakan personel penguji yang sama, dengan peralatan yang sama di bawah kondisi sekonstan mungkin. Presisi intermediat dilakukan dengan berbagai variasi di dalam laboratorium, seperti pada hari yang berbeda atau personil penguji yang berbeda atau alat yang berbeda dalam laboratorium yang sama. Reprodusibilitas atau disebut juga ruggedness adalah penggunaan metode


(45)

25

pengujian dalam berbagai laboratorium yang berbeda seperti dalam uji kolaborasi.

Akurasi adalah ukuran ketepatan dari suatu metode pengujian, atau kedekatan antara nilai hasil uji yang diukur dengan nilai benar, atau nilai nilai konvensional atau nilai acuan yang dapat diterima (USP Convention 2009). Akurasi dari suatu metode dapat dilakukan dengan cara: mengguna-kan bahan acuan bersertifikat, membandingmengguna-kan hasil yang benar-benar telah dikarakterisasi dan akurasinya telah ditetapkan atau dengan cara menghitung persen perolehan kembali terhadap sampel yang sudah dispike (Wood R 1998). Kriteria kecermatan dalam persen perolehan kembali sangat tergan-tung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel dan pada keseksamaan metode (RSD) (Oktavia, 2006). Persen rekoveri rata-rata untuk tiap level konsentrasi dinilai terhadap rentang % rekoveri pada Tabel 5.

Selektivitas menunjukkan kemampuan suatu metode membedakan antara analit yang dituju dan komponen lain / bentuk-bentuk analit lain yang mungkin ada dalam matrik untuk mengukur secara akurat dan spesifik analit dalam matriks sampel dengan adanya zat pengganggu. Selektivitas sering-kali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan (Oktavia, 2006).

Tabel 5. Keberterimaan akurasi berdasarkan % rekoveri No % Analit Rasio Analit Satuan

Rentang keberterimaan

(% Rekoveri) 1 100 1 100 % 98 – 102 2 10 10 -1 10 % 98 – 102 3 1 10 -2 1 % 97 – 103 4 0,1 10 -3 1000 ppm 95 – 105 5 0,01 10 -4 100 ppm 90 – 107 6 0,001 10 -5 10 ppm 80 – 110 7 0,0001 10 -6 1 ppm 80 – 110 8 0,00001 10 -7 100 ppb 80 – 110 9 0,000001 10 -8 10 ppb 60 – 115 10 0,0000001 10 -9 1 ppb 40 – 120


(46)

Linieritas adalah kemampuan untuk menghasilkan hasil uji yang sebanding/berbanding lurus terhadap konsentrasi analit dalam sampel pada kisaran konsentrasi tertentu. Menentukan kemampuan suatu metode untuk mendapatkan respon yang proporsional terhadap konsentrasi analit (Oktavia, 2006).

Rentang yaitu kemampuan untuk memperoleh hasil uji yang kadar analitnya masih linier dengan presisi dan akurasi yang masih dapat diterima. Ditetapkan bersamaan dengan penetapan linieritas dengan melakukan peng-ujian terhadap sampel yang kadarnya dibawah dan diatas normal. Rentang metoda menjelaskan rentang konsentrasi dimana metode uji diaplikasikan yang dinyatakan dalam presisi, akurasi (trueness) dan linieritas (Oktavia, 2006).

Batas Deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingan dengan blanko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko. Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi (Oktavia, 2006).


(47)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2011, bertempat di Laboratorium Pangan Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan POM RI, Jalan Percetakan Negara No. 23 Jakarta.

3.2 ALAT DAN BAHAN

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat KCKT yang terdiri dari pompa (Shimadzu, Jepang), detektor ultraviolet (Shimadzu, Jepang), detektor fluoresens (Shimadzu, Jepang), auto sampler (Shimadzu, Jepang), kolom C18 dengan panjang 250 mm, diameter 4,6 mm ukuran partikel 5,0 µ m (Waters Xbridge, USA dan Shimadzu Shim-pack, Jepang), penyaring 0,2 µ m (Millipore), penyaring 0,45 µ m (Millipore), ultrasonik (Branson, USA), seperangkat alat spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu, Jepang), timbangan analitik (Precisa, Switzerland) dan peralatan gelas.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut (fase gerak) berderajat KCKT yaitu metanol (Merck, Jerman), asetonitril (JT Beaker, USA) dan air demineral. Pereaksi dan pelarut organik berkualitas pro analis: butil hidroksi toluena (Merck, Jerman), n-pentana (Merck, Jerman), 2-propanol (Merck, Jerman), tetra-n-butil ammonium hidroksida 0,1 M dalam 2-propanol (Merck, Jerman). Bahan baku pembanding yaitu: vitamin A palmitat 1700000 IU/g (BASF, Jerman), butil hidroksi anisol (BPFI, Indonesia), butil hidroksi toluena (BPFI, Indonesia), propil galat (BPFI, Indonesia), tersier butil hidro kinon (BPFI, Indonesia), vitamin D (BASF, Jerman), vitamin E (BASF, Jerman), beta karoten (BASF, Jerman), sampel minyak goreng sawit yang tidak mengandung vitamin A dan beberapa merek minyak goreng sawit yang mengandung vitamin A.


(48)

3.3 METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan percobaan laboratorium yang terdiri dari (3) tiga tahap. Penelitian tahap I merupakan penelitian pemilihan kondisi optimum (komposisi fase gerak, laju alir dan detektor) yang akan digunakan dalam penetapan kadar vitamin A menggunakan KCKT. Parameter yang dievaluasi meliputi: bentuk kromatogram, waktu retensi (Rt), resolusi (Rs), jumlah lempeng teoritis (N) dan tailing faktor (Tf).

Penelitian tahap II merupakan validasi metode analisis penetapan kadar vitamin A menggunakan KCKT. Parameter validasi yang akan dilakukan adalah: kurva baku dan linieritas, presisi, akurasi, selektivitas, robustness, batas deteksi dan batas kuantisasi metode.

Penelitian tahap III merupakan uji coba metode analisis yang telah dikembangkan dan telah divalidasi untuk analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran. Parameter yang diuji adalah penga-matan kromatogram dan penetapan kadar vitamin A.

3.3.1 Penetapan Aktivitas Baku Vitamin A

Aktivitas baku vitamin A ditetapkan sesuai metode Farmakope Inggris (2009), yaitu dengan cara menimbang dengan saksama sejum-lah baku vitamin A palmitat, dilarutkan dengan n-pentana dan diencer-kan dengan 2-propanol hingga konsentrasinya 10 -15 IU/mL. Pengu-kuran absorbansi dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum (326 nm), aktivitas baku vitamin A dalam satuan unit internasional (IU) per gram dihitung dengan rumus:

A26 = absorbansi pada panjang gelombang 326 nm

V = total volume pengenceran untuk mendapatkan kadar 10-15 IU/mL

1900 = faktor untuk mengkonversi absorbansi spesifik ester retinol menjadi menjadi IU per gram


(49)

29

3.3.2 Penetapan kondisi optimum KCKT

Larutan baku vitamin A yang akan disuntikkan ke dalam sistem KCKT disiapkan sesuai metode Farmakope Inggris (2009). Metode ini digunakan untuk penetapan kadar vitamin A dalam bentuk baku atau konsentrat vitamin A, sehingga untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit oleh peneliti dilakukan modifi-asi, yaitu penambahan matriks minyak goreng sawit, perubahan konsentrasi baku yang digunakan dan pada proses penyiapan sampel tanpa pemanasan larutan uji.

Larutan dianalisis menggunakan KCKT dengan berbagai kondisi percobaan seperti pada Tabel 6 dan analisis untuk setiap kondisi percobaan dilakukan masing-masing dengan 3 kali pengu-angan. Kromatogram yang dihasilkan dievaluasi dengan cara mencatat atau menghitung: waktu retensi (Rt), resolusi (Rs), jumlah lempeng teoritis (N) dan faktor ikutan atau tailing faktor (Tf) untuk masing-masing hasil pada berbagai kondisi percobaan. Kondisi percobaan memenuhi kriteria apabila: waktu retensi (Rt) < 15 menit; resolusi (Rs) > 1,5; jumlah lempeng teoritis (N) > 3000 dan faktor ikutan atau tailing faktor (Tf) mendekati 1. Untuk mempermudah dalam mengam-bil keputusan pada pemilihan kondisi optimum, maka setiap parameter kromatogram diberi nilai skor antara 1 - 3. Penentuan nilai skor untuk penilaian kromatogram dapat dilihat pada Tabel 7.

Dari hasil tersebut kemudian ditentukan jumlah skor tertinggi yang merupakan kondisi optimum dan selanjutnya digunakan pada penelitian selanjutnya.


(50)

(1)

Lampiran 49. Data hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan residual No. Konsentrasi

= xi (IU/mL)

Luas Area Pengamatan = yi

Luas Area Teoritis (y^)

Residual

(y^ - y) (y^ - y)²

1 0,4443 16244 15589 -655 429304

2 0,4443 16305 15589 -716 512961

3 0,4443 16161 15589 -572 327427

4 0,9660 34668 33641 -1027 1054783

5 0,9660 34958 33641 -1317 1734559

6 0,9660 35227 33641 -1586 2515480

7 1,9319 68818 67071 -1747 3052191

8 1,9319 69031 67071 -1960 3841804

9 1,9319 68710 67071 -1639 2686491

10 2,8979 104322 100501 -3821 14600633

11 2,8979 102741 100501 -2240 5017947

12 2,8979 103554 100501 -3053 9321282

13 3,8638 136811 133931 -2880 8294994

14 3,8638 137852 133931 -3921 15375049

15 3,8638 139322 133931 -5391 29063992

16 4,8684 175203 168698 -6505 42314109

17 4,8684 176795 168698 -8097 65560269

18 4,8684 175659 168698 -6961 48454541

19 5,7957 204310 200791 -3519 12384446

20 5,7957 206575 200791 -5784 33456439

21 5,7957 207952 200791 -7161 51282128

22 6,7617 238851 234221 -4630 21438564

23 6,7617 239429 234221 -5208 27125135

24 6,7617 244336 234221 -10115 102316859

25 7,7276 278054 267651 -10403 108226678

26 7,7276 279671 267651 -12020 144485333

27 7,7276 280405 267651 -12754 162669750

28 9,6595 350039 334511 -15528 241126742

29 9,6595 346370 334511 -11859 140641959

30 9,6595 342696 334511 -8185 66998420

31 11,5914 414102 401371 -12731 162086186

32 11,5914 415082 401371 -13711 187999948

33 11,5914 414728 401371 -13357 178417659

34 13,5233 481595 468231 -13364 178606075

35 13,5233 484637 468231 -16406 269168595

36 13,5233 487482 468231 -19251 370614799

Jumlah 210,0948 7528695 7278615 -250080 2713203532 Rata-rata 5,8360 209130 202184 -6947 75366765

r 0,9999 a 51,9938 b 35825,8468 Vxo 2,54


(2)

Lampiran 50. Contoh menghitung kadar vitamin A dalam sampel (pada uji presisi)

Bobot saepel : 2,5147 g Faktor pengenceran : 25

Luas area : 84957

Persamaan kurva kalibrasi yang digunakan : - Intersept (a) : 51,9937563 - Slope (b) : 35825,84683


(3)

Lampiran 51. Contoh menghitung RSD Horwitz

Kadar vitamin A palmitat rata-rata 23,48 IU/g 1 IU setara dengan 0,550 µg vitamin A palmitat

Maka kadar vitamin A palmitat dalam minyak goreng sawit = 23,48 x 0,550 = 12,914 µg/g

= 0,0000012914 g/g (fraksi konsentrasi = C), maka:


(4)

Lampiran 52. Contoh menghitung akurasi vitamin A

Bobot sampel : 1,2647 g

Kadar vitamin A dalam sampel : 23,48 IU/g (data dari hasil presisi) Vitamin A yang ditambahkan : 28,98 IU

Faktor pengenceran : 25

Luas area : 84610

Persamaan kurva kalibrasi yang digunakan : - Intersept (a) : 51,9937563 - Slope (b) : 35825,84683

Vitamin A yang diperoleh kembali = Vitamin A total – Vitamin A dari sampel = 59,0063 IU – 29,6952 IU

= 29,3111 IU


(5)

Lampiran 53. Contoh cara menghitung uji t Hasil pengujian Metode 1:

Kadar rata-rata hasil pengujian ( ) : 46,74 IU/g Standar deviasi (S1) : 0,90 IU/g

Jumlah data (N1) : 6

Hasil pengujian Metode 2 (dari hasil presisi):

Kadar rata-rata hasil pengujian ( ): 47,36 IU/g Standar deviasi (S2) : 0,99 IU/g

Jumlah data (N2) : 6

Nilai kritis dari tabel dengan derajat bebas = 10 (N1 + N2 -2), maka diperoleh t10 = 2,228 (P=0,05)

Karena nilai t-hitung lebih kecil dari t-tabel, maka kedua metode tidak berbeda bermakna.


(6)

Tabel 54. Data hubungan antara konsentrasi vitamin A terhadap tinggi noise dengan tinggi sinyal (S/N) dan perhitungan batas deteksi (LOD) dan batas kuantisasi (LOQ)

No. Kadar spike Vitamin A IU/g

( X )

Perbandingan tinggi sinyal terhadap noise (S / N) ( Y )

1 0,4998 1,03

2 0,6248 1,38

3 0,9372 1,59

4 1,2496 2,32

5 2,4993 4,41

6 4,9985 8,78

7 9,9970 16,67

r (koefesien regresi) 0,9997

a (intersep) 0,2515

b (slope) 1,6543

Batas deteksi (LOD) : Batas kuantisasi (LOQ) :

Untuk S / N = 3, maka x adalah: Untuk S / N = 10, maka x adalah:

= y – a = y - a

B b

= 3 - 0,2515 = 10 - 0,2515

16,543 16,543