Penetapan kadar vitamin A pada minyak goreng sawit yang beredar

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini telah dilakukan pengembangan dan validasi metode analisis untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit secara KCKT menggunakan kolom C 18 dengan alasan karena kolom ini sudah umum digunakan dan sudah dimiliki oleh sebagian besar laboratorium pangan. Komposisi fase gerak yang digunakan terdiri dari pelarut organik dan air, tanpa penambahan larutan buffer dan pasangan ion, sehingga setelah penggunan selesai, alat KCKT dapat segera dimatikan tanpa pencucian kolom terlebih dahulu menggunakan air. Penelitian hasil pengembangan, validasi dan uji coba metode analisis yang telah dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:

4.1 Penetapan aktivitas baku vitamin A

Sebelum penelitian ini dimulai, perlu dilakukan penetapan aktivitas baku vitamin A menggunakan spektrofotometer UV-Vis yang sudah dikalibrasi. Penetapan ini perlu dilakukan karena sifat dari vitamin A yang mudah rusak oleh pengaruh udara dan cahaya. Bila tidak dilakukan penetapan aktivitas baku vitamin A, maka kadar baku vitamin A tidak sesuai dengan kadar yang sebenarnya dan akibatnya hasil pengujian tidak akurat. Data uji penetapan aktivitas baku vitamin A dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Data hasil uji penetapan aktivitas baku vitamin A No. Bobot Baku g Faktor Absorban Kadar Baku Pengenceran Vit. A IUg 1 0,0733 10.000 0,6557 1.699.632 2 0,0699 10.000 0,6240 1.696.137 3 0,0720 10.000 0,6330 1.670.417 Rata-rata IUg 1.688.729 SD IUg 15954,51 RSD 0,94 Data yang dipereleh menunjukan kadar baku vitamin A adalah 1688729 IUg dengan RSD 0,94 . Dari data diperoleh dapat disimpulkan bahwa baku vitamin A tersebut dapat digunakan untuk penelitian tahap selanjutnya.

4.2 Pemilihan kondisi analisis optimum

Sebelum disuntikkan ke dalam sistem KCKT, larutan baku dan larutan sampel disiapkan dengan cara menimbang, lalu melarutkannya menggunakan n- pentana dan 2-propanol, ditambahkan larutan butil hidroksi toluena dan tetra-n- butil ammonium hidroksida. Adapunun maksud dari penambahan perekaksi- pereaksi tersebut adalah sebagai berikut: penambahan pereaksi n-pentana untuk membantu kelarutan minyak goreng sawit dalam pelarut 2-propanol. Minyak goreng sawit merupakan senyawa yang sangat non polar, sedangkan 2-propanol bersifat semi polar. Agar minyak goreng sawit mudah bercampur dengan 2- propanol, maka minyak goreng sawit tersebut dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut lain n-pentana yang lebih mudah bercampur dengan minyak goreng sawit, lalu diencerkan dengan 2-propanol. Pereaksi butil hidroksi toluena berfungsi untuk mencegah oksidasi vitamin A. Oksidasi terjadi akibat pengaruh udara dan cahaya, yang akan membentuk yang selanjutnya radikal bebas tersebut dapat mengoksidasi vitamin A. Butil hidroksi toluena akan beraksi dengan radikal bebas tersebut, sehingga mencegah terjadinya reaksi oksidasi vitamin A. Pereaksi tetra-n-butil ammonium hidroksida berfungsi untuk mengubah vitamin A palmitat atau retinil palmitat menjadi retinol. Tanpa adanya reaksi tersebut, retinil palmitat sangat sulit untuk dianalisis dengan KCKT karena sifat dari retinil palmitat yang sangat non polar, sehingga terjadi inter aksi yang kuat dengan fase diam dan akibatnya retinil palmitat tidak dapat dielusi oleh fase gerak yang digunakan. Reaksi yang terjadi antara vitamin A palmitat dengan tetra-n-butil ammonium hidroksida dapat dilihat pada Gambar 3. + Retinil palmitat Tetra-n-butil ammonium hidroksida Retinol Gambar 3. Reaksi antara retinil palmitat dengan tetra-n-butil ammonium hidroksida menghasilkan retinol. Untuk mendapatkan kondisi analisis optimum vitamin A dalam minyak goreng sawit, beberapa parameter kondisi KCKT perlu dioptimasi antara lain: komposisi fase gerak, laju alir fase gerak dan detektor yang digunakan. Komposisi fase gerak dan laju alir yang optimum memberikan jumlah lempeng teoritis N yang besar, resolusi Rs yang lebih besar dari 1,5, faktor ikutan Tf yang mendekati satu, serta waktu retensi yang relatif singkat, sedangkan optimasi detektor yang digunakan untuk menentukan spesifisitas dan selektivitas yang tinggi dalam analisis tanpa adanya gangguan dari matriks sampel. Dalam penelitian ini digunakan kolom C18 yang bersifat non polar, sehingga sistem kromotagrafi ini merupakan sistem kromatografi fase balik. Daya elusi dalam sistem kromatografi ini berbanding terbalik dengan polaritas fase gerak. Semakin kecil polaritas fase gerak, maka daya elusinya semakin besar. Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari fase gerak berupa pelarut murni asetonitril atau metanol dan campuran pelarut organik asetonitril atau metanol dengan air. Dalam hal ini, air merupakan senyawa yang paling polar bila dibandingkan dengan asetonitril dan metanol. Apabila jumlah air dalam komposisi fase gerak tersebut ditambah, maka daya elusinya semakin rendah dan akibatnya waktu retensi analit semakin besar. Namun dengan berkurangnya daya elusi dapat memperbaiki bentuk kromatogram tersebut resolusi, jumlah lempeng teoritis ataupun tailing faktor hingga diperoleh kondisi yang optimum. Pada pencarian kondisi analisis optimum, laju alir juga divariasikan mulai dari 0,6 mLmenit sampai dengan 1,75 mLmenit. Laju alir berbanding lurus dengan waktu retensi. Pada optimasi laju alir dipilih yang mempunyai waktu terpendek tetapi tidak mengabaikan kapasitasnya. Waktu retensi dikendalikan oleh koefesien distribusi k, jika harga k besar maka komponen dalam fase diam lebih besar dari pada dalam fase gerak, sehingga komponen akan tinggal lebih lama dalam fase diam. Kecepatan migrasi ditentukan oleh jumlah komponen yang terdapat dalam fase gerak, karena komponen hanya bergerak dibawa oleh fase gerak, sedangkan laju alir mempengaruhi migrasi suatu komponen. Untuk fase gerak yang viskositasnya besar akan menyebabkan peningkatan tekanan pada kolam, sehingga bila menggunakan fase gerak dengan menggunakan pelarut yang mempunyai viskositas yang besar, maka laju alirnya tidak boleh besar. Dalam hal