Isu Suksesi Nasional Kondisi Politik Indonesia 1990-1998

BAB II INDONESIA: SEWINDU AKHIR MASA ORDE BARU 1990-1998

Indonesia dalam sewindu akhir masa kekuasaan presiden Soeharto atau lebih dikenal dengan rezim Orde Baru menampilkan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang dinamis. Kondisi umum Indonesia pada kurun waktu tersebut tidak bisa begitu saja dilepaskan dari objek kajian skripsi ini. Gambaran politik, ekonomi dan sosial Indonesia sangat diperlukan untuk memahami Gerakan Mahasiswa yang semakin menguat pada periode 1992 sampai 1998.

A. Kondisi Politik Indonesia 1990-1998

1. Isu Suksesi Nasional

Orde Baru selama kurun waktu hampir tiga puluh tahun telah berhasil mempertahankan stabilitas politik dan menjalankan program pembangunan ekonominya. Namun dibalik semua keberhasilan itu, Orde Baru juga tak dapat lepas dari beberapa kelemahan yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Kelemahan-kelemahan itu adalah pertama pada kesenjangan ideologis antara Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi murni. Kedua, ketegangan antara birokrat sipil-militer. Ketiga, pembelahan politik massa terutama kesenjangan antara Jawa dengan Non Jawa. Keempat, ketimpangan akibat kebijakan ekonomi yang ditempuh Orde Baru, dan yang kelima adalah masalah suksesi. 36 36 R. William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik Jakarta: LP3ES, 1992. Transformasi dari rezim birokratik-otoriter ke bentuk rezim yang lain lebih didorong oleh adanya perpecahan dalam rezim itu sendiri. Pada kasus Orde Baru, permasalahan suksesi merupakan sumber dari munculnya perpecahan di kalangan elit. Permasalahan pada kasus Orde Baru ini menjadi menarik karena kekuasaan presiden sebagai puncak kekuasaan eksekutif sangat besar jika dibandingkan dengan rezim militer lainnya. 37 Kekuasaan yang dibangun oleh Soeharto pertama kali dibangun melalui sebuah kabinet kecil, kemudian dibentuk Staf Pribadi Presiden meskipun pada akhirnya dibubarkan karena Peristiwa Malari 1974. Upaya Soeharto untuk membangun kekuasaan masih berjalan dengan adanya lembaga Sekretariat Negara. 38 Soeharto berhasil menguasai Golkar sepenuhnya pada tahun 1983 yaitu pada Munas III. Pada Munas itu, Soeharto terpilih menjadi Ketua Dewan Pembina. Hal ini memberikan gambarab bahwa Soeharto berusaha mencari dukungan kekuatan dari kekuatan sipil. 39 37 Guillermo O’Donnel, dkk eds. Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Eropa Selatan Jakarta: LP3ES, 1992. 38 lembaga ini menjadi birokrasi yang kuat dan sangat otonom bahkan dari militer sekalipun. Lembaga Sekretariat Negara ini dalam bukunya Mochtar Mas’oed disebutnya suprabirokrasi. Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971 Jakarta: LP3ES, 1989. 39 Kekuasaan presiden yang sedemikian besar ini mendorong munculnya persaingan di kalangan elit menjelang pemilihan wakil presiden pada Sidang Umum MPR bulan maret 1988. Posisi wakil presiden menjadi sangat strategis karena Soeharto mungkin tidak akan secara penuh menyelesaikan kewajibannya sebagai presiden secara penuh 1988-1993. Hal ini menimbulkan konflik diantara para elit antara Soedharmono dan Moerdani. Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKKBKK Jakarta: Sinar Harapan, 1998, hlm.52. Pembicaraan mengenai suksesi kepemimpinan nasional selalu ramai ketika setiap kali akan diadakan Pemilu dan Sidang Umum MPR. Pemilu 1992 yang diprediksi akan terjadi suksesi kepemimpinan nasional ternyata juga menyisakan kegagalan. Pada pemilu 1992 dan Sidang Umum 1993 ternyata hanya ada satu calon tunggal. Analisa dari beberapa pengamat politik mengenai Indonesia bahwa akan terjadi pergantian kepemimpinan pada Sidang Umum 1993 pun meleset. 40 Ada tiga kemungkinan untuk menjelaskan hal ini yaitu adanya invisible hands yang tidak menginginkan terjadi suksesi pada tahun 1993, budaya politk yang berintikan pada rasa rikuh dan ewuh-pakewuh, 41 dan kekuatan sosial politik saat itu masih diliputi keraguan dan spekulasi mengenai suksesi yang memiliki resiko tinggi maka tidak dilakukan perubahan terhadap status quo. Kepemimpinan nasional yang telah berlangsung sejak 1967 hingga tahun 1998 berarti telah berjalan selama 31 tahun, kepemimpinan nasional atau elit yag telah berlangsung sedemikian lama ini akan melahirkan kultus individu. Pengkultusan 40 Amien Rais, Suksesi Kepemimpinan Nasional, dalam Riza Noer Arfani eds, Demokrasi Indonesia Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo, hlm 242. 41 Pada budaya Jawa dikenal konsep keselarasan, konsep ini dianggap mencegah konflik dan menjaga kerukunan semua unsur dan juga mencegah kosmos berantakan. Usaha menjaga keselarasan ini diwujudkan dalam sistem nilai yang memberi penekanan pada usaha menjauhi konflik. Eriyanto, Kekuasaan Otoriter: Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni. Studi Atas Pidato-Pidato Politik Soeharto. Yogyakarta: Insist Press, 2000, hlm 45. individu semacam itu akan mematikan demokrasi karena dalam demokraasi dikenal suksesi atau rotasi atau regenerasi elit dengan mekanisme yang telah diatur. 42

2. Hegemoni Militer dan Birokrasi