individu semacam itu akan mematikan demokrasi karena dalam demokraasi dikenal suksesi atau rotasi atau regenerasi elit dengan mekanisme yang telah diatur.
42
2. Hegemoni Militer dan Birokrasi
Penguasaan militer terhadap seluruh lembaga kenegaraan dimulai sejak 1965 paska G30S, Soeharto mengembangkan apa yang saat ini dikenal sebagai komando
teritorial. Disamping pengembangan kekuasaan territorial juga dibangun jaringan intelijen secara ekstra yaitu melalui Kopkamtib dan BAKIN. Kekuasaan teritorial dan
peranan dwifungsi ABRI membentang mulai dari pusat sampai ke desa.
43
Kekuasaan teritorial itu menandingi kekuasaan birokrasi sipil dan hal itu terjadi karena seluruh
jajaran birokrasi sipil itu tak luput pula dikuasai oleh para perwira militer, baik yang aktif maupun purnawirawan. Akibatnya otonomi lembaga pemerintahan menjadi
kerdil, termasuk Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
44
Peter Britton dalam bukunya Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia mengungkapkan;
“...bagian teritorial dari Angkatan Darat memastikan kehadirannya disetiap kota dan di sementara daerah, di setiap daerah, di setiap desa dengan tugas
memelihara keamanan, mengawasi kegiatan-kegiatan aparat pemerintahan sipil dan bertindak sebagai pengawas-pengawas politik. Para perwira militer,
baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, semakin banyak yang beralih kepada kedudukan-kedudukan penting sebagai pejabat-pejabat
42
Amien Rais, Op.cit., hlm 248
43
Daniel S. Lev, “ ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Diponegaro 74, Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7IIIApril 1999, YLBHI, hlm.10-11.
44
Ibid., hlm 11.
pemerintah. Pemerintah daerah, pemerintah pusat dan industri, semuanya menjadi berada dibawah pengendalian AD”
45
ABRI telah menjadikan perannya ber-dwifungsi itu sebagai senjata utama untuk mematikan segala bentuk kehidupan yang demokratis. Dalam posisi seperti itu,
ABRI terutama dari kalangan TNI AD menjadi satu-satunya institusi politik yang berkuasa dan dapat mengatur sendiri seluruh kehidupan masyarakat. Dwifungsi ABRI
bukan saja memonopoli politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa bagi kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga negara
diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi militer.
46
Selain kekuasaan militer yang sedemikian meng-hegemoni di Indonesia, kekuasaan birokrasi pun tak kalah kuat. Selama pemerintahan presiden Soeharto,
kekuasaan birokrasi menunjukkan seperti sebuah “piramida yang berujung lancip” dengan presiden Soeharto sendiri sebagai puncaknya. William Liddle memberikan
satu pendekatan yang menekankan pada besarnya peranan individu pemimpin yang terlibat dalam kancah politik domestik, meskipun terdapat kelompok kepentingan lain
dalam setiap pengambilan kebijakan di Indonesia.
47
45
Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia Jakarta: LP3ES, 1996, hlm 126.
46
KontraS, Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Jakarta:
KontraS, 2005, hlm 8.
47
William R Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politic Allen and Unwin, 1996, hlm 40
Kekuasaan yang tersentralisasi pada diri presiden Soeharto tidak dapat secara serta merta membuat dirinya sebagai diktator karena ada kekuatan lain, sebagai
imbangan, yaitu militer.
48
Pada kurun waktu 1990-an terjadi transformasi hubungan antara presiden Soeharto dan ABRI militer. Perubahan ini terjadi berkaitan dengan
pemilihan presiden dan wakil presiden pada Sidang Umum tahun 1993. Soeharto mulai mendekati golongan Islam lewat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
ICMI sehingga pada waktu itu muncul poros Soeharto-Habibie-ICMI. Kedekatan Soeharto terhadap golongan Islam ini mengingatkan pada era 60-an, pada saat itu ia
merangkul golongan Islam untuk menghancurkan PKI. Pada konteks waktu 1990-an ini, kedekatan Soeharto terhadap golongan Islam digunakan untuk membendung
kekuatan oposisi baru yang sedang berkembang di Indonesia.
49
3. Redemokratisasi kampus