Waktu Ashr (Sumpah Allah dalam QS. al-Ashr / 103 : 1 ).

E. Waktu Ashr (Sumpah Allah dalam QS. al-Ashr / 103 : 1 ).

58 Surah ini adalah surah Makkiyah, diturunkan setelah surah al-Insyirah. Urutan surat ke 13 dari segi perurutannya. Tema utamanya adalah tentang

pentingnya memanfaatkan waktu dan mengisinya dengan aktifitas yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, sebab jika tidak, maka kerugian dan kecelakaanlah yang menanti mereka.

Munasabahnya, dalam surah yang lalu Allah SWT. memperingatkan manusia yang menjadikan seluruh aktifitasnya hanya berupa perlombaan

56 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilâl Qur’ân, Terjemahan, ( Jakarta : Gema Insani Press, 2002 ) Cet. I, jilid 24, h. 146-147.

57 Sayyid Quthb, ibid 58 Muhammad Abdul Mun’im al-Jamâli, Tafsir al-Farîd lil Qur’ân al-Majîd, h. 3351.

menumpuk-numpuk harta serta menghabiskan waktunya hanya untuk maksud tersebut, sehingga mereka lalai akan tujuan utama dari kehidupan ini. Nah, dalam surah al-‘Ashr ini Allah memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya ia diisi. Allah berfirman : wal-‘Ashr, sesungguhnya semua manusia yang mukallaf di dalam wadah kerugian dan kebinasaan yang besar dan

beragam 59 Dalam surat ini yang menjadi muqsam bih hanyalah al-ashr itu sendiri,

yaitu yang terdapat pada ayat pertama dari surat tersebut dan menjadi nama surat sakaligus. Allah bersumpah dengan al-‘ashr sebagaimana Allah bersumpah juga dengan al-dhuha, al-fajr, al-layl, dan al-syafaq, yaitu tentang waktu yang berbeda yang menunjukkan keagungan kekuasaan Allah. Persesuaian sumpah di sini adalah waktu pertengahan antara siang dengan malam. Atau dalam keterangan lain disebutkan bahwa masa (al-dahr) dalam surat ini dimaksudkan juga terhadap waktu yang tertentu sesudah matahari tergelincir (condong ke barat) sampai terbenamnya, atau waktu shalat ashar, atau masa yang lama.

Muhammad Abduh mengatakan bahwa Allah bersumpah dengan al-‘ashr adalah menunjukkan bahwa hal itu seolah-olah sesuatu yang diagungkan Allah. Allah bersumpah dengannya karena banyak manusia yang menyangka bahwa mereka tidak merugi. Mereka akan berbahagia, baik mereka beriman atau tidak,

meramal shaleh atau tidak. 60

59 Ibid., Lihat juga, Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Tafsir atas surat-surat pendek berdsrkn urutan turunnya wahyu , (Bandung : Pustaka Hidayah, 1997), Cet. I, h. 473

60 Muhammad Abduh, Tafsir Surah al-‘Ashr, (Mesir : Matba’ah al-Manâr, 1345 H), h. 7, 9, 10

Menurut Ibnu Katsir, Allah bersumpah dengan al-‘Ashr (masa) adalah karena dengan waktu manusia dapat beraktivitas yang baik atau buruk. 61 Adapun

kalau al-Ashr diartikan dengan waktu Ashar, ada riwayat yang mengatakan mengenai Nabi yang duduk di masjidnya di Madinah bersama-sama sahabatnya sesudah shalat ashar. Pada saat itu Nabi memberikan pelajaran dan nasihat

sedangkan para sahabat pada saat itu telah selesai dari kesibukannya sehari-hari. 62 Allah bersumpah dengan al-‘ashr mungkin dapat dikatakan sebagai lambang

peringatan Tuhan kepada manusia. Suatu hal yang perlu diungkapkan kembali di sini adalah pendapat Muhammad Abduh, sebagaimana penjelasan terdahulu yang mengatakan bahwa al-fajr pada surat al-Fajr/89 :1 adalah waktu fajar secara umum yang terjadi setiap hari dan bukan waktu fajar secara khusus yang terjadi pada hari-hari tertentu. Dengan demikian al-‘ashr dapat difahami sebagai waktu secara umum, yaitu waktu atau masa dimana gerak dan langkah dapat tertampung di dalamnya. Dalam keterangan lain diketahui pula suatu kebiasaan yang terdapat pada orang- orang Arab pada masa turunnya al-Qur’an untuk berkumpul dan membicarakan berbagai macam hal. Tidak jarang dalam percakapan mereka saat itu terungkapkan kata-kata yang mempermasalahkan waktu dengan mengatakan waktu sial bila mereka gagal atau waktu baik bila mereka berhasil. Karena itu Allah bersumpah dengan al-‘ashr adalah untuk membantah anggapan mereka dan memberikan penjelaan tentang tidak adanya waktu yang disebut sebagai waktu

61 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz. Ke-4, h. 547-548 62 Darwazah, Tafsir al-Hadits, Juz. I, h. 169-170 61 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz. Ke-4, h. 547-548 62 Darwazah, Tafsir al-Hadits, Juz. I, h. 169-170

Menurut Quraish Shihab, kata al-‘ashr (ﺮﺼﻌﻟا ) terambil dari kata ‘ashara (ﺮﺼﻋ ) yakni menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam

dari padanya nampak kepermukaan atau keluar (memeras). 64 Makna ini digunakan dalam QS. Yusuf ayat 36 dan 49. Angin yang tekanannya sedemikian keras

sehingga memporak-porandakan segala sesuatu dinamai i’shâr/waktu ( رﺎﺼﻋا ).

65 Tatkala perjalanan matahari telah melampaui pertengahan, dan telah menuju

kepada terbenamnya dinamai (ﺮﺼﻋ ) ‘ashr /Asar. Penamaan ini agaknya disebabkan karena ketika itu manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapatkan hasil dari usahanya. Awan yang mengandung butir-butir air yang kemudian berhimpun sehingga karena beratnya ia kemudian mencurahkan hujan dinamai (تاﺮﺼﻌﻤﻟا ) al-mu’shirât.

Para ulama sepakat mengartikan kata ‘ashr pada ayat pertama surah ini dengan waktu, hanya saja mereka berbeda pendapat –tentang waktu yang dimaksud. Ada yang berpendapat bahwa ia adalah waktu atau masa di mana langkah dan gerak tertampung di dalamnya. Ada lagi yang menentukan waktu

tertentu yakni waktu dimana shalat ashar dapat dilaksanakan. 66 Pendapat ketiga

63 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim( Tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya wahyu), Bandung : Pustaka Hidayah, 1413 H/ 1992 M. h. 474

64 Ibid. 65 Lihat QS. al-Baqarah : 266

66 Menurut al-Nasafi sebagaimna dikutip Sa’id Hawwa bahwa Allah bersumpah dengan shalat ashar adalah karena keutamaannya dan karena manusia berat mengerjakannya disebabkan

urusan perniagaan dan usaha mereka di penghujung siang hari dan kesibukan mereka dalam kehidupan.

ialah waktu atau masa kehadiran Nabi Muhammad SAW. Dalam pentas kehidupan ini.

Pendapat yang paling tepat –hemat penulis- setuju dengan pendapat Quraish Shihab yaitu waktu secara umum. Allah bersumpah dengan waktu karena telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab pada masa turunnya al-Qur’an untuk berkumpul dan berbincang-bincang menyangkut berbagai hal dan tidak jarang

dalam perbincangan mereka itu 67 Berbeda dengan penafsiran Quraish Shihab, dalam surat ini, Sayyid Quthb

lebih banyak memaparkan tentang ma’na jawabul Qasam / kandungan surat al- Ashr adalah tentang pentinnya iman dan amal shaleh yang harus dimilki oleh seseorang, menurutnya hakekat besar yang harus diterapkan surah ini secara total adalah bahwa dalam semua rentangan zaman dan perkembangan manusia sepanjang masa, hanya ada satu manhaj yang menguntungkan dan satu jalan yang menyelamatkan, yaitu manhaj yang telah dilukiskan batas-batasnya dan diterangkan rambu-rambu jalannya oleh surah ini. Adapun yang berada di luar dan bertentangan dengannya adalah sia-sia dan kerugian. Manhaj itu adalah iman, amal shaleh, saling menasihati untuk menaati kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kebenaran. Iman adalah hubungan wujud insani yang fana, kecil, dan terbatas dengan asal yang muthlaq dan azali serta abadi yang menjadi sumber semesta. Hubungan iman dengan wujud insani ini memberikan kepadanya kekuatan , perkembangan, dan kebebasan. Karena itu iman juga memberikan kesenangan terhadap wujud semesta dengan segala keindahan yang terkandung di

67 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 15, h. 496 67 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 15, h. 496

dalam semua tempat dan kesempatan. 68 Dari sini dapat disimpulkan bahwa Sayyid Quthb lebih menekankan akan

adanya korelasi waktu dengan akidah, yang mana pemeliharaan iman adalah sesuatu yang yang paling penting di dunia ini dan harus diterapkan kapan saja dan

dimana saja dengan memperbanyak beramal shaleh. Sedangkan Quraish Shihab lebih banya memberikan pemahaman makna al-‘Ashr dan pentingnya memanfaatkan waktu dengan hal-hal yang positif dan mengaturnya dengan sebaik mungkin. Menurut penulis, kedua penafsiran ini adalah saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Yang intinya sama-sama mengingatkan akan pentingnya memanfaatkan waktu dengan beriman dan beramal shaleh.

Adapun menurut penulis bahwa Allah bersumpah dengan “al-‘Asr / masa “ karena di dalamnya terdapat pelajaran dan bukti kekuasaan-Nya. Perjalanan siang dan malam bergantung pada ketentuan Allah yang maha perkasa dan maha mengetahui. Ia bergerak secara teratur dan rapi untuk kemaslahatan alam. Adanya pergantian siang dan malam dalam waktu-waktu tertentu, perbedaan keduanya dari segi cahaya, gelap, panas, dingin, bertebaran dan diamnya hewan, serta pembagian masa menjadi abad, tahun, bulan, hari, jam, dan seterusnya, merupakan salah satu bukti dan tanda kekusaan serta kebijaksanaan Allah SWT.

68 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an , jilid 24, h. 228-230

Karena itu manusia seharusnya memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin, karena selain itu waktu dapat menentukan hasil amal perbuatan manusia.