Sumpah Allah dalam surat al-Dhuha.

C.1. Sumpah Allah dalam surat al-Dhuha.

Surah adh-Dhuha disepakati oleh ulama sebagai surah yang turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah / disebut dengan surat Makkiyah 20 . Namanya adh-

19 Diriwayatkan oleh al-Mundzirî dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb no. 2474, kitab al-Buyū' , bab at-Targhîb fi al-Bukūr fî Thalabi ar-Rizkî wa Ghairihî (III / 150 )

Dhuha dikenal luas dikalangan ulama, hanya saja yang menamainya persis serupa dengan awal ayatnya dan ada juga yang menamainya sekadar dengan adh-dhuha.

Tema utamanaya adalah sanggahan terhadap dugaan yang menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan Rasul SAW. Akibat tidak hadirnya wahyu yang selama ini telah diterima oleh Rasul SAW., sambil menghibur beliau dengan

perolehan anugerah Allah hingga beliau puas. 21 Artinya, bahwa tujuan utama surah ini adalah menguraikan apa yang disebut pada akhir surah lalu – surah al-

Lail _ bahwa yang paling bertakwa di antara seluruh orang bertakwa adalah dia yang mutlak paling bertakwa dalam pandangan keridhaan Allah, yakni Nabi Muhammad SAW. Keridhaan-Nya tidak terputus bagi beliau di dunia dan akhirat. Ini disebabkan karena terhiasinya beliau dengan sifat-sifat sempurna yang merupakan sarana mengantar kepada tujuan, bagaikan adh-dhuha yang merupakan cahaya matahari yang paling sempurna. Dengan demikian nama surah

ini menunjuk kepada tujuan tersebut. 22 Ayat-ayat surah ini sebanyak 11 ayat. Sebelum turunnya surah ini Rasul

SAW. telah sepuluh kali menerima wahyu. Dengan merujuk kepada penelitihan sejumlah pakar al-Qur’an dan sementara orientalis seperti Noldeke, diperoleh informai bahwa sepuluh surah (bagian surah) pertama yang diterima Nabi Muammad saw, adalah : 1. Iqra’ 2. al-Qalam, 3. al-Muzammil, . al-Mudatstsir, 5.

20 Muhammad Abdul Mun’im al-Jumali, Tafsir al-Farid lil Qur’an al-Majid, h. 3322. lihat juga Muhammad Mahmud Hijazi, Tafsir al-Wadhih, ( Beirut : Dâr al-Jail, tth) h. 873. lihat

juga Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2003 ), Vol. 15 h. 323

21 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.15, h.323 22 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.15, h.323 21 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.15, h.323 22 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.15, h.323

Ketidakhadiran wahyu al-Qur’an seperti selama ini diterima Nabi SAW., melahirkan berbagai tanggapan masyarakat bahkan dampak negatif dalam jiwa Nabi Muhammad sendiri, beliau menjadi gelisah. Berdasarkan suatu riwayat bahwa “ Nabi sering kali pergi ke puncak gunung untuk menjatuhkan dirinya (membunuh diri)”, wa al-‘iyadzu billah. “Tuhan Muhammad telah meninggalkan

dan membencinya”, demikian tanggapan sementara kaum musyrikin atas ketidakhadiran wahyu itu. Adapun mengenai siapa yang mengucapkan kata-kata ini, yang kemudian dibantah oleh ayat ketiga surah ini, tidak diketahui jelas, karena banyak riwayat yang simpang siur. Satu riwayat menyatakan bahwa orang itu adalah Ummu Jamil istri Abu Lahab, ada pula riwayat yang mengatakan

bahwa yang berkata demikian adalah Khadijah ra 24 . Surah ini merupakan awal dari surah yang dimaknai Qishr al-Mufashshal.

Ketika turunnya, Nabi SAW. bertakbir (mengucapkan Allâhu Akbar), dan dari pengalaman beliau inilah, para ulama menganjurkan agar setiap selesai membaca surah ini dan surah-surah yang tercantum dalam mushhaf sesudah adh-dhuha agar

bertakbir pula, baik pembacaan tersebut dalam shalat, maupun di luar shalat. 25 Munasabahnya surah ini mempunyai munasabah dengan surah yang lalu

yang menetapkan tentang kebahagiaan yang akan diraih oleh yang bertakwa. Nabi Muhammad SAW. adalah manusia yang paling bertakwa. sementara orang

23 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.15, h. 324 24 Wahbah Zuhaili, Tafsir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut : Dâr al-

Fikri, tth), Juz. 29, h. 283 25 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.15, h.325 Fikri, tth), Juz. 29, h. 283 25 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.15, h.325

26 Kata dhuha terulang enam kali dalam al-Qur’an. dan yang berkaitan dengan sumpah Allah hanya terdapat dalam dua surat, yaitu : surat adh-Dhuha

dan surat asy-Syams. Kata (ﻲﺤﻀﻟا ) adh-dhuha berarti cahaya matahari menjelang siang atau

matahari sepenggalahan naik. 27 Adh-dhuha secara umum dapat digunakan dalam arti suatu yang nampak dengan jelas, karena terbuka dan tampak jelas dinamai

(ﺔﯿﺣﺎﺿ ) dhâhiyyah. Tanah atau wilayah yang selalu terkena sinar matahari dinamai (ﺔﯿﺤﺿ ) dhahiyyah. Segala sesuatu yang nampak dari anggota badan manusia seperti bahunya dinamai (ﻲﺣاﻮﺿ ) dhawâhi. Seseorang yang berjemur di panas matahari atau yang terkena sengatannya digambarkan dengan kata ( ﻲﺤﺿ نﻼﻓ ) dhaha Fulân. Al-Qur’an memperhadapkan kata ini dengan kata ‘asyi’iyyah /sore. 28

Berbeda beda pendapat tentang maksud firman Allah ini, antara lain :

26 kata dhuha ( ﻲﺤﺿ ) terdapat dalam QS. al-Dhuha, kata dhuhan ( ﻲﺤﺿ ) terdapat dalam QS. al-A’raf : 98 dan QS. thaha : 59, dan dhuhaha (ﺎﻬﺤﺿ ) terdapat dalam QS. al-Syams : 1 dan

an-Nazi’at : 46 dan 29. liht. Husain Muhammad Fahmi al-Syafi’I, al-Dalil al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an al-Karim , Cairo : Darussalam, 2002, Cet. II, h. 514

27 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa …, Juz. 29, h. 282., lihat juga Muhammad Abdul Mun’im al-Jumali, Tafsir al-Farid lil Qur’an al-Majid, .. h. 3323.

lihat juga Muhammad Mahmud Hijazi, Tafsir al-Wadhih, h. 873 28 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Vol. 15, h. 326 lihat juga Muhammad Mahmud Hijazi, Tafsir al-Wadhih, h. 873 28 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Vol. 15, h. 326

b. Waktu tertentu di siang hari tertentu, yaitu saat Nabi Musa as. menerima wahyu secara langsung dari Allah SWT. dalam rangka mengalahkan para ahli sihir, sebagaimana diuraikan dalam QS. Thaha/20 : 59. penganut pendapat ini ingin mengaitkan antara penerimaan wahyu dan kemenangan Nabi Musa as. Terhadap musuh-musuh beliau dengan keadaan Nabi Muhammad SAW. Yang terus akan menerima wahyu walaupun telah terjadi

“kelambatan”, serta akan memperoleh kemenangan sebagaimana diperoleh oleh Nabi Musa as. dipagi hari ketika duha itu.

c. Waktu yang diisi oleh hamba-hamba Allah untuk mendekatkan diri kepada- nya, misalnya dengan melaksnakan shalat dhuha.

d. Cahaya jiwa orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah Menurut penulis Tafsir al-Misbah, pendapat di atas tidak sejalan dengan

gaya bahasa al-Qur’an, khususnya ketika berbicara tentang suatu waktu tertentu. Dapat diamati bahwa bila al-Qur’an menggambarkan suatu waktu tertentu, maka dia memberikan sifat tertentu kepada waktu tersebut, misalnya : lailatu al-Qadar (malam mulia) atau yauma iltaqa al-jam’ân (hari bertemunya dua pasukan) yaum ad-dîn (hari pembalasan) dan sebagaiya. Ini berarti bahwa jika al-Qur’an tidak mensyifati satu waktu atau hari, maka yang dimaksudnya adalah waktu atau hari- hari yang umum dan yang silih berganti terulang, seperti al-Fajr (fajar) – al-Lail

(malam) dan adh-dhuha ini. 29

29 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah., Vol..15 . h. 327

Matahari ketika naik sepenggalahan, cahayanya ketika itu memancar menerangi seluruh penjuru, pada saat yang sama ia tidak terlalu terik, sehingga tidak mengakibatkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan. Matahari tidak membedakan antara satu lokasi dan lokasi yang lain. Kalaupun ada sesuatu yang tidak disentuh oleh cahayanya, maka hal itu bukan disebabkan oleh matahari itu tetapi karena posisi lokasi itu sendiri yang dihalangi oleh sesuatu. Itulah gambaran tentang adh-dhuha,

yakni matahari ketika ia naik sepenggalahan. Di sini Allah SWT. menggambarkan kehadiran wahyu yang selama ini diterima Nabi SAW. sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan dan menyenangkan itu. Memang, petunjuk-petunjuk ilahi dinyatakan sebagai berfungsi pembawa cahaya yang terang benderang. Kitab suci al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai :

Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS. Ibrahim /14 : 1 )

Surat al-Dhuha ini dimulai dengan qasam (sumpah) dengan wawu. Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa, sumpah al-Qur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih (obyek yang digunakan untuk bersumpah). Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa Surat al-Dhuha ini dimulai dengan qasam (sumpah) dengan wawu. Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa, sumpah al-Qur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih (obyek yang digunakan untuk bersumpah). Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa

Allah bersumpah “demi waktu Dhuha (waktu matahari sepenggalahan naik) dan demi malam bila telah gelap. Allah bersumpah dengan dua bukti kekuasaan- Nya yang agung, yang mana keduanya menunjukkan sifat rububiah, kebijaksanaan, dan rahmat Allah. Yaitu dengan malam dan siang.

Menurut A’isyah Abdurrahman dalam tafsirnya Bintusy-Syathi’, gagasan ini berkembang luas, sehingga menyeret mereka untuk melakukan pemaksaan di dalam menjelaskan segi keagungan pada setiap hal yang digunakan al-Qur’an untuk bersumpah dengan wawu. Dalam bersumpah dengan malam misalnya, mungkin tampak segi keagungan tersebut ketika melihat hikmah ilahi yang ada di dalamnya, yaitu diciptakan dan dijadikannya malam sebagai pakaian dan ketenangan. Akan tetapi mereka juga melihat –di dalam ayat al-Dhuha – pengertian kengerian, karena malam adalah waktu duka. Bahkan mereka mungkin mentakwilkan dengan keheningan maut, kegelapan kubur dan keterasingan, yang

di dalamnya tidak tampak makna keagungan kecuali pemaksaan. 31 Syaih Muhammad ‘Abduh sama sekali tidak menemukan kesulitan dalam

menjelaskan aspek keagungan dalam sumpah dengan waktu dhuha. Menurutnya, “sumpah dengan cahaya dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya cahaya dan besarnya kadar kenikmatan di dalamnya, sekaligus untuk menarik perhatian kita bahwa yang demikian termasuk tanda-tamda kekuasaan-Nya yang besar dan

30 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, at-Tibyân fi ‘Aqsâmil Qur’an (tarjamahan), CV. Cendekia Sentra Muslim : Jakarta, 1998), Cet. Ke-I, h. 1

31 Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-Bayâni lil-Qur’an al-Karim (terjamahan), (Bandung : Mizan, 1996), juz. I, Cet. I, h. 49 31 Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-Bayâni lil-Qur’an al-Karim (terjamahan), (Bandung : Mizan, 1996), juz. I, Cet. I, h. 49

melihat bahwa pada malam hari ada sesuatu yang menyerupai keagungan ilahi. 32 Muhammad Abduh lebih lanjut mengatakan, “ adapun sumpah dengan

malam, membuat anda takut dan memasukkan ke dalam diri anda perasaan jiwa yang tertahan, terpaksa berhenti dari pekerjaan, dan ada kecenderungan untuk

diam, yang tidak dapat anda cari jalan keluarnya. Ini merupakan kekuasaan yang muncul dari rasa takut, yang tidak difahami sebab-sebab dan rincian tahapan- tahapannya. Ini serupa dengan keagungan ilahi yang menguasai anda dari segala penjuru, sedang anda tidak tahu dari mana Dia menguasai anda. Ini adalah salah satu fenomenanya. Kemudian di dalam kesunyian ini terdapat ketenangan bagi tubuh dan akal serta pergantian diri sesuatu yang hilang karena lelah pada siang

hari, yang manfaatnya tidak terhitung. 33 Dalam surat ini terdapat dua muqsam bih yaitu al-dhuha (waktu matahari

sepenggalahan naik) dan al-layl idza saja (malam apabila telah sunyi ). Makna dhuha kalau diperhatikan dari tashrif-nya : dhaha – yadhhu – dhahwan, mempunyai arti berpanas cahaya matahari, dan kalau diperhatikan dari tashrif- nya : dhahiya – yadhha –dhahan –dhaha’an, maka mempunyai arti kena cahaya matahari . sedangkan tadhahha mempunyai arti : akala dhuhan (makan pada pagi

32 Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Tafsir Juz’amma) Terjemahan, (Bandung : Mizan , 1998) Cet. Ke-1, h.

33 , Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Tafsir Juz’amma) Terjemahan.. Cet. Ke-1, h.

hari), 34 sedangkan makna layl berarti malam, yaitu sejak terbenam matahari sampai terbit fajar dan antonimnya adalah nahar (siang hari). dalam kajian ini

kata layl disambungkan dengan kata idzâ saja. Kata saja yasju sajwan dan sujuwan artinya diam, tenang, sunyi. Dalam keterangan lain kata saja berarti

meluas gelapnya atau alamnya tenang 35 , atau saja al-layl artinya isytadda dhalamuh 36 (gelapnya sangat) . Kata saja ditemukan hanya satu kali dalam al- Qur’an 37 .

Dua ayat yang menjadi muqsam bih di atas merupakan gambaran bersifat fisik dan realita konkret, yang setiap hari dapat disaksikan manusia ketika cahaya memancar pada dini hari. kemudian turunnya malam ketika sunyi dan hening tanpa mengganggu sistem alam. Silih bergantinya dua keadaan, dapat menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu yang tak pernah terlintas dalam fikiran siapapun, bahwa langit telah meninggalkan bumi dan menyerahkannya kepada kegelapan dan keganasan setelah cahaya memancar pada waktu dhuha, dan adakah yang lebih merisaukan, jika sesudah wahyu yang menyenangkan, cahayanya menerangi al-Musthafa SAW. Datang saat–saat kosong dari wahyu

34 Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’an, (t.tp, : Dâr al-Katib al- ‘Arabi, 1392 H/ 1972 M), h. 301. dalam keterangan lain disebutkan bahwa al-dhuha berarti waqtu

irtifa’ al-syams (saat matahari naik). Dalam surat ini dapat difahami bahwa di dalamnya terdapat an-nur al-ma’nawi (cahaya dalam arti ma’nawi) seperti al-dhuha yang di dalamnya terdapat al-nur al-hissi (cahaya yang dapat dirasakan ) yaitu keadaan siang hari. Lihat Burhân al-Din Abi al- Hasan Ibrahim Ibn Umar al-Biqai, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-suwar (Kairo : Dâr al-Kitab al-Islâmi, 1413 H/ 1992 M ), juz XXII, h. 100-101.

35 Abd. Rauf al-Mishri, Mu’jam al-Qur’an, (Kairo : Mathba’a Hijazi, 1367 H/1948 M),h. 265. keterangan lain mengatakan bahwa “saja” berarti menutupi gelapnya terhadap sesuatu. Lihat

al-Biqai, ibid., juz. XXI, h. 101 36 Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafâsir, (Beirut : Dâr al-Qur’an al-Karim,

1402 H/ 1981 M ) jilid. III, h. 572 37 Muhammad Fuad Abdullah al-Baqi’, al-Mu’jam al-mufahras li al-Fâdz al-Qur’an

(Kairo : Dâr al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), h. 345 (Kairo : Dâr al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), h. 345

Ini berarti bahwa, sumpah dengan dhuha dan malam ketika telah sunyi adalah seakan-akan Allah SWT. mengatakan bahwa waktu itu berjalan saat demi saat, waktu malam dan siang, kemudian meningkat: sekali saat malam bertambah dan saat siang berkurang, dan pada lain kali terjadi sebaliknya. Pertambahan itu bukan karena kemarahan. Pengurangan itu bukan karena kebencian, tetapi ada

hikmahnya. Dekimian pula dengan risalah dan penurunan wahyu yang terjadi sesuai dengan kemaslahatan, sekali diturunkan dan pada suatu saat ditahan. Penurunannya bukan berarti kemarahan, dan penahanannya bukan karena kebenciaan.

Senada dengan itu, ketika orang-orang kafir menuduh bahwa Tuhan telah meninggalkan dan benci kepada beliau (Muhammad), Allah seakan-akan berfirman, “kemukakan alasanmu”, tetapi mereka tidak mampu, sehingga mesti ada sumpah bahwa, Tuhan tidak meninggalkan dan tidak pula membenci Muhammad.

Pengertian lainnya adalah seakan Allah berfirman, “Perhatikan pasangan malam dan siang, di mana yang satu tidak pernah menyerah kepada yang lain. Sesekali malam menang dan sesekali dikalahkan. Maka bagaimana mungkin engkau dapat melepaskan diri dari penciptaan (Allah).

Selain muqsam bih dalam ilmu aqsâm al-Qur’an juga djelaskan tentang muqsam ‘alaih . Adapun muqsam ‘alaih dalam surat ini adalah “ma wadda ‘aka

38 ‘Aisyah Abdurraman, Tafsir Bintusy-Syathi’ (terjemahan) Bandung : Mizan, 1996. h. 52 38 ‘Aisyah Abdurraman, Tafsir Bintusy-Syathi’ (terjemahan) Bandung : Mizan, 1996. h. 52

meninggalkan. Wada’a mâlahu fi al-mashrif artinya menyetorkan, mendepositokan uangnya di bank, wadda’a fulanan artinya meninggalkan si polan dan tak hendak mencampurinya, wadda’a al-tsauba fi al-shiwah artinya menyimpan pakaian di dalam lemari, mustaudi artinya yang mempertaruhkan, yang menitipkan. Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata wadda’a dalam bentuk

fi’il madli kecuali dalam surat al-Dhuha yang menjadi kajian ini. Dan bacaannya menurut jumhur adalah dengan men-tasydid-kan dal (wadda’a) dan sebagian yang

lain membacanya dengan tidak di tasydidkan tetapi di-takhlif-kan (wada’a) 40 Kata lain dari wadda’a ditemukan dalam al-Qur’an yaitu : kata da’ satu kali

(QS. al-Ahzab /33 :48) yang bermakna hiraukan. Kemudian ditemukan satu kali kata mustawda’(QS. al-An’am/6 : 98) dan satu kali kata mustawda’aha, (QS. Hud/11 : 6 ). Kedua kata tersebut masing-masing didahului oleh kata mustaqar yang diterjemahkan dengan tempat penyimpanan.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa wadda’a artinya meninggalkan, sehingga ma wadda’aka Rabbuka artinya : “Tuhanmu tiada meninggalkan kamu”. Dalam ayat ini Allah bersumpah bahwa Dia tidak akan meninggalkan Muhammad, atau dalam perkataan lain hal ini memberikan penegasan bahwa, Allah tidak membiarkannya seorang diri dan juga tidak membencinya

39 Ahmad al-Badawi, Min Balâghah al-Qur’an, (Kairo : Dâr an-Nahdlah Mishr li al- Thab’I wa al-Nasyr al-Fujjalah, 1950 M) h.180

40 A’isyah ‘Abd al-Rahman Bint Syathi, al-Tafsir al-Bayân li al-Qur’ân al-karîm, (Mesir : Dâr al-Ma’ârif, 1387 H / 1968 M, h. 33 40 A’isyah ‘Abd al-Rahman Bint Syathi, al-Tafsir al-Bayân li al-Qur’ân al-karîm, (Mesir : Dâr al-Ma’ârif, 1387 H / 1968 M, h. 33

Perkataan bahwa Allah tidak membenci Muhammad dapat diperhatikan dari kata qala pada surat ini. Kata qala dalam al-Qur’an hanya satu kali ditemukan, yaitu pada surat yang menjadi kajian ini. Kata lain yang ditemukan adalah al- qalin pada surat al-Syu’ara /26 : 168 yang bermakna sangat benci.yaitu : Luth

berkata : “ sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu” 42 . Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam qala ada dhamir yang dibuang (mahdhuf). Ini

dikarenakan untuk meringkaskan lafal, dan yang dikehendaki adalah sudah jelas yaitu : Muhammad. 43 Akan tetapi al-Naisaburi berpendapat lain dengan

mengatakan bahwa : maf’ul qalaka, awka, hadaka, dan aghnaka dibuang adalah karena li al-fashilah (untuk memelihara baris akhir ayat-ayat al-Qur’an). 44 Dengan

demikian ayat tersebut dibaca :qala, awa, hada, dan aghna. Keberadaan Allah yang tidak meninggalkan Muhammad dan tidak membencinya, adalah sesuatu yang tentunya akan menenteramkan hati. Lebih lagi, pada ayat ke empat ditegaskan Allah bahwa akhir perjuangannya adalah lebih baik dari permulaannya. Permulaannya adalah penuh dengan berbagai macam kesulitan dan penderitaan. Sedang balasannya di sisi Allah pada hari

41 183 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, ( Mesir : t.tp., 1394 H/ 1974 M), juz. Ke-19, h. 42

42 Al-Baqi, Mu’jam Mufahras, h. 552 43 A’isyah ‘Abd al-Rahman Bint Syathi, Tafsir al-Bayan , h. 35 44 Nidhâm al-Dîn al-Hasan Ibn Muhammad ibn Husain al-Qummi al-Naysaburi, Tafsir

Gharâib al-Qur’ân wa Raghâib al-Furqan , (Beirut : Dâr al-Fikr, 1398 H/ 1978 M ), juz. Ke-30, h. 108 Gharâib al-Qur’ân wa Raghâib al-Furqan , (Beirut : Dâr al-Fikr, 1398 H/ 1978 M ), juz. Ke-30, h. 108

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesesuaian antara muqsam bih dengan muqsam ‘alaih . Kalau muqsam bih adalah cahaya waktu matahari sepenggalahan naik yang tampak jelas sesudah sebelumnya terdapat kegelapan malam, maka muqsam ‘alaih adalah cahaya wahyu yang diturunkan Allah sesudah sebelumnya terhenti beberapa waktu. Cahaya al-Qur’an memberikan petunjuk kepada manuia

dalam kehidupan mereka setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam, dan cahaya wahyu memberikan petunjuk kepada manusia tentang kegelapan kebodohannya. Cahaya al-Dhuha dan kegelapan malam dapat dirasakan dan cahaya wahyu serta kegelapan kebodohan akal dapat menerima adanya. Yang menghapuskan kegelapan malam adalah cahaya al-dhuha, sedangkan yang menghapuskan kegelapan, kebodohan dan kesesatan adalah wahyu dan kenabian.

Dengan demikian jelaslah persesuaian antara muqsam bih dan muqsam ‘alayh. 46 Dalam keterangan lain disebutkan bahwa kaitan antara muqsam bih dengan

muqsam ‘alaih tampak dari segi bahwa Allah sama sekali tidak meninggalkan Muhammad walaupun hanya sebentar seperti orang yang menitipkan barangnya buat sementara waktu dan akan mengambilnya kembali. Keadaan muqsam ‘alaih ini sesuai dengan keadaan muqsam bih, yaitu waktu dhuha, waktu siang terbaik di mana cahayanya yang lembut dapat dirasakan, saat matahari menaik. Hal ini berkaitan pula dengan keberadaan manusia terbaik di mana manusia lain tidak

45 Ahmad Husayn, Tafsir al-Fâtihah al-Kutab wa Juz’Amma, (Mesir : Jumhuruyah Misyr al-‘Arabiyyah al-Majlis al- A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 1972 M ) h.190

46 Hanafi Ahmad, al-Tafsir al-‘Ilm li al Ayat al-Kauniyyah fi al-Qur’an, (Mesir : Dâr al- Ma’arif, t.th ), h.191 46 Hanafi Ahmad, al-Tafsir al-‘Ilm li al Ayat al-Kauniyyah fi al-Qur’an, (Mesir : Dâr al- Ma’arif, t.th ), h.191

sebagai manusia terbaik. 47 Karena itu, kaitan antara muqsam bih dengan muqsam ‘alayh dapat diperhatikan dari segi waktu terbaik yang dijadikan Allah sebagai

muqsam bih dan keberadaan manusia terbaik yang tidak pernah ditinggalkan Allah sebagai muqsam alayh.

Sumpah tersebut sangat sesuai dan tepat, yaitu cahaya dhuha yang muncul setelah gelapnya malam, sesuai dengan isi sumpah yang berupa cahaya wahyu yang datang setelah tertahan. Sampai-sampai para musuh beliau berkata: “ tinggalkan Tuhan Muhammad,” di sini Allah bersumpah dengan cahaya siang setelah gelapnya malam atas cahaya dan nur wahyu setelah ia tertutup. Demikian pula, sesungguhnya zat yang membuka tirai kegelapan malam, juga merupakan zat yang membuka gelapnya kebodohan dan syirik lewat cahaya wahyu dan kenabian. Keduanya mengarah pada perasaan dan akal manusia, selain itu, zat yang dengan rahmad-Nya tak membiarkan para hamba berada dalam kegelapan malam untuk selamanya, tetapi dengan cahaya siang, Dia menunjukkan mereka kepada kebaikan dan tempat kehidupan mereka, dia tak mungkin membiarkan mereka berada dalam gelapnya kebodohan dan kesesatan. Tetapi, dengan cahaya wahyu dan kenabian, Allah menunjukkan mereka kepada kebaikan dunia dan

akhirat. 48

47 Burhân al-Din Abi al-Hasan Ibrahim Ibnu Umar al-Biqai, Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar , (Kairo : Dâr al-Kitab al-Islami, 1992 M ) h. 192

48 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Tibyân fi Aqsâm al-Qur’an, h. 80-83

Allah SWT. tidak membenarkan bahwa dirinya telah berpisah atau membenci Nabi-Nya. Berpisah berarti meninggalkan, dan benci berarti murka. Allah tidak pernah meninggalkan Nabi Muhammad SAW. semenjak Dia memperhatikan dan memuliakan Nabi-Nya. Allah juga tidak pernah membenci Nabi Muhammad SAW. semenjak dia mencintai beliau. Allah juga memberitahukan bahwa negeri akhirat lebih baik dari pada dunia. Ini meliputi semua keadaan yang terus berlalu ke arah yang lebih baik dari yang sebelumnya.

Negeri akhirat juga lebih baik dari yang sebelumnya. Allah memberikan janji setelah itu yang menyenangkan dan melapangkan hati Nabi Muhammad SAW. Yaitu, bahwa Allah swt telah memberi dan ridha kepadanya. Pemberian tersebut mencakup segala sesuatu, seperti al-Qur’an, petunjuk, kemenangan, pengikut yang banyak, kemuliaan nama beliau, dan kalimatnya yang ditinggikan. Selain itu juga pemberian sesudah beliau meninggal, ketika beliau berada di surga.

Menurut Sayyid Quthb, surah ini secara keseluruhan khusus untuk Nabi Muhammad SAW. semuanaya datang dari Tuhannya untuk menghibur, melerai, menyenangkan dan menenangkan hati beliau. Semuanya merupakan embusan rahmat dan kasih sayang, serta kelemahlembutan dari yang punya hubungan dekat. Juga merupakan penenang ruh yang kelelahan, hati yang bergonjang dan

kalbu yang menderita. 49 karena itu lebih lanjut Sayyid Quthb mengatakan: bahwa ketenangan dan kejinakan adalah tujuan dan sasaran dari ayat yang dimaksud,

seakan akan Allah memberi isyarat kepada Rasulnya SAW. sejak permulaan

49 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilâl Qur’ân, Terjemahan, ( Jakarta : Gema Insani Press, 2002 ) Cet. I, jilid 24, h. 163 49 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzilâl Qur’ân, Terjemahan, ( Jakarta : Gema Insani Press, 2002 ) Cet. I, jilid 24, h. 163

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa pendapat Quraisy Syihab lebih menekankan pada makna waktu dhuha yang mencerminkan sinar yang jelas, menyegarkan dan menyenangkan yang menggabarkan petunjuk ilahi yang berfungsi membawa cahaya petunjuk cahaya kebenaran yang terang benderang sedangkan sumpah Allah dengan waktu dhuha adalah bukti keagungan qasam bih

yang merupakan bukti tanda kekuasaan Allah terhadap ciptaannya (waktu dhuha), sedangkan Sayyid Quthb menguhubungkan sumpah Allah dengan waktu dhuha yang indah dan mengesankan ini antara fenomena alam dengan perasaan jiwa manusia. Juga memberikan kesan kepada hati manusia tentang kehidupan yang sensitif dan renponsif terhadap alam yang indah dan hidup ini, yang saling berlemah lembut dengan setiap makhluq hidup, maka hiduplah hati tersebut dengan kejinakan dan ketenangan di alam semesta, tanpa merasa takut dan merasa terasing.