Per masalahan yang Dihadapi
5. Per masalahan yang Dihadapi
Posisi perempuan sebagai pemimpin di organisasi dikaita- kan dengan perannya di dalam keluarga sangat rentan terjadi per masalahan. Sebagaimana menurut Ermawati (2016), ketika wanita memilih untuk berkarir dan sudah menikah, peran ganda yang dilakukannya akan menimbulkan persoalan baru yang lebih kompleks dan rumit. Di samping tuntutan untuk memenuhi kewajiban rumah tangga, ia juga memiliki
Dinamika Dukungan Keluarga pada Pemimpin Perempuan
beban untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab di dalam pekerjaan. Senada dengan hal tersebut, Dajfri (2014) mengungkapkan bahwa dampak negatif dari ibu rumah tangga yang sibuk di luar rumah akan berdampak pada efektivitas interaksi antara suami-istri dan anak dalam keluarga. Akibatnya rumah tangga mengalami keretakan bahkan perceraian, serta berdampak psikologis bagi anak-anaknya. Kedua peran itu menuntut kinerja yang sama baiknya. Jika keduanya tidak mampu dilakukan oleh perempuan pemimpin, selanjutnya dapat menimbulkan konlik peran. Namun, jika seorang perempuan mampu mengondisikan antara pekerjaan dan kepentingan keluarga akan dapat membuat keluarga lebih harmonis.
Sejalan dengan penelitian diatas, permasalahan yang dihadapi oleh Lintang, Sofa dan Dian tidak jauh-jauh dari permasalahan internal di dalam rumah tangga dan persoalan eksternal yang terkait dengan peran sebagai pemimpin, serta persoalan afeksi yang barangkali terasa simpel tetapi se- benarnya mengganjal. Permasalahan internal yang dihadapi oleh narasumber terkait dengan peran suami. Suami dari ketiga narasumber sering bertugas ke luar kota karena tun- tutan pekerjaan. Hal tersebut membuat narasumber harus melakukan peran di rumah maupun mendampingi anak seorang diri saat suami tidak berada di rumah. Akibat yang ter jadi selanjutnya adalah suami yang tidak bisa memback up peran yang ada di rumah. Sekali lagi, beban perempuan semakin bertambah. Dalam hal ini ia dintuntut untuk memiliki ke mampuan multitasking untuk menggantikan sosok ayah bagi anak-anaknya. Sementara itu, agak berbeda dengan yang dialami Dian, semakin lama suami semakin memahami peran
Fiya Ma’arifa Ulya
narasumber sebagai pemimpin perempuan. Hal ini membuat suami menjadi lebih mandiri, sehingga tugas-tugas rumah yang tidak bisa dilakukan oleh narasumber diambil alih oleh suami. Namun demikian, permasalahan lain muncul manakala keluarga pihak suami menginginkan narasumber untuk segera memiliki anak karena narasumber dan suami sudah membina rumah tangga selama kurang lebih 8 tahun, sedangkan kondisi saat ini peran narasumber sebagai ketua umum organisasi menuntut alokasi waktu, tenaga, pikiran dan materi yang lebih banyak. Dalam situasi ini, narasumber rawan untuk mendapatkan sorotan negatif. Sebagaimana menurut Setiawati (2012) Pemimpin perempuan juga seringkali mendapat sorotan negatif ketika ia masih berstatus single atau belum berkeluarga, atau jika ia belum memiliki keturunan, anak yang mengalami masalah dalam kehidupannya, maupun saat suami mempunyai ulah yang tidak wajar dalam masyarakat. Posisi pemimpin perempuan dalam kondisi tersebut seringkali disalahkan sedemikian rupa.
Selanjutnya, wanita yang menjadi seorang pemimpin formal termasuk wanita karir akan banyak menghadapi berbagai masalah yang berhubungan dengan posisi yang bersangkutan (Pasya, 2010). Berkarir memerlukan tekad dan konsentrasi yang tadinya tidak dituntut jika seorang perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga. Pengembangan ambisi, keyakinan memimpin, upaya dan keberhasilan ambisi dilaksanakan dalam iklim kehidupan dengan suatu etika atau moralitas tertentu yang sebenarnya tidak dimiliki perempuan (Noerhadi dalam Tan, 1991). Sejalan dengan hal tersebut, perempuan pemimpin mengalami permasalahan eksternal dan afeksi yang cenderung sama yakni perempuan pemimpin merasa lelah ataupun berat
Dinamika Dukungan Keluarga pada Pemimpin Perempuan
menjalani perannya di luar rumah. Lintang merasa bahwa ia harus mampu berdamai dengan diri sendiri, terutama dalam situasi ketika sedang lelah namun sebagai pemimpin ia harus selalu tampil prima dihadapan orang banyak. Demikian halnya dengan Sofa dan Dian yang menjalani double peran di luar rumah atau mengemban amanah lebih dari satu jabatan. Dengan demikian, menurut Pasya (2010) jalan terbaik ada- lah dengan membagi tugas sebagai Ibu rumah tangga dan sebagai wanita yang berkarir. Seorang pemimpin perempuan harus mengerti apa yang menghambat kesuksesan dalam menjalankan peran di luar rumah dengan tanpa mengurangi kesadaran pemimpin perempuan bahwa keluarga bagi mereka juga hal yang penting. Oleh sebab itu, ketiga narasumber selalu berusaha untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dengan mengagendakan quality time yang mana pada waktu tersebut, narasumber fokus beraktivitas bersama dengan orang-orang tersayang yakni keluarga dan melepaskan sejenak kerja-kerja kepemimpinan di luar rumah yang mereka jalani.