17
BAB II KERANGKA TEORI
2.1 Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Sistem Patriarki
Relasi ant ara laki-laki dan perempuan m erupakan t em a yang t ak kunjung usai. Bahkan, Erich From m m engat akan bahw a pert ent angan yang yang t erjadi
ant ara relasi kedua jenis kelamin ini t elah berlangsung sejak enam ribu t ahun silam
Fromm , 2000:176. Persoalan m enjadi semakin kent al ket ika dalam relasi ini t erjadi ket im pangan di m ana t erdapat hubungan subordinasi. Bentuk
pendobrakan perem puan at as kuasa laki-laki t idak t erlepas dari sist em pat riarki yang t idak adil yang m enem pat kan perem puan sebagai bayang-bayang laki-laki.
Hubungan laki-laki dan perem puan dalam sist em pat riarki t idak digambarkan sebagai hubungan dengan ent itas masing-m asing. Akan t et api,
salah satu entit as perempuan digambarkan ident it asnya dalam hubungannya dengan laki-laki. St. Thomas Aquinas m engat akan bahw a perempuan adalah laki-
laki yang tidak sempurna. Pernyat aan ini menggam barkan bagaim ana konsep perem puan dit entukan dari konsep m engenai laki-laki t erlebih dahulu. Lebih
rum it lagi, sist em pat riarki m em peroleh kont rol atas seluruh bidang penget ahuan sert a melanggengkan dominasi ini dalam aktivit as belajar-mengajar dengan
menjadikannya resmi dan form al. Filsafat , hukum, t eologi, sast ra, seni, dan ilm u alam adalah arena dom inasi w acana laki-laki. Hegem oni laki-laki at as pencipt aan
penget ahuan t elah m enyingkirkan penget ahuan dan pengalam an bersam a keahlian dan aspirasinya Hidayat , 2004: 17.
18 Jelaslah bahw a selama ini keseluruhan tubuh perem puan digam barkan
dan diberi identit as oleh dunia pat riarki sehingga perem puan t idak bisa memberi identit as t erhadap dirinya sendiri. Selain itu, identitas perem puan selalu
berhubungan dengan ident it as laki-laki – dalam bahasa Simone de Beauvoir dinam akan liyan the other. Artinya, keberadaan perempuan dit entukan dalam
hubungannya dengan laki-laki, bukan karena m ereka m emiliki identit as sendiri. Laki-laki menjadi ukuran dan st andard untuk mendefinisikan dan m enent ukan
kodrat perem puan, bukan perempuan yang diukur at as kualit as yang dim ilikinya sendiri.
Sejak zam an Yunani kuno hingga sekarang perem puan t idak dit em pat kan dalam ciri-ciri kualit as yang mereka miliki, t et api lebih pada kualit as laki-laki yang
t idak m ereka m iliki. Pada masa Yunani, perem puan dimunculnya, m isalnya, dengan rendahnya rasio, sedangkan di t empat lainnya dengan lem ahnya
kekuatan yang dim iliki, sem entara bagi Freud karena m ereka tidak mem iliki penis. Hal ini sungguh m enunjukkan bahw a sejarah perem puan sepenuhnya
dit ent ukan secara relat if oleh laki-laki yang lant as m enjadi ideal-ideal, st andard, norm a, dan ukuran-ukuran yang t idak hanya unggul namun ut ama dan bahkan
sat u-sat unya. M enurut Gat ens, st rukt ur ini tidak dapat dijelaskan secara sederhana
sebagai prasangka atau seksisme sadar at au tidak sadar yang berasal dari laki- laki. Ini adalah ciri dari pemikiran yang dapat disebut phallusentrisme yang
beroperasi dengan
cara pem ikiran
dikotom is di
m ana satu
konsep
19 mendefinisikan dan menent ukan yang lainnya dengan hanya relat if mengacu
pada dirinya sendiri Hidayat , 2004:156-157.
Relasi yang t idak adil ant ara laki-laki dan perem puan dalam dunia filsafat disinyalir kuat dipicu oleh t radisi pemikiran dikotom ik. Dalam dunia dualism e
Plato, misalnya, dikat akan bahw a m anusia dibagi dari dua unsur, yaitu jiwa dan badan, di m ana jiw a lebih mulia daripada badan. Dari pengkategorian Plato
t ersebut akhirnya dapat t erlihat bahw a hirarki salah satu ket egori pasti lebih t inggi kedudukannya daripada kat egori yang lainnya.
Gadis Arivia 2003:162 m enyat akan bahw a kat egori dikot omik dapat dit elusuri sejak aw al t erbent uknya filsafat Yunani. Dat a-dat a dari kelompok Iona
memperlihat kan pemikiran dikotom ik, sepert i baik buruk, t erang malam, kesat uan pluralit as, laki-laki perempuan. Yang perlu dicat at di sini adalah adanya
kat egori dikotomik ini berasosiasikan dengan mana yang berkarakt erist ik perem puan dan m ana yang berkarakt erist ik laki-laki. Laki-laki diasosiasikan
dengan yang baik, t erang, kesat uan, dan sebagainya, dan sebaliknya perem puan merujuk kepada buruk, m alam , pluralit as, dan lainnya. Dalam abad modern pun
t ernyat a pem ikiran yang dikot omik berkem bang dengan subur. Pemikiran Descart es misalnya, mendom inasi refleksi filsafat nya at as dunia, penget ahuan,
dan sifat dasariah manusia. Descart es berusaha unt uk m enjelaskan segala yang eksis dengan m engacu pada dua t ema, yait u pemikiran dan m at eri mind dan
mat t er . Dikot omi ini dipresent asikan sebagai alat logika at au t eori yang berguna
20 unt uk m em ilah-milah dunia dan berusaha m em aham inya. Tent unya, cara ini
dilihat sebagai cara pandang yang alam iah, objekt if, dan benar. Pandangan objekt if inilah yang m enjadi pangkal m asalah. Keobjekt ifan
mengandaikan bahwa pandangan t ersebut berasal dari wilayah t ransenden sehingga t idak dapat diganggu gugat lagi. Inilah yang menem pat kan posisi
perem puan dengan nilai-nilai fem init asnya sem akin sulit . Nancy J. Holland, seorang fem inis, mengem ukakan bahw a argum ent asi
dikotomik t idak dapat dim engert i sebagai sesuatu yang alam iah untuk m em ilah- milah dalam mem buat suatu kat egori. Cara ini, masih m enurut nya, m engandung
asumsi-asum si im plisit yang m engedepankan nilai-nilai t ert ent u. Dan dalam analisa fem inisme, t ernyat a pendikotomian t ersebut di” seksualkan” dengan
t ujuan untuk lebih m engedepankan nilai m askulinit as dan merendahkan nilai- nilai feminit as Arivia, 2002: 162.
Cara pandang itu sem akin m enguat pada abad pencerahan, di m ana phallogosent risme
m enjadi cara pandang yang kuat , t elah m enem pat kan perem puan dalam posisi yang tidak layak. Salah sat u pem ikiran yang cenderung
mengobjekt ivikasi perem puan adalah ilmu penget ahuan modern, di mana perem puan seringkali diasosiasikan sebagai alam objek, sedangkan laki-laki
adalah subjek. Pandangan ini jelas t ampak dalam pernyat aan Francis Bacon berikut ini: “ I
am come ini very t ruth leading you nat ure w it h all her children t o bind her t o you service and make her your slave
” Hidayat : 2003:4. Asosiasi antara perem puan
21 dengan alam dan hubungan hirarkis ant ara laki-laki dan perempuan dapat
dit em ukan sebagai karakt er norm at if dalam penget ahuan ilm iah. Dalam dunia filsafat , perempuan sesungguhnya t idak m em peroleh
definisi yang baik. M engacu pada identit as perem puan, beberapa filsuf memberi penilaian yang cenderung negatif. Arist ot eles memberikan gambaran bahw a
kehidupan perem puan bersifat fungsional. Ia adalah ist ri laki-laki yang hanya digunakan untuk m empunyai anak, dan sebagaim ana budak, ia m engambil
bagian untuk m enyediakan kebutuhan hidup Arivia, 2002:8. “ Perem puan adalah
perem puan dengan sifat khususnya yang kurang berkualit as,” ujar Arist ot eles, “ kit a harus mem andang sifat perempuan yang dimilikinya sebagai suatu
ket idaksem purnaan alam.” Beauvoir, 2003:ix. Francis Bacon m em berikan penilaian yang lebih negat if. Dikat akannya bahw a perem puan merupakan
penjara bagi kaum laki-laki, karena ia m emberikan pengaruh buruk pada kehidupan laki-laki Arivia, 2002:40. Konsepsi Kant t ent ang perem puan tidak
jauh lebih baik. Ia m engat akan bahwa perempuan tidak mam pu m engandalkan aspek kognit ifnya, dan karenanya ia m enganulir perem puan untuk berpikir
Arivia, 2002:40. Sedangkan St . Thomas menganggap perempuan sebagai “ laki- laki yang t idak sem purna,” makhluk “ yang t ercipt a secara t idak sengaja” . Hal ini
disimbolkan dalam Kit ab Kejadian di m ana Haw a digam barkan Bossuet sebagai makhluk yang dicipt akan dari “tulang rusuk” Adam Beauvoir, 2003:xi. Lebih
buruk lagi, pandangan para filsuf ini diklaim mereka sebagai pandangan yang
22 universal t ent ang perem puan dan m ereka m em punyai legit im asi at as
pernyat aan-pernyat aan t ersebut Arivia, 2002:71. Di samping beberapa filsuf yang cenderung berpikiran misogini t erhadap
perem puan, memang ada beberapa filsuf yang banyak m emberikan kont ribusi dalam m emberi pemet aan posisi perempuan, salah satunya Jacques Lacan.
M enurut Lacan, di dalam m asyarakat t erdapat aturan-aturan simbolis yang harus dipatuhi. Aturan-aturan simbolis yang disebut juga sebagai “ At uran Bapak” The
Law of t he Fat her m eresap ke t iap individu dalam proses t iga t ahap. Pada t ahap
pert am a, disebut sebagai t ahap imajinasi yang merupakan ant it esis dari Aturan Simbolis, di m ana seorang bayi t idak mem punyai kesadaran akan bat asan-
bat asan egonya. Tahap kedua, disebut juga t ahap kaca mirror st age, ket ika si bayi melihat refleksi dirinya pada ibunya. Pada t ahap ket iga, yait u t ahap Oedipal,
yait u t ahap penjarakan yang dilakukan si anak t erhadap ibunya. Dalam t ahap inilah, hubungan ibu dan anak m elem ah dan intervensi dari sang ayah muncul
Arivia, 2002:128. Dalam proses penjarakan ini, perem puan mengalam i kesulit an masuk ke
dalam aturan simbolik yang m erupakan “ bahasa” ayahnya. Hal ini disebabkan perbedaan
anatomi yang
mem buat anak
perem puan tidak
dapat mengident ifikasikan dirinya dengan ayahnya. M enurur Lacan, aturan simbolik
yang sarat dengan “ at uran laki-laki” inilah yang mem buat perem puan dalam kesulit an, karena at uran-aturan ini diekspresikan dengan bahasa-bahasa dan cara
berpikir yang m askulin.
23 Pemberont akan
t erhadap sist em pat riarki
semakin menemukan
bentuknya dengan m unculnya feminisme. Walaupun sejum lah cat atan sejarah menyat akan bahw a gerakan fem inisme muncul tahun 1960-an Fakih, 1996:82,
Anderson m engat akan bahw a ada banyak pet unjuk bahw a feminisme t elah muncul dua hingga t iga abad sebelum nya Hidayat , 2004:96.
Karya-karya aw al fem inism e, dalam studi krit is at as ilmu modern, telah menemukan bias gender t radisi itu yang secara eksplisit t erungkap dalam
pandangan-pandangan yang m erugikan perempuan, t eori-t eori m isogini, rendahnya aspirasi dan ket erwakilan perempuan, dan set erusnya. Dengan
kecurigaan yang lebih mendalam, pem ikiran feminism e m ulai menyadari bahw a bias gender juga m em pengaruhi perspekt if seseorang t erhadap kodrat alam, cara
berpikir, dan pendekat an t erhadap sebuah persoalan Hidayat , 2004:3. M aggie Hum secara garis besar m embagi fem inisme ke dalam gelombang
pert am a first w ave dan gelombang kedua second wave. Nam un apabila melihat perubahan yang signifikan dari fem inisme dewasa ini, David Golumbia
menandai bahwa ada cat at an-cat at an t ent ang munculnya feminism e generasi ket iga t hird wave Hidayat , 2004:3.
Secara um um , krit ik fem inis t erhadap pem ikiran filsafat berlangsung dalam dua gelombang. Gelombang pert am a krit ik berkonsent rasi pada muat an
pemikiran yang mempersoalkan posisi perempuan dalam perkembangan t radisi filsafat . Begit u juga bias kelaki-lakian dalam pem ikiran filsafat ikut m enjadi
sasaran krit ik. Gelombang kedua yang muncul sebagai bent uk krit ik mut akhir
24 dalam fem inism e just ru bergerak lebih jauh dengan m empersoalkan proses yang
berlangsung dalam filsafat . Kritik ini lebih m elihat filsafat sebagai akt ivit as Hidayat , 2004:16.
Feminism e generasi
kedua m em pe
rt anyakan lebih
daripada ket idakset araan sosial yang dialam i w anit a; ia juga mengam ati st rukt ur ideologis
yang t ert anam dalam-dalam , dan m em buat w anit a berada dalam posisi yang t idak menguntungkan dibandingkan para pria. Pat riarki adalah salah satu jenis
st rukt ur it u, dan kont rak sosial – yang begit u berpengaruh dalam mem berikan pembenaran pada lem baga-lem baga politik Barat – adalah jenis yang lain.
Sebagai yang sering diilhami oleh pandangan psikoanalisis Lacanian, yang menunjukkan bahw a kesadaran atau ego bukanlah pusat subjekt ivit as,
fem inisme generasi kedua ini menant ang bias gender dalam bahasa, hukum, dan filsafat . Pandangan ini berpendapat bahw a wanit a t idak bert ujuan untuk m enjadi
sepert i pria sepert i yang berlangsung dalam pert arungan dalam persam aan sosial, t et api berusaha untuk m engem bangkan bahasa, hukum, dan mit ologi
yang baru dan khas bersifat fem inin Lecht e, 2001:247.
Pada dasarnya, kritik aliran-aliran dalam feminism e m engacu pada satu
hal, yakni adanya ket im pangan dalam relasi ant ara laki-laki dan perempuan. Hanya saja, dalam pengejaw ant ahannya, masing-m asing aliran menggunakan
jalur yang berbeda karena perbedaan paradigm a yang dipakai. Aliran fem inism e liberal lebih menekankan perjuangan at as keset araan
hak perempuan dengan laki-laki sebagai w arga sipil. Karena it u, gerakan
25 fem inisme liberal lebih dit ekankan pada hak-hak suaranya di dalam wilayah
publik. Sem ent ara feminism e radikal lebih melihat pada sist em yang ada di dalam m asyarakat yang m enjadi penyebab ket ert indasan perempuan. Fem inism e
radikal mengklaim bahw a sist em pat riarki dit andai oleh kuasa, dom inasi, hierarki, dan kompet ensi. Sist em pat riarki, bagi kelompok ini, tidak dapat dibentuk ulang,
t et api harus dicabut dari akar dan cabang-cabangnya. Fem inisme M arxis dan sosialis lebih m elihat st uktur kelas yang t erbent uk di dalam masyarakat . Bagi
aliran ini, adalah tidak mungkin bagi set iap orang, t erut am a perem puan, untuk mencapai kebebasan yang sejati dalam m asyarakat yang berdasarkan kelas.
Opresi t erhadap perempuan diyakini dari adanya hak milik pribadi – lembaga yang m enghilangkan apa pun kualit as komunitas yang selam a ini dinikm at i
manusia. Karena agar perem puan t erbebas dari kekuasaan laki-laki, sist em kapit alis harus digant ikan oleh sist em sosialis yang akan m engat ur alat produksi
sebagai sat u dan milik bersam a. Fem inisme psikoanalisis dan gender lebih memfokuskan pada individu dan menyat akan bahw a akar opresi t erhadap
perem puan adalah sesungguhnya t ert anam dalam psike seorang perempuan. Bagi fem inis psikoanalisis, fokus pada peran seksualit as dalam opresi t erhadap
perem puan muncul dari t eori Freud. Sedangkan pada fem inisme gender, w alaupun mereka juga m em ikirkan psike p erem puan, juga m enggali hubungan
ant ara psikologi dan moraliot as perem puan. Fem inisme eksist ensialis, dalam hal ini diw akili oleh Simone de Beauvoir, m elihat opresi t erhadap perem puan karena
keliyanannya t he ot her – objek yang t idak menentukan makna eksist ensinya
26 sendiri. Jika perem puan ingin m enjadi Diri, perem puan harus menjadikan dirinya
sebagai m ana yang diinginkannya. Fem inisme posmodern bukan menjadikan keliyanan ini sebagai sesuat u yang harus ditolak, tet api just ru harus dirangkul.
M ereka m engklain bahw a keliyanan the ot herness perempuan m emungkinkan individu perem puan untuk mundur dan kemudian m engkrit isi norm a, nilai, dan
prakt ik-prakt ik yang dipaksakan oleh kebudayaan laki-laki yang dominan pat riarki t erhadap sem ua orang, t erut am a m ereka yang berada di pinggiran.
Bagi fem inisme posmodern, m enjadi liyan m erupakan cara untuk bereksist ensi yang m em ungkinkan perubahan dan perbedaan. Sem ent ara itu. Bagi feminism e
mult ikultural dan global, akar dari ket erpecahan Diri lebih bersifat kult ural daripada seksual dan sast raw i. Dalam hal ini, bentuk imperialism e yang dilakukan
bangsa kulit put ih t elah mem bangun konsep diri bangsa t erjajah, t erut am a negara-negara di belahan Asia dan Afrika, dalam bayang-bayang ident it as bangsa
kulit put ih. Sem ent ara kebanyakan aliran pem ikiran fem inis lebih cenderung kepada pandangan relasional atas Diri, ekofeminism e m enaw arkan konsepsi
yang paling luas dan paling menuntut at as hubungan Diri dengan yang lain: binat ang dan t um buhan Tong, 2004:2-11.
Begit u beragam nya
pandangan me
m buat feminism e
sepert i t erfragm ent asi dalam sekat -sekat aliran. Perbedaan yang paling jelas adalah cara
yang dit empuh dalam m elakukan perlawanan t erhadap sist em patriarki. Ada aliran fem inism e yang m elaw an sist em pat riarki dengan cara masuk dan
mendobrak sist em t ersebut dari dalam, ada pula yang m encoba keluar dari
27 sist em “ bapak” t ersebut dan membangun sist em t ersendiri, sepert i yang
dilakukan Helene Cixous. Helen e Cixous mengkont raskan tulisan fem inis dan t ulisan m askulin.
Dipandang secara psikoanalisis, tulisan maskulin berakar dari organ genit al dan libinal laki-laki, yang diberi emblem sebagai fallus. Karena beragam alasan sosial
budaya, tulisan maskulin dianggap lebih bernilai dari tulisan feminin Tong, 2004:192.
M enurut Cixous, ist ilah laki-laki–perem puan menunjukkan bahw a ist ilah kedua m engacu at au m enyim pang dari istilah yang pert am a. Laki-laki adalah Diri,
sedangkan perempuan adalah Liyan. Karena itu, perempuan ada dalam dunia laki-laki dengan ist ilah laki-laki. Perempuan adalah liyan bagi laki-laki at au ia t idak
t erpikirkan Tong, 2004:292. Untuk m elakukan perlaw anan terhadap sist em pat riarki, Cixous m em berikan taw aran dengan cara keluar dari sist em t ulisan
maskulin dan mencoba m enggunakan m odel t ulisan feminin. Namun,
penggunaan cara yang berbeda tersebut sesungguhnya dilakukan untuk t ujuan yang sama: m elakukan pendobrakan t erhadap sistem pat riarki.
Dari sini dapat dilihat bahw a langkah unt uk m engklasifikasikan pemikiran Djenar M aesa Ayu ke dalam salah sat u bentuk pem ikiran fem inisme bukanlah
sebuah hal yang m udah karena pemikiran fem inisme t idak berada dalam w ilayah t erkot ak-kot ak, m elainkan punya irisan sat u sam a lain.
2.2 Sejarah Patriarki