Konsep Dikotomik Laki-laki Perempuan

46 kompleks pada t ahapan falik. Freud m engajarkan bahw a perjalanan anak perem puan melalui Oedipus dan kat rasi, menciderai perempuan dangn beberapa sifat gender yang t idak disukai, bersam aan dengan perkem bangannya m enjadi perem puan dew asa Tong, 2004:190. Sem ua penjelasan ini, m enurut Freud, memberi kan pemahaman baru m engapa perem puan adalah m akhluk inferior karena ia sebenarnya ada makhluk yang t erkat rasi Arivia, 2003:58. Pada t it ik inilah Freud banyak m endapat kan krit ik, t erut am a dari kalangan fem inis. Dalam pandangan kaum fem inis, alih-alih m em berikan sebuah pemahaman baru, Freud dianggap malah m elanggengkan ket impangan hubungan ant ara laki-laki dan perem puan. Penjelasan Freud di at as sam a saja memberi kan jalan bagi laki-laki untuk m ensubirdinasi perempuan. Beberapa feminis angkat bicara m engenai t eori Freud ini. M ereka berargum ent asi bahw a posisi sert a ket idakberdayaan sosial perem puan t erhadap laki-laki kecil hubungannya dengan biologi perem puan, dan sangat berhubungan dengan konst ruksi sosial at as fem ininitas Tong, 2004:196.

2.4 Konsep Dikotomik Laki-laki Perempuan

Apa yang menjadikan perempuan selalu dalam posisi yang subordinat ? Jaw abannya adalah konsep dikotom ik. Konsep dikot omik at au oposisi biner selalu mengkont raskan dua hal yang berbeda. Sepert i contoh baik buruk, hit am putih, t ua m uda, cantikburuk, maskulin fem inin, laki-laki perempuan, dan sebagainya. 47 Let ak persoalannya adalah bahwa konsep dikot omik it u diyakini sebagai suatu keadaan yang alamiah; sesuat u yang “ given” . Adanya buruk karena ada baik. Begitu juga sebaliknya. M et afisika hadir di sini. Ketika konsep dikot omik diyakini sebagai suatu “ given” , maka keberadaannya bersifat t et ap. Gadis Arivia dalam tulisannya berjudul “ Bert erim akasihlah Kepada Para fem inis” 2005 dengan t egas m enyat akan bahwa perbedaan t ersebut merupakan hasil dari proses–proses sosial, bukan sesuat u yang “ t erberi” . Celakanya, konsep perbedaan yang m erupakan hasil konst ruksi sosial ini t ernyat a melahirkan sist em ket idakadilan yang akut. Dalam sist em dikot omik, selalu ada dominasi. Dan dom inasi pada akhirnya akan m enim bulkan penindasan. Begit u pula dalam hubungannya ant ara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang diuntungkan dengan sist em pat riarki akan m endapat kan posisi yang lebih menguntungkan. St udi yang dilakukan Gadis Arivia t erhadap realit as sosial polit ik menunjukkan bahw a laki-laki selalu diuntungkan dalam hubungannya dengan laki-laki. Dalam realit as polit ik Indonesia, t erlihat bagaim ana secara kuant it as laki-laki lebih banyak yang menempat i posisi-posisi st rat egis, baik di lembaga eksekut if, yudikat if, m aupun legislat if. Apakah ini berangkat dari konsep yang sudah mengakar m endaging dalam sist em pat riarki bahw a perempuan lebih lemah daripada laki-laki sehingga jabat an-jabat an publik lebih t epat jika diberikan pada kaum laki-laki? Bentuk dominasi t erlihat juga bagaim ana suara laki-laki lebih didengarkan daripada suara perempuan. Banyak kasus p erkosaan, sepert i yang dikut ip Arivia 48 dari Lori Heise 2006: 178-195, yang menempat kan perem puan dalam posisi yang salah karena dianggap sebagai “ kegenit an” sem ent ara pemerkosa dianggap sebagai “ kenakalan biasa” . Karena posisi yang t idak m enguntungkan bagi perem puan, banyak kasus perkosaan yang t idak dilaporkan. Di Afrika Selat an, misalnya, hanya sat u dari 20 perkosaan yang dilaporkan. Terlihat di sini bagaim ana laki-laki selalu diunt ungkan dalam relasinya dengan perempuan, bahkan m eskipun relasi t ersebut bersifat penindasan t erhadap yang lain. Pandangan dikot omik yang bias diskrim inasi ini m ew arnai seluruh dim ensi kehidupan m anusia. Namun, sepert i yang diungkapkan oleh Arivia, mengut ip dari Alison Jagger, diskrim inasi yang berdasarkan jender m erupakan bentuk diskriminasi paling t erdalam , luas, dan kom prehensif. Diskrim inasi t erhadap perem puan t ersebut diuraikannya secara t egas sebagai berikut : 1. bahwa perem puan secara hist oris m erupakan kelompok yang t ert indas. 2. bahwa ket ert indasan perempuan sangat m eluas ham pir di seluruh m asyarakat m ana pun. 3. bahwa ket ert indasan perem puan m erupkan bentuk yang paling dalam dan ketert indasan yang paling sulit untuk dihapus dan t idak dapat dihilangkan dengan perubahan-perubahan sosial sepert i penghapusan kelas m asyarakat . 4. bahwa penindasan t erhadap perempuan m enyebabkan kesengsaraan yang am at sangat t erhadap korbannya, baik secara kualit at if maupun 49 kuantit atif, w alaupun kesengsaraan t ersebut t idak t am pak karena adanya ket ert ut upan, baik yang dilakukan dilakukan oleh pihak penindas m aupun pihak t ert indas. 5. bahwa pem aham an penindasan t erhadap perem puan pada dasarnya m em berikan m odel konseptual untuk mengert i bent uk-bentuk lain penindasan. Sem ent ara itu, Aafke Komt er m encat at set idaknya ada t ujuh bentuk ket idakset araan dalam relasi ant arseks: 1. ket idakset araan dalam sum ber daya-sumber daya sosial, posisi sosial, polit ik, dan penerim aan budaya. 2. ket idakset araan dalam kesem patan mem anfaat kan sumber daya- sum ber daya yang t ersedia. 3. ket idakset araan dalam pem bagian hak dan kew ajiban. 4. ket idakset araan baik eksplisit m aupun implisit dalam pengambilan keputusan yang m enentukan perbedaan pelaksanaan dalam hukum, pasar kerja, prakt ik pendidikan, dan sebagainya. 5. ket idakset araan dalam represent asi budaya; pendevaluasian sebagai kelom pok bawah, st ereot ip, pelekat an, dengan kodrat , anggapan lem ah, dan ket erikat an biologis. 6. ket idakset araan dalam implikasi psikologis; inferiorit as dan superiorit as. 50 7. t endensi sosiokult ural unt uk meminim alisasi at au m enolak ket idakset araan kekuasaan; konflik dianggap sebagai konsensus dan ket im pangan kekuasaan dianggap normal. Hidayat , 2004: 228-229. Konsep dikot omik ini bisa sangat jelas kit a t em ukan dalam ranah filsafat , sepert i pada Plat o yang m embagi t ubuh dan jiwa – di m ana jiw a m engat asi t ubuh -, at au Descart es yang m embagi mind dan mat t er. Dalam set iap pem bagian at au pengkat egorian it u, selalu ada yang diposisikan lebih t inggi dibandingkan yang lain. Posisi yang lebih t inggi biasanya akan mendom inasi yang lainnya. Begitu pun pada hubungan laki-laki dan perem puan. Laki-laki yang diuntungkan oleh sist em pat riarki mem iliki posisi yang lebih t inggi dibandingkan perem puan, bahkan dalam kasus yang lebih umum, laki-laki m endominasi dan menghegemoni perem puan. St udi kasus yang dilakukan oleh seorang peneliti bernam a Pam ela Fishman, sepert i yang dikut ip David Graddol 2003 m em perlihat kan bagaim ana dalam dialog sehari-hari, laki-laki jarang sekali m erespon percakapan yang dimulai oleh perem puan, sebaliknya perem puan cenderung akan merespon pembicaraan yang dimulai oleh laki-laki. Penelit ian yang dilakukan t erhadap pasangan suami-ist ri di Am erika Serikat ini m emberikan kesimpulan bahwa nyaris sem ua t opik laki-laki diikut i oleh perempuan 28 dari 29 t opik, sem ent ara hanya 17 dari 47 topik yang disodorkan perem puan yang dianggap berhasil. Penelitian 51 ini sem akin menguat kan bahw a bahkan dalam ruang percakapan pun dominasi laki-laki atas perem puan sangat besar. Konsepsi dikot omik yang “given” inilah yang mem urukkan perempuan dalam ket idakberdayaan sosial. Sebagian perem puan menganggap bahwa tugas perem puan mengikuti apa yang sudah digariskan oleh t akdirnya: m enjadi pelengkap laki-laki. Seperti dinyat akan Tong, sem akin baik seorang mengurus suaminya, semakin t inggi pula ia menganggap dirinya sebagai pilar, yang tanpa pilar itu, suaminya t idak akan berdaya 2004: 242. Tent ang kodrat perem puan sebagai pelengkap ini dinyat akan pula Beauvoir, yang m elakukan analisis t erhadap lim a karya sast ra pengarang laki-laki. Dalam simpulannya, Beauvoir mengat akan bahw a perempuan yang dianggap ideal oleh sist em pat riarki, dan otom atis perem puan yang dipuja laki-laki, adalah perem puan yang percaya bahw a adalah tugas m ereka untuk mengorbankan diri agar m enyelam at kan laki-laki Tong, 2004: 267. Hal itu sem akin t erang dengan fem ininit as yang harus dimiliki oleh perem puan sebagai kodratnya. M askulinitas dan femininit as diakui sebagai sifat yang m elekat pada laki-laki dan perem puan sebagai sist em seks gender, di m ana sifat t ersebut m erupakan sifat yang “ t erberi” . Gayle Rubin m em berikan penjelasan yang cukup kom prehensif mengenai pembagian sifat maskulin dan fem inin ini. M enurut Rubin, sist em seks gender adalah suatu rangkaian pengat uran yang digunakan oleh m asyarakat untuk ment rasform asi seksualit as biologi m enjadi produk kegiat an manusia. Jadi, 52 misalnya masyarakat pat riarki m enggunakan fakt a t ert ent u m engenai fisiologi manusia kromosom, anatomi, hormon, sebagai dasar untuk membangun serangkaian identit as dan perilaku “ m askulin” dan “ fem inin” yang berlaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perem puan. Dalam proses m encapai t ugas biologis ini, masyarakat pat riarki berhasil m eyakinkan dirinya sendiri bahw a konst ruksi budayanya adalah “ alamiah” dan karena it u “normalit as” seseorang bergantung pada kemampuanya, untuk menunjukkan identit as dan perilaku gender, yang secara kult ural dihubungkan kepada jenis kelam in biologis seseorang Tong, 2004: 72. Dalam bukunya Sexual Polit ics 1970, Kat e M illet berpendapat bahw a seks adalah politik, t erut am a karena hubungan laki-laki dan perem puan merupakan paradigm a dari semua kekuasaan Tong, 2004: 73. Pendapat M illet ini untuk membalik bahw a sifat -sifat yang m elekat pada laki-laki dan perem puan adalah alamiah, melainkan sangat m encerminkan kekuasaan pat riarki. Konsep dikot omik fem inin dan m askulin ini tidak hanya dalam hubungannya dengan seks, t et api juga m enjalar ke dalam ilmu penget ahuan. Shulamith Firest one dalam bukunya Dialect ic of Sex m eyakini bahwa kebudayaan kit a m engaosiasikan ilm u penget ahuan dan t eknologi dengan laki-laki, sedangkan kesenian dengan perem puan Tong, 2004: 78.

2.5 Konsep The Other