Perempuan dalam Kuasa Patriarki.

(1)

LAPORAN PENELITIAN/ BUKU

Perempuan dalam Kuasa Patriarki

Oleh:

Ketua: M uhamad Adji, M .Hum. Anggota: 1. Lina M eilinaw ati, M .Hum.

2. Baban Banita, M .Hum.

Dibiayai oleh Dana Hibah Fakultas Sastra

Universitas Padjadjaran

FAKULTAS SASTRA

UN IVERSITAS PADJADJARAN


(2)

LEM BAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN

SUM BER DANA HIBAH FAKULTAS SASTRA TAHUN ANGGARAN 2008

1. a. Judul Penelit ian : Konst r uksi Relasi Laki-laki dan Perem puan dalam Sist em Pat riarki (Kajian t erhadap Karya Djenar M aesa Ayu dengan Pendekat an Feminism e)

b. M acam Penelit ian : ( ) Dasar (X) Terapan ( ) Pengem bangan c. Kat egori : 1

2. Ket ua Penelit i

a. Nama Lengkap dan Gelar : M uhamad Adji, M .Hum. b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Golongan Pangkat dan NIP : IIIa/ Penat a M uda / 132321079 d. Jabat an Fungsional : Asist en Ahli

e. Jabat an St rukt ural : Sekret aris Program St udi f . Fakult as/ Jur usan : Sast ra/ Sast ra Indonesia g. Pusat Penelit ian : Universit as Padjadjaran 3. Jumlah Anggot a Penelit i : 3 (tiga) or ang

a. Nama Anggot a Penelit i I : Baban Banit a, M .Hum. b. Nama Anggot a Penelit i II : Lina M eilinaw at i, M .Hum. 4. Lokasi Penelit ian : Bandung-Jat inangor 5. Kerjasama dengan Inst it usi lain : -

6. Lama Penelit ian : 3 (tiga) bulan

7. Biaya yang diper lukan : Rp 5.000.000,00 (Lima Jut a Rupiah) a. Sumber dari Unpad : Rp 5.000.000,00 (Lima Jut a Rupiah) b. Sumber lain : -

Jat inangor, Sept em ber 2009

M enget ahui, Ket ua Penelit i

Ket ua Panit ia Hibah

Teddi M uht adin, M .Hum. M uhamad Adji, M .Hum..

NIP NIP 197511212006041001

M enyet ujui dan M engesahkan, Dekan Fakult as Sast ra Unpad

Prof . Dr. Dadang Suganda, M .Hum. NIP 196010231985031015


(3)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur kami panjat kan ke hadirat Allah SWT at as rahm an dan rahim-Nya. Tiada kat a yang dapat m enggant ikan rasa syukur ini. Karena bimbingan-Nyalah, kam i dapat menyelesaikan penyusunan t esis ini.

M elewat i proses panjang ini adalah sebuah keajaiban bagi kam i. Tidak kurang aral rint angan yang mem buat proses penulisan penelitian ini berjalan cukup alot . Nam un akhirnya, dengan usaha keras dan kekom pakan tim, penelitian ini akhirnya mencapai kat a akhir. Karena itu, kami ingin mengucapkan t erima kasih yang sedalam-dalamnya kepada rekan-rekan dosen, t erut ama para pengajar pada Program Studi Sast ra Indonesia, yang t elah memberikan banyak dukungan t erhadap proses penelit ian ini.

Semoga penelit ian ini m em berikan banyak m anfaat . Kami m eyakini bahw a penelit ian ini m asih m erupakan pencapaian yang sederhana. Karena itu, krit ik dan saran selalu t erbuka t erhadap penelit ian ini untuk pengem bangan ilmu penget ahuan di bidang sast ra.

Bandung, Sept ember 2009


(4)

Konstruksi Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Sistem

Patriarki (Kajian terhadap Karya Djenar M aesa Ayu

dengan Pendekatan Feminisme)

ABSTRAK

Karya sast ra sebagai hasil refleksi manusia dapat m enjadi m edia yang st rat egis unt uk dijadikan alat pendobrak at au pelanggeng sist em pat riarki. Hal ini diyakini oleh pem ikiran fem inism e yang t idak pernah lepas dari satu persoalan ut am a, yait u adanya kesadaran bersama bahw a t erjadi ket idakadilan yang dialami oleh perem puan dalam relasi dengan laki-laki. Akar permasalahannya adalah pada sist em pat riarki yang beroperasi m elalui berbagai m edia dalam seluruh sist e kehidupan di m asyarakat .

Berangkat dari hal it u, penelit ian ini berusaha mengkaji karya sast ra Djenar M aesa Ayu dengan m enggunakan pendekatan feminism e. Pert anyaan-pert anyaan yang m emandu penelit ian ini adalah (1) bagaimana relasi laki-laki dan perempuan dalam sist em patriarki digam barkan dalam karya Djenar M aesa Ayu? (2) bagaimana relasi laki-laki dan perem puan dikonst ruksi dalam karya Djenar M aesa Ayu? (3) apakah konst ruksi relasi yang dibangun t ersebut berhasil menggugat sist em pat riarki at au just ru mengukuhkannya?

Hasil penelit ian memperlihat kan bahw a karya Djenar memperlihat kan upaya pendobrakan t erhadap sist em pat riarki yang dalam berbagai cara dan media selalu m engobjekt ivikasi at au mendudukkan perempuan dalam posisinya sebagai t he ot her dalam relasi dengan laki-laki

.

C. Kata kunci:


(5)

DAFTAR ISI Abst rak

Absct rac Kat a Pengant ar Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Lat ar Belakang M asalah 1

1.2 Rum usan M asalah 7

1.3 Tujuan dan Kegunaan 8

1.4 M et ode Penelitian 9

1.5 Sumber Dat a 11

1.6 Hasil yang Diharapkan 11

BAB II KERANGKA TEORI 12

2.1 Relasi Laki-laki dan Perem puan dalam Sist em Pat riarki 12

2.2 Sejarah Pat riarki 23

2.3. Pandangan Para Pem ikir yang Pat riarkis 33

2.3.1 Plato 34

2.3.2 Arist ot eles 37

2.3.3 Thom as Aquinas 38

2.3.4 Descart es 40

2.3.5 Sigm und Freud 41

2.4 Konsep Dikot omik Laki-laki/ Perempuan 43

2.5 Konsep The Ot her 49

2.3 Genealogi Fem inisme 55

2.3.1 Fem inisme Gelom bang Pert ama 55

2.3.2 Fem inisme Gelom bang Kedua 61

2.3.3 Fem inisme Gelom bang Ket iga 65

BAB III KONSTRUKSI RELASI LAKI-LAKI DAN PEREM PUAN 68 3.1 M arjinalisasi Perempuan dalam Relasi dengan Laki-laki 69 3.2 Objekt ivikasi Tubuh dan Seksualitas Perempuan 76

3.3 Kekerasan Seksual t erhadap Perempuan 89

3.4 M oralit as sebagai M odel Pendisiplinan Sist em Pat riarki 96

BAB V KESIM PULAN 101


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dew asa ini banyak pengarang perempuan lahir dalam jagad kesusast raan Indonesia. Dimot ori oleh Ayu Ut ami lew at novelnya berjudul Saman yang dilanjut kan dengan novel keduanya Larung, kini gerbong pengarang m uda usia mengalir sepert i anak sungai. Sebut lah misalnya Djenar M ahesa Ayu, Fira Basuki, Dew i Lest ari, at au Dinar Rahayu, yang nam a-nam a mereka sem pat mencuri perhat ian publik sast ra. Karena fenomena ini pula, Prof. Dr. Sapardi Djoko Dam ono, akadem isi UI dan sast raw an Indonesia, sempat m elont arkan sebuah pernyat aan bahw a di m asa yang akan dat ang akan lahir pengarang perem puan karena laki-laki malas membaca. Pernyat aan tersebut, sepert i dituliskannya dalam esai berjudul “ Surat Kesusast raan untuk Neng Ina” di harian Pikiran Rakyat edisi M inggu, 13 Desem ber 2004, m emiliki nada sat ir. Disadari at au tidak, pernyat aan dari sast raw an Indonesia it u sepert i mengakui lahirnya sebuah kekuatan baru dalam dunia sast ra di mana kekuat an itu lahir dari t angan perem puan, setelah sebelumnya perkem bangannya lebih banyak didom inasi oleh kalangan laki-laki.

M enariknya, barisan pengarang perem puan ini t erlihat begit u int ens mengangkat tem a seksualit as. Karya-karya m ereka selalu diident ikkan dengan keberanian m engangkat t ubuh dan seksualit as yang dalam kat egori aw am cara ungkapnya cenderung vulgar. Kecenderungan ini diaw ali oleh Ayu Ut am i yang


(7)

secara lugas seringkali m enggunakan bahasa–bahasa denot atif yang dalam pandangan kacam at a umum m asuk ke dalam kat egori vulgar. Di belakang Ayu Ut am i, bermunculan pengarang perempuan yang lain yang juga mendapat perhat ian yang besar dalam ranah kesusast raan Indonesia. Beberapa nam a pengarang yang bisa disebut adalah Dinar Rahayu, Dew i Lest ari, Fira Basuki, dan Djenar M ahesa Ayu.

Dengan gaya bahasa yang lugas, bahkan t erkesan vulgar, para pengarang perem puan ini m engumbar fant asi liar seksualit as. Bahkan t anpa sungkan, mereka memasukkan kosa kat a yang berasosiasi langsung dengan organ seksual yang selama ini dianggap t abu dan t idak sesuai dengan moralit as ket im uran. Karya-karya m ereka yang cukup m engundang kont roversi akhirnya m elahirkan banyak perdebat an. Tentulah ini sangat wajar jika dilihat dari tulisan mereka yang sangat bert ent angan dengan norm a-norm a moral yang secara konvensional berlaku di m asyarakat . Dalam kont eks inilah, perbincangan mengenai karya-karya pengarang perem puan t ersebut m enjadi m enarik. Karena norm a-norm a moral yang berlaku t ersebut dianggap t idak lebih sebagai sebuah bentuk dominasi kaum laki-laki t erhadap perem puan yang dilegalisasi dalam sebuah sist em yang bernam a pat riarki. Dalam hal ini, kaum fem inislah yang begit u int ens membongkar ideologi pat riarki yang bersem ayam dalam bentuk norm a-norm a masyarakat .

Sebagai seorang penulis yang baru muncul belakangan, Djenar M ahesa Ayu dapat dikat akan sebagai penulis yang kont roversial. Tiga karyanya (dua


(8)

kumpulan cerpen berjudul M ereka Bilang Saya M onyet ! dan Jangan M ain-main (dengan Kelaminmu dan novel Wakt u Nayla) m endapat sam but an yang hangat dan mengerucut dalam dua penilaian: pro dan kont ra. Ket iga karya Djenar t ersebut dianggap sebagai pendobrak nilai-nilai moralit as yang dianut masyarakat um um , dengan m elakukan pendobrakan t erhadap nilai-nilai seksualit as. Dalam hal ini, Djenar sepert i ingin m enegaskan bahw a perem puan bukan m erupakan objek seksualit as laki-laki. Ia juga m erupakan subjek seksualit as, sepert i kaum laki-laki, dan karena it u ia berhak unt uk menyuarakannya. Oleh karena it u, dapat dipahami bila tokoh-t okoh perem puan dalam karya-karyanya t ersebut t erlihat begit u liar sebagai sosok perem puan dalam kont eks um um karena keberaniannya menunjukkan hasrat nya; bahkan beberapa di ant aranya m enunjukkan dominasi t erhadap laki-laki.

Bila m engacu pada pengert ian bahwa karya sast ra mengandung ideologi, dapat dipahami bahw a pengungkapan t ubuh dan seksualit as dengan cara ungkap yang t erlihat begit u vulgar dalam novel-novel karya para pengarang perem puan itu t entulah m engandung pesan tert ent u. Sebab, banyak sekali sebenarnya pilihan yang dapat dilakukan oleh pengarang perempuan – m engacu pada pandangan M edy Loekit o – yang t idak hanya mengum bar fisikal semat a unt uk melakukan usaha pendobrakan t erhadap superioritas laki-laki. Dalam karya-karyanya, Djenar dengan t egas m enent ukan posisinya, yaitu masuk ke ranah seksualit as sebagai upaya m elakukan pendobrakan t erhadap sist em pat riarki.


(9)

Sist em pat riarki diakui sebagai sist em yang t elah m enjadi sist em masyarakat secara um um . Erich Fromm m enyat akan bahw a sist em pat riarki, di mana kaum laki-laki dit akdirkan untuk mengat ur perem puan, berlaku kokoh di seluruh dunia. Hanya pada komunit as-kom unit as prim itif yang kecil dapat dit em ukan sisa-sisa dari bentuk mat riaki yang lebih t ua (From m, 2002: 177).

Sebelum sist em pat riarki m enjadi sist em yang kokoh sepert i saat ini, Fromm m eyakini bahwa sist em mat riarki lebih dulu ada. Ini dikuat kan pada fakt a bahw a perempuan dan ibu m erupakan pusat dari m asyarakat dan keluarga. M enurut From m, perempuan dulu dom inan dalam sist em sosial dan dalam sist em keluarga, dan it u dapat dilihat jejak-jejak dominasinya dalam berbagai sist em kekeluargaan, salah satunya pada Kit ab Perjanjian Lama. (Fromm, 2002, 1976)

Pendapat From m, dalam cara pandang yang berbeda, dikemukakan juga oleh Engels. M enurut Engels, sebelum sist em pat riarki t erbent uk, perem puan memiliki kekuasaan at as komunal, di m ana dalam komunal t ersebut t erdapat hubungan kekeluargaan. (Budim an, 1981: 22). Engels m em andang bahw a sist em pat riarki dimulai ket ika manusia mulai m engenal kepem ilikan pribadi, di m ana sist em kepem ilikan ini juga m enandai lahirnya sist em kelas (Budim an, 1981: 21).

Dalam kusast raan Indonesia, bentuk-bent uk pendobrakan t erhadap sist em pat riarki sebenarnya sudah dilakukan oleh pengarang perem puan Indonesia. Namun, jejak-jejak it u baru t erlihat sejak era N.H. Dini. Sebelum itu, dunia kepengarangan Indonesia didominasi oleh laki-laki sehingga t idak banyak


(10)

yang bisa dicat at dari kiprah pengarang perem puan. Pada era Balai Pust aka, di mana kesusast raan Indonesia mulai t um buh dan berkem bang, para pengarang Indonesia yang m uncul dan diakui dalam kanon sast ra Indonesia adalah pengarang laki-laki. Sebagai cont oh, M erari Siregar dengan judul rom annya Azab dan Sengsara, at au M arah Rusli dengan Sit t i Nurbaya, dianggap sebagai tonggak dunia sast ra Indonesia. Begit u pula pada angkat an-angkat an selanjutnya, di mana nam a-nama Sutan Takdir Alisyahbana, Arm yn Pane, Iw an Simatupang, Umar Kayam , M angunw ijaya dikenal sebagai pengarang prosa yang baik. Ironisnya, saat it u pengarang-pengarang perem puan tidak pernah dimasukkan dalam w acana sast ra Indonesia. Sosok perem puan dalam karya sast ra akhirnya direpresent asikan oleh pandangan kaum laki-laki. Pandangan laki-laki yang menurut Lacan selalu menggunakan bahasa m askulin ini t ak pelak lagi t elah mereduksi ident itas perem puan yang sesungguhnya.

Pada era kepengarangan N.H. Dini, pendobrakan t erhadap dunia pat riarki mulai m endapat kan gaungnya. Hampir secara keseluruhan karya N.H. Dini menjadikan perem puan sebagai tokoh ut am a. Dalam karya-karya t ersebut , N.H. Dini juga mulai berani m enyuarakan suara dan hasrat perem puan dalam karyanya. Dua karya N.H. Dini yang bisa dijadikan represent asi adalah Pada Sebuah Kapal dan Namaku Hiroko. Tokoh Sri dalam Pada Sebuah Kapal dan Hiroko dalam Namaku Hiroko m enunjukkan bagaim ana perem puan menunjukkan hasrat nya dengan mengabaikan norm a-norm a yang berlaku di masyarakat . Perem puan t idak lagi menjadi sosok yang pasif, menunggu, dan


(11)

menjadi objek dari t indakan akt if dari laki-laki, sepert i yang dibent uk oleh sist em pat riarki. Tapi t okoh Sri dan Hiroko m enjelma m enjadi perem puan yang akt if dan berani m enyuarakan sert a m elakukan hasrat dan keinginannya. Perem puan dalam dua karya N.H. Dini t ersebut t idak berbeda dengan laki-laki - sama-sam a dapat berprilaku akt if. M emang, gaya bahasa yang digunakan oleh N.H. Dini dalam m enggam barkan hasrat dan tindakan tokoh perem puan t idak selant ang Ayu Ut am i m aupun Djenar M ahesa Ayu. Pada Djenar, penggunaan kosa kat a dalam m enggambarkan hasrat seksual perempuan lebih lant ang dan lugas.

Dari tiga buah karya Djenar yang t elah dit erbitkam , Wakt u Nayla dan M enyusu Ayah m enjadi perbincangan hangat dalam kesusast raan Indonesia. Wakt u Nayla yang t erm uat dalam buku M ereka Bilang, Saya M onyet ! dinobat kan sebagai cerpen t erbaik Kompas 2002. Sedangkan M enyusu Ayah dalam buku Jangan M ain-M ain (Dengan Kelaminmu) dinobat kan sebagai cerpen t erbaik Jurnal Perempuan 2002.

Buku M ereka Bilang, Saya M onyet, sejak dit erbit kan pada bulan Sept ember 2002, sam pai saat ini t elah dicet ak ulang t ujuh kali (cet akan ket ujuh: Desember 2004), sem ent ara Jangan M ain-M ain (dengan kelaminmu) dalam w akt u sebulan sejak dit erbit kan (Januari 2004) sudah m engalami cet ak ulang, dan m em asuki bulan Okt ober 2004 m emasuki cet ak ulang yang keem pat . Begit u pula dengan bukunya yang t erakhir Nayla yang sejak dit erbit kan M ei 2004 sudah mengalam i cet ak ulang yang ket iga (Sept ember 2005).


(12)

Berpijak pada apresiasi yang cukup besar dan perdebat an yang cukup hangat di kalangan pem baca t erhadap karya-karya Djenar, penulis mencoba menelit i karya-karya Djenar secara lebih int ens.

Sejauh ini, penilaian t erhadap karya Djenar l ebih banyak diperdebat kan pada norm a-norm a m oral. Dalam penelitian ini, penulis m encoba m engkajinya dari perspektif lain, yaitu m elihat ideologi yang diusung pengarang dalam mengkont ruksi relasi ant ara laki-laki dan perem puan. Sehubungan dengan itu, penulis akan m engkajinya dengan m enggunakan kerangka feminism e sebagai pisau t eori.

1.2 Rumusan M asalah

Berdasarkan uraian lat ar belakang di at as, didapat kan beberapa permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut .

1. bagaim ana relasi laki-laki dan perem puan dalam sist em pat riarki digambarkan dalam karya Djenar M aesa Ayu?

2. bagaimana relasi laki-laki dan perem puan dikonst ruksi dalam karya Djenar M aesa Ayu?

3. apakah konst ruksi yang dibangun t ersebut berhasil m enggugat sist em pat riarki at au just ru m engukuhkannya?


(13)

1.3 Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bert ujuan untuk menget ahui konst ruksi pengarang at as relasi ant ara laki-laki dan perempuan. penelitian ini diarahkan unt uk mendapat kan jaw aban sejauh mana konst ruksi yang dibangun pengarang berusaha m enggugat relasi laki-laki dan perem puan dalam sist em pat riarki.

Penelit ian ini bert ujuan untuk m em perkaya khasanah ilm u sastra dengan melakukan pendekat an t eori feminism e. Selain it u penelitian ini diharapkan dapat memberikan perspekt if yang beragam t erhadap pem bahasan karya-karya sast ra Indonesia yang saat ini diramaikan oleh perem puan, t erut ama yang berhubungan t em a-t ema yang lekat dengan kehidupan perem puan.

Penelit ian ini diharapkan juga berguna bagi mahasisw a Sast ra, khususnya mahasisw a t ingkat akhir yang sedang mem persiapkan penelit ian. Dari hasil penelitian ini, diharapkan mahasisw a m am pu m engenali objek penelit ian maupun menentukan m etode penelit ian yang t epat dalam mengkaji suatu objek penelitian. Oleh karena it u, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi pada mat a kuliah M etode Penelit ian Sast ra, Pengant ar Pengkajian Sast ra, Sosiologi Sast ra, sert a mat a kuliah sast ra lainnya yang berkait an dengan t eori dan m etode penelit ian sast ra, baik pada Program St udi Sast ra Indonesia m aupun pada program-program st udi yang ada di lingkungan Fakult as Sast ra Universit as Padjadjaran.


(14)

1.4 M etode Penelitian

M et ode penelitian yang digunakan adalah met ode penelit ian kualitat if dengan sumber-sum ber prim er dan sekunder dengan menggunakan kaidah deskript if analit is dan komparasi. M et ode penelit ian kualit atif deskript if yaitu penggunaan kat a-kat a at au kalim at dalam st rukt ur yang logis unt uk menjelaskan konsep-konsep dalam hubungan sat u dengan yang lainnya (Danandjaya, 1990: 98). M et ode komparasi berusaha m em perbandingkan perspekt if sat u dengan perspekt if yang lain sehingga hasil akhirnya t idak hanya sebat as penyimpulan sem at a t et api dapat dicari dan dilihat penget ahuan baru dalam set iap konsepsi pemikiran t ersebut .

Nam un, m enurut Reinhart z (2005: 5), m et ode penelit ian tidak hanya serangkaian prosedur yang dit erapkan pada objek maupun kasus-kasus yang berhubungan dengan penelit ian, t et api juga mengandung sejumlah nilai-nilai, asumsi-asum si yang dijadikan pijakan penelit ian. Pendekat an penelit ian kualit atif didasari oleh asum si filosofis, yaitu bahw a realit as (pengetahuan) dibangun secara sosial. Karena realit as (penget ahuan) adalah suat u bentukan, itu berart i bisa ada realit as jam ak di dunia ini (Alwasilah, 2002: 26). Karena itu, penelit ian kualit at if tidak bisa dipisahkan dari subjek penelit i dan itu berart i t erikat dengan nilai-nilai.

Dalam penelit ian ini juga digunakan m et ode fem inis yang m erupakan sat u met ode unt uk m em berikan ruang bagi represent asi perempuan, mengakui cara berpikir dan berpenget ahuan perem puan dan laki-laki, dan m em pert im bangkan


(15)

pengalam an hidup perem puan besert a keseluruhan subjekt ivit asnya mengart ikan dunia dalam mem bangun penget ahuan.

M et ode feminis dapat dimasukkan ke dalam paradigm a konstruktivis di mana realit as dipahami m emiliki sifat ganda. Realit as t idak dapat dinyat akan secara objekt if dan past i dan merupakan konst ruksi m ent al yang didasarkan at as pengalam an yang bersifat sosial-budaya, lokal, dan spesifik, sehingga konst ruksi ilmu penget ahuan tidak bersifat objekt if-universal (Lubis, 2004: 77). Penerapan met ode feminis dengan paradigma di at as dipahami penulis sangat t epat untuk menelit i karya Djenar M aesa Ayu yang banyak mengangkat t ema-t ema yang dekat dengan pengalaman hidup perempuan.

1.5 Sumber Data

Sumber dat a yang digunakan dalam penelit ian ini adalah beberapa cerpen yang dipilih secara selekt if pada dua kum pulan cerpen Djenar M aesa yait u M ereka Bilang Saya M onyet t erbit an Gramedia Jakart a t ahun 2004 dan Jangan M ain-M ain (dengan Kelaminmu) t erbit an Gramedia, Jakart a, juga t ahun 2004.

1.6 Hasil yang Diharapkan

Hasil akhir yang diharapkan dari penelit ian ini adalah dijadikannya hasil penelitian ini sebagai buku referensi pada m at a kuliah M et ode Penelit ian Sast ra dan Pengant ar Pengkajian Sast ra, pada program st udi Sast ra Indonesia. Selain


(16)

itu, diharapkan hasil penelit ian ini juga dapat digunakan pada mat a kuliah yang berkait an dengan kesast raan, baik pada Program St udi Sast ra Indonesia maupun pada program-program st udi yang lain. Hasil penelit ian ini diharapkan dapat dimuat di jurnal ilmiah pada ruang lingkup fakult as/ universit as (Uvula/ Sosiohumaniora), maupun ruang lingkup regional (Jurnal M et alingua, Balai Bahasa)


(17)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Sistem Patriarki

Relasi ant ara laki-laki dan perempuan m erupakan t em a yang t ak kunjung usai. Bahkan, Erich From m m engat akan bahw a pert ent angan yang yang t erjadi ant ara relasi kedua jenis kelamin ini t elah berlangsung sejak enam ribu t ahun silam (Fromm , 2000:176). Persoalan m enjadi semakin kent al ket ika dalam relasi ini t erjadi ket im pangan di m ana t erdapat hubungan subordinasi. Bentuk pendobrakan perem puan at as kuasa laki-laki t idak t erlepas dari sist em pat riarki yang t idak adil yang m enem pat kan perem puan sebagai bayang-bayang laki-laki.

Hubungan laki-laki dan perem puan dalam sist em pat riarki t idak digambarkan sebagai hubungan dengan ent itas masing-m asing. Akan t et api, salah satu entit as (perempuan) digambarkan ident it asnya dalam hubungannya dengan laki. St. Thomas Aquinas m engat akan bahw a perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna. Pernyat aan ini menggam barkan bagaim ana konsep perem puan dit entukan dari konsep m engenai laki-laki t erlebih dahulu. Lebih rum it lagi, sist em pat riarki m em peroleh kont rol atas seluruh bidang penget ahuan sert a melanggengkan dominasi ini dalam aktivit as belajar-mengajar dengan menjadikannya resmi dan form al. Filsafat , hukum, t eologi, sast ra, seni, dan ilm u alam adalah arena dom inasi w acana laki-laki. Hegem oni laki-laki at as pencipt aan penget ahuan t elah m enyingkirkan penget ahuan dan pengalam an bersam a keahlian dan aspirasinya (Hidayat , 2004: 17).


(18)

Jelaslah bahw a selama ini keseluruhan tubuh perem puan digam barkan dan diberi identit as oleh dunia pat riarki sehingga perem puan t idak bisa memberi identit as t erhadap dirinya sendiri. Selain itu, identitas perem puan selalu berhubungan dengan ident it as laki-laki – dalam bahasa Simone de Beauvoir dinam akan liyan (the other). Artinya, keberadaan perempuan dit entukan dalam hubungannya dengan laki-laki, bukan karena m ereka m emiliki identit as sendiri. Laki-laki menjadi ukuran dan st andard untuk mendefinisikan dan m enent ukan kodrat perem puan, bukan perempuan yang diukur at as kualit as yang dim ilikinya sendiri.

Sejak zam an Yunani kuno hingga sekarang perem puan t idak dit em pat kan dalam ciri-ciri kualit as yang mereka miliki, t et api lebih pada kualit as laki-laki yang t idak m ereka m iliki. Pada masa Yunani, perem puan dimunculnya, m isalnya, dengan rendahnya rasio, sedangkan di t empat lainnya dengan lem ahnya kekuatan yang dim iliki, sem entara bagi Freud karena m ereka tidak mem iliki penis. Hal ini sungguh m enunjukkan bahw a sejarah perem puan sepenuhnya dit ent ukan secara relat if oleh laki-laki yang lant as m enjadi ideal-ideal, st andard, norm a, dan ukuran-ukuran yang t idak hanya unggul namun ut ama dan bahkan sat u-sat unya.

M enurut Gat ens, st rukt ur ini tidak dapat dijelaskan secara sederhana sebagai prasangka atau seksisme sadar at au tidak sadar yang berasal dari laki-laki. Ini adalah ciri dari pemikiran yang dapat disebut phallusentrisme yang beroperasi dengan cara pem ikiran dikotom is di m ana satu konsep


(19)

mendefinisikan dan menent ukan yang lainnya dengan hanya relat if mengacu pada dirinya sendiri(Hidayat , 2004:156-157).

Relasi yang t idak adil ant ara laki-laki dan perem puan dalam dunia filsafat disinyalir kuat dipicu oleh t radisi pemikiran dikotom ik. Dalam dunia dualism e Plato, misalnya, dikat akan bahw a m anusia dibagi dari dua unsur, yaitu jiwa dan badan, di m ana jiw a lebih mulia daripada badan. Dari pengkategorian Plato t ersebut akhirnya dapat t erlihat bahw a hirarki salah satu ket egori pasti lebih t inggi kedudukannya daripada kat egori yang lainnya.

Gadis Arivia (2003:162) m enyat akan bahw a kat egori dikot omik dapat dit elusuri sejak aw al t erbent uknya filsafat Yunani. Dat a-dat a dari kelompok Iona memperlihat kan pemikiran dikotom ik, sepert i baik/ buruk, t erang/ malam, kesat uan/ pluralit as, laki-laki/ perempuan. Yang perlu dicat at di sini adalah adanya kat egori dikotomik ini berasosiasikan dengan mana yang berkarakt erist ik perem puan dan m ana yang berkarakt erist ik laki-laki. Laki-laki diasosiasikan dengan yang baik, t erang, kesat uan, dan sebagainya, dan sebaliknya perem puan merujuk kepada buruk, m alam , pluralit as, dan lainnya. Dalam abad modern pun t ernyat a pem ikiran yang dikot omik berkem bang dengan subur. Pemikiran Descart es misalnya, mendom inasi refleksi filsafat nya at as dunia, penget ahuan, dan sifat dasariah manusia. Descart es berusaha unt uk m enjelaskan segala yang eksis dengan m engacu pada dua t ema, yait u pemikiran dan m at eri (mind dan mat t er). Dikot omi ini dipresent asikan sebagai alat logika at au t eori yang berguna


(20)

unt uk m em ilah-milah dunia dan berusaha m em aham inya. Tent unya, cara ini dilihat sebagai cara pandang yang alam iah, objekt if, dan benar.

Pandangan objekt if inilah yang m enjadi pangkal m asalah. Keobjekt ifan mengandaikan bahwa pandangan t ersebut berasal dari wilayah t ransenden sehingga t idak dapat diganggu gugat lagi. Inilah yang menem pat kan posisi perem puan dengan nilai-nilai fem init asnya sem akin sulit .

Nancy J. Holland, seorang fem inis, mengem ukakan bahw a argum ent asi dikotomik t idak dapat dim engert i sebagai sesuatu yang alam iah untuk m em ilah-milah dalam mem buat suatu kat egori. Cara ini, masih m enurut nya, m engandung asumsi-asum si im plisit yang m engedepankan nilai-nilai t ert ent u. Dan dalam analisa fem inisme, t ernyat a pendikotomian t ersebut di” seksualkan” dengan t ujuan untuk lebih m engedepankan nilai m askulinit as dan merendahkan nilai-nilai feminit as (Arivia, 2002: 162).

Cara pandang itu sem akin m enguat pada abad pencerahan, di m ana phallogosent risme m enjadi cara pandang yang kuat , t elah m enem pat kan perem puan dalam posisi yang tidak layak. Salah sat u pem ikiran yang cenderung mengobjekt ivikasi perem puan adalah ilmu penget ahuan modern, di mana perem puan seringkali diasosiasikan sebagai alam (objek), sedangkan laki-laki adalah subjek.

Pandangan ini jelas t ampak dalam pernyat aan Francis Bacon berikut ini: “ I am come ini very t ruth leading you nat ure w it h all her children t o bind her t o you service and make her your slave” (Hidayat : 2003:4). Asosiasi antara perem puan


(21)

dengan alam dan hubungan hirarkis ant ara laki-laki dan perempuan dapat dit em ukan sebagai karakt er norm at if dalam penget ahuan ilm iah.

Dalam dunia filsafat , perempuan sesungguhnya t idak m em peroleh definisi yang baik. M engacu pada identit as perem puan, beberapa filsuf memberi penilaian yang cenderung negatif. Arist ot eles memberikan gambaran bahw a kehidupan perem puan bersifat fungsional. Ia adalah ist ri laki-laki yang hanya digunakan untuk m empunyai anak, dan sebagaim ana budak, ia m engambil bagian untuk m enyediakan kebutuhan hidup(Arivia, 2002:8). “ Perem puan adalah perem puan dengan sifat khususnya yang kurang berkualit as,” ujar Arist ot eles, “ kit a harus mem andang sifat perempuan yang dimilikinya sebagai suatu ket idaksem purnaan alam.” (Beauvoir, 2003:ix). Francis Bacon m em berikan penilaian yang lebih negat if. Dikat akannya bahw a perem puan merupakan penjara bagi kaum laki-laki, karena ia m emberikan pengaruh buruk pada kehidupan laki-laki (Arivia, 2002:40). Konsepsi Kant t ent ang perem puan tidak jauh lebih baik. Ia m engat akan bahwa perempuan tidak mam pu m engandalkan aspek kognit ifnya, dan karenanya ia m enganulir perem puan untuk berpikir (Arivia, 2002:40). Sedangkan St . Thomas menganggap perempuan sebagai “ laki-laki yang t idak sem purna,” makhluk “ yang t ercipt a secara t idak sengaja” . Hal ini disimbolkan dalam Kit ab Kejadian di m ana Haw a digam barkan Bossuet sebagai makhluk yang dicipt akan dari “tulang rusuk” Adam (Beauvoir, 2003:xi). Lebih buruk lagi, pandangan para filsuf ini diklaim mereka sebagai pandangan yang


(22)

universal t ent ang perem puan dan m ereka m em punyai legit im asi at as pernyat aan-pernyat aan t ersebut (Arivia, 2002:71).

Di samping beberapa filsuf yang cenderung berpikiran misogini t erhadap perem puan, memang ada beberapa filsuf yang banyak m emberikan kont ribusi dalam m emberi pemet aan posisi perempuan, salah satunya Jacques Lacan. M enurut Lacan, di dalam m asyarakat t erdapat aturan-aturan simbolis yang harus dipatuhi. Aturan-aturan simbolis yang disebut juga sebagai “ At uran Bapak” (The Law of t he Fat her) m eresap ke t iap individu dalam proses t iga t ahap. Pada t ahap pert am a, disebut sebagai t ahap imajinasi yang merupakan ant it esis dari Aturan Simbolis, di m ana seorang bayi t idak mem punyai kesadaran akan bat asan-bat asan egonya. Tahap kedua, disebut juga t ahap kaca (mirror st age), ket ika si bayi melihat refleksi dirinya pada ibunya. Pada t ahap ket iga, yait u t ahap Oedipal, yait u t ahap penjarakan yang dilakukan si anak t erhadap ibunya. Dalam t ahap inilah, hubungan ibu dan anak m elem ah dan intervensi dari sang ayah muncul (Arivia, 2002:128).

Dalam proses penjarakan ini, perem puan mengalam i kesulit an masuk ke dalam aturan simbolik yang m erupakan “ bahasa” ayahnya. Hal ini disebabkan perbedaan anatomi yang mem buat anak perem puan tidak dapat mengident ifikasikan dirinya dengan ayahnya. M enurur Lacan, aturan simbolik yang sarat dengan “ at uran laki-laki” inilah yang mem buat perem puan dalam kesulit an, karena at uran-aturan ini diekspresikan dengan bahasa-bahasa dan cara berpikir yang m askulin.


(23)

Pemberont akan t erhadap sist em pat riarki semakin menemukan bentuknya dengan m unculnya feminisme. Walaupun sejum lah cat atan sejarah menyat akan bahw a gerakan fem inisme muncul tahun 1960-an Fakih, 1996:82), Anderson m engat akan bahw a ada banyak pet unjuk bahw a feminisme t elah muncul dua hingga t iga abad sebelum nya (Hidayat , 2004:96).

Karya-karya aw al fem inism e, dalam studi krit is at as ilmu modern, telah menemukan bias gender t radisi itu yang secara eksplisit t erungkap dalam pandangan-pandangan yang m erugikan perempuan, t eori-t eori m isogini, rendahnya aspirasi dan ket erwakilan perempuan, dan set erusnya. Dengan kecurigaan yang lebih mendalam, pem ikiran feminism e m ulai menyadari bahw a bias gender juga m em pengaruhi perspekt if seseorang t erhadap kodrat alam, cara berpikir, dan pendekat an t erhadap sebuah persoalan (Hidayat , 2004:3).

M aggie Hum secara garis besar m embagi fem inisme ke dalam gelombang pert am a (first w ave) dan gelombang kedua (second wave). Nam un apabila melihat perubahan yang signifikan dari fem inisme dewasa ini, David Golumbia menandai bahwa ada cat at an-cat at an t ent ang munculnya feminism e generasi ket iga (t hird wave) (Hidayat , 2004:3).

Secara um um , krit ik fem inis t erhadap pem ikiran filsafat berlangsung dalam dua gelombang. Gelombang pert am a krit ik berkonsent rasi pada muat an pemikiran yang mempersoalkan posisi perempuan dalam perkembangan t radisi filsafat . Begit u juga bias kelaki-lakian dalam pem ikiran filsafat ikut m enjadi sasaran krit ik. Gelombang kedua yang muncul sebagai bent uk krit ik mut akhir


(24)

dalam fem inism e just ru bergerak lebih jauh dengan m empersoalkan proses yang berlangsung dalam filsafat . Kritik ini lebih m elihat filsafat sebagai akt ivit as (Hidayat , 2004:16).

Feminism e generasi kedua m em pert anyakan lebih daripada ket idakset araan sosial yang dialam i w anit a; ia juga mengam ati st rukt ur ideologis yang t ert anam dalam-dalam , dan m em buat w anit a berada dalam posisi yang t idak menguntungkan dibandingkan para pria. Pat riarki adalah salah satu jenis st rukt ur it u, dan kont rak sosial – yang begit u berpengaruh dalam mem berikan pembenaran pada lem baga-lem baga politik Barat – adalah jenis yang lain. Sebagai yang sering diilhami oleh pandangan psikoanalisis Lacanian, yang menunjukkan bahw a kesadaran atau ego bukanlah pusat subjekt ivit as, fem inisme generasi kedua ini menant ang bias gender dalam bahasa, hukum, dan filsafat . Pandangan ini berpendapat bahw a wanit a t idak bert ujuan untuk m enjadi sepert i pria (sepert i yang berlangsung dalam pert arungan dalam persam aan sosial), t et api berusaha untuk m engem bangkan bahasa, hukum, dan mit ologi yang baru dan khas bersifat fem inin (Lecht e, 2001:247).

Pada dasarnya, kritik aliran-aliran dalam feminism e m engacu pada satu hal, yakni adanya ket im pangan dalam relasi ant ara laki-laki dan perempuan. Hanya saja, dalam pengejaw ant ahannya, masing-m asing aliran menggunakan jalur yang berbeda karena perbedaan paradigm a yang dipakai.

Aliran fem inism e liberal lebih menekankan perjuangan at as keset araan hak perempuan dengan laki-laki sebagai w arga sipil. Karena it u, gerakan


(25)

fem inisme liberal lebih dit ekankan pada hak-hak suaranya di dalam wilayah publik. Sem ent ara feminism e radikal lebih melihat pada sist em yang ada di dalam m asyarakat yang m enjadi penyebab ket ert indasan perempuan. Fem inism e radikal mengklaim bahw a sist em pat riarki dit andai oleh kuasa, dom inasi, hierarki, dan kompet ensi. Sist em pat riarki, bagi kelompok ini, tidak dapat dibentuk ulang, t et api harus dicabut dari akar dan cabang-cabangnya. Fem inisme M arxis dan sosialis lebih m elihat st uktur kelas yang t erbent uk di dalam masyarakat . Bagi aliran ini, adalah tidak mungkin bagi set iap orang, t erut am a perem puan, untuk mencapai kebebasan yang sejati dalam m asyarakat yang berdasarkan kelas. Opresi t erhadap perempuan diyakini dari adanya hak milik pribadi – lembaga yang m enghilangkan apa pun kualit as komunitas yang selam a ini dinikm at i manusia. Karena agar perem puan t erbebas dari kekuasaan laki-laki, sist em kapit alis harus digant ikan oleh sist em sosialis yang akan m engat ur alat produksi sebagai sat u dan milik bersam a. Fem inisme psikoanalisis dan gender lebih memfokuskan pada individu dan menyat akan bahw a akar opresi t erhadap perem puan adalah sesungguhnya t ert anam dalam psike seorang perempuan. Bagi fem inis psikoanalisis, fokus pada peran seksualit as dalam opresi t erhadap perem puan muncul dari t eori Freud. Sedangkan pada fem inisme gender, w alaupun mereka juga m em ikirkan psike p erem puan, juga m enggali hubungan ant ara psikologi dan moraliot as perem puan. Fem inisme eksist ensialis, dalam hal ini diw akili oleh Simone de Beauvoir, m elihat opresi t erhadap perem puan karena keliyanannya (t he ot her) – objek yang t idak menentukan makna eksist ensinya


(26)

sendiri. Jika perem puan ingin m enjadi Diri, perem puan harus menjadikan dirinya sebagai m ana yang diinginkannya. Fem inisme posmodern bukan menjadikan keliyanan ini sebagai sesuat u yang harus ditolak, tet api just ru harus dirangkul. M ereka m engklain bahw a keliyanan (the ot herness) perempuan m emungkinkan individu perem puan untuk mundur dan kemudian m engkrit isi norm a, nilai, dan prakt ik-prakt ik yang dipaksakan oleh kebudayaan laki-laki yang dominan (pat riarki) t erhadap sem ua orang, t erut am a m ereka yang berada di pinggiran. Bagi fem inisme posmodern, m enjadi liyan m erupakan cara untuk bereksist ensi yang m em ungkinkan perubahan dan perbedaan. Sem ent ara itu. Bagi feminism e mult ikultural dan global, akar dari ket erpecahan Diri lebih bersifat kult ural daripada seksual dan sast raw i. Dalam hal ini, bentuk imperialism e yang dilakukan bangsa kulit put ih t elah mem bangun konsep diri bangsa t erjajah, t erut am a negara-negara di belahan Asia dan Afrika, dalam bayang-bayang ident it as bangsa kulit put ih. Sem ent ara kebanyakan aliran pem ikiran fem inis lebih cenderung kepada pandangan relasional atas Diri, ekofeminism e m enaw arkan konsepsi yang paling luas dan paling menuntut at as hubungan Diri dengan yang lain: binat ang dan t um buhan (Tong, 2004:2-11).

Begit u beragam nya pandangan mem buat feminism e sepert i t erfragm ent asi dalam sekat -sekat aliran. Perbedaan yang paling jelas adalah cara yang dit empuh dalam m elakukan perlawanan t erhadap sist em patriarki. Ada aliran fem inism e yang m elaw an sist em pat riarki dengan cara masuk dan mendobrak sist em t ersebut dari dalam, ada pula yang m encoba keluar dari


(27)

sist em “ bapak” t ersebut dan membangun sist em t ersendiri, sepert i yang dilakukan Helene Cixous.

Helen e Cixous mengkont raskan tulisan fem inis dan t ulisan m askulin. Dipandang secara psikoanalisis, tulisan maskulin berakar dari organ genit al dan libinal laki-laki, yang diberi emblem sebagai fallus. Karena beragam alasan sosial budaya, tulisan maskulin dianggap lebih bernilai dari tulisan feminin (Tong, 2004:192).

M enurut Cixous, ist ilah laki-laki–perem puan menunjukkan bahw a ist ilah kedua m engacu at au m enyim pang dari istilah yang pert am a. Laki-laki adalah Diri, sedangkan perempuan adalah Liyan. Karena itu, perempuan ada dalam dunia laki-laki dengan ist ilah laki-laki. Perempuan adalah liyan bagi laki-laki at au ia t idak t erpikirkan (Tong, 2004:292). Untuk m elakukan perlaw anan terhadap sist em pat riarki, Cixous m em berikan taw aran dengan cara keluar dari sist em t ulisan maskulin dan mencoba m enggunakan m odel t ulisan feminin. Namun, penggunaan cara yang berbeda tersebut sesungguhnya dilakukan untuk t ujuan yang sama: m elakukan pendobrakan t erhadap sistem pat riarki.

Dari sini dapat dilihat bahw a langkah unt uk m engklasifikasikan pemikiran Djenar M aesa Ayu ke dalam salah sat u bentuk pem ikiran fem inisme bukanlah sebuah hal yang m udah karena pemikiran fem inisme t idak berada dalam w ilayah t erkot ak-kot ak, m elainkan punya irisan sat u sam a lain.


(28)

Kat a pat riarki mengacu pada sist em budaya di m ana sist em kehidupan diat ur oleh sist em “ kebapakan”. Pat riarki at au “ Pat riarkat ” merujuk pada susunan m asyarakat m enurut garis Bapak. Ini adalah ist ilah yang m enunjukkan ciri-ciri t ert ent u pada keluarga atau kumpulan keluarga manusia, yang diatur, dipim pin, dan diperint ah oleh kaum bapak at au laki-laki t ert ua. Art inya, hukum ket urunan dalam patirarkat m enurut garis bapak. Nam a, hart a milik, dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) diwariskan kepada anak laki-laki (Ensiklopedia Indonesia 1984).

Kini ist ilah itu secara umum digunakan untuk menyebut “ kekuasaan laki-laki” , khususnya hubungan kekuasaan ant ara laki-laki t erhadap perempuan yang di dalam nya berlangsung dominasi laki-laki at as perem puan yang direalisasikan melalui bermacam-m acam m edia dan cara (Bhasin, 1996). Sist em kebapakan ini menjadi cara pandang yang berlaku secara umum, sehingga ot omatis kaum perem puan t idak t erepresent asikan dalam cara pandang ini.

Jika kit a lihat, sist em budaya pat riarki seakan-akan sudah m enjadi alam iah dari asal m uasalnya. Karena it u pula, cara t erhadap perem puan yang beranggapan bahw a kaum perem puan secara kodrat i m em ang lebih lemah dari kaum laki-laki juga seakan-akan merupakan cara pandang yang “ given” .

Sejak lahirnya filsafat di dunia Barat , pandangan natural di at as sudah menjadi pandangan umum . Arist ot eles misalnya beranggapan bahw a perem puan adalah laki-laki yang tidak lengkap. Wanit a kurang bisa “ mengeram i” at au “ m emasak” darah yang dikeluarkan pada masa haidnya ke t araf yang lebih


(29)

sem purna m enjadi air m ani. Karena itu, w anit a t idak bisa m enyumbangkan air mani dalam proses pem bent ukan janin m anusia – wanita hanya menyum bangkan selongsongnya saja, dan kem udian m em beri janin itu makanan unt uk tumbuh. Tapi benih dari janin it u harus dat ang dari laki-laki. (Budiman, 1981: 8)

Ide t ent ang w anit a lebih lem ah dari laki-laki t erus berkem bang dan dipert ahankan oleh hampir sem ua ahli filsafat yang t erkenal sepanjang sejarah. Untuk lebih mem pert egas, Arif Budim an mengam bil kut ipan dari Carol Gould dalam esainya berjudul “ The Women Quest ion : Philosophy of Liberat ion and t he Liberat ion of Philosophy” yang membeberkan bagaim ana pandangan para filsuf t ersebut t erhadap perem puan. Kant misalnya berkat a, “ Saya sulit berkat a bahw a w anit a punya kesanggupan untuk m engert i prinsip-prinsip” , Schopenhauer, w anit a “ dalam segala hal t erbelakang, t idak memiliki kesanggupan untuk berpikir dan berefleksi... posisinya ada di ant ara laki-laki dew asa yang m erupakan manusia sesungguhnya dan anak-anak... pada akhirnya, w anita dicipt akan hanya unt uk m engembangkan ket urunan”. Fichte, w anit a “ dikuasai karena itu merupakan keinginannya – keinginan yang lahir dari m oral w anita it u sendiri - unt uk dikuasai” .

Teori yang paling dikenal dalam gugus t eori nature adalah t eori dari ahli ilmu jiw a Sigmund Freud. Teori Freud yang kem udian dikenal dengan t eori Psikoanalisa berpokok pada konsep penis envy (iri pada kelamin laki-laki). M enurut t eori ini, pada saat seorang anak perem puan pert ama kali melihat


(30)

kelamin laki-laki, dia segera menjadi sadar bahw a dia kekurangan sesuat u. “ M ereka m elihat kelam in laki-laki milik saudaranya at au t eman berm ainnya, dan alat kelam in itu t am pak sebagai sesuat u yang besar, sehingga m ereka jadi sadar bahw a apa yang mereka m iliki adalah sangat kecil, dan sejak it u m ereka m enjadi korban perasaan iri hati untuk m em iliki kelam in sepert i yang m ereka lihat dim iliki oleh anak laki-laki...” . selanjut nya “ ... anak perempuan it u mengem bangkan perasaan rendah diri seum ur hidup” (Budiman, 1981: 10). Dari pandangan Freud di at as, t erlihat bahwa kedudukan perem puan yang lebih rendah daripada laki disebabkan karena perem puan t idak m em iliki kualit as yang dim iliki oleh laki-laki. Celakanya lagi, pandangan Freud di at as pun dianggap natural. Padahal t idak dapat dipungkiri bahw a pandangan Freud pun tidak t erlepas dari sist em pat riarki. Jadi, sebenarnya pandangan Freud tidak t erlepas dari bias pat riarkis.

Beberapa fem inis yang sesungguhnya m em punyai agenda yang berbeda – sepert i Bet t y Friedan, Shulamith, dan Kat e M illet – m em berikan pandangan cukup keras t erhadap t eori Freud. Bagi m ereka, ket idakberdayaan sosial perem puan t erhadap laki-laki kecil sekali hubungannya dengan fakt or biologis, melainkan sangat berhubungan dengan konst ruksi sosial at as fem init as.

Dalam int erpret asi Friedan, aforisme Freud “ Anatomi adalah takdir” berart i peran reproduksi, ident it as gender, dan kecenderungan seksual perem puan dit entukan oleh ket idakadaan penis pada perem puan, dan set iap perem puan yang t idak mengikut i jalan yang dit entukan oleh alam adalah “ t idak norm al” (Tong, 2004: 197).


(31)

Karena itu Friedan bersikap sangat krit is, dengan menyat akan pandangannya bahwa dengan m engarahkan anggapan bahw a ket idakpuasan dan ket idaknyam anan perempuan karena ket iadaan penis saja, sam a saja mengarahkan perempuan untuk percaya bahw a mereka adalah “ cacat ” .

M eskipun ket erbukaan Freud mengenai seksualit as dan kesediaannya unt uk m em bicarakan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan di t em pat t idur pada m ulanya t ampak sebagai suat u langkah progresif m enuju hubungan seksual yang lebih baik, lebih beragam, dan lebih mem bebaskan, Kat e M illet mengklaim bahw a pengikut Freud menggunakan tulisannya untuk “ m erasionalkan hubungan yang t idak seim bang ant ara kedua jenis kelam in, merat ifikasi peran t radisional, dan m emvalidasi pem bedaan t emperament al” (Tong, 2004: 75).

Sampai saat ini, ada beberapa t eori yang m enyat akan lahirnya sist em pat riarki. Asal muasal lahirnya sist em pat riarki digam barkan oleh Engels dengan sangat m enarik. Engels mencoba m enjelaskan bagaimana sist em pat riarki ini lahir dan m enjadi sist em yang bert ahan t erus sam pai sekarang seakan-akan t elah menjadi sist em yang alamiah (t aken for grant ed). M enurut Engels, sist em pat riarki dimulai ket ika manusia mulai m engenal kepem ilikan pribadi, di m ana sist em kepem ilikan ini juga m enandai lahirnya sist em kelas. Dalam menjelaskan sist em pat riarki, Engels m encoba m em ulainya dari kelahiran sist em kelas. Dalam masyarakat yang m asih liar, kepem ilikan hart a benda secara pribadi m asih belum ada. At au lebih t epat lagi, masih belum dimungkinkan karena t araf t eknologi pada waktu it u belum m em ungkinkan hart a benda dikumpulkan. Hal ini


(32)

disebabkan karena m akanan harus dicari set iap hari, sem ent ara hart a yang dimiliki m asih sebat as alat-alat untuk mencari m akan, sem isal panah dan busur. (Friedl via Budiman, 1981: 21).

Pandangan Engels ini juga senada dengan pandangan Helene Cixous. Filsuf asal Perancis ini m engakui bahw a perem puan mulai t ersingkir dengan munculnya kepem ilikan pribadi. Set elah it u, nasib perempuan selam a berabad-abad dikait kan dengan kepemilikan pribadi. Dengan posisi perem puan yang merupakan milik pribadi ini, maka dalam hal ini ayah, sebagai pem im pin dalam garis patriarkal, dapat m em utuskan apa pun yang dikehendakinya at as anak perem puannya. Begit u pula dalam ikat an perkawinan, perem puan yang m enikah akan dibeli dan menjadi milik kelom pok suaminya sehingga betul-bet ul t ercerabut dari akar kelompoknya. Dalam perkaw inan ini, perem puan bet ul-bet ul dibeli sepert i layaknya hewan t ernak atau budak. Karena di dalam ikat an perkaw inan ini, perempuan t idak berharga apa-apa. suami akan memaksakan dewa dom est iknya kepada perempuan, sedangkan anak-anak yang lahir dari rahim perem puan akan m enjadi milik keluarga sang suami. (Beauvoir, 120-121).

Engels beranggapan bahw a pembagian kerja secara seksual adalah “ w ajar” pada perm ulaan manusia (Guet t el via Budiman, 1981: 22). Dia menganggap gejala bahw a laki-laki harus pergi berperang dan berburu, sedangkan w anit a harus t inggal di rum ah m em persiapkan makanan, melahirkan, dan m engasuh anak sebagai suat u gejala yang terberi. Pandangan Engels pada t itik ini hampir serupa dengan pandangan Talcot Parsons yang menyat akan


(33)

bahw a pembagian tugas ant ara laki-laki dan w anit a di mana laki-laki melakukan t ugas di publik sepert i berburu sedangkan perem puan m elakukan t ugas domest ik merupakan pem bagian t ugas yang berlangsung secara w ajar untuk m enghasilkan harmoni dalam m asyarakat . Pem bagian kerja secara seksual memperjelas fungsi suami dan ist ri dalam keluarga inti, dan ini memberi kan rasa t enang bagi keduanya (Budiman, 1981: 18)

Bagaim ana pem bagian kerja secara seksual t ersebut dapat t erjadi, M arw ell m enjelaskannnya sebagai berikut : Peran yang didasarkan at as perbedaan seksual selalu t erjadi, ini sudah menjadi kenyat aan yang tidak dapat dibant ah. Ini t erjadi di m ana-m ana, meskipun bent uknya mungkin tidak selalu sam a. Pada set iap kebudayaan, wanit a dan laki-laki diberi peran dan pola t ingkah laku yang berbeda untuk saling m elengkapi perbedaan badaniah dari kedua makhluk ini. Pembagian peran ini berfungsi melengkapi kekurangan jenis manusia ini, supaya persoalan yang dihadapi masyarakat dapat dipecahkan dengan cara yang lebih baik (Budiman, 1981: 27)

Engels beragument asi bahw a sejak aw al perem puan melakukan pekerjaan yang t am pak sebagai jenis pekerjaan Ada dalam dirinya sendiri, sepert i memasak, m em bersihkan, dan m engasuh anak, sem ent ara laki-laki melakukan pekerjaan yang t am pak sebagai bagian dari kat egori Ada untuk dirinya sendiri, sepert i berburu dan berkelahi, yang sebagian besar dari pekerjaan it u membutuhkan alat unt uk m enaklukkan dunia (Tong, 2004: 265).


(34)

Pembagian kerja dinilai mulai tidak w ajar ket ika dalam suatu titik sejarah perkembangan, manusia mulai mengenal dunia pert anian dan peternakan. Pada t itik ini, keahlian unt uk m em elihara ternak berh asil dikembangkan. Tanah pun menjadi sesuat u yang pent ing ket ika t eknik untuk bercocok t anam dit emukan. Karena laki-laki adalah orang yang diserahi t ugas unt uk m engurus alat-alat produksi, maka laki-laki m em punyai kesempat an unt uk mengumpulkan kekayaan secara b erlebihan. Dari sini pula kem udian timbul keinginan laki-laki untuk menguasai perem puan. Sejak saat it u w anit a t idak lagi m em iliki fungsinya sendiri, t et api bekerja sesuai keinginan laki-laki. Dari sinilah akhirnya muncul sist em pat riarki, seperti yang disampaikan Engels “ M aka m uncullah sist em pat riarkal, dan sejak w akt u itu w anit a diubah menjadi makhluk pengabdi saja; w anit a m enjadi budak dari keserakahan laki-laki, dan m enjadi m esin pem buat anak-anak belaka. (Engels via Budiman, 1981: 23)

Pembagian kerja seksual yang t adinya bersifat hubungan t imbal balik dan saling mengunt ungkan akhirnya berjalan timpang. Pembagian kerja ini memberi kesem pat an bagi laki-laki untuk bisa m emanfaatkan dan m enjadikannya dasar unt uk mengembangkan kekuasaannya.

Wanit a mulai menempati fungsinya dalam ranah dom est ik. Sement ara it u laki-laki dengan nyam an menguasai ranah publik. Pada saat ini, w anit a mulai mengalam i kesulit an untuk m engakses kehidupan berm asyarakat , sehingga memiliki ket ergant ungan yang begit u besar t erhadap laki-laki.


(35)

Sem ent ara it u, Beauvoir m elihat bahwa sist em pat riarki pada masyarakat prim it if tidak pernah ada. Tidak ada inst itusi apa pun, sistem w aris, maupun undang-undang yang m engesahkan ket idakset araan gender. Bahkan agama pada m asa itu pun diyakini Beauvoir bersikap net ral. Hal itu t erlihat dari penyem bahan t erhadap tot em yang t idak berjenis kelam in. W ajar kalau kemudian Beauvoir tidak t erlalu puas at as penjelasan yang dibuat oleh kalangan M arxis yang t erlalu mengedepankan pada pert ent angan kelas ekonomi.

Dalam bayangan Engels, jika kapit alisme - yang m em ang m em berikan peluang bagi bagi laki-laki pada penguasaannya t erhadap alat-alat produksi - dirunt uhkan, m aka alat -alat produksi it u akan dim iliki secara m erat a ant ara laki-laki dan perempuan. Dengan dem ikian jenis pekerjaan akan dapat dibagi lagi berdasarkan kem am puan, kesiapan, dan kebersediaan seseorang unt uk melakukan pekerjaan t ert ent u. Bagi Beauvoir, solusi t ersebut tidak otom atis merunt uhkan relasi laki-laki dan perempuan yang t impang karena kenyat aan akan hal t ersebut yang sudah berlangsung berabad t ahun diabaikan oleh M arxism e. Perem puan dalam m asyarakat Sosialis t et ap m ungkin disubordinasi oleh laki-laki, sepert i juga pada m asyarakat kapit alis, karena akar opresi t erhadap perem puan lebih dari sekadar fakt or ekonomi.

Berbeda dengan Engels yang m elihat bahw a pembagian kerja ant ara laki-laki dan perem puan seakan-akan sepert i sesuat u yang “ alamiah” , Beauvoir melihat bahwa pem bagian kerja secara seksual t ersebut t erbent uk dari proses kultural yang berlangsung t erus m enerus. Sepert i dinyat akan oleh Beauvoir, adat


(36)

dan hukum mulai t erbentuk ket ika mulai ada sist em m enet ap. Pada t ahap ini, perbedaan seksual diwujudkan dalam bentuk st rukt ur kelompok. Akan t et api, pada m asyarakat agraris, perempuan seringkali dit empat kan pada suatu kehormat an yang luar biasa. Karena kehidupan prim it if biasanya bersifat komunal, m aka kepemilikan propert i bersifat kolekt if. Karena it u pula, propert i ini mengharuskan pem iliknya beranak pinak, sehingga mat ernitas pun m enjadi fungsi sakral. Akan t et api kepemilikan t et ap berada di t angan laki-laki.

Akan t et api, m eskipun perem puan pernah m endapat kan kedudukan yang dihorm at i, Beauvoir t idak percaya bahw a kaum perempuan pernah benar-benar berkuasa. Bagi Beauvoir, yang m enolak t esis Engels, fakt a bahw a pernah ada kehidupan berdasarkan m at riarkal hanyalah mit os. Dengan berlandaskan pandangan sosok yang lain, sama saja tidak pernah t erjadi hubungan yang timbal balik ant ara kedua jenis kelamin t ersebut . M aka, Beauvoir percaya bahw a perem puan t idak pernah m asuk dalam hubungan langsung dan m erdeka dengan kaum laki-laki. “Ikat an resiprokal yang berdasar pada perkaw inan t idak dit et apkan ant ara laki-laki dan perempuan, namun antara laki-laki dan laki-laki dengan menggunakan perempuan, yang hanya menjadi penunjang perist iw a khusus t ersebut,” demikian Beauvoir m engut ip Levi-St rauss .

Karena it u, meskipun bisa saja dalam sist em m at rilineal itu perem puan memiliki kedudukan yang t inggi, namun Beauvoir tidak begit u saja percaya bahw a sist em m at riarkal pernah t erjadi.


(37)

Dalam prakt iknya, kondisi akt ual perempuan tidak t erikat dengan jenis otorit as yang begini at au begitu. Bisa saja t erjadi dalam sist em mat rilineal ia m emiliki posisi yang sangat t inggi; namun, kit a harus t et ap hati-hat i unt uk memperhat ikan bahwa keberadaan seorang kepala suku perem puan at au rat u dalam sebuah kelom pok m asyarakat sam a sekali t idak m enandakan kaum perempuan sungguh-sungguh berkuasa. (hlm. 104)

Dari kut ipan di at as dapat disimpulkan bahw a Beauvoir tidak sepenuhnya percaya bahw a dalam sejarah manusia, perempuan pernah menempat i kedudukan yang lebih tinggi daripada laki-laki.

2.3. Pandangan Para Pemikir yang Patriarkis

Tidak t erlalu mudah unt uk m engklasifikasikan para pem ikir yang m em iliki cara pandang pat riarkis. Jika secara langsung m enggunakan cara pandang fem inisme, t ent ulah akan lebih gampang memasukkan hampir semua pem ikir ke dalam kaca m at a pat riarkis, t erut ama jika kit a lihat uraian sebelum nya bagaim ana sist em pat riaki itu lahir dalam kehidupan m asyarakat .

Dalam hal ini, penulis t idak mau secara gegabah mem berikan penilaian. Akan lebih mudah untuk m em aparkan pem ikiran-pemikiran yang m em ang cukup t egas m em berikan penilaian yang negat if t erhadap perempuan. Tet api, kaum fem inis memandang bahwa pandangan para pemikir yang t erlihat general pun berpot ensi menyim pan bias-bias pat riarki.

2.3.1 Plato

Plato (427-347M ) dilahirkan di Athena dalam kalangan bangsaw an. Sejak masa m udanya ia m engagum i Sokrat es dan sangat dipengaruhi olehnya.


(38)

Sebagaim ana Sokrat es yang selalu mengadakan percakapan dengan w arga At hena, demikian pun Plato m emilih bentuk-bentuk dialog untuk m enuliskan pikiran-pikirannya.

Pemikiran yang sangat dikenal dari Plato adalah Dualism e. M enurut Plato, realit as seluruhnya seakan-akan t erbagi at as dua “ dunia” : dunia yang hanya t erbuka bagi rasio kit a dan dunia yang hanya t erbuka bagi pancaindra kita. Dunia pert am a t erdiri dari ide-ide dan dunia kedua adalah dunia jasm ani (Bert ens, 1995:13).

M enurut Plat o, dunia ideal (yang terdiri dari Ide-ide) m erupakan objek bagi rasio, sedangkan dunia jasmani hanya m eniru dua ide dengan cara t idak sem purna. Itulah sebabnya Plato mengat akan bahw a filsuf sedapat m ungkin melepaskan diri dari dunia jasm ani agar sanggup m emandang dunia ideal yang sem purna.

Begit u pula ket ika m emandang manusia, Plat o m em bagi m anusia ke dalam dua hal, yaitu tubuh dan jiw a, yang masing-m asing m emiliki kodrat yang berlainan. Dalam pandangannya t ent ang jiwa, Plato mengatakan bahw a sebelum dilahirkan dalam tubuh jasm ani, jiw a sudah berada dan memandang Ide-ide. Set elah masuk ke dalam jasm ani, jiw a t erkungkung dalam tubuh dan senant iasa rindu akan pemandangan bahagia yang dinikmat inya sebelum lahir dalam t ubuh. Tet api dalam eksist ensi jasm ani sekarang, m anusia sanggup pula memperoleh sedikit penget ahuan t ent ang Ide-ide. Dalam diri m anusia masih ada


(39)

ingat an akan Ide-ide yang pernah dipandang dan ingat an itu dapat dihidupkan kembali sejauh manusia melepaskan diri dari dunia jasm ani (Bert ens, 1995:14).

Dari pandangannya di at as, dapat dilihat bagaimana Plato m enem pat kan Jiw a berada m elampaui Tubuh. Begitu pula pem bagian Plato mengenai dunia Ide dengan dunia Jasmani. Apabila disejajarkan, Jiwa memiliki t empat yang set ara dengan Dunia Ide. Sedangkan Tubuh dan Dunia Jasm ani beradi set ingkat di bawahnya.

Penempat an yang t idak sejajar ini memperlihat kan kecenderungan Plat o unt uk mengagungkan rasio at as t ubuh. Kecenderungan inilah yang diperkirakan memiliki t endensi khusus t erhadap keberpihakan pada dunia pat riarki. Pada perkembangan selanjutnya, nalar dibaca sebagai kekuatan laki-laki.

Dalam bukunya yang berjudul Emile, Jean-jacques Rousseau menggam barkan perkembangan rasionalit as sebagai tujuan pendidikan yang paling pent ing bagi laki-laki, t api tidak bagi perempuan. Rousseau berkom it m en t erhadap dimosfism e seksual, suatu pandangan yang berpendapat bahw a “ laki-laki yang rasional” adalah pasangan yang tepat bagi “ perem puan yang em osional” , dan sebaliknya (Tong, 2004:19). Pandangan Rousseau di at as sem akin menguat kan kedudukan rasio at as tubuh, sepert i konsepsi yang dibentuk oleh Plat o, dim ana rasio dianggap sebagai representasi dari laki-laki sedangkan t ubuh m erupakan perw ujudan dari identit as perempuan.


(40)

M eskipun pada beberapa hal, Plato m em iliki cat at an positif pada perempuan, t erut am a dalam usahanya m em pert ahankan kualit as perem puan agar sam a dengan laki-laki, namun ada sisi am biguit as pada diri Plato.

Sepert i diungkapkan Susan B. Levin, pada awalnya Plato m em bedakan manusia bukan berdasarkan karakt erist ik biologis t et api berdasarkan kualit as pemikiran orang yang dapat ia hubungkan dengan pem ikiran at au jiw a dengan t ubuh. Sem ua ini adalah dalam upayanya untuk m enent ukan siapa yang dapat ia sebut sebagai t echne, yakni yang dapat m em akai kognit ifnya untuk mengident ifikasi mana yang riil (m em punyai ciri-ciri) at au eudaimon. Kemampuan techne ini t idak pernah ia bedakan berdasarkan ciri-ciri fisik/ biologis dan ment al. Ia pun t idak pernah m engat akan bahw a perempuan tidak dapat menjadi t echne. At as argum ent asi ini, t idak m engherankan jika oleh beberapa kalangan, Plat o dianggap sebagai fem inis. Namun persoalannya jadi berbeda ket ika ia m asuk pada pem bahasan Republic V. Di sini Plato menyat akan bahw a pada tingkat t echne, kualit as seseorang dit entukan psuche (karakt er alam iah). Sebagaim ana dikut ip Susan AB. Levins, t ernyat a menurut Plat o, phusis seorang perem puan mengandung unsur-unsur negat if. Oleh sebab itu, t entunya seorang perem puan t idak layak m enjalankan tugas-t ugas pent ing (Arivia, 2003:29).

2.3.2 Aristoteles

Arist ot eles berasal dari St ageira di daerah Thrae, di Yunani Ut ara. Ia belajar dalam akadem ia Plato di At hena dan t inggal di sana sampai Plat o


(41)

meninggal. Dua t ahun lam anya ia bert ugas sebagai guru pribadi untuk Pangeran Alexander Agung. Tidak lam a set elah Alexander Agung dilant ik m enjadi raja, Arist ot eles kem bali ke At hena dan membuka suatu sekolah yang dinamakan Lykeion (dilatinkan: Lyceum ) (Bert ens, 1995:14).

Arist ot eles m em iliki pandangan yang cenderung negat if t erhadap perem puan. Seluruh asum si filsafat polit ik Arist oteles adalah bahwa di dunia ini hanya t erdapat sat u m acam kelas m anusia, yait u laki-laki bebas (free m ales) yang harus hidup secara penuh dan melihat yang lain-lainnya sebagai alat untuk mencapai t ujuannya. Lebih jauh, Aristot eles secara konsist en melihat perem puan sebagai manusia yang cacat dan juga inferior. Ia percaya bahw a dalam konsepsi manusia, perem puan m ensuplai “ m at eri” , yait u cairan m enst ruasi dan laki-laki mensuplai “ bent uk” dan “ jiwa” m elalui sperm a. Dengan dem ikian, ia yakin bahw a laki-laki lebih superior karena m emiliki “ vit al panas” (vit al heat ) karena sperm anya yang m ensuplai “ bentuk” at au “ jiwa” sehingga ia lebih unggul daripada perempuan yang hanya mensuplai “ m at eri” (Arivia, 2003: 30).

Dalam bukunya “ De Generat ione Anim alium” , Arist ot eles menjabarkan t ent ang politik dan negara sert a penem pat an perempuan di dalam nya. Arist ot elses m eyakini bahw a ada beberapa kelas dari manusia yang berada di luar akt ivit as manusia. M ereka, misalnya, adalah budak dan perem puan. Budak baginya adalah sem acam propert i yang dapat dipakai dan kehidupan budak hanya dilihat sebagai alat untuk m encapai tujuan. Sam a halnya sepert i budak, kehidupan perem puan bersifat fungsional, yakni hanya digunakan unt uk


(42)

mempunyai anak, dan sepert i layaknya budak, ia berfungis untuk menyediakan segala keperluan hidup. Arist ot eles m engat akan bahw a halini harus dipert ahankan unt uk negara (polis) agar laki-laki bebas sert a dapat berkonsent rasi unt uk kehidupan int elekt ual dan polit iknya (Arivia, 2003:30-31).

2.3.3 Thomas Aquinas

Thom as Aquinas at au Thomas dari Aquino dilahirkan di It alia dan pada usia 18 at au 19 t ahun ia m asuk Ordo Dom inikan. Sesudah st udinya selesai, ia mulai m engajar di Paris (1252-1259). Kem udian sat u kali lagi ia kembali ke Paris unt uk m em angku jabat an profesor t eologi di universit as (t ahun 1269-1272). Selain itu ia m engajar di beberapa t em pat di It alia.

Banyak ahli sejarah filsafat sepakat dalam menyat akan bahw a filsafat Abad Pert engahan memuncak pada Thom as. Tet api hal it u sekali-kali t idak berart i bahw a ia m em bat asi diri pada filsafat saja. Sepert i halnya pada kebanyakan t okoh Abad Pert engahan yang dibicarakan di sini, m aksudnya yang ut ama ia mencipt akann suatu t eologi. Tet api Thomas mengakui ot onomi filsafat dan dalam karya-karyanya (kebanyakan bersifat t eologis) t erdapat suat u sint esa filosofis yang m encolok. Tanpa ragu-ragu Thomas mendasarkan filsafat nya at as prinsip-prinsip Arist ot elenism e (Bert ens, 1995:35-36)

Dalam bukunya yang berjudul Summ a Theologia (bukunya yang lebih kent al dokt rin-dokt rin t eologis), Aquinas m enyinggung sikapnya t erhadap perem puan dengan menggabungkan t radisi Krist iani dan Yunani. Dalam


(43)

pemikirannya, kelihat annya ia bersepakat dengan Arist ot eles bahw a perem puan mempunyai kekurangan at au cacat dari laki-laki (defect male), t et api ia juga set uju bahw a perem puan dalam pandangan Krist iani dicipt akan oleh Tuhan. Oleh sebab itu, kekurangan yang t erdapat di dalam diri perem puan bersifat alam iah.

Aquinas menganggap bahw a perempuan t idak dicipt akan sebagai produksi pert ama, t api bergant ung pada laki-laki dan bukan cipt aan yang langsung dari Tuhan. Kelihat annya pem ikiran Aquinas sangat dipengaruhi oleh paham Krist iani Abad Pert engahan sert a pengaruh kuat Aristoteles, t erut am a berkait an dengan soal m akhluk perempuan yang t idak sempurna (cacat ) (Arivia, 2003:36).

2.3.4 Descartes

Rene Descart es sering juga disebut “ bapak filsafat m odern” . Di dilahirkan di Perancis (1596-1650) dan belajar filsafat pada Kolese yang dipimpin Pat er-pat er Yessuit di desa La Fleche (Bert ens, 1995:45).

Keraguan Cart esian dimulai oleh Descart es yang mengant arnya pada penemuan Cogito Ergo Sum “ Saya berpikir maka saya ada” . Dari penem uan ini, Descart es kemudian m enem ukan bahw a m anusia adalah m akhluk dualis yang t erdiri dari pemikiran-pem ikiran spiritual dan t ubuh-tubuh m at erial. Tubuh menurut Descart es adalah layaknya sebuah m esin sedang pem ikiran bersifat


(44)

im ort al. Pada akhirnya, yang hendak dicapai adalah sem acam kepast ian penget ahuan. Pembukt ian ini menyum bangkan pemikiran yang luar biasa dalam filsafat , yakni bahw a penget ahuan hanya dapat dicapai lew at akal dan penget ahuan empiris m erupakan penget ahuan yang sekunder. Perdebat an ini t ent unya berjalan t erus hingga ratusan t ahun kem udian (Arivia, 2003:38).

Filsafat Descart es m em punyai pengaruh yang besar t erhadap konsep perem puan pada zam an m odern. Descart es sebagai “ bapak” dari filsafat M odern memang berhasil m em baw a filsafat keluar dari t embok paradigma Abad Pert engahan ke t embok skolast ik. Descart es m enaw arkan sebuah fondasi yang didasarkan pada rasio, m engubah pandangan t eologgi pada kebebasan manusia unt uk bert indak dan bert anggung jaw ab secara m oral sert a pada pasangan ilmiahnya yang compat ible dengan Tuhan. Pandangannya m engenai subst ansi mind dan mat t er t elah m em buka j endela dunia pada perbedaan ilmu penget ahuan dan t eologi sert a segala “ rekonsiliasinya” . Akan t et api, dualism e ini yang juga membaw a asosiasi dan oposisi yang tajam dalam perbedaan seksual (Arivia, 2003:40).

Pandangan dikotom ik - dimana perem puan dihubungkan dengan alam sedangkan laki diasosiasikan sebagai manusia – m em baw a hubungan laki-laki dan perem puan sebagai subjek-objek. Laki-laki-laki sebagai subjek yang it u berart i menguasai dan perem puan sebagai objek yang dikuasai.


(45)

Posisi Sigmund Freud sangat ambigu dalam kajian-kajian perempuan, t erut am a dalam hubungannya dengan fem inisme. Di sisi lain, pem ikirannya t ent ang seksualit as m embuka t elah m embuka jalan bagi feminis dalam membongkar lebih dalam hubungan laki-laki dan perempuan t erut am a dalam kait annya dengan seks dan seksualit as. Namun, di sisi lain, Freud diangggap melanggengkan pemikiran pat riarkis yang m enem pat kan posisi laki-laki lebih segala-galanya dibandingkan dengan perempuan.

Freud lahir dalam sebuah keluarga Yahudi pada t ahun 1856 di Freiburg. Pada tahun 1881 ia m endapat kan gelar dokt ernya dari Universit as W ina, dan pada t ahun 1885 m emenangkan beasisw a untuk m elanjut kan studinya di Paris. Di sana ia belajar di baw ah pengawasan Jean M art in Charcot yang membukakannya jalan untuk belajar t ent ang sakit jiw a secara serius (Lecht e, 2001:44-45).

Teori Freud t ent ang posisi laki-laki dan perempuan berpusat pada perhat ian adanya kecem buruan perempuan t erhadap penis laki-laki (penis envy). Ia m engat akan, pada saat perkembangan t ahap falik berlangsung, anak perem puan segera m engalihkan perhat iannya dari klitorisnya ket ika ia sadar bahw a alat kelam in laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Pada saat itu, ia beralih dari pengidolaan ibu ke pengidolaan ayah. Di sini t erjadi apa yang disebut Oedipus Complex, ket ergant ungan pada ayahnya. M enurut dokt rin psikoanalisis, bahw a laki-laki m em punyai penis dan perem puan tidak m em punyai penis, m em pengaruhi cara laki-laki dan perempuan meneruskan penyelesaian


(46)

kompleks pada t ahapan falik. Freud m engajarkan bahw a perjalanan anak perem puan melalui Oedipus dan kat rasi, menciderai perempuan dangn beberapa sifat gender yang t idak disukai, bersam aan dengan perkem bangannya m enjadi perem puan dew asa (Tong, 2004:190). Sem ua penjelasan ini, m enurut Freud, memberi kan pemahaman baru m engapa perem puan adalah m akhluk inferior karena ia sebenarnya ada makhluk yang t erkat rasi (Arivia, 2003:58).

Pada t it ik inilah Freud banyak m endapat kan krit ik, t erut am a dari kalangan fem inis. Dalam pandangan kaum fem inis, alih-alih m em berikan sebuah pemahaman baru, Freud dianggap malah m elanggengkan ket impangan hubungan ant ara laki-laki dan perem puan. Penjelasan Freud di at as sam a saja memberi kan jalan bagi laki-laki untuk m ensubirdinasi perempuan.

Beberapa feminis angkat bicara m engenai t eori Freud ini. M ereka berargum ent asi bahw a posisi sert a ket idakberdayaan sosial perem puan t erhadap laki-laki kecil hubungannya dengan biologi perem puan, dan sangat berhubungan dengan konst ruksi sosial at as fem ininitas (Tong, 2004:196).

2.4 Konsep Dikotomik Laki-laki/ Perempuan

Apa yang menjadikan perempuan selalu dalam posisi yang subordinat ? Jaw abannya adalah konsep dikotom ik. Konsep dikot omik at au oposisi biner selalu mengkont raskan dua hal yang berbeda. Sepert i contoh baik/ buruk, hit am / putih, t ua/ m uda, cantik/buruk, maskulin/ fem inin, laki-laki/ perempuan, dan sebagainya.


(47)

Let ak persoalannya adalah bahwa konsep dikot omik it u diyakini sebagai suatu keadaan yang alamiah; sesuat u yang “ given” . Adanya buruk karena ada baik. Begitu juga sebaliknya. M et afisika hadir di sini. Ketika konsep dikot omik diyakini sebagai suatu “ given” , maka keberadaannya bersifat t et ap.

Gadis Arivia dalam tulisannya berjudul “ Bert erim akasihlah Kepada Para fem inis!” (2005) dengan t egas m enyat akan bahwa perbedaan t ersebut merupakan hasil dari proses–proses sosial, bukan sesuat u yang “ t erberi” . Celakanya, konsep perbedaan yang m erupakan hasil konst ruksi sosial ini t ernyat a melahirkan sist em ket idakadilan yang akut. Dalam sist em dikot omik, selalu ada dominasi. Dan dom inasi pada akhirnya akan m enim bulkan penindasan.

Begit u pula dalam hubungannya ant ara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang diuntungkan dengan sist em pat riarki akan m endapat kan posisi yang lebih menguntungkan. St udi yang dilakukan Gadis Arivia t erhadap realit as sosial polit ik menunjukkan bahw a laki-laki selalu diuntungkan dalam hubungannya dengan laki-laki. Dalam realit as polit ik Indonesia, t erlihat bagaim ana secara kuant it as laki-laki lebih banyak yang menempat i posisi-posisi st rat egis, baik di lembaga eksekut if, yudikat if, m aupun legislat if. Apakah ini berangkat dari konsep yang sudah mengakar m endaging dalam sist em pat riarki bahw a perempuan lebih lemah daripada laki-laki sehingga jabat an-jabat an publik lebih t epat jika diberikan pada kaum laki-laki?

Bentuk dominasi t erlihat juga bagaim ana suara laki-laki lebih didengarkan daripada suara perempuan. Banyak kasus p erkosaan, sepert i yang dikut ip Arivia


(48)

dari Lori Heise (2006: 178-195), yang menempat kan perem puan dalam posisi yang salah karena dianggap sebagai “ kegenit an” sem ent ara pemerkosa dianggap sebagai “ kenakalan biasa” . Karena posisi yang t idak m enguntungkan bagi perem puan, banyak kasus perkosaan yang t idak dilaporkan. Di Afrika Selat an, misalnya, hanya sat u dari 20 perkosaan yang dilaporkan. Terlihat di sini bagaim ana laki-laki selalu diunt ungkan dalam relasinya dengan perempuan, bahkan m eskipun relasi t ersebut bersifat penindasan t erhadap yang lain.

Pandangan dikot omik yang bias diskrim inasi ini m ew arnai seluruh dim ensi kehidupan m anusia. Namun, sepert i yang diungkapkan oleh Arivia, mengut ip dari Alison Jagger, diskrim inasi yang berdasarkan jender m erupakan bentuk diskriminasi paling t erdalam , luas, dan kom prehensif. Diskrim inasi t erhadap perem puan t ersebut diuraikannya secara t egas sebagai berikut :

1. bahwa perem puan secara hist oris m erupakan kelompok yang t ert indas.

2. bahwa ket ert indasan perempuan sangat m eluas ham pir di seluruh m asyarakat m ana pun.

3. bahwa ket ert indasan perem puan m erupkan bentuk yang paling dalam dan ketert indasan yang paling sulit untuk dihapus dan t idak dapat dihilangkan dengan perubahan-perubahan sosial sepert i penghapusan kelas m asyarakat .

4. bahwa penindasan t erhadap perempuan m enyebabkan kesengsaraan yang am at sangat t erhadap korbannya, baik secara kualit at if maupun


(49)

kuantit atif, w alaupun kesengsaraan t ersebut t idak t am pak karena adanya ket ert ut upan, baik yang dilakukan dilakukan oleh pihak penindas m aupun pihak t ert indas.

5. bahwa pem aham an penindasan t erhadap perem puan pada dasarnya m em berikan m odel konseptual untuk mengert i bent uk-bentuk lain penindasan.

Sem ent ara itu, Aafke Komt er m encat at set idaknya ada t ujuh bentuk ket idakset araan dalam relasi ant arseks:

1. ket idakset araan dalam sum ber daya-sumber daya sosial, posisi sosial, polit ik, dan penerim aan budaya.

2. ket idakset araan dalam kesem patan mem anfaat kan sumber daya-sum ber daya yang t ersedia.

3. ket idakset araan dalam pem bagian hak dan kew ajiban.

4. ket idakset araan baik eksplisit m aupun implisit dalam pengambilan keputusan yang m enentukan perbedaan pelaksanaan (dalam hukum, pasar kerja, prakt ik pendidikan, dan sebagainya).

5. ket idakset araan dalam represent asi budaya; pendevaluasian sebagai kelom pok bawah, st ereot ip, pelekat an, dengan kodrat , anggapan lem ah, dan ket erikat an biologis.

6. ket idakset araan dalam implikasi psikologis; inferiorit as dan superiorit as.


(50)

7. t endensi sosiokult ural unt uk meminim alisasi at au m enolak ket idakset araan kekuasaan; konflik dianggap sebagai konsensus dan ket im pangan kekuasaan dianggap normal. (Hidayat , 2004: 228-229).

Konsep dikot omik ini bisa sangat jelas kit a t em ukan dalam ranah filsafat , sepert i pada Plat o yang m embagi t ubuh dan jiwa – di m ana jiw a m engat asi t ubuh -, at au Descart es yang m embagi mind dan mat t er. Dalam set iap pem bagian at au pengkat egorian it u, selalu ada yang diposisikan lebih t inggi dibandingkan yang lain. Posisi yang lebih t inggi biasanya akan mendom inasi yang lainnya. Begitu pun pada hubungan laki-laki dan perem puan. Laki-laki yang diuntungkan oleh sist em pat riarki mem iliki posisi yang lebih t inggi dibandingkan perem puan, bahkan dalam kasus yang lebih umum, laki-laki m endominasi dan menghegemoni perem puan.

St udi kasus yang dilakukan oleh seorang peneliti bernam a Pam ela Fishman, sepert i yang dikut ip David Graddol (2003) m em perlihat kan bagaim ana dalam dialog sehari-hari, laki-laki jarang sekali m erespon percakapan yang dimulai oleh perem puan, sebaliknya perem puan cenderung akan merespon pembicaraan yang dimulai oleh laki-laki. Penelit ian yang dilakukan t erhadap pasangan suami-ist ri di Am erika Serikat ini m emberikan kesimpulan bahwa nyaris sem ua t opik laki-laki diikut i oleh perempuan (28 dari 29 t opik), sem ent ara hanya 17 dari 47 topik yang disodorkan perem puan yang dianggap berhasil. Penelitian


(51)

ini sem akin menguat kan bahw a bahkan dalam ruang percakapan pun dominasi laki-laki atas perem puan sangat besar.

Konsepsi dikot omik yang “given” inilah yang mem urukkan perempuan dalam ket idakberdayaan sosial. Sebagian perem puan menganggap bahwa tugas perem puan mengikuti apa yang sudah digariskan oleh t akdirnya: m enjadi pelengkap laki-laki. Seperti dinyat akan Tong, sem akin baik seorang mengurus suaminya, semakin t inggi pula ia menganggap dirinya sebagai pilar, yang tanpa pilar itu, suaminya t idak akan berdaya (2004: 242).

Tent ang kodrat perem puan sebagai pelengkap ini dinyat akan pula Beauvoir, yang m elakukan analisis t erhadap lim a karya sast ra pengarang laki-laki. Dalam simpulannya, Beauvoir mengat akan bahw a perempuan yang dianggap ideal oleh sist em pat riarki, dan otom atis perem puan yang dipuja laki-laki, adalah perem puan yang percaya bahw a adalah tugas m ereka untuk mengorbankan diri agar m enyelam at kan laki-laki (Tong, 2004: 267). Hal itu sem akin t erang dengan fem ininit as yang harus dimiliki oleh perem puan sebagai kodratnya. M askulinitas dan femininit as diakui sebagai sifat yang m elekat pada laki-laki dan perem puan sebagai sist em seks/ gender, di m ana sifat t ersebut m erupakan sifat yang “ t erberi” .

Gayle Rubin m em berikan penjelasan yang cukup kom prehensif mengenai pembagian sifat maskulin dan fem inin ini. M enurut Rubin, sist em seks/ gender adalah suatu rangkaian pengat uran yang digunakan oleh m asyarakat untuk ment rasform asi seksualit as biologi m enjadi produk kegiat an manusia. Jadi,


(1)

Dari sini, dapat dit arik kesimpulan bahwa pert am a, subjekt ivit as laki-laki dibentuk at as cara berpikir oposisi biner. Kedua, subjekt ivit as laki-laki dibent uk oleh nalar berpikir yang m onolit ik, tunggal, dan t erpusat . Ini tam paknya sejalan dengan pemikiran abad pencerahan yang m enjadikan nalar sebagai sesuat u yang t erpusat . Ket iga, dengan sist em yang t erpusat ini, laki-laki m enafikan keberadaan ent it as yang ada di sekelilingnya. Keberadaan yang lain – kalaupun itu t erpikirkan – ada dalam rangka unt uk mengakui keberadaan subjek laki-laki. Jadi, jika perem puan ingin m asuk dalam pikiran (st rukt ur dunia) laki-laki, m aka ia harus dengan rela dibayangkan (dicit rakan) dari sudut pandang laki-laki.

Dalam cerpen-cerpen yang dikaji di at as, ada upaya-upaya dari Djenar unt uk membuat perem puan bersuara. Hal it u t am pak pada beberapa karyanya yang m encoba menampilkan t okoh perem puan yang m enyuarakan dirinya – t erut am a dalam soal seksualit as - m eskipun m ereka berada dalam kondisi t ersubordinasi, dilecehkan, dan mengalam i kekerasan seksual.

Djenar, dalam pem bacaan penulis, m enaw arkan beberapa cat at an. Pert am a, kegairahannya untuk menuliskan pengalaman seksualitas adalah sebuah langkah untuk m enyuarakan dirinya. Langkah t ersebut dapat dikat akan sebagai sebuah tindakan yang berani dengan keluar dari gam baran perem puan yang dibayangkan oleh laki-laki. Sekaligus pula, langkah ini sebagai pernyat aan bahw a perem puan mem iliki subjekt ivit asnya sendiri karena it u perempuan m est i berani untuk keluar dari aturan laki-laki m eskipun usaha t ersebut t idak sem uanya berhasil pada set iap cerpennya.


(2)

104

Persoalan pilihan ini t ampaknya sudah m enjadi wacana yang t erus berkembang dalam w acana kesusast raan Indonesia. Pilihan t em a t ubuh dan seksualit as ini m em iliki argument asi yang cukup logis. Tubuh adalah sesuat u yang paling dekat dengan perempuan, set elah w ilayah publik m enjadi milik laki-laki. Dengan t ubuh, perempuan m engalami. M aka, lew at pengalam an kebert ubuhan inilah, perem puan menyuarakan dirinya. Karena tubuh inilah, wilayah privat yang masih dim iliki oleh laki. Jika kem udian wilayah privat ini juga diatur oleh laki-laki, maka m em ang perempuan perlu m elakukan alt ernat if perjuangan dengan menggali ranah lain yang belum tersent uh oleh sist em pat riarki.

Hak at as t ubuh yang t erenggut inilah yang menjadi dasar mengapa Djenar melakukan pilihan ini. Pilihan ini m erupakan cara berada. Sepert i kat a Djenar, menulis bagi dirinya adalah semacam upaya unt uk pem bebasan yang hendak dicapai dengan jalan menuangkan segala pengalam an yang dialam inya sebagai perem puan, dan eksplorasi at as seksualitas hanyalah sebagian saja dari segudang pengalam an perempuan yang disam paikannya. Jadi, betul bahw a ini adalah persoalan pilihan. Dan Djenar beranggapan, dengan cara inilah ia m enyuarakan dirinya sebagai perem puan.

Ada beberapa hal yang perlu digarisbaw ahi dari karya Djenar. Pert am a, Djenar m emang m enit ikberat kan pada perayaan t ubuh dan seksualit as. Lew at seksualit as, Djenar ingin m engat akan bahwa perempuan m em iliki pengalaman seksualit as sendiri, sepert i juga dengan laki-laki. Perempuan juga Diri, yang berart i memiliki suara sendiri. Perem puan t idak dit ent ukan oleh laki-laki, yang itu


(3)

berart i ia bukanlah liyan laki-laki. Jika kit a hubungkan dengan konsep The Ot her, t am paknya apa yang sedang dilakukan oleh Djenar berdekat an dengan konsep yang dit aw arkan Simone Beauvoir, yang m engangkat persoalan perem puan sebagai liyan. Hanya saja, dalam hal perayaan tubuh, Beauvoir m emang t idak begit u bersepakat karena ia lebih mement ingkan kesadaran. Bagi Beauvoir, perayaan t ubuh hanya akan m em buat perem puan melupakan ot ent isitasnya.

Tubuh bagi Djenar adalah kepemilikan. Itu berart i perempuan sebagai pemilik t ubuh berhak menyuarakan hasrat nya. Tubuh perempuan bukanlah milik laki-laki (sist em pat riarki), di m ana t ubuh perem puan disuarakan oleh laki-laki. M aka, jika Djenar t ampak begitu bersem angat menyuarakan t ubuh dan seksualit as, itu adalah sebentuk keinginan Djenar untuk menyuarakan dirinya sendiri untuk m enjadi “ Diri” .


(4)

106

DAFTAR PUSTAKA

Arivia, Gadis. 2003. Filsafat berperspekt if Feminis. Jakart a: yayasan Jurnal Perem puan.

Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kat a Hat i. Jakart a: Penerbit Buku Kompas.

Ayu, Djenar M aesa. 2004. M ereka Bilang Saya M onyet ! Jakart a: Gram edia. Ayu, Djenar M aesa. 2004. Jangan M ain-M ain (dengan Kelaminmu). Jakart a: Gram edia.

Bandel, Kat rin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakart a: Jalasut ra.

Barker, Chris. 2005. Cult ural St udies (t erj. Tim KUNCI Cult ural Studies Cent er). Yogyakart a: Bent ang.

Beauvoir, Simone de. 2003. Second Sex: Fakt a dan M it os (t erj.). Surabaya: Pust aka Promothea.

Bert ens, K. 1995. Pengant ar Filsafat . Yogyakart a: Kanisius.

Brooks, Ann. 2005. Posfeminisme & Cult ural St udies (t erj. S. Kunt o Adi W ibowo). Yogyakart a: Jalasut ra.

Budim an, Arif. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis t ent ang Peran Wanit a di dalam M asyarakat . Jakart a: Gram edia. Fakih, M ansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial Yogyakart a: Pust aka Pelajar.

Ferguson, Kathy E. 1993. The M an Quest ion: Vision of Subject ivit y in Feminist Theory. California: Universit y of California Press.

Freud, Sigmud. 2003. Teori Seks (Pen. Apri Danarto). Yogyakart a: Jendela.

Ham id, Abdul, dkk (ed.). 2004. Seks Teks Kont eks: Tubuh dan Seksualit as dalam Wacana Lokal dan Global. Bandung: Jurusan Sast ra Inggris Unpad.


(5)

Jabrohim (ed.) 2001. M et odologi Penelit ian Sast ra. Yogyakart a: Hanindit a Graha Widia.

Kunt jara, Est her. 2004. Gender, Bahasa dan Kekuasaan. Jakart a: Gunung M ulia. Lecht e, John. 2001. 50 Filsuf Kont emporer: dari Strukt uralisme sampai Post modernit as. Yogyakart a: Kanisisus.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. M et odologi Posmodernis. Bogor: Akadem ia.

Luxem burg, Jan van. 1989. Pengant ar Ilmu Sast ra (t erj. Dick Hart oko). Jakart a: Gram edia.

M oleong, Lexy J. 1990. M et ode Penelitian Kualit atif. Bandung: Rosda Karya.

Pradopo, Rachm at Djoko. 1995. Beberapa Teori Sast ra, M et ode Krit ik, dan Penerapannya. Yogyakart a: Pust aka Pelajar.

Reinharz, Shulamit. 2005. M et ode-M et ode Feminis dalam Penelit ian Sosial (t erj. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung). Jakart a: women Research inst itut e. Sarup, M adan. 2003. Post -St ruct uralism and Post modernis: Sebuah Pengant ar. Jakart a: Jendela.

Suhart o, Sugihast ut i. 2002. Krit ik Sast ra feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakart a: Pust aka Pelajar.

Sut risno, M udji & Put ranto, Hendar. 2005. Teori-t eori Kebudayaan. Yogyakart a: Kanisius.

Tong, Rosem arie Put nam, 2004. Feminist Thought : Pengant ar Paling Komprehensif kepada Arus Ut ama Pemikiran Feminis. Bandung: Jalasut ra.


(6)