Sejarah Patriarki KERANGKA TEORI

27 sist em “ bapak” t ersebut dan membangun sist em t ersendiri, sepert i yang dilakukan Helene Cixous. Helen e Cixous mengkont raskan tulisan fem inis dan t ulisan m askulin. Dipandang secara psikoanalisis, tulisan maskulin berakar dari organ genit al dan libinal laki-laki, yang diberi emblem sebagai fallus. Karena beragam alasan sosial budaya, tulisan maskulin dianggap lebih bernilai dari tulisan feminin Tong, 2004:192. M enurut Cixous, ist ilah laki-laki–perem puan menunjukkan bahw a ist ilah kedua m engacu at au m enyim pang dari istilah yang pert am a. Laki-laki adalah Diri, sedangkan perempuan adalah Liyan. Karena itu, perempuan ada dalam dunia laki-laki dengan ist ilah laki-laki. Perempuan adalah liyan bagi laki-laki at au ia t idak t erpikirkan Tong, 2004:292. Untuk m elakukan perlaw anan terhadap sist em pat riarki, Cixous m em berikan taw aran dengan cara keluar dari sist em t ulisan maskulin dan mencoba m enggunakan m odel t ulisan feminin. Namun, penggunaan cara yang berbeda tersebut sesungguhnya dilakukan untuk t ujuan yang sama: m elakukan pendobrakan t erhadap sistem pat riarki. Dari sini dapat dilihat bahw a langkah unt uk m engklasifikasikan pemikiran Djenar M aesa Ayu ke dalam salah sat u bentuk pem ikiran fem inisme bukanlah sebuah hal yang m udah karena pemikiran fem inisme t idak berada dalam w ilayah t erkot ak-kot ak, m elainkan punya irisan sat u sam a lain.

2.2 Sejarah Patriarki

28 Kat a pat riarki mengacu pada sist em budaya di m ana sist em kehidupan diat ur oleh sist em “ kebapakan”. Pat riarki at au “ Pat riarkat ” merujuk pada susunan m asyarakat m enurut garis Bapak. Ini adalah ist ilah yang m enunjukkan ciri-ciri t ert ent u pada keluarga atau kumpulan keluarga manusia, yang diatur, dipim pin, dan diperint ah oleh kaum bapak at au laki-laki t ert ua. Art inya, hukum ket urunan dalam patirarkat m enurut garis bapak. Nam a, hart a milik, dan kekuasaan kepala keluarga bapak diwariskan kepada anak lak i-laki Ensiklopedia Indonesia 1984. Kini ist ilah itu secara umum digunakan untuk menyebut “ kekuasaan laki- laki” , khususnya hubungan kekuasaan ant ara laki-laki t erhadap perempuan yang di dalam nya berlangsung dominasi laki-laki at as perem puan yang direalisasikan melalui bermacam-m acam m edia dan cara Bhasin, 1996. Sist em kebapakan ini menjadi cara pandang yang berlaku secara umum, sehingga ot omatis kaum perem puan t idak t erepresent asikan dalam cara pandang ini. Jika kit a lihat, sist em budaya pat riarki seakan-akan sudah m enjadi alam iah dari asal m uasalnya. Karena it u pula, cara t erhadap perem puan yang beranggapan bahw a kaum perem puan secara kodrat i m em ang lebih lemah dari kaum laki-laki juga seakan-akan merupakan cara pandang yang “ given” . Sejak lahirnya filsafat di dunia Barat , pandangan natural di at as sudah menjadi pandangan umum . Arist ot eles misalnya beranggapan bahw a perem puan adalah laki-laki yang tidak lengkap. Wanit a kurang bisa “ mengeram i” at au “ m emasak” darah yang dikeluarkan pada masa haidnya ke t araf yang lebih 29 sem purna m enjadi air m ani. Karena itu, w anit a t idak bisa m enyumbangkan air mani dalam proses pem bent ukan janin m anusia – wanita hanya menyum bangkan selongsongnya saja, dan kem udian m em beri janin itu makanan unt uk tumbuh. Tapi benih dari janin it u harus dat ang dari laki-laki. Budiman, 1981: 8 Ide t ent ang w anit a lebih lem ah dari laki-laki t erus berkem bang dan dipert ahankan oleh hampir sem ua ahli filsafat yang t erkenal sepanjang sejarah. Untuk lebih mem pert egas, Arif Budim an mengam bil kut ipan dari Carol Gould dalam esainya berjudul “ The Women Quest ion : Philosophy of Liberat ion and t he Liberat ion of Philosophy” yang membeberkan bagaim ana pandangan para filsuf t ersebut t erhadap perem puan. Kant misalnya berkat a, “ Saya sulit berkat a bahw a w anit a punya kesanggupan untuk m engert i prinsip-prinsip” , Schopenhauer, w anit a “ dalam segala hal t erbelakang, t idak memiliki kesanggupan untuk berpikir dan berefleksi... posisinya ada di ant ara laki-laki dew asa yang m erupakan manusia sesungguhnya dan anak-anak... pada akhirnya, w anita dicipt akan hanya unt uk m engembangkan ket urunan”. Fichte, w anit a “ dikuasai karena itu merupakan keinginannya – keinginan yang lahir dari m oral w anita it u sendiri - unt uk dikuasai” . Teori yang paling dikenal dalam gugus t eori nature adalah t eori dari ahli ilmu jiw a Sigmund Freud. Teori Freud yang kem udian dikenal dengan t eori Psikoanalisa berpokok pada konsep penis envy iri pada kelamin laki-laki. M enurut t eori ini, pada saat seorang anak perem puan pert ama kali melihat 30 kelamin laki-laki, dia segera menjadi sadar bahw a dia kekurangan sesuat u. “ M ereka m elihat kelam in laki-laki milik saudaranya at au t eman berm ainnya, dan alat kelam in itu t am pak sebagai sesuat u yang besar, sehingga m ereka jadi sadar bahw a apa yang mereka m iliki adalah sangat kecil, dan sejak it u m ereka m enjadi korban perasaan iri hati untuk m em iliki kelam in sepert i yang m ereka lihat dim iliki oleh anak laki-laki...” . selanjut nya “ ... anak perempuan it u mengem bangkan perasaan rendah diri seum ur hidup” Budiman, 1981: 10. Dari pandangan Freud di at as, t erlihat bahwa kedudukan perem puan yang lebih rendah daripada laki- laki disebabkan karena perem puan t idak m em iliki kualit as yang dim iliki oleh laki- laki. Celakanya lagi, pandangan Freud di at as pun dianggap natural. Padahal t idak dapat dipungkiri bahw a pandangan Freud pun tidak t erlepas dari sist em pat riarki. Jadi, sebenarnya pandangan Freud tidak t erlepas dari bias pat riarkis. Beberapa fem inis yang sesungguhnya m em punyai agenda yang berbeda – sepert i Bet t y Friedan, Shulamith, dan Kat e M illet – m em berikan pandangan cukup keras t erhadap t eori Freud. Bagi m ereka, ket idakberdayaan sosial perem puan t erhadap laki-laki kecil sekali hubungannya dengan fakt or biologis, melainkan sangat berhubungan dengan konst ruksi sosial at as fem init as. Dalam int erpret asi Friedan, aforisme Freud “ Anatomi adalah takdir” berart i peran reproduksi, ident it as gender, dan kecenderungan seksual perem puan dit entukan oleh ket idakadaan penis pada perem puan, dan set iap perem puan yang t idak mengikut i jalan yang dit entukan oleh alam adalah “ t idak norm al” Tong, 2004: 197. 31 Karena itu Friedan bersikap sangat krit is, dengan menyat akan pandangannya bahwa dengan m engarahkan anggapan bahw a ket idakpuasan dan ket idaknyam anan perempuan karena ket iadaan penis saja, sam a saja mengarahkan perempuan untuk percaya bahw a mereka adalah “ cacat ” . M eskipun ket erbukaan Freud mengenai seksualit as dan kesediaannya unt uk m em bicarakan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan di t em pat t idur pada m ulanya t ampak sebagai suat u langkah progresif m enuju hubungan seksual yang lebih baik, lebih beragam, dan lebih mem bebaskan, Kat e M illet mengklaim bahw a pengikut Freud menggunakan tulisannya untuk “ m erasionalkan hubungan yang t idak seim bang ant ara kedua jenis kelam in, merat ifikasi peran t radisional, dan m emvalidasi pem bedaan t emperament al” Tong, 2004: 75. Sampai saat ini, ada beberapa t eori yang m enyat akan lahirnya sist em pat riarki. Asal muasal lahirnya sist em pat riarki digam barkan oleh Engels dengan sangat m enarik. Engels mencoba m enjelaskan bagaimana sist em pat riarki ini lahir dan m enjadi sist em yang bert ahan t erus sam pai sekarang seakan-akan t elah menjadi sist em yang alamiah t aken for grant ed. M enurut Engels, sist em pat riarki dimulai ket ika manusia mulai m engenal kepem ilikan pribadi, di m ana sist em kepem ilikan ini juga m enandai lahirnya sist em kelas. Dalam menjelaskan sist em pat riarki, Engels m encoba m em ulainya dari kelahiran sist em kelas. Dalam masyarakat yang m asih liar, kepem ilikan hart a benda secara pribadi m asih belum ada. At au lebih t epat lagi, masih belum dimungkinkan karena t araf t eknologi pada waktu it u belum m em ungkinkan hart a benda dikumpulkan. Hal ini 32 disebabkan karena m akanan harus dicari set iap hari, sem ent ara hart a yang dimiliki m asih sebat as alat-alat untuk mencari m akan, sem isal panah dan busur. Friedl via Budiman, 1981: 21. Pandangan Engels ini juga senada dengan pandangan Helene Cixous. Filsuf asal Perancis ini m engakui bahw a perem puan mulai t ersingkir dengan munculnya kepem ilikan pribadi. Set elah it u, nasib perempuan selam a berabad- abad dikait kan dengan kepemilikan pribadi. Dengan posisi perem puan yang merupakan milik pribadi ini, maka dalam hal ini ayah, sebagai pem im pin dalam garis patriarkal, dapat m em utuskan apa pun yang dikehendakinya at as anak perem puannya. Begit u pula dalam ikat an perkawinan, perem puan yang m enikah akan dibeli dan menjadi milik kelom pok suaminya sehingga betul-bet ul t ercerabut dari akar kelompoknya. Dalam perkaw inan ini, perem puan bet ul-bet ul dibeli sepert i layaknya hewan t ernak atau budak. Karena di dalam ikat an perkaw inan ini, perempuan t idak berharga apa-apa. suami akan memaksakan dewa dom est iknya kepada perempuan, sedangkan anak-anak yang lahir dari rahim perem puan akan m enjadi milik keluarga sang suami. Beauvoir, 120-121. Engels beranggapan bahw a pembagian kerja secara seksual adalah “ w ajar” pada perm ulaan manusia Guet t el via Budiman, 1981: 22. Dia menganggap gejala bahw a laki-laki harus pergi berperang dan berburu, sedangkan w anit a harus t inggal di rum ah m em persiapkan makanan, melahirkan, dan m engasuh anak sebagai suat u gejala yang terberi. Pandangan Engels pada t itik ini hampir serupa dengan pandangan Talcot Parsons yang menyat akan 33 bahw a pembagian tugas ant ara laki-laki dan w anit a di mana laki-laki melakukan t ugas di publik sepert i berburu sedangkan perem puan m elakukan t ugas domest ik merupakan pem bagian t ugas yang berlangsung secara w ajar untuk m enghasilkan harmoni dalam m asyarakat . Pem bagian kerja secara seksual memperjelas fungsi suami dan ist ri dalam keluarga inti, dan ini memberi kan rasa t enang bagi keduanya Budiman, 1981: 18 Bagaim ana pem bagian kerja secara seksual t ersebut dapat t erjadi, M arw ell m enjelaskannnya sebagai berikut : Peran yang didasarkan at as perbedaan seksual selalu t erjadi, ini sudah menjadi kenyat aan yang tidak dapat dibant ah. Ini t erjadi di m ana-m ana, meskipun bent uknya mungkin tidak selalu sam a. Pada set iap kebudayaan, wanit a dan laki-laki diberi peran dan pola t ingkah laku yang berbeda untuk saling m elengkapi perbedaan badaniah dari kedua makhluk ini. Pembagian peran ini berfungsi melengkapi kekurangan jenis manusia ini, supaya persoalan yang dihadapi masyarakat dapat dipecahkan dengan cara yang lebih baik Budiman, 1981: 27 Engels beragument asi bahw a sejak aw al perem puan melakukan pekerjaan yang t am pak sebagai jenis pekerjaan Ada dalam dirinya sendiri, sepert i memasak, m em bersihkan, dan m engasuh anak, sem ent ara laki-laki melakukan pekerjaan yang t am pak sebagai bagian dari kat egori Ada untuk dirinya sendiri, sepert i berburu dan berkelahi, yang sebagian besar dari pekerjaan it u membutuhkan alat unt uk m enaklukkan dunia Tong, 2004: 265. 34 Pembagian kerja dinilai mulai tidak w ajar ket ika dalam suatu titik sejarah perkembangan, manusia mulai mengenal dunia pert anian dan peternakan. Pada t itik ini, keahlian unt uk m em elihara ternak berh asil dikembangkan. Tanah pun menjadi sesuat u yang pent ing ket ika t eknik untuk bercocok t anam dit emukan. Karena laki-laki adalah orang yang diserahi t ugas unt uk m engurus alat-alat produksi, maka laki-laki m em punyai kesempat an unt uk mengumpulkan kekayaan secara b erlebihan. Dari sini pula kem udian timbul keinginan laki-laki untuk menguasai perem puan. Sejak saat it u w anit a t idak lagi m em iliki fungsinya sendiri, t et api bekerja sesuai keinginan laki-laki. Dari sinilah akhirnya muncul sist em pat riarki, seperti yang disampaikan Engels “ M aka m uncullah sist em pat riarkal, dan sejak w akt u itu w anit a diubah menjadi makhluk pengabdi saja; w anit a m enjadi budak dari keserakahan laki-laki, dan m enjadi m esin pem buat anak-anak belaka. Engels via Budiman, 1981: 23 Pembagian kerja seksual yang t adinya bersifat hubungan t imbal balik dan saling mengunt ungkan akhirnya berjalan timpang. Pembagian kerja ini memberi kesem pat an bagi laki-laki untuk bisa m emanfaatkan dan m enjadikannya dasar unt uk mengembangkan kekuasaannya. Wanit a mulai menempati fungsinya dalam ranah dom est ik. Sement ara it u laki-laki dengan nyam an menguasai ranah publik. Pada saat ini, w anit a mulai mengalam i kesulit an untuk m engakses kehidupan berm asyarakat , sehingga memiliki ket ergant ungan yang begit u besar t erhadap laki-laki. 35 Sem ent ara it u, Beauvoir m elihat bahwa sist em pat riarki pada masyarakat prim it if tidak pernah ada. Tidak ada inst itusi apa pun, sistem w aris, maupun undang-undang yang m engesahkan ket idakset araan gender. Bahkan agama pada m asa itu pun diyakini Beauvoir bersikap net ral. Hal itu t erlihat dari penyem bahan t erhadap tot em yang t idak berjenis kelam in. W ajar kalau kemudian Beauvoir tidak t erlalu puas at as penjelasan yang dibuat oleh kalangan M arxis yang t erlalu mengedepankan pada pert ent angan kelas ekonomi. Dalam bayangan Engels, jika kapit alisme - yang m em ang m em berikan peluang bagi bagi laki-laki pada penguasaannya t erhadap alat-alat produksi - dirunt uhkan, m aka alat -alat produksi it u akan dim iliki secara m erat a ant ara laki- laki dan perempuan. Dengan dem ikian jenis pekerjaan akan dapat dibagi lagi berdasarkan kem am puan, kesiapan, dan kebersediaan seseorang unt uk melakukan pekerjaan t ert ent u. Bagi Beauvoir, solusi t ersebut tidak otom atis merunt uhkan relasi laki-laki dan perempuan yang t impang karena kenyat aan akan hal t ersebut yang sudah berlangsung berabad t ahun diabaikan oleh M arxism e. Perem puan dalam m asyarakat Sosialis t et ap m ungkin disubordinasi oleh laki-laki, sepert i juga pada m asyarakat kapit alis, karena akar opresi t erhadap perem puan lebih dari sekadar fakt or ekonomi. Berbeda dengan Engels yang m elihat bahw a pembagian kerja ant ara laki- laki dan perem puan seakan-akan sepert i sesuat u yang “ alamiah” , Beauvoir melihat bahwa pem bagian kerja secara seksual t ersebut t erbent uk dari proses kultural yang berlangsung t erus m enerus. Sepert i dinyat akan oleh Beauvoir, adat 36 dan hukum mulai t erbentuk ket ika mulai ada sist em m enet ap. Pada t ahap ini, perbedaan seksual diwujudkan dalam bentuk st rukt ur kelompok. Akan t et api, pada m asyarakat agraris, perempuan seringkali dit empat kan pada suatu kehormat an yang luar biasa. Karena kehidupan prim it if biasanya bersifat komunal, m aka kepemilikan propert i bersifat kolekt if. Karena it u pula, propert i ini mengharuskan pem iliknya beranak pinak, sehingga mat ernitas pun m enjadi fungsi sakral. Akan t et api kepemilikan t et ap berada di t angan laki-laki. Akan t et api, m eskipun perem puan pernah m endapat kan kedudukan yang dihorm at i, Beauvoir t idak percaya bahw a kaum perempuan pernah benar-benar berkuasa. Bagi Beauvoir, yang m enolak t esis Engels, fakt a bahw a pernah ada kehidupan berdasarkan m at riarkal hanyalah mit os. Dengan berlandaskan pandangan sosok yang lain, sama saja tidak pernah t erjadi hubungan yang timbal balik ant ara kedua jenis kelamin t ersebut . M aka, Beauvoir percaya bahw a perem puan t idak pernah m asuk dalam hubungan langsung dan m erdeka dengan kaum laki-laki. “Ikat an resiprokal yang berdasar pada perkaw inan t idak dit et apkan ant ara laki-laki dan perempuan, namun antara laki-laki dan laki-laki dengan menggunakan perempuan, yang hanya menjadi penunjang perist iw a khusus t ersebut ,” demikian Beauvoir m engut ip Levi-St rauss . Karena it u, meskipun bisa saja dalam sist em m at rilineal itu perem puan memiliki kedudukan yang t inggi, namun Beauvoir tidak begit u saja percaya bahw a sist em m at riarkal pernah t erjadi. 37 Dalam prakt iknya, kondisi akt ual perempuan tidak t erikat dengan jenis otorit as yang begini at au begitu. Bisa saja t erjadi dalam sist em mat rilineal ia m emiliki posisi yang sangat t inggi; namun, kit a harus t et ap hati-hat i unt uk memperhat ikan bahwa keberadaan seorang kepala suku perem puan at au rat u dalam sebuah kelom pok m asyarakat sam a sekali t idak m enandakan kaum perempuan sungguh-sungguh berkuasa. hlm. 104 Dari kut ipan di at as dapat disimpulkan bahw a Beauvoir tidak sepenuhnya percaya bahw a dalam sejarah manusia, perempuan pernah menempat i kedudukan yang lebih tinggi daripada laki-laki.

2.3. Pandangan Para Pemikir yang Patriarkis