Bahasa dan Sistem Aksara
yang dipraktikkan pun adalah bahwa Pali, bukan Sansekerta karena kaum pedagang mustahil menggunakan bahasa kitab tersebut.
Bahasa Pali atau Pallawa merupakan aksara turunan dari aksara Brahmi yang dipakai di India selatan dan mengalami kejayaan pada masa Dinasti Pallawa sekitar
Madras, Teluk Benggali abad ke-4 dan 5 Masehi. Aksara Brahmi juga menurunkan aksara-aksara lain di wilayah India, yaitu Gupta, Siddhamatrka, Pranagari, dan
Dewanagari. Aksara Pallawa sendiri kemudian menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan tertulis pada prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuno zaman Sriwijaya.
Istilah pallawa pertama kali dipakai oleh arkeolog Belanda, N.J. Krom; sarjana lain
menyebutnya aksara grantha. Praktik bahasa Sansekerta pertama kali di Indonesia bisa dilacak pada yupa-
yupa peninggalan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Huruf yang dipakai adalah Pallawa. Dikatakan bahwa di kerajaan tersebut terdapat seorang raja bernama
Kudungga, memiliki anak yang bernama Aswawarman, dan juga memiliki cucu Mulawarman. Menurut para ahli bahasa, Kudungga dipastikan merupakan nama asli
Indonesia, sedangkan Aswawarman dan Mulawarman sudah menggunakan bahasa India. Penggantian nama tersebut biasanya ditandai dengan upacara keagamaan.
Pengaruh agama Hindu dalam aspek bahasa akhirnya menjadi formal dengan munculnya bahasa Jawa dan Melayu Kuno serta bahasa-bahasa daerah lainnya di
Indonesia yang banyak sekali menyerap bahasa Sansekerta. Beberapa karya sastra Jawa ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dengan cara mengonversikan atau menambahkan
menggubah karya sastra yang dibuat di India. Selain Sansekerta, bahasa Pali, Tamil, dan Urdu atau Hindustani digunakan di Pakistan dan sebagain India pun memperkayai
kosakata penduduk Indonesia. Namun, pada perkembangannya Sansekertalah bahasa yang paling berpengaruh dan dipakai hingga kini oleh orang Indonesia. Bahasa
Sansekerta merupakan bahasa tulisan. Bahasa ini tertulis dalam prasasti, yupa, kitab suci, kitab undang-undang hukum, karya sastra. Maka dari kata-katanya dapat lebih
abadi dan dipertahankan. Pengaruh tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses penyerapan bunyi.
Kadang kita tidak menyadari bahwa bahasa yang kita gunakan tersebut merupakan serapan dari bahasa Sansakerta. Perubahan bunyi pada serapan ini terjadi karena logat
dan dialek setiap suku-bangsa berbeda. Makna awalnya pun sebagian telah mengalami perubahan: ada yang meluas dan ada yang menyempit. Namun, adapula beberapa kata
yang maknanya belum bergeser, contohnya: tirta berarti air; eka, dwi, tri berarti satu, dua, tiga; kala berarti waktu atau bisa juga bencana.
Berikut ini kata-kata Indonesia serapan dari kata-kata Sansekerta: a sayembara, dari silambara
b bentara, dari avantara c harta, dari artha
d istimewa, dari astam eva e durhaka, dari drohaka
f gembala, dari gopala g karena, dari karana
h bahagia, dari bhagya i manusia, dari manusya
10. senantiasa, dari nityasa
Mengenai perkembangan aksara, di Indonesia terdapat beberapa jenis aksara yang merupakan turunan dari aksara Pallawa. Di Jawa ada aksara Kawi, aksara Kawi ini
pada perkembangan selanjutnya menurunkan aksara Hanacaraka atau Ajisaka yang digunakan untuk bahasa Jawa, Sunda, dan Bali. Adapula prasasti zaman Mataram di
Jawa Tengah bagian selatan yang menggunakan aksara Pranagari yang umurnya lebih tua dari aksara Dewanagari.
Sementara itu, di wilayah Sumatera Utara dengan dialek Toba, Dairi, Karo, Mandailing, dan Simalungun ada aksara Batak, sedangkan di daerah Kerinci, Lampung,
Pasemah, Serawai, dan Rejang terdapat aksara Rencong. Sementara itu, di daerah Sulawesi bagian selatan ada aksara Bugis dan Makassar. Dari perkembangan aksara-
aksara turunan Pallawa, kita dapat memperkirakan wilayah mana saja di Indonesia yang pengaruh budaya Indianya lebih kental, yakni Jawa, Sumatera, dan sebagian Sulawesi.
Sedangkan daerah-daerah lainnya di Indonesia tak begitu dipengaruhi budaya India, bahkan ada daerah yang sama sekali tak tersentuh budaya Hindu-
Buddhanya.
Mengenai aksara Hanacaraka, terdapat sebuah legenda yang berkaitan dengan
nama Ajisaka. Ajisaka merupakan cerita rakyat yang berkembang secara lisan, terutama
hidup di masyarakat Jawa dan Bali. Tokoh, Ajisaka, berkaitan dengan bangsa Saka dari India barat laut. Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa Ajisaka dahulu pernah hidup
di Jawa dan berasal dari India. Mereka juga percaya bahwa Ajisakalah yang menciptakan aksara Jawa dan kalender Saka.