antarmuka disebabkan karena surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik Bognolo 1997. Turunnya tegangan antar muka akan menurunkan gaya kohesi
dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya
adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara molekul-molekul yang tidak sejenis.
Surfaktan organik memiliki gugus dasar hidrokarbon dan berikatan dengan senyawa anorganik gugus sulfonat, SO
3
. Ion molekul RSO
-
bersifat non polar minyak, maka gugus R akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi surfaktan-
minyak, sedangkan molekul surfaktan itu sendiri akan bekerja kohesi antara R- SO
3
. Pengaruh dari gaya adhesi ini akan mengurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri yang mengakibatkan gaya antarmuka minyak dengan air
menurun. Tegangan antarmuka atau energy bebas antar muka didefinisikan sebagai usaha yang diperlukan untuk memperluas antar muka antara dua cairan
immisible per satuan luas Shaw 1980. Menurut Rosen 2004, pembentukan misel merupakan fenomena penting
tidak hanya sejumlah karakteristik fenomena interfasial seperti detergensi dan solubilisasi tergantung pada keberadaan misel pada larutan, namun juga
mempengaruhi karakteristik interfasial yang lain seperti penurunan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka, walaupun tidak secara langsung melibatkan
misel. Di dalam air, bahan yang mengandung gugus hidrofobik mengubah
struktur air dan akan meningkatkan energy bebas pada sistem, kemudian akan mengumpul pada permukaan dan dengan melakukan orientasi sehingga gugus
hidrofobik mengarah menjauh dari pelarut, energi bebas pada campuran larutan dikurangi. Perubahan struktur pelarut dapat pula dikurangi melalui agregasi
molekul aktif pada permukaan menjadi misel dengan gugus hidropobik mengarah ke dalam misel dan gugus hidropilik mengarah pada pelarut. Miselasi merupakan
mekanisme alternatif untuk adsorpsi pada interface untuk memisahkan kontak gugus hidrofobik dengan air, dengan mengurangi energi bebas pada sistem.
Jika konsentrasi surfaktan cukup tinggi maka akan terjadi agregasi membentuk misel. Misel terbentuk ketika surfaktan mencapai konsentrasi tertentu
yang disebut Critical Micelle Concentration CMC. Dibawah konsentrasi CMC kelarutan sangat kecil namun di atas konsetrasi kritis ini kelarutan meningkat
linier dengan konsentrasi surfaktan. Rosen 2004. Salah satu karakteristik surfaktan yang penting yang berkaitan langsung
dengan pembentukan misel adalah solubilisasi. Solubilisasi didefinisikan sebagai kelarutan spontan suatu bahan padat, cair dan gas melalui interaksi revesible
dengan misel surfaktan dalam suatu pelarut untuk membentuk campuran larutan yang secara termodinamik stabil isotropik dengan mengurangi aktivitas
termodinamik bahan yang dilarutkan. Solubilisasi pada media cair penting pada beberapa produk yang
mengandung bahan tak larut air, seperti mengganti penggunaan pelarut organik atau sebagai cosolvent untuk detergensi, solubilisasi juga merupakan mekanisme
utama yang terlibat dalam membersihkan tanah berminyak, untuk EOR dimana dengan solubilisasi menghasilkan tegangan antarmuka sangat rendah untuk
memobilisasi minyak. Karakteristik interfacial dari suatu surfaktan juga sangat ditentukan
mekanisme adsorpsinya. Adsorpsi ditentukan untuk mengetahui konsentrasi surfaktan pada lapisan antarmuka, karena hal ini untuk mengukur 1 berapa
banyak antar muka yang berubah oleh surfaktan kinerja surfaktan pada proses seperti pembusaan, detergensi, emulsifikasi tergantung pada konsentrasi
surfaktan yang terdapat pada antar muka, 2 orientasi dan kumpulan surfaktan pada antar muka, karena hal ini menentukan bagaimana antar muka akan
dipengaruhi oleh adsorpsi, lebih bersifat hidrofilik atau hidrofobik 3 kecepatan adsorpsi yang terjadi, hal ini akan menentukan karakteristik kecepatan fenomena
wetting pembasahan atau spreading penyebaran 4 perubahan energi pada
sistem sebagai akibat dari adsorpsi. Efek dari surfaktan pada fenomena antar muka merupakan fungsi dari
konsentrasi surfaktan pada antar muka. Efektifitas surfaktan pada adsorpsi antar muka didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum dimana surfaktan dapat
tertahan pada antar muka. Efektifitas adsorpsi berkaitan dengan area interfacial yang terliputi oleh molekul surfaktan, semakin kecil cross sectional area
surfaktan pada permukaan, maka semakin besar efektifitas adsorpsi.
Adsorpsi surfaktan pada antar muka padatan-cairan dipengaruhi beberapa faktor antara lain 1 struktur gugus pada permukaan padatan, permukaan tersebut
mengandung muatan yang tinggi atau gugus nonpolar, demikian pula atom penyusun pada gugus tersebut, 2 struktur molekul pada surfaktan yang diserap,
ionik atau nonionik, panjang atau pendeknya gugus hidrofobik, rantai lurus atau bercabang, aliphatik atau aromatik dan 3 karakteristik lingkungan fase cairnya
termasuk didalamnya pH, kandungan elektrolit, keberadaan aditif seperti larutan polar rantai pendek alkohol, urea dan lain-lain serta temperatur Rosen 2004.
3. METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran
Proses produksi surfaktan MES dengan bahan baku ME stearin dihasilkan melalui reaksi sulfonasi dengan gas SO
3
sebagai reaktan. Proses sulfonasi berlangsung secara kontinyu di dalam Single Tube Falling Film Reactor dan
dioperasikan dalam keadaan tunak steady state. Proses kontak antara ME stearin dan gas SO
3
menjadi MES di dalam reaktor berlangsung singkat, namun diperlukan jangka waktu tertentu start up untuk mencapai kondisi tunak steady
state sebelum produk hasil reaksi sulfonasi yang keluar dari reaktor dapat diambil
agar diperoleh MES dengan sifat fisikokimia terbaik. Hal ini bertujuan untuk menetapkan berapa lama periode start up sejak bahan baku masuk ke dalam
reaktor sampai dengan produk MES yang keluar dari reaktor dapat diambil. Untuk menyempurnakan reaksi sulfonasi agar konversi ME stearin menjadi MES
meningkat, dilakukan proses aging setelah proses sulfonasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses aging terhadap sifat fisikokimia dan
kinerja surfaktan yang dihasilkan.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2010-Februari 2011 di Laboratorium dan pilot plant SBRC-LPPM-IPB di Kampus Baranang Siang
Bogor, Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA-IPB di Kampus IPB Dramaga Bogor dan Laboratorium SBRC-IPB di PT. Mahkota
Indonesia Jakarta.
3.3 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah RBD stearin sawit, KOH, metanol, dan gas SO
3
. Bahan kimia untuk analisa yaitu etanol 95, KOH, NaOH, H
2
SO
4
, HCl, Na
2
SO
4
, xylene, toluene, asam asetat glasial, sikloheksan, kalium dikromat, KI, reagen Wijs, buffer pH 4.0 dan 7.0, N-cetyl pyridinium
chloride , indikator pati, indikator penolpthalein dan akuades.
Peralatan yang digunakan seperangkat reaktor esterifikasitransesterifikasi kapasitas 100 L, seperangkat alat sulfonasi Single Tube Falling Film Reactor
STFR tinggi 6 m, diameter tube 25 mm dengan sistem sinambung menggunakan reaktan gas SO
3
, GC, tensiometer Du Nuoy, spektrofotometer, magnetic stirrer, mixer vortexer,
buret, timbangan analitik dan glassware.
3.4 Metode 3.4.1 Persiapan Bahan Baku ME Stearin
Bahan baku Metil Ester ME stearin yang digunakan dalam sintesis metil ester sulfonat MES diperoleh melalui proses transesterifikasi stearin minyak
sawit. Pada proses transesterifikasi, stearin yang berbentuk padat pada suhu ruangan dicairkan melalui pemanasan.
Stearin cair kemudian dimasukkan ke dalam tangki transesterifikasi dan dipanaskan hingga suhu 60
o
C. Setelah suhu tersebut dicapai, dilakukan penambahan larutan metoksida metanol 15 vv dan KOH 1 bv dengan
Gambar 6 Proses transesterifikasi stearin
pengadukan selama 1 jam. Setelah 1 jam, dipindahkan ke dalam tangki settling pengendapan dan diendapkan selama 24 jam untuk memisahkan gliserol.
Gliserol dipisahkan kemudian dilakukan pencucian menggunakan air minimal 3-4 kali untuk menghilangkan gliserol dan sabun yang terbentuk. Proses selanjutnya
pengeringan ME dengan pemanasan dan pengadukan hingga tidak terlihat lagi adanya gelembung air pada permukaan ME. ME yang dihasilkan kemudian
dilakukan analisa bilangan asam SNI 04-7182-2006, gliserol total, bebas dan terikat di dalam biodiesel ester alkil: metode iodometri-asam periodat SNI 04-
7182-2006, bilangan iod SNI 04-7182-2006. Prosedur analisis terhadap bahan baku ME stearin disajikan pada Lampiran 1.
3.4.2 Proses Sulfonasi ME Stearin
Proses sulfonasi ME stearin dilakukan dengan menggunakan Single Tube Falling Film Reactor
STFR dengan tinggi reaktor 6 m, diameter 25 mm, dan menggunakan gas SO
3
sebagai agen pensulfonasi . Bahan baku ME stearin dan gas SO
3
dialirkan kedalam reaktor untuk memperoleh MESA. Kontak antara gas SO
3
dan ME stearin dilakukan pada kondisi proses sebagai berikut: laju alir ME stearin 200
mlmenit dan gas SO
3
dimasukkan dengan katup terbuka penuh. Gambar 7 menyajikan skema reaktor STFR yang digunakan dalam penelitian ini.
Suhu masuk bahan ME stearin pada penelitian ini adalah 100
o
C. Pemanasan dilakukan selama 2 jam kemudian valve by-pass dibuka sehingga ME
stearin diumpankan menuju tube dengan laju alir sebesar 200 mlmenit. Ketika ME dialirkan di dalam tube, suhu ME akan turun, sehingga dilakukan sirkulasi di
dalam tube sampai suhu yang diinginkan tercapai. Setelah suhu yang diinginkan dicapai, gas SO
3
sebagai agen sulfonasi dialirkan melalui bagian atas tube. Produk tersulfonasi akan mengalir di sepanjang tube reaktor, dan dibiarkan beroperasi
sesuai dengan taraf rancangan percobaan yaitu dengan lama periode start up selama 1, 2, 3, 4, dan 5 jam. Produk MESA yang dihasilkan dikeluarkan dari
bagian bawah tube dan ditampung sekurang-kurangnya 2,5 l. Lama operasi dihitung sejak start up yaitu saat dialirkannya gas SO
3
ke dalam tube dan terjadi kontak dengan ME stearin sampai dilakukannya pengambilan contoh produk.
MESA yang dihasilkan kemudian dibagi menjadi 2 bagian, 300 ml bagian diambil untuk dilakukan analisa sifat fisikokimia MESA yang dihasilkan setelah
kurang lebih 100 ml dipisahkan untuk dilakukan proses netralisasi menggunakan NaOH 50 sehingga diperoleh MES MESA netral dengan kisaran pH 6-8,
sedangkan bagian yang lain sebanyak 2 l, kemudian masuk ke tahapan berikutnya yaitu proses aging.
Gambar 7 Skema proses sulfonasi pada Single Tube Falling Film Reactor MESA dan MES yang dihasilkan dianalisa meliputi kadar bahan aktif
Ephton 1948, bilangan asam Epthon 1948, bilangan iod AOAC 1995, pH Chemiton, densitas AOAC 1995, viskositas Brookfield viscosimeter dan
tegangan permukaan metode du Nouy ASTM D1331 2001. Prosedur analisis MESA dan MES disajikan pada Lampiran 2.
3.4.3 Proses
Aging MESA
Proses aging merupakan tahap lanjutan dari tahapan sulfonasi kontak SO
3
dan metil ester pada single tube falling film reactor STFR dengan kondisi proses suhu aging 80⁰C dan lama aging 60 menit. Proses aging dilakukan pada reaktor
aging yang terhubung pada pipa output dari STFR Gambar 8. Reaktor aging
mempunyai kapasitas 6 - 8 L dengan ukuran diameter tangki 20 cm dan tinggi 30
cm. MESA yang melalui proses aging merupakan produk sulfonasi dari STFR dengan akumulasi MESA selama 1 jam pada lama periode start up jam ke-1, 2, 3,
4 dan 5 jam. Produk surfaktan MESA pasca aging kemudian sebagian diambil untuk
dinetralisasi menjadi MES MESA netral menggunakan NaOH 50 hingga pH 6-8. MESA maupun MES pasca aging kemudian dianalisis sifat fisikokimianya
meliputi: kadar bahan aktif Ephton, bilangan asam Epthon, pH Chemiton, densitas AOAC 1995, viskositas Brookfield viscometer, warna Chemithon,
bilangan iod AOAC 1995 dan tegangan permukaan metode du Nouy ASTM D 1331, 2000.
Gambar 8 Reaktor aging
3.5 Rancangan Percobaan
3.5.1. Sifat Fisikokimia MESA dan MES
Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL Faktorial dengan 2 faktor yaitu proses aging dan lama periode start up. Percobaan
dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan perlakuan dilakukan uji Jarak Berganda menurut
Duncan pada taraf 5. Parameter yang diamati dalam percobaan ini adalah : pH, bilangan asam, kadar bahan aktif, bilangan iod, densitas, viskositas, dan warna.
Faktor proses aging :