Bakso Sebagai Produk Emulsi

15 Menurut Pisula 1984, suhu optimum untuk ekstraksi protein serabut otot adalah 4-5 C, sedangkan suhu untuk mempertahankan kestabilan adonan tidak diperkenankan melebihi 20 C. Suhu adonan yang melebihi 20 C akibat gesekan daging di dalam alat penghancur daging harus dihindari, karena dapat menghambat ekstraksi protein serabut otot akibat terjadinya koagulasi protein. Pisula 1984 juga menyebutkan bahwa penambahan air pada adonan bila dalam bentuk es, mempunyai beberapa keuntungan, antara lain melarutkan garam dan menjadikan seluruh bagian daging homogen, mempermudah ekstraksi protein serabut otot, mempertahankan suhu adonan dan membantu pembentukan emulsi. Elviera 1988 menyatakan bahwa jumlah air atau es yang ditambahkan pada pembuatan bakso komersial minimal 20 dari berat daging yang digunakan dan umumnya berkisar antara 30 sampai 50 dari berat daging. Namun, untuk menghasilkan bakso dengan sifat fisik yang disukai konsumen umumnya digunakan es sebanyak 20 dari berat daging.

2. Bakso Sebagai Produk Emulsi

Bakso daging tergolong dalam produk daging beremulsi. yaitu emulsi minyak di dalam air OW. Lemak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi dengan protein sebagai emulsifiernya Wilson et al ., 1981. Protein daging merupakan emulsifier alami. Ada tiga tipe protein daging yang berperan dalam proses emulsifikasi, yaitu 1 protein sarkoplasma larut air, 2 protein aktin-miosin larut garam, dan 3 protein lain seperti mioglobin larut air dan garam. Jenis protein yang paling berperan dalam emulsi daging adalah protein larut garam aktin- miosin. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan dan stabilitas emulsi, yaitu 1 suhu selama pembentukan emulsi, 2 ukuran partikel lemak, 3 jumlah dan jenis protein terlarut, 4 viskositas emulsi dan 5 pH emulsi. 16 Berhubungan dengan kapasitasnya sebagai emulsi, kemampuan bakso untuk membentuk struktur yang kompak pada dasarnya disebabkan oleh kemampuan daging untuk saling mengikat. Proses pengikatan ini merupakan suatu reaksi yang dimediasikan oleh panas, karena daging dalam keadaan segar tidak menunjukkan kecenderungan untuk saling mengikat. Mekanisme pengikatan menurut Schmidt et al. 1982, hampir sama dengan stabilisasi emulsi yang ditimbulkan oleh panas. Pada proses pengikatan ini, cairan lengket akan terjadi antara gumpalan atau cacahan daging dan bertindak sebagai bahan pengikat. Cairan tersebut sebagian besar terdiri dari protein larut garam. Daya ikat yang timbul merupakan suatu hal yang melibatkan pengaturan kembali struktur protein terlarut dan memungkinkan protein ini menjadi bahan pengikat. Selain itu, juga terjadi pembentukan struktur protein bebas dari protein terlarut Hsu dan Yu, 1999. Desmond 2006 menyatakan bahwa proses pengikatan bergantung pada jumlah protein miofibril yang dapat terekstrak dari partikel daging yang diakibatkan oleh perlakuan kimia dan fisika. Menurut Rauwdkuen 2004, protein miofibril yang terekstrak ini terdiri dari miosin dan aktomiosin suatu kompleks aktin dan miosin.

E. PENGENYAL DALAM PRODUKSI BAKSO

Kunci utama dalam pembuatan bakso yang baik adalah daging yang segar dan pengenyal. Hal yang menentukan dalam pembentukan tekstur dan kekompakan bakso adalah ekstrak protein miofibrilar. Menurut Hsu dan Sun 2006, ekstrak protein miofibrilar memiliki sifat-sifat fungsional yang rendah terutama berkaitan dengan tekstur produk daging jika dipanaskan tanpa adanya garam dan atau fosfat, maka penambahan pengenyal adalah hal yang mutlak dalam pembuatan bakso. Fosfat telah dilaporkan efektif sebagai water binding agent yang meningkatkan stabilitas emulsi dan tekstur pada produk daging olahan Eilert et al., 1996. Fosfat dalam adonan akan meningkatkan solubilitas aktomiosin, yang akan menstabilkan WHC, tekstur, dan mengurangi