19 Sayangnya, penggunaan polifosfat memiliki pembatas self limiting
yang disebabkan karena polifosfat memiliki rasa yang agak pahit pada konsentrasi tertentu, sehingga penggunaannya pada industri umumnya
sekitar 0.3-0.5. Menurut Pandisurya 1983, penambahan STPP sebanyak 0.75 dari berat daging dengan penambahan garam sebanyak 2 pada
adonan bakso, memberikan nilai penerimaan produk yang terbaik. SNI 1995 membatasi penggunaan sodium tripolifosfat dengan kadar maksimal
3 gkg untuk produk bakso. Konsumsi fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan berupa kerusakan paru-paru Hua dan
Sung, 2009.
F. TEKSTUR DAN KEKENYALAN BAKSO
Soekarto 1990 menyatakan bahwa sifat kenyal adalah sifat fisik produk dalam hal daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan. Sebenarnya
daya tahan untuk pecah dinyatakan oleh sifat kenyal dan keras. Perbedaannya terletak pada terjadinya deformasi bentuk atau tidak. Sifat
keras tidak menyebabkan terjadinya deformasi bentuk, sedangkan sifat kenyal menyebabkan terjadinya deformasi bentuk.
Menurut Lawrie 1991, kekenyalan melibatkan tekstur, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam bakso, kemudahan mengunyah menjadi
potongan yang lebih kecil dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan. Kekenyalan bakso dipengaruhi oleh daya ikat air. Tingginya
daya ikat air menghasilkan tekstur bakso yang tidak mudah pecah bila digigit atau dikunyah.
Menurut Anshori 2002, kekenyalan bakso dipengaruhi oleh bahan pengisi, karena bahan pengisi berupa tepung selain mengikat air, saat
dipanaskan tepung juga mempunyai sifat kenyal, sehingga bakso yang dihasilkan dapat lebih kenyal. Gelatinisasi pati lebih dominan
mempengaruhi kekenyalan bakso. Proses gelatinisasi melibatkan pengikatan air oleh jaringan yang dibentuk rantai molekul pati atau protein. Pada bakso
yang umum beredar di pasaran, kekenyalan bakso ditingkatkan dengan penambahan pati seperti tapioka, sagu aren dan sejenisnya.
20
G. DAYA IKAT AIR
Daya ikat air water holding capacity atau WHC adalah kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan airnya selama mengalami
perlakuan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, pendinginan, dan pengolahan Soeparno, 1998. Pengukuran WHC penting dilakukan untuk
melihat seberapa besar jumlah air yang dapat diikat dan dipertahankan bakso selama pemasakan. WHC berhubungan erat dengan nilai juicyness,
tekstur, warna, sifat sensorik, dan rendemen yang dihasilkan. Menurut Zayas 1997, daya ikat air adalah kemampuan untuk
mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses atau kemampuan struktur bahan pangan untuk menahan air lepas dari
struktur tiga dimensi protein. WHC ini berhubungan erat dengan kadar air. Jumlah air yang terikat pada daging atau pada suatu bahan adalah kadar air
dari bahan tersebut, sehingga dengan meningkatnya WHC maka akan meningkatkan kadar air suatu bahan.
Daya ikat air pada produk daging sangat bergantung pada konsentrasi fosfat dan garam Peng, 2005. Dengan penambahan fosfat, kurva daya ikat
air menjadi tidak linear terkait hubungannya dengan konsentrasi garam. Puolanne et al. 2001 menyatakan bahwa penambahan fosfat meningkatkan
pengikatan air sebesar 30-40 gram per 100 gram daging. Lü dan Zhang 2000 juga mengatakan bahwa kurva pengikatan air tidak linear dengan
penambahan fosfat, dimana terjadi peningkatan yang berarti pada kurva sampai mulai terhenti pada konsentrasi fosfat 0.4. Hal ini menandakan
bahwa terdapat pembatasan dalam efek penambahan fosfat terhadap WHC pada produk.
21
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain daging sapi, pati sagu, garam dapur, MSG, lada, es, STPP, dan air. Pati sagu
alami yang digunakan untuk dijadikan pati sagu termodifikasi HMT merupakan pati sagu yepha hungleu yang diperoleh dari Sentani, Papua.
Bakso komersial yang digunakan sebagai pembanding diperoleh dari pasar.
Untuk keperluan analisis digunakan akuades, etanol 80, kertas saring, alkohol 10, HCl 25, NaOH 45, indikator metilen blue 0.2,
heksana, asam asetat 1M, larutan iod 0,2 iod dalam 2 potasium iodida, K
2
SO
4
, HgO, Na
2
S
2
O
3
, H
2
SO
4
, H
3
BO
3
, HCl, dan indikator PP.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain food processor
, panci, kompor, neraca analitik, oven, texture analyzer, tabung sentrifuse, planimeter, alat sentrifuse, penangas air, magnetic stirrer, labu
takar 50 ml, kuvet, thermometer, pH meter, pisau, pipet tetes, pipet volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan
alumunium, cawan porselen, gelas ukur 10, 100 dan 300 ml, erlenmeyer 100, 300 dan 1000 ml, oven pengering, gegep, pinset, batang pengaduk,
dan tabung reaksi.
B. METODE
PENELITIAN 1
. Produksi pati sagu termodifikasi HMT Herawati, 2009
Persiapan bahan baku yang perlu dilakukan adalah pembuatan pati sagu termodifikasi HMT. Pada awal proses, dilakukan pencucian pati
sagu, sehingga dapat diperoleh pati sagu dengan pH netral. Sebelumnya pati sagu alami memiliki pH rendah, yaitu sekitar 4.75. Hal tersebut
dikarenakan dalam pembuatan pati sagu terdapat beberapa tahapan yang