Pengaruh Parameter Fisik Terhadap Hasil Tangkapan

Lolosnya ikan-ikan yang terlihat pada waktu pengamatan awal lebih disebabkan oleh ukuran mata bubu yang lebih besar dari ukuran ikan, sehingga ikan dengan mudah meloloskan diri. Selektivitas bubu bergantung pada hubungan antara keliling tubuh maksimum ikan body girth dan keliling mata bubu mesh perimeter dan juga hubungan antara panjang tubuh ikan dan ukuran mata bubu mesh size. Lebih lanjut FAO 1999 menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran unwanted catch atau ikan-ikan tangkapan yang tidak diinginkan incidental catch dan selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Bubu dikatakan selektif ukuran apabila ukuran badan ikan pada bagian operculum tutup insang lebih kecil dari keliling mata bubu atau keliling maksimum badan ikan lebih besar dari keliling mata bubu. Sebaliknya jika ukuran badan ikan pada bagian operculum sangat besar atau keliling maksimum badan ikan sangat kecil dibandingkan dengan keliling mata bubu, ikan kemungkinan tidak tertangkap lolos Matsuoka 1995; 1997.

5.2 Pengaruh Parameter Fisik Terhadap Hasil Tangkapan

Pengukuran kondisi oceanografi lokasi penelitian dilakukan setelah alat tangkap bubu ditempatkan pada posisi yang dikehendaki dan dilakukan pada setiap pengambilan sampel. Kondisi oceanografi yang diukur meliputi arus, suhu, salinitas dan kedalaman. Pengamatan kondisi cuaca juga dilakukan mengingat faktor cuaca merupakan salah satu faktor yang cukup banyak mempengaruhi kondisi perairan. Secara umum kondisi fisik perairan di lokasi penelitian merupakan daerah yang dapat mendukung kehidupan organisme laut dan untuk pengembangan terumbu buatan. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan arus yang ada selama penelitian berkisar antara 0,12-0,17 mdet. Kecepatan arus ini tidak mempengaruhi posisi terumbu buatan dan alat tangkap bubu. Hal ini terbukti dengan posisi terumbu yang tidak mengalami pergeseran tempat serta hasil tangkapan yang tetap ada untuk tiap trip pengambilan sampel. Bahkan dengan kecepatan arus ini, pertumbuhan organisme karang cukup optimal. Terbukti dengan banyaknya organisme karang yang menempel pada unit terumbu buatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Harisson 2000 bahwa arus dapat mentransfortasikan larva dan telur ikan serta makanan ikan plankton searah dengan arah arus. Dihubungkan dengan keberadaan sumber daya perairan berbagai spesies ikan, arus dalam hal ini kecepatan arus merupakan faktor penunjang yang memungkinkan terumbu buatan menjadi tempat penyedia makanan bagi organisme perairan. Walau dengan kisaran kecepatan yang relatif kecil tersebut, tetapi cukup menunjang dalam memperlancar distribusi makanan menuju unit terumbu buatan. Jadi kecepatan arus disekitar terumbu tidak boleh nol. Sebagaimana disebutkan Nybakken 1982 bahwa salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam penempatan terumbu buatan adalah kecepatan arus tidak boleh nol. Lebih lanjut Hutomo 1991 dan Hagino 1991 mengemukakan bahwa orientasi letak terumbu buatan berhubungan dengan pola migrasi dan arus. Reppie 2006 memprediksi dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa lokasi penempatan terumbu sebaiknya memiliki kecepatan arus tidak melebihi 3 knot v ≤ 3 knot, tetapi hal ini bergantung pula pada kondisi struktur dasar perairan. Terumbu buatan untuk perikanan yang ditempatkan di sepanjang area dengan arus yang optimal akan menciptakan aliran maksimum yang membawa nutrien atau makanan, kelarutan oksigen yang tinggi dan meningkatkan ketersediaan makanan untuk organisme terumbu serta dapat meningkatkan daya perekat untuk telur-telur ikan. Hasil pengukuran suhu di lokasi penelitian berkisar antara 29-30°C. Kisaran suhu ini merupakan kisaran yang baik untuk pertumbuhan organisme karang. Lebih lanjut Nontji 1987 mengemukakan bahwa kisaran suhu untuk pertumbuhan organisme karang di perairan tropis sekitar 25-35°C. Terbukti, banyak organisme karang yang tumbuh dengan subur menempel pada unit-unit terumbu buatan. Keberadaan organisme penempel ini memicu kedatangan organisme yang memanfaatkan organisme ini sebagai sumber makanan. Selain itu keberadaan sumber daya perairan ikan, juga tidak terlepas dari kisaran suhu optimum bagi aktivitas metabolisme dan reproduksi setiap spesies ikan tersebut. Faktor kedalaman merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penempatan terumbu buatan. Karena faktor ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan organisme karang. Nybakken 1982 mengemukakan pendapat bahwa kedalaman perairan untuk pertumbuhan karang dan organisme karang tidak boleh lebih dari 25 meter. Hal ini erat kaitannya dengan peristiwa fotosintesis. Terumbu buatan yang menyediakan habitat bagi organisme fotosintetik alga, dimana ketersediaan nutrien di terumbu buatan membuat pertumbuhan organisme fotosintetik tersebut cukup baik sehingga peran alga sebagai filter CO 2 dalam proses fotosintesis tetap berjalan. Kedalaman perairan tempat kedua terumbu buatan diletakkan berkisar antara 21-24 meter. Sebagaimana pendapat Hung 1991 bahwa terumbu buatan ditempatkan pada habitat yang mengalami penurunan dan area yang memiliki produktivitas rendah, selain itu terumbu buatan dianjurkan diletakkan pada kedalaman 15-35 meter dengan maksud agar tidak dipengaruhi oleh hempasan gelombang dan badai serta masih terdapat penetrasi sinar matahari. Lebih lanjut D’Itri 1985 menyebutkan bahwa kedalaman 20-60 m sangat cocok untuk menempatkan terumbu buatan, karena pada kedalaman tersebut sangat disukai ikan dari kelompok predator. Razak dan Pauzi 1991 mengemukakan bahwa peletakan terumbu buatan mayoritas dekat dengan daratan atau pulau terdekat dengan jarak berkisar 200-500 m dari garis pantai.

5.3 Pengaruh Jenis Material Terumbu Buatan Terhadap Kelimpahan dan Komposisi Hasil Tangkapan