1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luas terumbu karang di wilayah perairan Indonesia diperkirakan setidaknya 50 000 km
2
, atau merupakan seperdelapan terumbu karang yang ada di dunia. Setiap kilometer persegi hamparan terumbu karang yang baik dapat
menghasilkan 36 ton ikan per tahun. Indonesia memiliki lebih dari 700 jenis karang. Sayangnya, lebih dari 70 terumbu karang Indonesia sudah rusak. Bila
ditinjau dari potensi perikanannya, setidaknya Indonesia mengalami kerugian 2 juta ton ikan per tahun akibat kerusakan terumbu karang Ikawati et al. 2001;
Murdiyanto 2003; Rachmawati 2001. Perairan Kepulauan Seribu adalah sebuah kawasan terumbu karang di
utara Jakarta yang telah mengalami degradasi akibat kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di daerah itu. Kegiatan pengeboman, peracunan karang untuk
diambil biotanya terutama ikan dan pemungutan karang untuk dijual sebagai hiasan akuarium adalah penyebab utama kerusakan terumbu karang di daerah
itu. Disamping itu kegiatan transportasi laut dan pariwisata yang tidak terencana semakin memperparah kondisi gugusan terumbu karang ini. Padahal kawasan
Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan daerah penyangga bagi pesisir utara Jakarta. Secara tidak langsung keberadaan terumbu karang dalam
kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan penghalang dan pemecah ombak yang dapat mengikis daerah pesisir di DKI Jakarta dan
Tangerang Ditjen PHPA 2003. Sehubungan dengan permasalahan yang ada serta upaya untuk mencari
alternatif lain guna meningkatkan eksploitasi sumber daya tanpa menimbulkan tekanan terhadap sumber daya itu sendiri dan meningkatkan produktivitas
lingkungan serta taraf hidup nelayan, maka telah dicoba suatu paket teknologi sederhana yang dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya dan
lingkungan. Paket teknologi sederhana tersebut adalah pembuatan unit-unit terumbu buatan artificial reefs di sekitar perairan pantai. Terumbu buatan atau
artificial reefs merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan dan perusakan terumbu
karang alami, yaitu melalui penciptaan daerah penangkapan ikan baru yang produktif. Dengan demikian, terumbu karang alami yang telah mengalami
degradasi diharapkan secara berangsur-angsur dapat pulih kembali. Terumbu buatan telah digunakan dalam berbagai tujuan Rilov dan Benayahu 2002, tetapi
1
sebagian besar untuk meningkatkan potensi fishing ground Bohnsack et al. 1991; Bombace et al. 1994, sementara manfaat lainnya adalah sebagai alat
mitigasi kerusakan lingkungan Seaman dan Sprague 1991. Berbagai laporan menyebutkan bahwa terumbu buatan dapat
meningkatkan produksi perikanan dan pendapatan nelayan Ruskin 1988; Montemayor 1991; Sinanuwong 1991; Hung 1991; Polovina 1991a; Munro dan
Balgos 1995; Yip 1998. Biomassa di terumbu buatan umumnya tujuh kali lebih besar daripada biomassa di habitat alami Stone et al. 1979. Pickering dan
Whitemarsh 1997 melaporkan bahwa terdapat sejumlah fakta empiris tentang pengaruh biologis pada terumbu buatan, dan beberapa diantaranya mendukung
hipotesis bahwa terumbu buatan dalam kondisi spesifik mampu meningkatkan produksi. Ambrose dan Swarbrick 1989 melaporkan bahwa densitas ikan di
terumbu buatan lebih tinggi daripada habitat alami dan daerah sekitarnya. Santos dan Monteiro 1997 yang melakukan penelitian di Ria Formosa Portugis juga
melaporkan bahwa keragaman species dan jumlah ikan yang tertangkap dengan gillnet pada habitat buatan lebih tinggi dibandingkan di habitat alami.
Menurut Bohnsack et al. 1991, interaksi dari beragam tujuan pengelolaan, perbedaan material yang digunakan dan lokasi penempatannya
serta bagaimana pengaruhnya terhadap ekologi terumbu buatan sangat minim diketahui. Untuk memaksimumkan hasil terumbu buatan perlu dirancang bentuk
dan material terumbu buatan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai. Berbagai bahan digunakan untuk membuat terumbu buatan, seperti kendaraan
bekas becak, mobil, kapal-kapal bekas, besi tua, bongkaran bangunan, ban bekas, rumpon bambu yang diberi pemberat maupun struktur yang dibuat secara
khusus seperti reef ball, hallow box, piramida beton dan sebagainya, untuk kemudian ditenggelamkan ke dasar laut Wong 1991; Seaman 2000; Ikawati et
al. 2001; Rachmawati 2001; Dirjen KP3K 2005. Bentuk terumbu mengacu pada struktur tiga dimensi dan profil atau relief
terumbu. Beberapa studi menunjukkan bahwa ukuran terumbu secara nyata mempengaruhi biomassa, jumlah total dan jumlah individu species Bohnsack et
al. 1994. Ukuran terumbu buatan juga penting dalam hubungan dengan kemungkinan menarik species ikan yang berbeda-beda Bombace et al. 1995.
Ukuran, terutama tinggi terumbu, dapat bertindak sebagai suatu visual pilihan spasial Anderson et al. 1989 yang pengaruhnya nyata terhadap kedalaman air.
Distribusi vertikal sebagian besar ikan-ikan dasar berada pada kisaran 3 m dari
dasar laut Grove dan Sunu 1985, sehingga tinggi terumbu yang lebih tinggi tidak efektif untuk species tersebut. Tinggi terumbu yang kurang dari 1 m adalah
efektif untuk ikan karang bentik Patton et al. 1985. Struktur terumbu yang kompleks dengan adanya celah-celah yang
beragam, secara nyata dapat mendukung komposisi species dan produktivitas biologi di daerah terumbu Chandler et al. 1985; Anderson et al. 1989.
Sebaliknya beberapa species tertentu, memilih struktur yang kurang kompleks Sale dan Douglas 1984. Desain rongga di dalam dan keseluruhan desain
terumbu bergantung pada target species dan atribut biologisnya Beets dan Hixon 1994. Dean 1983 menyatakan bahwa, ikan tidak akan bertualang dalam
kegelapan pada bagian tertutup dengan hanya satu jalan keluar, tetapi memilih obyek dengan banyak pembukaannya celah untuk memberikan cahaya dan
aliran air yang bebas. Untuk ikan kecil yang membutuhkan tempat istirahat, penempatan unit terumbu harus berada pada sudut tepat terhadap arah arus,
sehingga memberikan shelter yang memadai.
1.2 Permasalahan