Efektivitas Terumbu Buatan Berbahan Dasar Tempurung Kelapa sebagai Fish Aggregating Device di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu

(1)

ABSTRAK

FRISTI MARSELIA PARDEDE, C44080055. Efektivitas Terumbu Buatan Berbahan Dasar Tempurung Kelapa sebagai Fish Aggregating Device di Pulau

Pramuka Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh ROZA YUSFIANDAYANI dan DANIEL R MONINTJA.

Terumbu buatan merupakan habitat buatan yang dibuat menyerupai karakteristik terumbu alami untuk memperbaiki komunitas terumbu karang alami yang telah rusak di suatu perairan. Efektivitas terumbu buatan berbahan dasar tempurung kelapa diteliti selama 3 bulan yaitu Maret-Mei 2012 di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Metode yang digunakan adalah experimental fishing,

dimana menggunakan alat tangkap bubu tambun untuk dapat menganalisis tingkat kematangan gonad hasil tangkapan. Terumbu buatan dilakukan pengamatan dengan metode sensus visual dengan 2 luasan yaitu 1 meter dan 2 meter yang nantinya dianalisis dengan indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C). Hasil penelitian menunjukkan pada terumbu buatan tercacat sebanyak 10 famili dengan 13 spesies yang dominan berkumpul sedangkan pada terumbu alami terdiri dari 8 famili dengan 25 spesies. Hasil tangkapan dengan bubu tambun terdiri dari 10 famili (Pomacentridae, Balistidae, Chaetodontidae, Holocentridae, Labridae, Scaridae, Serranidae, Siganidae, Xanthidae, Muraenidae). Tingkat kematangan gonad (TKG) hasil tangkapan adalah TKG I (46%) ; TKG II (28%) ; TKG III (22%) dan TKG IV (4%). Terumbu buatan dengan luasan pengamatan 1 meter mempunyai nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,68-2,5; dan indeks keseragaman berkisar antara 0,68-1,07 serta indeks dominansi yaitu 0,11-0,16. Terumbu buatan dengan luasan pengamatan 2 meter diperoleh nilai indeks keanekaragaman 1,79-2,15; indeks keseragaman 0,59-0,79 dan indeks dominansi 0,09-0,16.

Kata kunci : terumbu buatan, terumbu karang, tempurung kelapa, fish aggregating device


(2)

ABSTRACT

FRISTI MARSELIA PARDEDE, C44080055. The Effectivity of Artficial Reef Made of Coconut Shell as Fish Aggregating Device on the Pramuka Island Kepulauan Seribu. Supervised by ROZA YUSFIANDAYANI dan DANIEL R MONINTJA.

Artificial reefs is an artificial habitat which is created to resemble the characteristics of natural reefs to improve the community of coral reefs that have been damaged in natural waters ecosystem. The effectiveness of artificial reefs made of coconut shell is observed during the period of March 2012 - May 2012 in the waters of Pramuka island, Kepulauan Seribu, Jakarta. The method used experimental method, where bubu tambun is used to capture the specimen that will be analyze for it’s level of gonad maturity. The observations is done with the visual census method with 2 areas i.e. 1 meter and 2 meter that would later be analyzed for it’s index of diversity (H’), index homogeneity (E) and the dominance index (C) at the artificial reefs site. The results showed that 10 family with 13 species are dominant to stay while in the natural coral reef consists of 8 family with 25 described species. The result of fishing capture, it consist of 10 family (Pomacentridae, Balistidae, Chaetodontidae, Holocent, Labridae, Scaridae, Siganidae, Xanthidae, Muraenidae). Gonado Stomato Index (GSI) of fishing capture are GSI I (46%); GSI II (28%); GSI III (22%) and GSI IV (4%). Artificial reefs with 1 meter areas has a range of diversity index between 1.68 -2.5; and the uniformity index ranged between 0,68-1.07 and dominance index 0.11-0.16. Artificial reefs with 2 meters areas has a range of diversity index between 1,79 – 2,15; range of uniformity index 0.59-0.90 and the index of the dominance of 0.09-0.16.


(3)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki hamparan terumbu karang terluas ke dua di dunia setelah Australia, yaitu mencakup areal sekitar 50.000 km2 (Supriharyono, 2000). Perairan Kepulauan seribu merupakan salah satu kawasan terumbu karang yang terdapat di Indonesia. Perairan Kepulauan Seribu mempunyai potensi sumberdaya hayati laut yang cukup besar. Potensi sumberdaya ikan laut yang terdapat di perairan Kepulauan Seribu seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal. Sumberdaya perikanan yang tetap tersedia, akan terus mendukung usaha perikanan tangkap di perairan Kepulauan Seribu dalam peningkatan produksi perikanan.

Faktanya keadaan saat ini kawasan terumbu karang tersebut telah mengalami degradasi. Banyak hal yang menjadi penyebab kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu, seperti kegiatan pengeboman, peracunan karang merupakan penyebab utama kerusakan terumbu karang di daerah tersebut, serta banyaknya wisatawan yang menjadikan area terumbu alami sebagai kawasan wisata yang terkadang secara tidak sengaja merusak terumbu akibat tersentuh maupun terinjak.

Permasalahan yang ada serta upaya untuk mencari alternatif lain untuk meningkatkan eksplorasi sumberdaya tanpa menimbulkan kerusakan dan meningkatkan produktivitas lingkungan maka dicoba suatu cara untuk mengurangi masalah tersebut dengan adanya terumbu buatan (artificial reefs).

Penggunaan terumbu buatan atau artificial reefs merupakan alternatif yang dapat

digunakan untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan dan perusakan terumbu karang alami. Artificial reefs juga merupakan penerapan teknologi yang memberikan

kepastian dalam hal daerah penangkapan ikan dan hal ini diharapkan akan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi, khususnya yang berkaitan dengan produktivitas dan efisiensi penangkapan.

Berbagai macam konstruksi dan material yang biasa digunakan dalam pembuatan

artificial reefs dengan meniru beberapa karakteristik terumbu karang alami sehingga


(4)

meningkatkan produksi perikanan. Material yang biasa digunakan dalam pembuatan

artificial reefs seperti ban bekas, cetakan semen atau beton, bangkai kerangka kapal,

badan mobil bekas, bambu dan sebagainya (Delmendo, 1991). Kerangka penelitian untuk pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Kegiatan yang bertujuan memaksimumkan hasil terumbu buatan perlu dirancang bentuk dan bahan yang sesuai, dimana perlu memperhatikan hal-hal seperti bahan tidak beracun di dalam air, tahan lama, mudah diperoleh, mudah ditangani dan mudah diangkut (Seaman dan Sprague, 1991), dari penjelasan tersebut maka penggunaan tempurung kelapa sebagai bahan dasar artificial reef perlu dikaji. Penggunaan

tempurung kelapa ini juga diharapkan dapat memacu masyarakat khususnya di Pulau Pramuka untuk kembali melakukan penanaman pohon kelapa. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Pengembangan rancang bangun terumbu karang buatan dari tempurung kelapa sebagai fish aggregating device;

2. Mengetahui dan membandingkan komposisi serta jumlah ikan yang berkumpul di sekitar terumbu karang buatan dan terumbu karang alami;

3. Mengkaji peluang pemanfaatan terumbu karang buatan tersebut untuk kegiatan penangkapan ikan.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran bahwa terumbu karang buatan berbahan dasar tempurung kelapa dapat sebagai tempat berkumpul ikan karang, sehingga meminimalisasi kerusakan terumbu karang yang ada di Kepulauan Seribu serta memudahkan dalam proses kegiatan penangkapan ikan.


(5)

Latar belakang Permasalahan Input Proses Output Tujuan Terumbu buatan Natural stock Habitat Biota Laut Penunjang Sumberdaya Perikanan Perbaikan terumbu karang Ketersediaan tempurung kelapaberlimpah

Dampak Kegiatan Penangkapan Ikan terhadap kondisi karang alami

Terumbu alami Terumbu

karang buatan

Indikator biologis Tekanan penangkapan ikan yang

tinggi

Efektivitas penggunaan tempurung kelapa sebagai terumbu buatan

•Potensi untuk penangkapan ikan •Potensi sebagai fish aggregating device

Tingkat keanekaragaman, keseragaman dan dominanasi ikan

Perbandingan komposisi jumlah ikan di terumbu buatan dan terumbu alami

• Analisis perbandingan hasil tangkapan • Analisis berat dan panjang ikan • Analisis tingkat kematangan gonad ikan • Pengamatan visual ikan di terumbu buatan

• Pengamatan visual ikan di terumbu alami

Peluang pemanfaatan terumbu buatan untuk penangkapan ikan Pengembangan rancang bangun terumbu


(6)

Gambar 1 Kerangka pemikiran pendekatan penelitian.

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Gambar 2 Tahap-tahap pelaksanaan penelitian

Mulai

Fakta, isu-isu, pendapat

Pembuatan alat : terumbu buatan dan bubu

Cukup

Cukup

Kegiatan penangkapan: struktur ekologis hasil tangkapan nelayan

Cukup

Efektivitas terumbu buatan : Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi

Aplikatif

Selesai


(7)

ϱ

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang Alami 2.1.1 Definisi dan fungsi terumbu karang

Terumbu (reef) terbentuk dari endapan-endapan massif terutama kalsium

karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang (filum Scnedaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporia Scleractinia), alga berkapur dan organism-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1986).

Di dunia terdapat dua kelompok karang yaitu karang hermafitik dan karang ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermafitik di dalam menghasilkan terumbu (reef). Kemampuan menghasilkan

terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermafitik. Sel-sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae.

Selanjutnya distribusi karang hermafitik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermafitik tersebar di seluruh dunia. Itulah yang menyebabkan bahwa terumbu karang (coral reef) hanya ditemukan di perairan laut tropis (Dahuri, 2003).

Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah

tropis. Ekosistem ini mempunyai produktivitas organic yang sangat tinggi. Demikian pula keanekaragaman biota yang ada di dalamnya. Komponen biota terpenting di suatu terumbu karang ialah hewan karang batu (stony coral), hewan yang tergolong

Scleractinia yang kerangkanya terbuat dari bahan kapur (Nontji, 1987).

Nybakken (1986) yang diacu dalam Dahuri (2003) mengatakan bahwa

ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Sebagai contoh, zooxanthellae dalam jaringan karang dapat mencegah terjadinya kehilangan

nutrient. Setiap nutrien yang dihasilkan oleh karang sebagai hasil metabolisme dapat digunakan langsung oleh tumbuhan tanpa mengedarkannya terlebih dahulu ke dalam perairan.


(8)

ϲ

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia, dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Berbagai pendapat menyatakan hal yang sebaliknya, bahwa ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis, tidak mapan, dan mampu memperbaiki dirinya sendiri dari gangguan alami. Kasus yang terjadi di Pulau Banda, Maluku, menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang mampu memperbaiki dirinya dalam waktu relatif cepat jika parameter-parameter lingkungan utama bagi pertumbuhannya sangat mendukung, misalnya tingkat kecerahan yang tinggi dan tidak banyak run-off

polutan dan sedimen dari daratan (Dahuri, 2003).

Adapun fungsi terumbu karang (Wibisono, 2005) antara lain :

1) Sebagai tempat berteduh (shelter) dan tempat mencari makan bagi sebagian

biota laut;

2) Sebagai penahan erosi pantai karena deburan ombak;

3) Sebagai cadangan sumber daya alam (natural stock) untuk berbagai jenis

biota yang bernilai ekonomis penting;

4) Sebagai wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kegiatan wisata alam bahari yang bisa menghasilkan devisa;

5) Sebagai sarana pendidikan yang dapat menumbuh kembangkan rasa cinta laut. Mengingat hal tersebut diatas, maka jelas bahwa kawasan terumbu karang mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Transfer energi dari hutan mangrove dalam hal ini sangat menentukan produktivitas terumbu. Oleh karena itu wajar bila terumbu karang perlu mendapat perhatian dari berbagai sektor kegiatan secara terpadu dan terkoordinasi.

2.1.2 Parameter lingkungan utama

Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari beberapa parameter fisika (Dahuri, 2003; Nontji, 1987;Wibisono, 2005), yaitu :

1) Kecerahan atau cahaya

Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang


(9)

ϳ

zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju

fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentu terumbu (CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kedalaman maksimum membentuk terumbu karang adalah 40 meter. Lebih dari itu cahaya sudah terlampau lemah (Dahuri, 2003; Nontji, 1987).

2) Suhu

Suhu yang dibutuhkan untuk pembentukan terumbu karang secara optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata antara 25-300 C (Nontji, 1987). Namun suhu di luar kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies tertentu dari jenis karang hermafitik untuk dapat berkembang dengan baik. Karang hermafitik dapat bertahan pada suhu di bawah 200C selama beberapa waktu, dan mentolerir suhu sampai 360C dalam waktu singkat (Dahuri, 2003). Suhu mempunyai peranan penting dalam membatasi sebaran terumbu karang, oleh karena itu terumbu karang tidak ditemui di daerah dingin. Berdasarkan hasil penelitian laboratorium ternyata hewan koral mengalami bleaching pada suhu

320C secara terus menerus. Selain itu

bleaching juga bisa terjadi akibat

pencemaran, peningkatan turbiditas, penurunan salinitas (Wibisono, 2005). 3) Salinitas

Banyak spesies karang peka terhadap perubahan salinitas yang besar. Hewan karang mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 27-40Ž

ͬŽŽ. Adanya aliran

air tawar akan menyebabkan kematian. Itulah sebabnya di pantai timur Sumatra, pantai selatan Kalimantan dan pantai selatan Irian Jaya di mana banyak sungai-sungai besar bermuara, jarang dijumpai terumbu karang (Nontji, 1987).

4) Sirkulasi arus dan sedimentasi

Dahuri (2003) mengatakan bahwa arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkulasi arus


(10)

ϴ

sangat berperan penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air berperan dalam proses sedimentasi. Sedimentasi dari pertikel lumpur padat yang dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat

menutupi permukaan terumbu karang, sehingga tidak hanya berdampak negatif terhadap karang tetapi juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi polip sehingga respirasi organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh

zooxanthellae akan terganggu.

2.1.3 Penyebaran

Terumbu karang (coral reef) merupakan komunitas organisme yang hidup di

dasar laut dangkal daerah tropis. Binatang karang (coral reef) adalah sebagai individu

organisme atau komponen komunitas, sedangkan terumbu karang (coral reef) adalah

sebagai suatu ekosistem yang didalamnya termasuk organisme-organisme karang. Terdapat dua tipe karang yaitu: karang yang membentuk bangunan kapur atau

hermatypic corals, dan karang yang tidak dapat membentuk bangunan kapur atau ahermatypic corals (Supriharyono, 2000).

Menurut Supriharyono (2000), secara umum jumlah spesies karang ( reef-building corals) di Indo-Pasifik cenderung lebih banyak dibandingkan dengan di

Atlantik. Keanekaragaman spesies karang terbesar di Indo-Pasifik terdapat di daerah Melanesia dan Asia Tenggara, dan yang paling tinggi tercatat di Indonesia.

Dahuri (2003) menyatakan bahwa lebih dari 95% wilayah Indonesia (sekitar 17.500 pulau) dikelilingi oleh terumbu karang. Berdasarkan hubungan dengan daratan terumbu karang di Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar sebagai berikut:

1) Terumbu tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang dekat dan sejajar

dengan garis pantai. Contoh tipe terumbu tepi adalah terumbu karang yang terdapat di daerah Mentawai, Pangandaran dan Parangtritis di pantai selatan P.Jawa, di Lombok dan Sumbawa, di Nusa Tenggara Timur serta di utara dan barat Papua.


(11)

ϵ

2) Atol (atol) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan di tengahnya

terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 meter. Contoh atol atau terumbu cincin adalah atol Takabonerate di Sulawesi Selatan.

3) Terumbu Penghalang (barrier reef) serupa dengan karang tepi, dengan terkecuali

jarak antara terumbu karang dengan garis pantai atau daratan cukup jauh, dan umumnya dipisahkan oleh perairan yang dalam. Karang penghalang dapat ditemukan di Kep. Togean, Sulawesi Tengah, dan di beberapa tempat di Kalimantan Timur dan Selat Makasar.

Selain ketiga kelompok besar di atas, di Indonesia terdapat jenis terumbu gosong (patch reef), seperti terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Seribu di utara P.

Jawa.

2.2 Terumbu Karang Buatan

2.2.1 Definisi dan fungsi terumbu buatan

Terumbu buatan merupakan habitat buatan yang di bangun di laut dan diletakkan di dasar perairan yang tidak produktif dengan meniru beberapa karakteristik terumbu alami dengan maksud memperbaiki ekosistem yang rusak, sehingga memikat organisme laut untuk hidup dan menetap serta menigkatkan produksi perikanan, biasanya terbuat dari ban bekas, bangkai kerangka kapal, badan mobil bekas, bambu dan sebagainya (Christy, 1991).

Pembuatan terumbu buatan didasari oleh teori yang mengatakan jenis ikan-ikan tertentu mempunyai kecenderungan untuk mendekati atau menyukai benda-benda keras, untuk berkumpul satu sama lainnya, mencari perlindungan serta memperoleh makanan (White et al., 1990 yang diacu dalam Mayasari, 2008).

Terumbu buatan, dilihat dari fungsinya yang multiguna, adalah salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan secara komprehensif, untuk menangani degradasi lingkungan, memperbaiki sumberdaya perikanan dan habitatnya, serta dapat memberikan kesejahteraan bagi desa di pantai. Menurut Seaman (2000) bahwa minimal terdapat 13 jenis tujuan penggunaan terumbu buatan, yaitu untuk:


(12)

ϭϬ

2) Meningkatkan produksi perikanan komersial 3) Lokasi budidaya laut dan marine ranching

4) Meningkatkan recreational fishing (memancing dan spear)

5) Lokasi rekreasi skin diving

6) Lokasi pariwisata bawah laut (submarine tourism)

7) Mengendalikan mortalitas penangkapan ikan 8) Mengendalikan life history organisme laut

9) Melindungi habitat ikan

10) Daerah konservasi keanekaragaman hayati laut 11) Mengurangi degradasi dan kehilangan habitat 12) Meningkatkan kualitas air dan kualitas habitat 13) Penelitian dan pendidikan

Tujuan yang paling penting adalah meningkatkan produksi perikanan tangkap secara lestari dan ramah lingkungan dalam segi meningkatkan hasil tangkapan maupun biomassa ikan di daerah terumbu.

Mottet (1981) yang diacu dalam Mayasari (2008) mengatakan bahwa terumbu

buatan memiliki ciri khas, yaitu peningkatan biomassa ikan yang berasal dari spesies yang benar-benar menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya dalam zona terumbu buatan.

Pengembangan terumbu buatan di negara ASEAN adalah kejadian baru sebagai konsekuensi dari perlunya untuk meningkatkan sumber daya perikanan penangkapan ikan. Negara Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam melakukan pengembangan terumbu buatan sesuai dengan kondisi serta kebiasaan nelayan tradisional setempat. Bagi negara tersebut konsep penggunaan terumbu buatan tidak menjadi hal baru. Nelayan Filipina contohnya, dengan menumpukan cabang–cabang pohon dan ranting di muara sungai untuk memperoleh ikan (Delmendo, 1991).

2.2.2 Bahan dan konstruksi terumbu buatan

Berbagai jenis bahan yang digunakan untuk pembuatan sebuah terumbu karang buatan antara lain ban mobil bekas digunakan di beberapa negara seperti Malaysia,


(13)

ϭϭ

Thailand, Singapura, Philipina dan Indonesia. Terumbu karang buatan berbahan beton dikembangkan di Thailand, Indonesia, Singapura, Brunei dan Malaysia. Kapal rusak dikembangkan di Jepang dan Indonesia khususnya di Bali (Delmendo, 1991).

Menurut Sinanuwong (1991) yang diacu dalam Mayasari (2008) mengatakan

bahwa di Thailand, bahan-bahan untuk terumbu karang buatan dalam percobaan di Rayong menggunakan tiga tipe yaitu ban bekas, konkrit dan batu. Hasil studi memperlihatkan adanya peningkatan spesies komposisi ikan dan ditemukan bahwa penggunaan ban bekas dan konkrit sangat tepat dibanding batu karena konstruksi batu sering menyebar di sana-sini sehingga ikan-ikan yang masuk lebih sedikit.

Bahan-bahan yang digunakan dalam membangun terumbu karang terdiri dari

concrete cylindrical, culvert cemen pipes, concrete rings dan rubber wood

(Delmendo, 1991). Menurut Soedharma (1995) yang diacu dalam Mayasari (2008)

terumbu buatan bisa dibuat dari karang-karang bebas (mobil, kapal, ban bekas dan bahan-bahan buatan lainnya) diletakkan di dasar laut secara mendatar pada dasar perairan berpasir halus atau lumpur dengan tujuan untuk merubah habitat yang miskin menjadi habitat yang kaya akan ikan serta biota lainnya.

Seaman dan Sparague (1991) mengatakan bahwa untuk memaksimuman hasil terumbu karang buatan perlu dirancang bentuk dan bahan terumbu buatan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai. Dalam menentukan konstruksi terumbu buatan yang perlu diperhatikan yaitu :

1) Bahan tidak beracun di dalam air, tahan lama, mudah diperoleh, mudah ditangani dan mudah diangkut;

2) Memperhatikan kestabilan hidrodinamik;

3) Bersifat fungsional artinya bahan-bahan terumbu buatan mampu mengumpulkan ikan;

4) Bahan yang digunakan harus memiliki celah untuk tempat berlindung serta permukaan;


(14)

ϭϮ

Kriteria yang berguna yang dibuat oleh Badan Sumberdaya Perikanan dan Perairan Filipina untuk peletakan terumbu buatan adalah sebagai berikut (Miclat dan Miclat, 1989 yang diacu dalam Yuspardianto, 1998) :

1) Berjarak antara 50-100 meter dari terumbu karang alami;

2) Dekat dengan sumber makanan alternatif (misalnya padang lamun atau sea grass);

3) Dibangun di daerah yang datar atau sedikit miring dan memiliki kecerahan yang baik;

4) Berada pada kedalaman 5-20 meter, terlindung dari gelombang, tetapi mudah dicapai oleh nelayan setempat.

2.3 Tempurung Kelapa

Kelapa merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dan famili Palmae. Kata coco pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama (Suhardiman,

1985).

Tanaman kelapa (Cocos nucifera) merupakan tanaman serba guna atau tanaman

yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Seluruh bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan (tree of life) karena hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun,

buah serta tempurung kelapa dapat dipergunakan untuk memenuhi kehidupan manusia sehari-hari.

Buah kelapa terdiri dari sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa. Berat buah kelapa yang telah masak kira-kira 2 kg per butir. Buah kelapa dapat dipergunakan hampir seluruh bagiannya. Airnya untuk minuman segar atau dapat diproses lebih lanjut menjadi nata de coco (Suhardiman, 1985).

Tempurung kelapa dikategorikan oleh sebagai kayu keras, tetapi mempunyai kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah (Rasyid 2010). Pirolisa tempurung kelapa menghasilkan senyawa fenol 4,13%, karbonil 1,30% dan keasaman 10,2% (Tranggono et al., 1996; Darmadji, 1995).


(15)

ϭϯ

Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang fungsinya secara biologis adalah pelindung bagian inti buah dan terletak dibagian dalam setelah sabut. Tempurung merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm. Sifat kekerasan ini disebabkan kandungan silikat (SIO2) di tempurung tersebut. Berat total buah kelapa, 15-19% merupakan berat tempurungnya, selain itu juga tempurung kelapa banyak mengandung lignin. Sedangkan kandungan methoxyl dalam tempurung kelapa

hampir sama dengan yang terdapat di kayu. Namun jumlah kandungan unsur-unsur bervariasi tergantung kandungan tumbuhnya (Palangkung, 1993 mengacu pada

Anshari, 2009).

2.4 Alat Tangkap Bubu Tambun 2.4.1 Definisi dan klasifikasi

Bubu merupakan salah satu jenis alat tangkap yang bersifat pasif. Bubu termasuk klasifikasi perangkap (traps) dan penghadang (guiding barriers) dimana

semua alat penangkap yang berupa jebakan (Subani dan Barus, 1989). Brandt (2005), bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap (trap).

Metode panangkapan ikan dengan bubu mempunyai beberapa karakteristik yang memberikan keuntungan, yaitu pembuatan alatnya mudah, pengoperasiannya mudah, kesegaran hasil tangkapan baik, daya tangkapnya dapat diandalkan dan dapat dioperasikan di tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan (Yuspardianto, 1998).

Menurut Martasuganda (2003), ada beberapa alasan utama pemakaian bubu di suatu daerah penangkapan, yaitu:

1) Adanya larangan pengoperasian alat tangkap selain bubu

2) Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung alat tangkap lain untuk dioperasikan

3) Kedalaman daerah penangkapan yang tidak memungkinkan alat tangkap lain untuk dioperasikan

4) Biaya pembuatan alat tangkap bubu murah

5) Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap bubu tergolong mudah 6) Hasil tangkapan dalam keadaan hidup


(16)

ϭϰ

7) Kualitas hasil tangkapan baik

8) Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi, dan pertimbangan lainnya.

2.4.2 Konstruksi alat penangkap ikan

Secara umum, bubu terdiri dari mulut dan badan bubu. Adapun tempat umpan dan pintu khusus untuk mengeluarkan hasil tangkapan tidak terdapat pada setiap bubu.

Schlack dan Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari: 1) Rangka

Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan dan disimpan. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu. Rangka beberapa jenis bubu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dilipat ketika bubu tersebut tidak dioperasikan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah ketika bubu tersebut disimpan di atas kapal. Beberapa jenis bahan seperti bambu digunakan sebagai rangka pada bubu loster (Brandt 1984). Di Indonesia bubu untuk menangkap ikan karang sebagian besar terbuat dari besi, karena biasanya untuk menangkap ikan karang diperlukan bubu dengan ukuran besar. Di Kepulauan Seribu bubu untuk menangkap ikan karang menggunakan rangka yang terbuat dari bambu dan besi, bahkan untuk bubu tambun, hampir seluruhnya terbuat dari bambu (Susanti, 2005).

2) Badan

Badan pada bubu modern biasanya terbuat dari kawat, nylon, baja, bahkan plastik.

Pemilihan material badan bubu tergantung dari kebudayaan atau kebiasaaan masyarakat setempat, kemampuan pembuat dan ketersediaan material, serta biaya dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada target hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Dibeberapa tempat masih dijumpai badan bubu yang terbuat dari anyaman rotan dan bambu.


(17)

ϭϱ

Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu.

4) Tempat umpan

Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Umpan terdiri dari dua macam yaitu umpan yang dicacah menjadi potongan potongan kecil dan umpan yang tidak dicacah. Untuk umpan yang dicaca biasanya dibungkus menggunakan tempat umpan yang terbuat dari kawat atau plastik. Sedangkan untuk umpan yang tidak dicacah biasanya umpan tersebut hanya diikatkan pada tempat umpan dengan menggunakan kawat atau tali. Tempat umpan tidak terdapat pada semua jenis bubu, misalnya pada bubu gurita dan beberapa bubu ikan karang.

5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan 6) Celah pelolosan

Celah pelolosan dibuat agar ikan–ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran dapat keluar dari bubu. Pada beberapa negara seperti Australia, New Zealand, dan Kuba, celah pelolosan digunakan pada bubu rock lobster untuk meloloskan lobster

yang masih juvenil. 7) Pemberat

Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang, sehingga posisi bubu tidak berpindah pindah dari tempat setting

semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis-jenis batuan lainnya. Pemasangan pemberat juga berfungsi untuk memastikan bubu mendarat di dasar perairan secara benar.

Monintja dan Martasuganda (1990) menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap dalam bubu, yaitu : 1) Tertarik Umpan;

2) Digunakan sebagai tempat berlindung; 3) Karena sifat thigmotaksis ikan itu sendiri;


(18)

ϭϲ

4) Digunakan sebagai tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi.

Alat tangkap bubu banyak digunakan oleh nelayan Indonesia, baik oleh nelayan skala kecil, menengah, dan skala besar. Perikanan bubu umumnya ditujukan untuk menangkap kepiting, udang, keong, dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu dalam. Adapun untuk perikanan bubu skala menengah dan skala besar biasanya dilakukan di lepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan dasar, kepiting, atau udang pada kedalaman 200 m sampai 700 m (Martasuganda, 2003).

Bahan yang digunakan oleh nelayan untuk membuat badan bubu sangat bergantung pada ketersediaan bahan pembuat di lokasi pemukiman nelayan. Di Indonesia bubu masih banyak yang terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu, maupun rotan. Hal ini terlihat pada bubu tambun yang bahan utamanya adalah bambu (Nugraha, 2008).

2.5 Sumberdaya Ikan Karang

Daerah habitat karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis fauna yang tinggi. Disamping itu ekosistem terumbu karang juga merupakan tempat hidup, tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat

memijah (spawning ground) untuk biota laut yang antara lain adalah ikan karang.

Ikan karang banyak dimanfaatkan sebagai makanan maupun dijadikan ikan hias laut. Diperkirakan 12.000 jenis ikan laut sebanyak 7000 spesies hidup di daerah terumbu karang atau di sekitarnya, di perairan dekat pantai. Karakteristik yang paling mengemuka dari ikan-ikan yang hidup di habitat karang adalah keanekaragamannya dalam hal jumlah spesies dan perbedaan morfologi (Murdiyanto, 2003 mengacu pada

Nugraha, 2008).

Menurut Hutomo (1995), kelompok ikan karang yang erat kaitannya dengan lingkungan terumbu karang adalah:

1) Tiga famili dalam sub ordo Labridei, yaitu famili Labridae (cina-cina), Scaridae (kakatua) dan Pomacentridae (betok laut). Ketiganya bersifat diurnal;


(19)

ϭϳ

2) Tiga famili dari sub ordo Acanthuridae, yaitu famili Acanthuridae (butana), Siganidae (baronang) dan Zanclidae (bendera atau moorish idol). Ketiganya

bersifat herbivora;

3) Dua famili dari sub ordo Chaetodontidae yang mempunyai warna yang cerah; 4) Famili Blennidae dan Gobiidae yang bersifat demersal dan menetap;

5) Famili Apogonidae (beseng) nokturnal, memangsa avertebrata terumbu dan ikan kecil;

6) Famili Ostraciidae, Tetraodontidae dan Balestidae (pakol) yang menyolok dalam bentuk dan warnanya;

7) Pemangsa dan pemakan ikan (piscivorous) yang besar jumlahnya dan bernilai ekonomis tinggi, meliputi famili Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (lecam), Holocentridae (swanggi).

Menurut Dahuri (2003), beberapa sumberdaya ikan yang hidup di karang mempunyai nilai ekonomis sebagai berikut :

1) Suku Chaetodontidae (butterflyfish). Ikan yang termasuk suku ini mempunyai

bentuk tubuh yang pipih serta lebar, sehingga gerakannya meliuk-liuk mirip karpet. Sampai sekarang diperkirakan terdapat sekitar 114 jenis ikan kepe-kepe yang tersebar di seluruh dunia, antara lain di Australia (50 jenis), Philippines (45 jenis), Indonesia (44 jenis), Taiwan (33 jenis) dan Papua Nugini (42 jenis) (Kvalvagnes, 1980). Ikan jenis ini hidup di perairan laut tropis pada kedalaman perairan sampai 20 meter.

2) Suku Pomancanthidae (angelfishes). Bentuk ikan ini menarik dan dikenal

sebagai ikan bidadari atau angel. Suku ini hidup di terumbu karang di perairan tropis. Diperkirakan ada 74 jenis yang termasuk dalam suku pomacanthidae. Ikan ini hidup pada kedalaman 1-50 meter, seperti marga Centropype dan Genicanthus. Daerah penyebaran dan jumlah jenis ikan angel di perairan

Indo-pasifik adalah sebagai berikut, Australia (23 jenis), Papua New Guinea (22 jenis), Indonesia (21 jenis), Taiwan (20 jenis) dan Filipina (19 jenis). Jenis ikan ini memiliki corak warna yang indah dan menarik.


(20)

ϭϴ

3) Suku Balistidae (triggerfish). Ikan pelatuk atau ikan trigger banyak ditemukan di

perairan Indonesia. Di Perairan Kepulauan Seribu, jenis ikan ini dikenal sebagai ikan pakol. Ikan pelatuk biasanya hidup soliter atau menyendiri di habitat terumbu karang.

4) Suku Labridae (wrasses). Kelompok ikan ini di Indonesia disebut ikan keling.

Suku ini merupakan ikan diurnal yang aktif mencari makan di siang hari dan sebagian besar merupakan ikan karnivor. Mangsanya berupa moluska, cacing, krustase dan ikan kecil.

Widodo et al. (1998) menjelaskan bahwa ada sepuluh famili utama dari

perairan Indonesia yang menyumbang produksi ikan karang konsumsi, yaitu Caesionidae; Holocentridae; Serranidae; Siganidae; Scaridae; Lethrinidae; Priacanthidae; Labridae; Lutjanidae dan Haemulidae. Beberapa jenis ikan karang konsumsi yang banyak terdapat di pasaran, yaitu kerapu (Serranidae), lencam (Lethrinidae), ekor kuning dan pisang-pisang (Caesionidae), baronang (Siganidae), kakap merah (Lutjanidae), kakak tua (Scaridae), serta napoleon atau marning atau siomay (Labridae). Ekor kuning atau pisang-pisang merupakan kelompok ikan karang yang dapat dieksploitasi secara besar-besaran. Ikan ini pemakan plankton dan membentuk kelompok (school) yang relatif besar. Penyebaran ikan karang konsumsi

terdapat di seluruh terumbu yang tersebar sepanjang Kepulauan Indonesia.

Menurut Adrim (1993), kelompok ikan karang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

1) Kelompok ikan target, yaitu ikan karang yang mempunyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti kelompok ikan famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae;

2) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili Chaetodontidae;

3) Kelompok ikan utama atau mayor, yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Achanturidae, Caesionidae, Labridae, Mullidae dan Apogonidae.


(21)

ϭϵ

2.5.1 Biologi ikan betok susu (Dischitodus perspicillatus) Klasifikasi betok susu (Cuvier, 1830) :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Perciformes Famili : Pomacentridae Genus : Dischitodus

Spesies : Dischistodus perspicillatus

Gambar 3 Betok susu (Dischitodus perspicillatus)

Ikan betok susu atau mempunyai nama internasional white damsel, termasuk

ikan famili Pomacentridae. Ikan betok susu mempunyai ciri-ciri panjang maksimal (TL) 18 cm, putih krem dengan 2-3 spot hitam agak memanjang. Bagian depan kepala kehijaun, garis pangkal dengan batas biru di antara mata dan mulut, mempunyai jumlah duri dorsal keras maksimal 13 buah; duri dorsal lunak sekitar 13-15 buah ; sedangkan anal keras 2 buah ; anal lunak sekitar 14-13-15 buah. Ikan ini termasuk mudah diidentifikasi karena warnanya yang kebanyakan putih dan terdapat bercak hitam kecil ditubuhnya.

Ikan betok susu biasa tinggal atau hidup di daerah patch reef, laguna dangkal,

pasir di daerah karang, dan padang lamun. Range kedalaman 1–10, akan tetapi hal tersebut dapat juga disesuaikan dengan keadaan dasar atau daerah. Ikan betok susu merupakan ikan pemakan alga bentik dan detritus.


(22)

ϮϬ

Distribusi ikan ini banyak di Indo Pasifik. Di Indonesia daerah penyebarannya banyak di daerah yang mempunyai karang seperti Kepulauan Karimun Jawa, Kepulauan Seribu, Laut Banda dan sebagainya.

Sumber : Metadata fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012) Keterangan : titik merah = penyebaran ikan betok susu

Gambar 4 Peta penyebaran ikan betok susu (Dischitodus perspicillatus)

2.5.2 Biologi ikan triger (Balistapus undulatus) Klasifikasi ikan triger (Park, 1797) :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Balistidae

Genus : Balistapus

Spesies : Balistapus undulates


(23)

Ϯϭ

Ciri-ciri ikan triger adalah panjang maksimal (TL) 30 cm, badan hijau gelap

kecokelatan dengan garis kuning diagonal di badan dan muka. Sirip berwarna oranye. Memiliki spot hitam dipangkal ekor.

Habitat ikan triger di daerah kaya karang di laguna dan terumbu karang. Jenis

yang territorial, biasa meletakkan telur dalam lubang di daerah pasir atau rubble di

daerah karang. Kisaran kedalaman 1-50 m.

Distribusi ikan di area Indo-Pasifik seperti Laut merah, Afrika Selatan, Kep. Line, Marquesan dan Tuamoto, Jepang-GBR dan New Caledonia. Ikan triger

termasuk pemakan zoobenthos (echinodermata, moluska, tunikata, sponge dan hydrozoa), ikan kecil dan alga bentik.

Sumber : Metadatafishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012) Keterangan : Titik merah : Penyebaran ikan triger

Gambar 6 Peta penyebaran ikan trigger (Balistapus undulates)

2.5.3 Biologi ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus) Klasifikasi ikan marmut (Bloch, 1787) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Pomacanthidae

Genus : Chaetodontplus


(24)

ϮϮ

Gambar 7 Ikan Marmut (Chaetodontoplus mesoleucus)

Ikan marmut atau Chaetodontoplus maesoleucus termasuk dalam famili

Pomacantridae. Ikan ini mempunya ciri-ciri panjang maksimal (TL)18 cm, sekilas mirip Chaetodontidae namun dibedakan dari opercula tulang belakangnya yang kuat,

badan 2/3 hitam abu-abu dan sisinya putih, garis hitam memanjang dari kepala hingga bawah, sebagian muka depan kuning dengan mulut biru, ekor kuning.

Habitat ikan marmut ini di daerah terumbu karang dan jarang di laut terbuka. Range kedalaman 1-20 meter. Ikan ini banyak ditemukan Indo-west pasifik (Indonesia-Jepang, Srilanka-timur PNG) dan termasuk pemakan sponge, tunikata dan alga berfilamen / zoobenthos.

Sumber : Metadatafishbase(Aqua maps GBIF OBIS, 2012) Keterangan : titik merah = penyebaran ikan marmut

Gambar 8 Peta penyebaran ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus)

2.5.4 Biologi ikan kenari merah (Cheilinus fasciatus) Klasifikasi ikan kenari merah (Bloch, 1791) :

Kingdom : Animalia


(25)

Ϯϯ

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Labridae

Genus : Cheilinus

Spesies : Cheilinus fasciatus

Gambar 9 ikan kenari merah (Cheilinus fasciatus)

Ikan kenari merah termasuk dalam famili Labridae, dimana memiliki ciri-ciri: panjang maksimal (TL) 40 cm. Bentuknya sangat mudah dikenali dengan warna merah terang mulai dari depan dorsal sampai sirip perut dan belakang mata serta garis vertikal dibadan belakangnya.

Habitat tempat ikan ini banyak di temukan di area laguna, karang beralga dan di area campuran antara karang, pasir dan rubble. Kisaran kedalaman 4-40 m

Distribusi Indo-pasifik dan termasuk tipe pemakan moluska, krustasea.

Sumber : Metadata fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012)

Keterangan : Titik merah = penyebaran ikan kenari merah


(26)

Ϯϰ

2.5.5 Biologi ikan betok hitam (Dischistodua pseudochrysopoecilus) Klasifikasi betok hitam (Allen, 1974) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Pomacentridae

Genus : Dischitodus

Spesies : Dischistodus pseudochrysopoecilus

Gambar 11 Ikan betok hitam (Dischistodua pseudochrysopoecilus)

Ikan betok hitam (Neoglyphidodon melas) memiliki panjang maksimal 18

(TL) cm. Pada saat juvenil badan biru terang dengan garis kuning besar dari mulut hinggga sirip dorsal serta sirip perut dan anal ujungnya biru kehitaman. Pada saat dewasa berwarna hitam kebiruan. Perubahan warna terjadi pada ukuran 5-6 cm. Habitat ikan ini daerah karang dan karang berbatu, biasa juga di anemone, di sekitar bulu babi dan karang bercabang. Kisaran kedalaman 1-55 m

Distribusi ikan ini Indo-Pacific: Red Sea dan timur Afrika, Pulau Pitcairn, utara Jepang, selatan Sydney, Australia. Ikan ini tidak ditemukan di Hawai. Habitat ikan betok hitam ini akan berpindah atau berbeda ketika juvenil dan dewasa. Pada saat juvenil ikan ini hidup di karang bercabang namun, pada saat dewasa banyak ditemukan di area laguna-lereng karang. Ikan ini adalah pemakan bentik alga, zoobenthos, zooplankton (Setiawan, 2010).


(27)

Ϯϱ

Sumber : Metadata fishbase (Aqua maps GBIF OBIS, 2012)

Keterangan : Titik merah= penyebaran ikan betok hitam

Gambar 12 Peta penyebaran ikan betok hitam (Dischistodus

pseudochrysopoecilus)

2.6 Hubungan Panjang dan Berat Ikan

Panjang ikan dapat diukur dengan menggunakan sistem metrik (Effendie, 1979). Ada tiga macam pengukuran, yaitu:

1) Panjang total atau panjang mutlak, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya.

2) Panjang cagak atau fork length, ialah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan

sampai ujung bagian luar lekukan ekor.

3) Panjang standar atau panjang baku, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya. Ujung itu letaknya sebelum pangkal jari-jari sirip ekor.

Menurut Effendie (1979), alat pengukur ikan yang baik digunakan untuk di lapangan adalah alat pengukur yang terbuat dari kayu. Bentuk yang perlu diperhatikan dari alat ini adalah bagian depannya, yaitu tempat menempel dari bagian depan ikan harus bertepatan dengan angka nol, sedangkan untuk penimbangan, diusahakan yang praktis dan tidak mudah rusak tetapi ketelitiannya cukup tinggi. Dari beberapa macam alat penimbang ikan, yang paling tepat adalah timbangan duduk atau gantung yang dapat langsung menunjuk berat ikan yang ditimbang.


(28)

Ϯϲ

Hasil studi hubungan panjang dan berat ikan memungkinkan nilai panjang ikan berubah ke harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya dan hubungan panjang-berat ini hampir mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan rumus: W = aL3 (W adalah berat ikan, L adalah panjang ikan dan a adalah konstanta). Hal tersebut disertai dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya. Tetapi karena ikan itu tumbuh, dimana bentuk tubuh, panjang dan beratnya selalu berubah, maka menurut Effendie (1979), persamaan umumnya adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta). Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L yang menunjukkan hubungan linier (Effendie, 1979).

2.7 Rumpon (Fish Aggregating Device)

Rumpon adalah suatu benda menyerupai pepohonan yang ditanam di suatu tempat di laut. Rumpon merupakan alat pemikat ikan yang digunakan untuk mengkonsentrasikan ikan sehingga operasi penangkapan ikan dapat dilakukan dengan mudah (Subani, 1972). Cara pengumpulan ikan dengan pikatan berupa benda terapung tersebut, menurut Bergstrom diacu dalam Sondita (1986) merupakan salah

satu bentuk dari Fish Agregating Device, yaitu metode benda atau bangunan yang

dipakai sebagai sarana untuk penangkapan ikan dengan cara memikat dan mengumpulkan ikan-ikan tersebut.

Rumpon atau lure merupakan alat bantu penangkapan ikan yang fungsinya

sebagai pembantu untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul di suatu tempat yang selanjutnya diadakan penangkapan. Prinsip lain penangkapan ikan dengan alat bantu rumpon disamping berfungsi sebagai pengumpul kawanan ikan, pada hakekatnya adalah agar kawanan ikan tersebut mudah ditangkap sesuai dengan alat tangkap yang dikehendaki. Selain itu dengan adanya rumpon, kapal penangkap ikan dapat menghemat waktu dan bahan bakar, karena tidak perlu lagi mencari dan mengejar gerombolan-gerombolan ikan (Subani, 1986).

Subani (1986) menerangkan bahwa biasanya kegiatan penangkapan di sekitar rumpon dilakukan setelah sepuluh hari rumpon tersebut dipasang. Beberapa hari


(29)

Ϯϳ

setelah rumpon ditanam dan bila diketahui bahwa di sekitar rumpon tersebut banyak kerumunan ikan kemudian diadakan penangkapan. Beberapa jenis ikan pelagis yang berkumpul di sekitar rumpon antara lain ikan terbang, layang, selar, kembung, bawal, lemuru, cakalang, tuna dan sebagainya. Alat tangkap yang dapat digunakan antara lain pancing, payang dan pukat cincin.

Rumpon selama ini lebih banyak dikenal nelayan Indonesia sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan (fish aggregating device atau FAD), sehingga operasi

penangkapan ikan menjadi lebih efektif dan efisien (Sondita 1986; Monintja 1993). Individu ikan yang tersebar atau kawanan ikan yang bergerak bebas, baik ketika melakukan ruaya (migrasi) maupun sedang berada di suatu tempat, dirangsang oleh nelayan agar berhenti, menetap atau berada tidak jauh dari lokasi yang diinginkan nelayan, yaitu tempat pemasangan rumpon atau lampu pemikat. Teknik manipulasi tingkah laku ikan ini telah lama diterapkan oleh nelayan-nelayan di tanah air dan kawasan Asia Tenggara ketika mereka menangkap ikan-ikan pelagis yang biasa membentuk gerombolan atau fish schools atau fish shoals. Hasil atau output dari

penggunaan rumpon ini tentu saja ikan yang jumlahnya tergantung pada beberapa faktor, seperti di antaranya adalah jumlah ikan yang berkumpul di sekitar rumpon dan keefektivan alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan.

Faktor pertama berkaitan dengan dimensi bagian atraktor, kesesuaian tempat pemasangan rumpon dengan jalur migrasi ikan, dan kelimpahan ikan yang ada di perairan tempat pemasangan rumpon. Faktor kedua tersebut ditentukan oleh dimensi alat tangkap dan cara atau metode penangkapan ikan yang diterapkan. Jika sejumlah ikan yang berkumpul di sekitar rumpon maka hasil tangkapan tidak akan melebihi jumlah tersebut. Jika alat tangkap sangat efektif maka semua ikan yang berkumpul pada atau sekitar rumpon akan berhasil ditangkap.

Manfaat atau outcome dari penggunaan rumpon dalam operasi penangkapan

ikan telah diketahui, seperti dijelaskan oleh Monintja dan Mathews (1999). Manfaat tersebut diantaranya adalah meningkatkan peluang keberhasilan operasi penangkapan ikan dan efisiensi dalam arti penghematan biaya operasi penangkapan ikan. Hal lain dari penggunaan rumpon adalah bukti adanya suatu pengelolaan pada kawasan atau


(30)

Ϯϴ

daerah penangkapan ikan, yang minimal dicerminkan oleh adanya pengakuan masyarakat terhadap hak pemilik rumpon pada ikan-ikan yang berkumpul di sekitar rumpon

Faktor penyebab berkumpulnya kawanan ikan di sekitar rumpon telah menjadi topik penelitian sejak lama (Monintja et al., 2003). Faktor pertama adalah

ikan berkumpul karena mereka tertarik terhadap benda-benda terapung atau sifat yang disebut thigmotaxis. Benda-benda terapung tersebut akan terlihat signifikan oleh biota air yang mengandalkan panca indera penglihatan dibandingkan dengan kolom air yang homogen. Semakin besar ukuran dan semakin kontras benda-benda tersebut dalam lingkungan maka akan semakin mudah ikan mendeteksi atau mengetahuinya. Tentu saja, kemudahan terlihat benda-benda tersebut juga ditentukan oleh daya penglihatan ikan. Daya penglihatan ikan tersebut ditentukan oleh umur atau tingkat perkembangan tubuh ikan. Faktor kedua adalah ikan berkumpul untuk keperluan mencari makan. Ikan-ikan tersebut mencari makanan atau mangsa dan akhirnya mendapatkannya di pada atau di sekitar rumpon karena rumpon menjadi habitat berbagai jenis biota laut yang menjadi makanannya (Menard et al., 2000). Kedua

faktor tersebut secara bersama-sama menyebabkan terjadinya akumulasi individu-individu ikan menjadi kawanan ikan yang didukung oleh sebuah jaringan makanan (foodweb) dan konstruksi rumpon, terutama bagian atraktor. Foodweb yang terbentuk

karena adanya rumpon tersebut dapat dipelajari lebih jauh, sama seperti penelitian terhadap suatu ekosistem. Untuk mengembangkan usaha di bidang penangkapan ikan tidak terlepas dari pengetahuan yang cukup tentang tingkah laku ikan yang hendak ditangkap baik secara individu maupun berkelompok. Pengetahuan tentang tingkah laku ikan adalah merupakan dasar dari metoda-metoda penangkapan yang ada, dan juga merupakan kunci bagi perbaikan metoda penangkapan yang telah diketahui, serta penemuan-penemuan dari metoda yang baru (Gunarso, 1974).

Dalam hal pikat memikat ikan, Gunarso (1985) mengungkapkan hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain : rangsangan kimia, rangsangan terhadap penglihatan, rangsangan terhadap pendengaran, rangsangan dengan menggunakan aliran listrik dan rangsangan dengan menyediakan tempat belindung.


(31)

Ϯϵ

Asikin (1985) mengemukakan bahwa keberadaan ikan di sekitar rumpon karena berbagai sebab, antara lain :

1. Ikan-ikan itu senang bersembunyi di bawah bayang-bayang daun rumpon; 2. Rumpon itu sebagai tempat berpijah bagi beberapa jenis ikan tertentu; 3. Rumpon sebagai tempat berteduh bagi beberapa jenis ikan tertentu;

4. Rumpon itu sebagai tempat berteduh bagi beberapa jenis ikan yang mempunyai sifat fototaksis negatif.

Hunter dan Mitchell diacu dalam Laevastu dan Hela (1970) menjelaskan

bahwa ikan yang berukuran kecil pertama kali tertarik di sekitar rumpon, kemudian disusul ikan berukuan besar. Rumpon merupakan suatu arena makan dan dimakan yang terjadi sesuai dengan rantai makanan. Permulaan terjadinya arena ini dimulai dengan tumbuhnya bakteri dan mikroalga ketika rumpon pertama kali dipasang. Kemudian mahluk renik ini bersama dengan hewan-hewan kecil menarik perhatian ikan-ikan pelagis ukuran kecil. Ikan-ikan pelagis ini akan memikat ikan yang berukuran lebih besar untuk memakannya.

Menurut Subani (1972), tidak benar ikan-ikan di sekitar rumpon memakan daun kelapa. Pernyataan ini dikuatkan oleh Djatikusumo (1977) berdasarkan atas isi perut ikan di sekitar rumpon, yang hasilnya ternyata dari jenis-jenis plankton dan bukan daun-daun kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa rumpon merupakan tempat ikan berlindung dari serangan predator. Pada umumnya ikan-ikan berenang menghadap arus dan berada di depan rumpon, bergerombol dalam ukuran yang sama, baik umur, panjang maupun berat. Keuntungan berenang dengan cara berkelompok akan lebih memudahkan dalam menangkap mangsa.

Rumpon yang dipasang pada suatu perairan akan dimanfaatkan oleh kelompok ikan lemah sebagai tempat berlindung dari serangan predator. Kelompok jenis ini akan berenang-renang dengan mengusahakan agar posisi tubuh selalu membelakangi bangunan rumpon. Selain sebagai tempat berlindung, rumpon diibaratkan sebagai pohon yang tumbuh di padang pasir yang merupakan wadah pemikat kelompok ikan (Subani, 1972).


(32)

ϯϬ

Ikan berkumpul di sekitar rumpon untuk mencari makan. Menurut Soemarto (1962) dalam area rumpon terdapat plankton yang merupakan makanan ikan yang lebih banyak dibandingkan di luar rumpon. Diterangkan juga oleh Soemarto (1962) bahwa perairan yang banyak planktonnya akan menarik ikan untuk mendekat dan memakannya.

Subani (1972) mengemukakan bahwa ikan-ikan yang berkumpul di sekitar rumpon menggunakan rumpon sebagai tempat berlindung juga untuk mencari makan dalam arti luas tetapi tidak memakan daun-daun rumpon tersebut.

Subani (1986) menerangkan bahwa ikan-ikan lemah yang berada di sekitar rumpon berenang pada sisi sebelah udik atau atas atraktor. Kadang-kadang mereka bergerak ke kiri dan ke kanan tetapi selalu kembali ke tempat semula demikian juga terhadap arus (sifat ikan umumnya berenang menentang arus). Sedangkan dari arah lapisan yang lebih dalam terdapat ikan pemangsa yang siap memangsa. Dengan adanya rumpon maka pemangsa akan mengalami kesulitan dalam menyambar mangsanya karena ikan yang lemah terlindungi oleh adanya atraktor.

Rumpon hingga sekarang masih sebagai andalan bagi nelayan penangkap kawanan ikan pelagis. Nelayan menggunakan rumpon dilengkapi dengan penggunaan lampu pemikat ikan. Secara simultan kedua alat tersebut tergolong sebagai fish aggregating device. Rumpon diperkirakan berperan besar dalam menghentikan

perjalanan kawanan ikan, kejadian ini diperkirakan bermula pada saat siang hari dimana rumpon teridentifikasi ikan. Pada malam hari, rumpon tidak signifikan perannya, khususnya ketika lampu pemikat ikan dipakai dalam proses penangkapan ikan ini. Jumlah lampu akan menentukan volume kolom air yang tersinari (illuminated water column). Semakin besar intensitas cahaya semakin besar volume

air; hal ini berarti semakin besar peluang ikan yang terpapar oleh cahaya.


(33)

ϯϭ

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian mengambil tempat di Kawasan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu teapatnya di kelurahan Pulau Pramuka. Kotamadya Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta (Lampiran 1). Penelitian dilakukan pada bulan Maret - Mei 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data di lapangan antara lain:

1) GPS (Global Position System) alat bantu dalam mengetahui posisi artificial reef

diletakkan;

2) Alat Dasar Selam (ADS) yang digunakan dalam membantu dalam observasi bawah laut;

3) Underwater camera yang membantu dalam dokumentasi keadaan terumbu

buatan pada saat perendaman;

4) Data sheet pengumpulan informasi yang diperoleh;

5) Buku identifikasi ikan karang;

6) Measuring board untuk mengukur panjang ikan;

7) Alat tulis membantu dalam pencatatan data dan informasi; 8) Sabak bawah air;

9) Botol sampel (film); 10) Timbangan;

Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu :

1) Terumbu buatan

Bahan yang digunakan untuk terumbu buatan adalah tempurung kelapa, dengan dasar beton berbentuk segi empat dengan ukuran 50 x 50 cm dengan ketebalan 10 cm, setiap unit terumbu karang buatan terdiri dari 45-50 buah tempurung kelapa (Gambar 13). Jumlah terumbu buatan yang digunakan adalah 3 unit sehingga terdapat 3 stasiun pengamatan.


(34)

ϯϮ

Gambar 13 Konstruksi terumbu buatan

2) Bubu

Jenis bubu yang digunakan adalah bubu tambun dengan tutupan yang digunakan adalah karang mati. Jumlah bubu tambun adalah 3 buah, yang dipasang pada tiap terumbu buatan atau per stasiun. Bubu tambun yang digunakan (Gambar 14) terbuat dari bambu, dimana memiliki ukuran badan panjang 50 cm, dengan lebar bubu 60 cm sedangkan ukuran mulut bubu yaitu dengan bukaan 20 cm dengan panjang 43 cm.

Gambar 14 Bubu tambun

Jarak pemasangan antar bubu adalah 8-10 m. Secara keseluruhan posisi mulut bubu dipasang menghadap kearah daratan (Gambar 15). Hal ini dimaksudkan agar ikan yang melakukan migrasi pada saat pasang surut bisa terperangkap oleh bubu.


(35)

Operasional penangk penangkapan. Proses bubu tambun sekitar 2 pada Gambar 16.

Keteran TB = T

Gambar 15 Posisi peletakan bubu tambun kapan ikan menggunakan bubu tambun in

pemasangan bubu yang dilakukan setiap ha 24 jam atau selama sehari. Konstruksi bubu t

ϯϯ

ngan :

Terumbu buatan

ni dilakukan 5 kali ari dan perendaman tambun dapat dilihat


(36)

ϯϰ

43 cm

20 cm

Sumber : Ramadan 2011


(37)

ϯϱ

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode uji coba penangkapan (experimental fishing), dimana peneliti langsung melakukan eksperimen di lapangan

untuk mengambil data. Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur.

Data primer yang dikumpulkan antara lain:

1) Jenis spesies ikan karang di sekitar terumbu karang buatan dan terumbu karang alami.

2) Berat dan panjang total hasil tangkapan bubu.

3) Dimensi terumbu buatan, kapal dan daerah operasi artificial reefs.

Sementara pengambilan data sekunder diperoleh dari :

1) Dinas Kelautan dan Perikanan Cabang Kepulauan Seribu. 2) Keadaan umum daerah penelitian.

3.4 Metode Kerja

3.4.1 Pengamatan ikan karang

Perakitan sebanyak 3 unit, terumbu karang buatan dimasukkan ke laut dan diletakkan pada kedalaman 17 meter dengan menggunakan peralatan SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus). Jarak masing-masing terumbu karang

buatan adalah 5 meter, dan jarak posisi terumbu karang buatan dengan terumbu karang alami sekitar ± 100 meter. Pengambilan data ikan karang dilakukan dengan cara penyelaman SCUBA, pada pengambilan data ini menggunakan Metode Pencacahan Visual (Underwater Visual Census).

Pengamatan ikan karang di terumbu buatan dilakukan 2 minggu sekali. Data ikan yang diperoleh dilihat dari spesies serta famili ikan tersebut kemudian selain dianalisis dengan indeks keragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) juga dianalisi kenormalan data dengan menggunakan analisis Chi Square. Pencatatan menggunakan sabak bawah air dan pensil.


(38)

ϯϲ

Pengamatan ikan karang pada terumbu buatan diperoleh dari pengamatan dengan 2 jarak visualisasi yaitu 1 meter dan 2 meter di sekitar terumbu buatan untuk dapat melihat ikan yang terdapat pada terumbu buatan. Setelah itu ikan diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan analisis ikan karang

2) Pengamatan ikan karang di terumbu karang alami

Pengamatan ikan karang pada terumbu karang alami menggunakan roll meter

skala 100 meter. Roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar dengan garis

pantai dan sesuai dengan kontur kedalaman. Pencatatan ikan karang dilakukan sepanjang 50 meter dengan jarak 2,5 meter ke kiri dan kanan pencatat. Terumbu karang alami yang diamati adalah yang berada pada kedalaman 15 meter.

3.4.2 Metode pengoperasian bubu tambun

Metode pengoperasian bubu tambun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut:

1) Persiapan

Setelah bubu tambun telah siap digunakan, sebelum dilakukan penangkapan. Bubu tersebut di rendam terlebih dahulu selama 2 minggu pada perairan dengan kedalaman 1 meter, dengan tujuan agar di bubu tersebut akan terdapat organism-organisme kecil yang akan berguna dalam proses selanjutnya. Setelah itu dilakukan persiapan meliputi persiapan alat tangkap, persiapan alat bantu penangkapan, persiapan kapal perikanan, dan persiapan perbekalan. Persiapan alat tangkap diataranya menyiapkan bubu yang akan dioperasikan.

Persiapan alat bantu penangkapan dilakukan dengan menyiapkan alat bantu penangkapan berupa kaca mata renang, ganco,dan dongdang. Persiapan kapal perikanan meliputi pembelian bahan bakar kapal dan pengecekan kondisi kapal. Adapun persiapan perbekalan meliputi persiapan makanan dan minuman yang diperlukan selama operasi penangkapan dilakukan. Setelah tahap persiapan dilakukan, selanjutnya pergi ke fishing ground.


(39)

ϯϳ

2) Pemasangan bubu (setting)

Bubu diletakkan di dasar perairan tanpa menggunakan pelampung tanda. Pemasangan bubu dilakukan dengan cara menimbun bagian sisi-sisi bubu menggunakan karang mati. Hal ini dimasudkan agar ikan menganggap bahwa bubu tersebut merupakan gugusan karang, sehingga ikan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Posisi mulut bubu ketika dipasang menghadap ke arah daratan. Hal ini bertujuan agar ikan yang melakukan ruaya pasang surut dapat masuk ke dalam bubu. Bubu tambun dipasang pada kedalam 17 meter dan pemasangan bubu dilakukan pada pagi hari. Pemasangan bubu berlangsung selama kurang lebih 3 – 5 menit per bubu. Proses pemasangan bubu dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Proses pemasangan (setting) bubu

3) Perendaman bubu (soaking)

Perendaman bubu dilakukan kurang lebih selama 24 jam. Selama proses perendaman, bubu tersebut ditinggalkan di perairan. Selanjutnya nelayan kembali ke fishing base untuk beristirahat di rumah atau melakukan penanaman

transplantasi karang. Selain itu, bagi nelayan yang memiliki tambak kerapu, setelah pulang memasang bubu biasanya nelayan tersebut memberi makan ikan kerapu

4) Pengangkatan bubu (hauling)

Pengangkatan bubu dilakukan pada pagi hari setelah bubu direndam selama sehari semalam. Proses pengangkatan bubu diawali dengan menyingkirkan batu karang yang digunakan untuk menimbun bubu. Proses pengangkatan bubu

berlangsung selama kurang lebih 3 – 5 menit per bubu. Setelah bubu diangkat, kemudian pintu bubu dibuka untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Hasil


(40)

ϯϴ

tangkapan kemudian dimasukkan ke dalam kantong kresek untuk memudahkan dalam proses identifikasi dan pendataan ikan, setelah itu ikan hasil tangkapan diukur panjang dan ditimbang bobot ikan. Proses pengangkatan bubu (hauling)

dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Proses pengangkatan (hauling) bubu

3.5 Analisis Data

3.5.1 Indeks Keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C)

1) Indeks keanekaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman (H’) adalah ukuran kekayaan jenis komunitas ikan

karang dilihat dari jumlah spesies dalam suatu kawasan berikut jumlah individu dalam setiap spesiesnya. Tingginya keanekaragaman menunjukkan suatu ekosistem yang seimbang dan memberikan peranan yang besar untuk menjaga keseimbangan terhadap kejadian yang merusak ekosistem dan suatu spesies dibandingkan spesies lain. Ekosistem yang tidak seimbang akan mempengaruhi pakan sehingga jika pakan tidak tersedia maka keseimbangan cenderung akan terancam (Krebs, 1972 yang diacu dalam Alfian, 2005). Nilai indeks keanekaragaman (H’) menunjukkan distribusi

individu-individu antar spesies ikan dalam komunitasnya. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman, menunjukkan keseimbangan makin baik. Untuk perhitungan digunakan indeks Shanon-Wiener (persamaan 1) :

ܪᇱൌ െ ෍ ݌݅ Ž ݌݅

௜ୀଵ


(41)

ϯϵ

Keterangan :

H’ : Indeks keanekargaman Shanon-Wiener

s : Jumlah spesies ikan karang; dan

pi : Proporsi jumlah ikan karang spesies ke-i terhadap jumlah total

ikan karang pada stasiun pengamatan.

Kisaran indeks keanekaragaman diklasifikasikan untuk ikan karang adalah :

H’ 2 : Keanekaragaman kecil, tekanan lingkungan kuat;

2< H’ 3 : Keanekaragaman sedang, tekanan lingkungan sedang; dan H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem.

2) Indeks keseragaman (E)

Untuk mengukur keseimbangan komunitas digunakan indeks keseragaman populasi (E), yaitu ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu

komunitas. Perhitungan keseragaman (E) berdasarkan persamaan 2:

E

=

ுᇱ

ுᇲ୫ୟ୶ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ Ǥ ‡”•ƒƒƒሺʹ ሻ Keterangan :

E : Indeks keseragaman;

H’max : Indeks keanekaragaman komunitas : ln S; dan

S : Jumlah spesies dalam komunitas.

Nilai indeks keseragaman antara 0 – 1 dengan criteria sebagai berikut : 0 < E ” 0,5 : Keseragaman kecil, komunitas tertekan

0,5 < E ” 0,75 : Keseragaman sedang, komunitas labil; dan 0,75 < E” 1 : Keseragaman tinggi, komunitas stabil.

Dari kisaran nilai ini terlihat semakin kecil nilai indeks keseragaman (E),

semakin kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan populasi didominasi oleh jenis organisme tertentu. Begitu pula sebaliknya, semakin besar nilai E maka populasi

tersebut menunjukkan keseragaman yang tinggi, yaitu jumlah individu setiap jenis dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda.


(42)

ϰϬ

Apabila indeks dominansi suatu komunitas tinggi maka komunitas tersebut cenderung labil. Rumus yang digunakan adalah berdasarkan persamaan 3 :

ܥ ൌ ෍ ݌݅ଶ ௦ ௜ୀଵ

ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ ǥ Ǥ Ǥ Ǥ ǥ ǥ Ǥ ‡”•ƒƒƒሺ͵ሻ Keterangan :

C : Indeks dominansi; dan

pi2 : Proporsi jumlah ikan karang spesies ke-i terhadap jumlah total ikan

karang pada stasiun pengamatan

Indeks dominansi berkisar antara 0 – 1, apabila nilai mendekati 1 maka ada kecenderungan satu individu mendominansi yang lainnya. Kisaran indeks diklasifikasikan sebagai berikut :

0 < C” 0,5 : Dominansi rendah; 0,5 < C” 0,75 : Dominansi sedang; dan 0,75 < C” 1 : Dominansi tinggi.

3.5.2 Analisis panjang dan berat ikan

Untuk mengetahui kondisi morfometrik ikan yang tertangkap secara temporal digunakan model pertumbuhan dengan analisis hubungan panjang dan berat ikan. Persamaan umum yang digunakan adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta). Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L dengan dasar perhitungannya berdasarkan regresi. Nilai a dan b harus ditentukan dari persamaan tersebut, sedangkan nilai W (berat ikan) dan L (panjang ikan) diperoleh dari hasil pengukuran (Effendie, 1979). Analisis panjang dan berat ikan ini dilakukan menggunakan Microsoft Excel.

Nilai b diuji terhadap nilai b=3 menggunakan uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai b sebagai penduga kedekatan hubungan antara panjang dan berat dengan kriteria:

1) Nilai b = 3, merupakan hubungan yang isometrik (pertambahan berat seimbang dengan pertambahan panjang);

2) Nilai b > 3, merupakan hubungan alometrik positif (pertambahan berat lebih besar dari pertambahan panjang);


(43)

ϰϭ

3) Nilai b < 3, merupakan hubungan alometrik negatif (pertambahan berat lebih kecil dari pertambahan panjang).

3.5.3 Analisis perbandingan hasil tangkapan

Data jumlah, panjang dan berat hasil tangkapan diuji kenormalannya dengan menggunakan Uji Chi Square test pada software SPSS Package (Santoso, 1999). Bila

data yang didapat menyebar secara normal, maka akan dilakukan analisis data menggunakan Uji-F, tetapi bila data tidak menyebar normal, maka akan dilakukan analisis data non parametrik menggunakan uji Kruskall Wallis. Hipotesis untuk Uji Chi Square test yaitu:

H0: Jumlah hasil tangkapan menyebar normal. H1: Jumlah hasil tangkapan tidak menyebar normal. Dasar pengambilan keputusan:

Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima. Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak.

3.5.4 Analisis tingkat kematangan gonad

TKG (Tingkat Kematangan Gonad) menunjukkan suatu tingkatan kematangan seksual ikan. Sebagian besar hasil metabolisme digunakan selama fase perkembangkan gonad. Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina sebesar 10-25% dari berat tubuh, sedangkan untuk ikan jantan berkisar antara 5-10%. Dalam mencapai kematangan gonad, dapat dibagi dalam beberapa tahapan. Secara umum tahap tersebut adalah akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Ukuran ikan saat pertama kali matang gonad (length at first maturity, Lm)

bergantung pada pertumbuhan ikan itu sendiri dan faktor lingkungan.

Pembagian tahap kematangan gonad dilakukan dalam dua cara, yakni analisis laboratorium dan pengamatan visual. Cara yang umum digunakan ialah metode pengamatan visual berdasarkan ukuran dan penampakan gonad, sebagai catatan metode ini bersifat subyektif.


(44)

ϰϮ

Indikator pembagian tahapan kematangan gonad dengan cara visual ialah (Effendie, 2002):

1) Ukuran gonad dalam menempati rongga badan (kecil, 1/4 bag, 1/2 bag, 3/4 bag atau penuh);

2) Berat gonad segar (ditimbang); 3) Penampakan: warna gonad;

4) Penampakan butiran telor (ovarium) utk ikan betina 5) Ada tidaknya pembuluh darah, dan lain-lain.

Karena sifatnya yang subyektif, sering terjadi perbedaan tahap TKG baik karena perbedaan observer maupun perbedaan waktu. Sebagai acuan standar, umum digunakan 5 tahap TKG (Five stage of visual maturity stage for partial spawning fishes), yakni:

1) TKG I (immature, dara);

2) TKG II (developing, dara berkembang);

3) TKG III (maturing/ripening, pematangan);

4) TKG IV (mature/ripe/gravid, matang);

5) TKG V (spent, salin).

Ikan betina dan jantan memiliki ciri-ciri atau karakteristik tingkat kematangan gonad yang berbeda tiap tingkatan. Berikut disajikan karakteristik tingkat kematangan gonad (Tabel 1).

Tabel 1 Tingkat kematangan gonad ikan

Tingkat Betina Jantan

I Ikan muda

Gonad seperti sepasang benang yang

memanjang pada sisi lateral rongga peritoncum bagian depan, berwarna bening dan permukaan licin.

Gonad berupa sepasang benang tetapi jauh lebih pendek dibandingkan ovarium ikan betina pada stadium yang sama dan berwarna jernih.

II Masa Perkembangan

Gonad berukuran lebih besar, berwarna putih kekuningan, telur-telur belum bisa dilihat satu persatu dengan mata telanjang

Gonad berwarna putih susu dan terlihat lebih besar dibandingkan pada gonad tingkat I III Dewasa

Gonad mengisi hampir setengah rongga perintoncum, telur-telur mulai terlihat dengan mata telanjang berupa butiran halus, gonad berwarna kuning kehijauan.

Gonad mengisi hampir setengah dari rongga peritoncum. Berwarna putih susu dan mengisi sebagian besar peritoncum


(45)

ϰϯ

Tingkat Betina Jantan

IV Matang

Gonad mengisi sebagian besar ruang perintocum. Warna menjadi hijau kecoklatan dan lebih gelap. Telur-telur jelas terlihat dengan butiran-butiran yang jauh lebih besar

dibandingkan pada tingkat III

Gonad makin besar dan pejal berwarna putih susu dan mengisi sebagian besar peritoncum

V Mijah

Gonad masih seperti tingkat IV, sebagian gonad kemps karena sebagian telur telah mengalami oviposisi (mijah)

Gonad bagian anal telah kosong dan lebih lembut

Sumber : Siregar 1991


(46)

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta Utara, Propinsi DKI Jakarta. Secara geografis Kelurahan Pulau Panggang terletak antara 05°44’19” LS - 05°45’05” LS dan antara 106°36’35” BT - 106°37’07” BT (Lampiran 1).

Batas-batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah :

• di sebelah utara : wilayah perairan Kelurahan Pulau Kelapa;

• di sebelah selatan : wilayah perairan Kelurahan Pulau Untung Jawa; • di sebelah barat : wilayah perairan Kelurahan Pulau Tidung;

• di sebelah timur : wilayah perairan Jawa Barat.

Kelurahan Pulau Panggang terdiri atas 13 pulau dimana 2 pulau diantaranya adalah pusat pemukiman, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Luas Pulau Pramuka mencapai sekitar 30,08 hektar dengan tingkat kepadatan sedang (80 org/ha). Topografi Pulau Pramuka merupakan tanah dataran rendah dengan ketinggian antara 1-2 m diatas permukaan laut.

Pulau Pramuka masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu dan termasuk kedalam Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Pulau Pramuka merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Utara.

Pulau Pramuka didiami oleh 1625 jiwa yang tergabung dalam 457 KK. Profesi penduduk sebagian besar adalah nelayan (sekitar 85 %); sisanya adalah sebagai PNS dan wirausahawan. Penduduk pulau ini merupakan masyarakat pendatang dari Jawa Barat, Jakarta, Makasar dan Sumatera, sehingga masyarakat pulau ini bersifat multikultural (Ditjen, PHPA 2003; BPS, 2006). Secara terperinci, pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara beserta luasnya disajikan dalam Tabel 2.


(47)

Tabel 2 Luas pulau beserta peruntukkan di Kelurahan Pulau Panggang

No. Nama Pulau Peruntukkan Luas (ha) Persentase (%) 1. Pulau Opak Kecil Peristirahatan 1,10 1,77 2. Pulau Karang Bongkok Peristirahatan 0,50 0,81

3. Pulau Kotok Kecil Perlindungan hutan umum 1,30 2,09 4. Pulau Kotok Besar Pariwisata 20,75 33,41

5. Pulau Karang Congkak Peristirahatan 0,60 0,97 6. Pulau Gosong Pandan Peristirahatan 0,00 0,00 7. Pulau Semak Daun Perlindungan hutan dan

pelestarian alam

0,75 1,21 8. Pulau Panggang Pemukiman 9,00 14,49

9. Pulau Karya Perkantoran 6,00 9,66 10. Pulau Pramuka Pemukiman 16,00 25,77 11. Pulau Gosong Sekati Peristirahatan 0,20 0,32 12. Pulau Air Peristirahatan 2,90 4,67 13. Pulau Peniki Mercusuar 3,00 4,83

Total 62,10 100,00

Sumber: Data Laporan Tahunan Pemerintahan Kelurahan Pulau Panggang 2011

4.2 Karakteristik Kependudukan Pulau Pramuka

Penduduk yang berada di Pulau Pramuka sebagian besar merupakan penduduk bersuku orang pulau. Namun sebenarnya ada beberapa diantara penduduk yang berasal dari suku betawi, Suku Bugis, Suku Jawa, dan Suku Sunda yang berasal dari Banten. Sebagian besar dari mereka menganut ajaran Islam. Keberagaman suku ini memperngaruhi cara berkomunikasi yang berbeda dengan kombinasi dari bahasa Melayu, Bahasa Betawi, dan beberapa kata berasal dari Bahasa Bugis, Bahasa Jawa, dan Bahasa Sunda. Kombinasi bahasa tersebut membentuk bahasa yang disebut sebagai bahasa pulau (Napitulu et al, 2005 diacu dalam FDC IPB, 2010).

4.3 Keadaan Perairan

Konfigurasi dasar perairan Pulau Pramuka relatif datar dengan sedikit cekungan. Kedalaman rata-rata pada rataan terumbu di sekeliling pulau bervariasi antara 1 sampai dengan 5 m. Kedalaman laut di luar rataan terumbu bervariasi antara 20


(48)

sampai dengan 40 m. Rataan terumbu membentang di sekeliling pulau sampai dengan jarak 500 m dari garis pantai.

Ada tiga musim yang mempengaruhi kondisi perairan Pulau Pramuka, yaitu musim angin barat, musim angin timur dan musim peralihan. Musim angin barat berlangsung dari bulan Desember sampai pertengahan bulan Maret. Pada musim ini angin bertiup kencang dari arah barat ke timur, dengan arus kuat disertai hujan cukup deras. Kondisi ini mengakibatkan perairan keruh. Kecepatan arus rata-rata pada musim barat di Kepulauan Seribu adalah 0,13-0,17 m/s. Keadaan angin bervariasi dengan kecepatan antara 7-20 knot (Ditjen PHPA, 2003; Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta, 1998; Effendi, 1993).

Musim angin timur berlangsung dari bulan Juni hingga September. Angin bertiup kencang dari arah timur ke barat yang disertai dengan arus laut sedang. Pada musim timur hujan jarang turun sehingga air laut jernih. Kecepatan angin bervariasi antara 7-15 knot. Musim peralihan berlangsung pada bulan Maret sampai dengan Mei dan bulan September sampai dengan November. Karakter angin dan gelombang relatif lemah dan kondisi perairan tidak keruh. Penelitian ini dilaksanakan dalam periode musim peralihan. Berikut data parameter fisika dan kimia di Pulau Pramuka pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan Pulau Pramuka Parameter Kriteria Habitat Pulau Pramuka Fisika

Suhu (0C) 28-30 29-31

Kedalaman (cm) - 31-95

Kecerahan (%) - 100

Kimia

Salinitas (PSU) 10-45 27-30

pH 7,8-8,5 7,5-8,0

DO (mg/l) - 9,64

Nitrat (mg/l) - 0,088-0,249

Orthofosfat (mg/l) - 0,018-0,041 Sumber: Apramilda 2011

4.4 Kondisi Penangkapan Ikan 4.4.1 Unit penangkapan ikan


(49)

Sesuai dengan kondisi perairan yang relatif berkarang, kegiatan penangkapan ikan di Pulau Pramuka didominasi oleh unit penangkapan ikan yang ditujukan untuk ikan karang dan pelagis. Nelayan Pulau Pramuka berasal dari daerah Bugis, Tangerang dan Palembang. Latar belakang budaya pun bercampur baur sehingga menciptakan corak budaya tersendiri. Nelayan Pulau Pramuka umumnya bekerja sebagai nelayan penuh kecuali nelayan bubu sedang (bubu karang). Nelayan jaring, pancing dan bubu selat (bubu besar) umumnya melaut hampir sepanjang tahun kecuali pada musim barat. Dengan demikian nelayan Pulau Pramuka umumnya melaksanakan kegiatan penangkapan ikan sekitar 8 (delapan) bulan dalam satu tahun, yaitu mulai dari bulan April sampai dengan November.

Kapal yang digunakan dalam penelitian ini (Gambar 19) adalah kapal dengan ukuran panjang 9 meter, lebar 2 meter dan mempunyai besar tenaga 3GT (Gross tonnage).

Gambar 19 Kapal yang digunakan pada penelitian

Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki kapal dan alat tangkap sendiri. Nelayan pemilik alat tangkap pancing dan bubu sedang, mengoperasikan sendiri alat tangkap yang dimilikinya. Nelayan pemilik payang, muroami, jaring gebur dan bubu besar, mengoperasikan alat tangkap dan mempekerjakan nelayan lain untuk membantu dalam pengoperasian alat tangkap. Nelayan buruh untuk setiap alat tangkap tidak dapat dipastikan jumlahnya, karena selalu berpindah pemilik dan alat tangkap. Upah nelayan buruh ditetapkan dengan cara bagi hasil untuk semua alat tangkap yang mempekerjakan nelayan buruh.


(50)

4.4.2 Musim penangkapan ikan

Musim penangkapan ikan di Pulau Pramuka dipengaruhi oleh musim yang berlangsung di laut. Umumnya nelayan melaut pada musim peralihan (Maret- awal Mei) dan musim timur (Mei-November). Pada musim peralihan, kondisi perairan tenang, sehingga semua nelayan dari semua alat tangkap pergi melaut. Musim ini dianggap nelayan sebagai musim yang ideal, karena resiko kegagalan yang disebabkan oleh kondisi alam sedikit sekali. Nelayan juga intensif menangkap ikan untuk persiapan tidak melaut pada musim barat.

Pada musim timur, nelayan pergi melaut walaupun intensitasnya tidak sesering pada musim peralihan. Hal ini disebabkan hembusan angin yang cukup kencang walaupun arus relatif tenang. Kondisi tersebut berbahaya untuk nelayan pancing yang menggunakan perahu dengan alat bantu layar. Pada musim barat, nelayan lebih memilih tinggal di rumah, karena kondisi perairan berangin kencang dan berombak besar, serta arus yang kuat. Kondisi seperti ini membahayakan keselamatan nelayan dan juga kesuksesan operasi penangkapan, karena arus yang kuat menyebabkan alat tangkap hanyut dan terbelit saat dioperasikan. Nelayan umumnya mengoperasikan bubu karang pada saat ada kesempatan atau waktu luang dan kondisi cuaca yang “teduh”, dalam arti arus dan ombak tenang.

4.4.3 Daerah penangkapan dan hasil tangkapan

Jarak daerah penangkapan ikan tergantung alat yang dioperasikan dan kekuatan kapal yang digunakan. Nelayan akan mengoperasikan alat tangkap dengan tujuan penangkapan ikan pelagis di perairan terbuka dengan kedalaman lebih dari 20 m. Nelayan akan mengoperasikan alat tangkap dengan tujuan ikan karang di daerah terumbu karang dengan kedalaman kurang dari 20 m.

Hasil tangkapan utama nelayan Pulau Pramuka berupa ikan-ikan karang seperti kerapu (Epinephelus sp), ekor kuning (Caesio sp), lencam, beronang (Siganus sp),

selar, tongkol, layang, kembung dan bermacam ikan hias. Beberapa hasil tangkapan berupa ikan karang dan pelagis, didaratkan di Muara Angke dan Muara Baru. Beberapa nelayan memilih mendaratkan hasil tangkapannya di Pulau Pramuka,


(1)

Lanjutan Lampiran 6

Setting ke-4

Waktu setting

: 12 April 2012, pukul 16.15

Lama setting

: 1 jam 10 menit

Waktu hauling

: 12 April 2012, pukul 14.00

Kondisi perairan

: Arus Tenggara

No Nama Lokal Ikan Nama Ilmiah

Panjang (cm)

Berat (gram)

1 Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 16 85

2 betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 14 62

3 betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 16 101

4 Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 14 87

5 Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 7.8 13

6 Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 6.9 11

7 Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 7 14

8 Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 7.9 15

9 Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 8 15

10 Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 8 15

11 kepe-kepe Chaetodon octofasciatus 12.5 66

12 kepe-kepe Chaetodon octofasciatus 11.2 44

13 kepe-kepe Chaetodon octofasciatus 12.7 44

14 kepe-kepe Chaetodon octofasciatus 14 84

15 Kenari merah Cheilinus fasciatus 16 67

16 Kenari merah Cheilinus fasciatus 20.2 127

17 Kenari merah Cheilinus fasciatus 17 77

18 Kenari merah Cheilinus fasciatus 17 64

19 Kenari merah Cheilinus fasciatus 20 98

20 Kenari merah Cheilinus fasciatus 18.5 97

21 Kenari merah Cheilinus fasciatus 15 71

22 kakatua merah Scarus niger 20 97

23 kakatua merah Scarus niger 16 72

24 Kerapu Lada Ephinephelus merra 22.5 162


(2)

Lanjutan Lampiran 6

Setting ke-5

Waktu setting

: 27 April 2012, pukul 09.15

Lama setting

:

60

menit

Waktu hauling

: 28 April 2012, pukul 13.17

Kondisi perairan

: Arus Barat

Catatan

: Bubu ke-3 hilang dikarenakan sehari sebelum

hauling arus dalam air sangat kencang

No Nama Lokal Ikan Nama Ilmiah Panjang (cm) Berat (gram)

1 Betok susu Dischitodus perspicillatus 13 74

2 Betok susu Dischitodus perspicillatus 13 67

3 Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 16 77

4 betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 14 80

5 Kenari merah Cheilinus fasciatus 14 69

6 Kenari merah Cheilinus fasciatus 21 90

7 Triger Rhinecanthus aculeatus 19 102

8 Triger Rhinecanthus aculeatus 20 114

9 Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 6.5 11.6


(3)

Lampiran 7 Hasil tangkapan serta nilai TKG

Nama

Lokal Ikan

Nama Ilmiah

Panjang (cm)

Berat

(gram) TKG

Betok susu Dischitodus perspicillatus 15 82 3

Betok susu Dischitodus perspicillatus 15 81 3

Betok susu Dischitodus perspicillatus 14 71 2

Betok susu Dischitodus perspicillatus 12.9 65 1

Betok susu Dischitodus perspicillatus 17 129 3

Betok susu Dischitodus perspicillatus 15.4 112 3

Betok susu Dischitodus perspicillatus 14 78 2

Betok susu Dischitodus perspicillatus 12.5 72 2

Betok susu Dischitodus perspicillatus 15.3 83 2

Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 15 82 3

Kenari merah Cheilinus fasciatus 15.3 75 1

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 11 52 1

Triger Rhinecanthus aculeatus 13.7 77 3

Kepiting batu Atergratis floridus - 290 -

Swanggi Sargocentron rubrum 13.7 57 2

sersan mayor Abudeduf bengalensis 10.3 43 2

Kerapu Lada Ephinephelus merra 18.9 132 2

Kerondong Gymnothorax javanicus 125 900 -

Betok susu Dischitodus perspicillatus 13 74 2

Betok susu Dischitodus perspicillatus 13 74 1

Betok susu Dischitodus perspicillatus 13.5 74 2

Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 16 85 3 Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 14 76 1 Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 15.2 83 1

Kenari merah Cheilinus fasciatus 14 75 2

Kenari merah Cheilinus fasciatus 21 93 1

Kenari merah Cheilinus fasciatus 28 111 2

Triger Rhinecanthus aculeatus 19 89 3

Triger Rhinecanthus aculeatus 20 97.3 3

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 6.5 12 1

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 6.5 11.6 1

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 7 13 1

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 8.3 15.6 1

kakatua merah Scarus niger 20 89 4

kakatua merah Scarus niger 24.5 94.3 3

Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 16 85 1 betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 14 62 1 betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 16 101 2 Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 14 87 1


(4)

Nama Lokal Ikan

Nama Ilmiah

Panjang (cm)

Berat

(gram) TKG

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 6.9 11 1

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 7 14 1

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 7.9 15 1

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 8 15 1

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 8 15 2

kepe-kepe Chaetodon octofasciatus 12.5 66 4

kepe-kepe Chaetodon octofasciatus 11.2 44 1

kepe-kepe Chaetodon octofasciatus 12.7 44 2

kepe-kepe Chaetodon octofasciatus 14 84 2

Kenari merah Cheilinus fasciatus 16 67 1

Kenari merah Cheilinus fasciatus 20.2 127 3

Kenari merah Cheilinus fasciatus 17 77 1

Kenari merah Cheilinus fasciatus 17 64 1

Kenari merah Cheilinus fasciatus 20 98 3

Kenari merah Cheilinus fasciatus 18.5 97 3

Kenari merah Cheilinus fasciatus 15 71 1

kakatua merah Scarus niger 20 97 3

kakatua merah Scarus niger 16 72 3

Kerapu Lada Ephinephelus merra 22.5 162 2

Kerapu Macan Ephinephelus fuscoguttatus 19 97 1

Betok susu Dischitodus perspicillatus 13 74 1

Betok susu Dischitodus perspicillatus 13 67 1

Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 16 77 2 Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus 14 80 1

Kenari merah Cheilinus fasciatus 14 69 1

Kenari merah Cheilinus fasciatus 21 90 2

Triger Rhinecanthus aculeatus 19 101.2 2

Triger Rhinecanthus aculeatus 20 102 1

Marmut Chaetodontoplus mesoleucus 6.5 11.6 1

Kerondong Gymnothorax javanicus 158 1700 -


(5)

Lampiran 8 Grafik hubungan panjang dan berat ikan hasil tangkapan

Ϭ ϭϬ ϮϬ ϯϬ ϰϬ ϱϬ ϲϬ ϳϬ ϴϬ ϵϬ ϭϬϬ

Ϭ Ϯ͘ϱ ϱ ϳ͘ϱ ϭϬ ϭϮ͘ϱ ϭϱ ϭϳ͘ϱ ϮϬ ϮϮ͘ϱ Ϯϱ

ĞƌĂ ƚ ŝŬ Ă Ŷ ;ǁͿ WĂŶũĂŶŐŝŬĂŶ;>Ϳ

Triger

Ϭ ϮϬ ϰϬ ϲϬ ϴϬ ϭϬϬ ϭϮϬ

Ϭ Ϯ͘ϱ ϱ ϳ͘ϱ ϭϬ ϭϮ͘ϱ ϭϱ

ĞƌĂ ƚ ŝŬ Ă Ŷ ;t Ϳ WĂŶũĂŶŐŝŬĂŶ;>Ϳ

Betok hitam

Ϭ ϭϬ ϮϬ ϯϬ ϰϬ ϱϬ ϲϬ

Ϭ Ϯ͘ϱ ϱ ϳ͘ϱ ϭϬ ϭϮ͘ϱ ϭϱ

ĞƌĂ ƚ ŝŬ Ă Ŷ ;t Ϳ WĂŶũĂŶŐŝŬĂŶ;>Ϳ

Marmut

Ϭ ϮϬ ϰϬ ϲϬ ϴϬ ϭϬϬ ϭϮϬ ϭϰϬ

Ϭ Ϯ͘ϱ ϱ ϳ͘ϱ ϭϬ ϭϮ͘ϱ ϭϱ ϭϳ͘ϱ ϮϬ ϮϮ͘ϱ Ϯϱ

ĞƌĂ ƚ ŝ ŬĂ Ŷ;t Ϳ WĂŶũĂŶŐŝŬĂŶ;>Ϳ

Betok susu

Ϭ ϮϬ ϰϬ ϲϬ ϴϬ ϭϬϬ ϭϮϬ ϭϰϬ

Ϭ Ϯ͘ϱ ϱ ϳ͘ϱ ϭϬ ϭϮ͘ϱ ϭϱ ϭϳ͘ϱ ϮϬ ϮϮ͘ϱ Ϯϱ

ĞƌĂ ƚ ŝŬ Ă Ŷ ;t Ϳ WĂŶũĂŶŐŝŬĂŶ;>Ϳ

Kenari merah


(6)