Kemunduran dan Keruntuhan Dawlah 'Abbasiyah

3. Kemunduran dan Keruntuhan Dawlah 'Abbasiyah

Walaupun Dawlah „Abbasiyah ini runtuh pada akhir Periode Kelima tahun 656 H / 1258 M, namun sebenarnya dawlah ini telah mengalami masa kemunduran sejak periode keduanya. Kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba, benih-benihnya sebenarnya sudah terlihat pada periode pertama. Namun karena para khalifah pada periode ini sangat kuat, maka benih-benih itu tidak sempat berkembang.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyebab kemunduran Dawlah „Abbasiyah ini adalah :

a. Kelemahan Para Khalifah

Kelemahan para khalifah menjadi sebab utama dari kemunduran dawlah ini, Dalam sejarah Dawlah 'Abbasiyah terlihat dengan jelas, apabila khalifahnya kuat dan berwibawa, maka para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai yang patuh dan ta'at, tetapi jika khalifah lemah, maka merekalah yang berkuasa mengatur roda pemerintahan.

Ketika wibawa khalifah merosot tajam itu, dengan sendirinya muncullah tokoh-tokoh di daerah-daerah, yang kemudian memerdekan diri dari kekuasaan pusat dan mendirikan dinasti-dinasti kecil. Inilah permulaan masa desintegrasi dalam sejarah politik Islam. Desintegrasi dalam bidang politik ini sebenarnya sudah mulai terjadi pada akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi perlu dilihat adanya perbedaan antara pemerintahan Dawlah Bani Umayyah dengan pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah. Wilayah kekuasaan Dawlah Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah. Kekuasaan dawlah ini sejak semula tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakannya bersifat nominal saja. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur propinsi yang Ketika wibawa khalifah merosot tajam itu, dengan sendirinya muncullah tokoh-tokoh di daerah-daerah, yang kemudian memerdekan diri dari kekuasaan pusat dan mendirikan dinasti-dinasti kecil. Inilah permulaan masa desintegrasi dalam sejarah politik Islam. Desintegrasi dalam bidang politik ini sebenarnya sudah mulai terjadi pada akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi perlu dilihat adanya perbedaan antara pemerintahan Dawlah Bani Umayyah dengan pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah. Wilayah kekuasaan Dawlah Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah. Kekuasaan dawlah ini sejak semula tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakannya bersifat nominal saja. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur propinsi yang

Selain Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti, selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pemberontakan-pemberontakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar, mereka melepaskan diri dari kekuasaan khalifah, beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.

Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan 'Abbasiyah mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Apalagi pada periode pertama pemerintahan Abbasiyah sudah muncul

fanatisme kebangsaan berupa gerakan Syu‟ubiyah (kebangsaan / anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Namun para khalifah nampaknya tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun sudah dirasakan pada hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusateraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menhapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.

b. Tidak Adanya Persatuan Yang Kuat

Khilafah 'Abbasiyah didirikan oleh Bani 'Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan ini dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu, yang sama- sama tertindas pada masa kekuasaan Dawlah Bani Umayyah. Setelah khilafah 'Abbasiyah berdiri, Dawlah 'Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewka, ada dua sebab mengapa Dawlah 'Abbasiyah memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab unuk dapat melupakan Bani Umayyah, karena pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah kesukuan.

Meskipun demikian, orang-orang Persia ini tidak merasa puas, karena mereka menginginkan sebuah dinasti dan raja dari Persia dengan pegawai orang Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.

Selain itu, wilayah kekuasaan Dawlah „Abbasiyah pada Periode Pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Marokko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki Selain itu, wilayah kekuasaan Dawlah „Abbasiyah pada Periode Pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Marokko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki

c. Persaingan Antar Bangsa

Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khilafah 'Abbasiyah berdiri. Tetapi, karena para khalifah pada waktu itu adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, maka stabilitas poltik dapat terjaga. Namun setelah al Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki tidak terbendung lagi.

Pilihan khalif ah al Mu‟tashim terhadap unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatar-belakangi oleh adanya persangan antara golongan Arab dan Persia yang terjadi pada masa al Ma‟mun. Sebelumnya telah terjadi pula perebutan kekuasaan antara al Amin dan al Makmun, yang dilatar-belakangi dan diperhebat oleh persaingan antara golongan Arab yang mendukung al Amin dan golongan Persia yang mendukung al Ma‟mun. Masuknya unsur Turki dalam pemerintahan 'Abbasiyah ini semakin menambah persaingan antar bangsa tersebut. Al Mu‟tashim dan khalifah sesudahnya al Watsiq masih mampu mengendalikan

mereka. namun khalifah al Mutawakkil yang menggantikan al Watsiq adalah khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat, bahkan mereka kemudian membunuh Khalifah al Mutawakkil. Setelah itu, mereka pullah yang memilih dan mengangkat khalifah. Sejak masa itu, Dawlah „Abbasiyah dapat

dikatakan sudah berakhir; kekuasaan tidak lagi berada di tangan mereka, meskipun mereka masih tetap memegang jabatan khalifah. Kekuasaan yang berada di tangan orang-orang Turki ini kemudian direbut oleh Bani Buwayh Bangsa Persia, dan selanjutya beralih pula ke tangan Dinasti Turki Saljuk sebagaimana diuraikan di atas.

d. Konflik Keagamaan

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan .Karena cirta-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekcewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan nama gerakan Zindiq ini sebenarnya telah diantisipasi oleh para khalifah.

Al Manshur telah berusaha keras memberantasnya, sedangkan al Mahdiy bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberanta s bid‟ah. Akan tetapi, semuanya itu tidak dapat menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum yang beriman dengan golongan zindiq ini mulai terjadi dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik besenjata yang menumpahkan darah kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah menjadi contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi‟ah, sehingga banyak aliran Syi‟ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap

menyimpang oleh penganut Syi‟ah sendiri. Aliran Syi;ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahl al Sunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik, yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam al Husayn di Karbela dihancurkan. namun anaknya al Muntashir

kembali memperkenankan oang Syi‟ah menziarahi makam tersebut.