Dawlah 'Abbasiyah (132 - 656 H / 749 - 1258 M)

6. Dawlah 'Abbasiyah (132 - 656 H / 749 - 1258 M)

a. Latar Belakang Berdirinya Dawlah 'Abbasiyah

Nama Dawlah 'Abbasiyah dinisbahkan kepada al 'Abbas ibn 'Abd al Muthallib paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri kerajaan 'Abbasiyah ini ialah Abu al 'Abbas 'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Ali ibn 'Abdullah ibn al 'Abbas, yang lebih terkenal dengan gelar al Saffah.

Pada hakikatnya, latar belakang berdirinya pemerintahan 'Abbasiyah sangat erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang dilancarkan oleh golongan Syi'ah terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Golongan Syiah merasa tidak senang atas kebijaksanaan pemerintahan Bani Umayyah, karena telah mendiskreditkan mereka dari masyarakat umum.

Hal ini bertambah meningkat setelah terjadinya pembunuhan al Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib di Karbela. Namun kaum Syi'ah sendiri pecah menjadi beberapa kelompok, dan kelompok yang paling banyak pendukungnya adalah kelompok yang dipimpin oleh Muhammad ibn 'Ali ibn Abi Thalib, yang lebih terkenal dengan sebutan Muhammad ibn al Hanafiyah.

Pada mulanya gerakan oposisi ini memakai nama Bani Hasyim, belum menunjukkan nama Syi;ah ataupun Bani 'Abbas, agar lebih banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Bani Hasyim terdiri dari keturunan 'Ali bin Abi Thalib dan 'Abbas ibn 'Abd al Muthallib. Kedua keturunan ini telah menjalin kerjasama untuk menjatuhkan Dawlah Bani Umayyah. Gerakan mereka ini dilaksanakan melalui dua tahap, yakni gerakan secara rahasia dan diam- diam serta gerakan secara terang-terangan dan terbuka.

b. Periodesasi Pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah

Dalam perkembangannya, pemerintahan Dawlah Abbasiyah ini dibedakan oleh para ahli sejarah dalam beberapa periode.

Ali Mufradi (1997 : 89) membaginya menjadi tiga periode, yakni Periode Pertama tahun 132 - 232 H, Periode Kedua tahun 233 - 590 H, dan Periode Ketiga tahun 590 - 656 H. Dalam periode pertama, kedudukan para khalifah 'Abbasiyah sangat kuat, ditopang oleh para ulama besar yang saling bersilaturrahmi dan mengeluarkan fatwa serta banyak beritjtihad dan semua wilayah kekuasaan Islam berada di tangan Dawlah 'Abbasiyah, kecuali Andalusia yang berada di bawah Dawlah Bani Umayyah. Dalam periode kedua, kekuasaan berada di tangan orang-orang Persia dan Turki, yakni Bani Buwaih dan Bani Saljuk, sedangkan para khalifah 'Abbasiyah hanya sekedar menyandang gelar saja. Dalam periode ketiga, kekuasaan kembali berada di tangan para khalifah 'Abbasiyah lagi, namun wilayahnya telah menyempit, hanya di sekitar ibukota Baghdad saja.

Syalabi (1997, 3 : 2 - 3), juga membagi pemerintahan 'Abbasiyah itu kepada tiga periode yang masing-masingnya mempunyai ciri-ciri tersendiri, yakni :

Periode Pertama (132 - 232 H) Pada periode ini kekuasaan berada di tangan para khalifah dan seluruh wilayah Islam

tunduk kepada Khalifah 'Abbasiyah, kecuali Andalusia yang dikuasai oleh Bani Umayyah. Para khalifah di zaman ini adalah pahlawan-pahlawan yang perkasa, mencintai ilmu tunduk kepada Khalifah 'Abbasiyah, kecuali Andalusia yang dikuasai oleh Bani Umayyah. Para khalifah di zaman ini adalah pahlawan-pahlawan yang perkasa, mencintai ilmu

Periode Kedua (232 - 590 H) Pada periode ini kekuasaan politik berpindah dari tangan para khalifah kepada Kaum

Turki (232 - 334 H), kecuali sewaktu pemerintahan di tangan Khalifah al Mu‟tamid (256 - 279 H) dan Khali fah al Mu‟tadhid (279 - 289 H), Golongan Bani Buwayh (334 - 447 H) dan Golongan Bani Saljuk (447 - 590 H)

Periode Ketiga (590 - 656 H) Pada periode ini kekuasaan telah kembali kepada Khalifah 'Abbasiyah, namun

kedaulatannya hanya di Baghdad dan kawasan sekitarnya saja. Khalifah dan putra-putranya terus menikmati kedaulatan dan kemerdekaan yang penuh di kawasan kecil tersebut, sampai akhirnya kaum Tatar yang dipimpin oleh Hulakho datang menyerang dan menaklukkan dunia Islam serta menduduki kota Baghdad pada tanggal 12 Muharram 656 H / 19 Januari 1258 M, kemudian membunuh Khalifah al Musta'shim pada tanggal 14 Shafar 656 H / 20 Februari 1258 M, sehingga berakhirlah pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah yang telah berusia 5 abad lebih itu.

Menurut Badri Yatim (1993 : 49 - 50), selama Dawlah 'Abbasiyah ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan 'Abbasiyah menjadi lima periode, yakni :

1. Periode Pertama (132 - 232 H / 750 - 847 M), disebut dengan periode pengaruh Persia yang pertama.

2. Periode Kedua (232 - 334 H / 847 - 946 M) disebut masa pengaruh Turki yang pertama.

3. Periode Ketiga (334 - 447 H / 946 - 1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam pemerintahan khilafah 'Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia yang kedua.

4. Periode Keempat (447 - 590 H / 1055 - 1194 M), masa kekuasaan Dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini biasanya disebut juga masa pengaruh Turki yang kedua.

5. Periode Kelima (590 - 656 H / 1194 - 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya di sekitar kota Baghdad saja.

Syeikh Muhammad al Khudhriy, Guru Besar Ilmu Sejarah Islam dari Universitas Mesir, sebagaimana dikutip Zainal Abidin Ahmad (1978, IV : 11 - 12), membagi masa pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah ini kepada lima masa atau periode, yakni :

1. Masa Pertama, 132 - 232 H, masa kuat-kuasa dan bekerja membangun.

2. Masa Kedua, 232 - 334 H, masa berkuasanya panglima-panglima Turki.

3. Masa Ketiga, 334 - 447 H, masa berkuasanya Bani Buwayhi.

4. Masa Keempat, 447- 590 H, masa berkuasanya Bani Saljuk.

5. Masa Kelima, 590 - 656 H, masa gerak balik kekuasaan politik. Bila diperhatikan dengan seksama, memang lebih tepat untuk membagi masa

pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah ini dalam lima periode, yakni :

1. Periode Pertama, 132 - 232 H / 749 - 847 M, merupakan masa kejayaan Dawlah 'Abbasiyah.

2. Periode Kedua, 232 - 334 H / 847 - 946 M, merupakan masa kekuasaan wazir-wazir Turki, sedangkan para khalifah 'Abbasiyah hanya jadi boneka dan sekedar menyandang gelar saja.

3. Periode Ketiga, 334 - 447 H / 946 - 1055 M, merupakan masa kekuasaan Bani Buwayh dari Persia, sedangkan para khalifah 'Abbasiyah tetap jadi boneka dan sekedar menyandang gelar saja.

4. Periode Keempat, 447 - 590 H / 1055 - 1194 M, merupakan masa kekuasaan Bani Saljuk dari Turki, sedangkan para khalifah 'Abbasiyah masih jadi boneka dan sekedar menyandang gelar saja.

5. Periode Kelima, 590 - 656 H / 1194 - 1258 M, merupakan masa berkuasanya kembali para khalifah 'Abbasiyah, namun wilayah kekuasaannya hanya di sekitar ibukota Baghdad saja.

Selama pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah ini, tercatat 37 orang khalifah yang memimpinnya. Berbeda dari para khalifah Dawlah Bani Umayyah sebelumnya, para khalifah 'Abbasiyah ini memakai laqab (gelar tahta), seperi al Saffah adalah laqab Abu al 'Abbas, al

Manshur adalah gelar tahta Abu Ja‟far dan lain-lainnya. Laqab atau gelar tahta itu lebih populer daripada nama mereka yang sebenarnya. Mereka itu adalah :

1. Abu al 'Abbas 'Abdulah ibn Muhammad ibn 'Ali ibn 'Abdillah ibn 'Abbas, yang terkenal dengan gelar al Saffah (13 Rabi' al Akhir 132 sampai wafat pada 13 Dzu al Hijjah 136 H / 27 November 749 - 9 Juni 754 M).

2. Abu Ja‟far 'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Ali ibn 'Abdillah ibn 'Abbas, yang bergelar al Manshur (Dzu al Hijjah 136 - wafat 6 Dzu al Hijjah 158 H / Juni 754 - 5 Oktober 775 M).

3. Abu 'Abdillah Muhammad ibn al Manshur, bergelar al Mahdiy (Dzu al Hijjah 158 - wafat pada Muharram 169 H / Oktober 775 - Juli 785 M).

4. Abu Muhammad Musa ibn al Mahdiy, bergelar al Hadiy (Muharram 169 - wafat 15 Rabi‟ al Akhir 170 H / Juli 785 – 11 Oktober 786 M).

5. Abu Ja‟far Harun ibn al Mahdiy, bergelar al Rasyid (Rabi‟ al Akhir 170 - wafat pada 1 Jumad al Akhir 193 H / Oktober 786 - 22 Maret 809 M).

6. Abu 'Abdillah Muhammad ibn al Rasyid, bergelar al Amin (Jumad al Akhir 193 – tewas 4 Shafar 198 H / Maret 809 - 8 Oktober 813 M).

7. Abu Ja‟far Abdullah ibn al Rasyid, bergelar al Ma’mun (Shafar 198 - wafat pada 13 Rajab 218 H / Oktober 813 - 6 Agustus 833 M).

8. Abu Is-haq Muhammad ibn al Rasyid, bergelar al Mu’tashim (Rajab 218 - wafat 17 Rabi‟ al Awwal 227 H / Agustus 833 - 4 Januari 842 M).

9. Abu Ja‟far Harun ibn al Mu'tashim, bergelar al Watsiq (Rabi‟ al Awwal 227 - wafat 23 Dzu al Hijjah 232 H / Januari 842 - 9 Agustus 847 M).

10. Abu al Fadhl Ja‟far ibn al Mu'tashim, bergelar al Mutawakkil (Dzu al Hijjah 232 - dibunuh 4 Syawwal 247 H / Agustus 847 - 8 Desember 861 M).

11. Abu Ja‟far Muhammad ibn Ja'far al Mutawakkil, bergelar al Muntashir (4 Syawwal 247 - wafat diracuni 26 Rabi‟ al Akhir 248 H / 8 Desember 861 - 27 Juni 862 M).

12. Abu al 'Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn al Watsiq, bergelar al Musta’in (Rabi‟ al Akhir 248 - mengundurkan diri pada 20 Dzu al Hijjah 251 H / Juni 862 - 11 Januari 866 M).

13. Abu 'Abdillah Muhammad ibn al Mutawakkil, bergelar al Mu’taz (Dzu al Hijjah 251 - dipaksa untuk mengundurkan diri pada 27 Rajab 255 H / Januari 866 - 11 Juli 869 M).

14. Abu Is-haq Muhammad ibn al Watsiq, bergelar al Muhtadiy (28 Rajab 255 - tewas 17 Rajab 256 H / 12 Juli 869 - 21 Juni 870 M).

15. Abu al 'Abbas Ahmad ibn al Mutawakkil, bergelar al Mu ’tamid (Rajab 256 - wafat 19 Rajab 279 H / Juli 869 - 16 September 892 M).

16. Abu al 'Abbas Ahmad ibn Thalhah ibn al Mutawakkil, bergelar al Mu’tadhid (Rajab 279 - wafat 22 Rabi' al Awwal 289 H / September 892 - 6 Maret 902)

17. Abu Muhammad 'Ali ibn al Mu'tadhid, bergelar al Muktafiy (Rabi‟ al Awwal 289 - wafat 12 Dzu al Qa'idah 295 H / Maret 902 - 12 Agustus 908 M).

18. Abu al Fadhl Ja‟far ibn al Mu'tadhid, bergelar al Muqtadir (Dzu al Qa‟idah 295 - dibunuh 26 Syawwal 320 H / Agustus 908 - 31 Oktober 932 M).

19. Abu Manshur Muhammad ibn al Mu'tadhid, bergelar al Qahir (Syawwal 320 – dicopot

1 Jumad al Awwal 322 H / November 932 - 18 April 934 M).

20. Abu al 'Abbas Ahmad ibn al Muqtadir, bergelar al Radhiy (Jumad al Awwal 322 - wafat

16 Rabi' al Awwal 329 H / April 934 - 19 Desember 940 M).

21. Abu Is-haq Ibrahim ibn al Muqtadir, bergelar al Muttaqiy (Rabi‟ al Awwal 329 - dicopot bulan Shafar 333 H / Desember 940 - September 944 M).

22. Abu al Qasim 'Abdullah ibn al Muktafiy, bergelar al Mustakfiy (20 Shafar 333 - dicopot 22 Jumad al Akhir 334 H / 22 September 944 M - 29 Januari 946 M).

23. Abu al Qasim al Fadhl ibn al Muqtadir, bergelar al Muthi' (Jumad al Akhir 334 - mengundurkan diri 19 Dzu al Qa'idah 363 H / Januari 946 - 10 Agustus 974 M).

24. Abu Bakr 'Abd al Karim ibn al Muthi', bergelar al Tha-i' (Dzu al Qa‟idah 363 – mengundurkan diri 19 Sya'ban 381 H / Agustus 974 - 30 Oktober 991 M).

25. Abu al 'Abbas Ahmad ibn Ishak ibn al Muqtadir, bergelar al Qadir (19 Sya‟ban 381- wafat 21 Dzu al Hijjah 422 H / Oktober 991 - 11 Desember 1031 M).

26. Abu Ja‟far Abdullah ibn al Qadir, bergelar al Qa-im (21 Dzu al Hijjah 422 - wafat pada

15 Sya‟ban 466 H / Desember 1031 - 16 April 1074 M).

27. Abu al Qasim 'Ubaydullah ibn Muhammad ibn al Qa-im, bergelar al Muqtadiy (Sya‟ban 466 - wafat 15 Muharram 487 H / April 1074 - 9 Maret 1094).

28. Abu al 'Abbas Ahmad ibn Muqtadiy, bergelar al Mustazhhir (Muharram 487 - wafat 16 Rabi‟ al Akhir 512 H / Maret 1094 - 6 Agustus 1118 M).

29. Abu Manshur al Fadhl ibn al Mustazhhir, bergelar al Mustarsyid (Rabi‟ al Akhir 512 - dibunuh 7 Dzn al Hijjah 529 H / Agustus 1118 - 18 September 1135 M).

30. Abu Ja‟far al Manshur ibn al Mustarsyid, bergelar al Rasyid (9 Dzu al Hijjah 529 - dicopot secara in absentia pada 16 Dzu al Qa‟idah 530 H (20 September 1135 – 16

Agustus 1136 M).

31. Abu 'Abdilllah Muhammad ibn al Mustazhhir, al Muqtadhiy (Dzu al Qa‟idah 530 - wafat 2 Rabi‟ al Awwal 555 H / September 1136 - 11 Maret 1160 M).

32. Abu al Muzhaffar Yusuf ibn al Muqtadhiy, bergelar al Mustanjid (Rabi‟ al Awwal 555 - wafat 8 Rabi‟ al Akhir 566 H / Maret 1160 - 18 Desember 1170 M).

33. Abu Muhammad al Hasan ibn al Mustanjid, bergelar al Mustadhiy (Rabi‟ al Akhir 566 - wafat 29 Syawwal 575 H / Desember 1170 – 29 Maret 1180 M)

34. Abu al 'Abbas Ahmad ibn al Mustadhiy, bergelar al Nashir (29 Syawwal 575 - wafat pada hari Minggu 29 Ramadhan 622 H / 29 Maret 1180 - 4 Oktober 1225 M).

35. Abu Nashr Muhammad ibn al Nashir, bergelar al Zhahir (29 Ramadhan 622 - wafat pada

13 Rajab 623 H / 4 Oktober 1225 - 9 Juli 1226 M).

36. Abu Ja‟far al Manshur ibn al Zhahir,bergelar al Mustanshir (Rajab 623 - wafat pada 10 Jumad al Akhir 640 H / Juli 1226 - 4 Desember 1242 M).

37. Abu Ahmad 'Abdullah ibn al Mustanshir, bergelar al Musta’shim (10 Jumad al Akhir 640 - hari Rabu 14 Shafar 656 H / 4 Desember 1242 - 19 Februari 1258 M).

Mengenai khalifah yang dipandang berjasa dalam pemerintahan Dawlah 'Abbasiyah, Zainal Abidin Ahmad (III : 218 - 225) hanya menyebutkan lima orang saja, yakni Khalifah

Abu al 'Abbas al Saffah, Khalifah Abu Ja‟far al Manshur, Khalifah Harun al Rasyid, Khalifah al Makmun dan Khalifah al Mu'tashim. Menurut penulis, kelima orang khalifah ini hanyalah untuk Periode Pertama saja, sedangkan pada periode-periode lainnya juga ada khalifah yang dapat dipandang sebagai khalifah yang berjasa. Pada Periode Kedua, khalifah yang dipandang

berjasa adalah Khalifah al Mutawakkil dan Khalifah al Mu‟tadhid, sedangkan pada Periode Ketiga memang tidak ada khalifah yang dapat dipandang berjasa. Pada Periode Keempat,

khalifah yang dapat dipandang berjasa adalah Khalifah al Mustazhhir dan Khalifah al

Mustarsyid, sedangkan pada Periode Kelima adalah Khalifah al Zhahir dan Khalifah al Mustanshir.

c. Dawlah 'Abbasiyah Pada Periode Pertama

Sesuai dengan periodesasi di atas, Periode Pertama ini dimulai dari khalifah pertama Abu al 'Abbas al Saffah sampai kepada khalifah yang kesembilan, Abu Ja'far al Watsiq. Pada periode pertama ini pemerintahan Bani 'Abbas mencapai masa keemasannya, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat sekaligus menjadi pusat kekuasaan politik dan keagamaan. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat juga mencapai tingkat tertinggi, sehingga periode ini berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

a). Perkembangan Lembaga Pendidikan

Sejak awal kebangkitan Islam dahulu, lembaga pendidikan itu terdiri dari dua tingkat, yaitu :

1. Maktab/Kuttab dan Masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan, dan tempat para remaja belajar dasar- dasar ilmu agama, seperti Tafsir, Hadits, Fikih dan Bahasa.

2. Tingkat Pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, harus pergi ke luar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing- masing. Pada umumnya ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid atau di rumah ulama yang bersangkutan. Bagi anak penguasa, pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli itu ke sana.

Lembaga-lembaga pendidikan ini kemudian berkembang pada masa Dawlah 'Abbasiyah, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah Universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.

b). Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Perkembangan lembaga pendidikan itu melahirkan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Tercapainya kemajuan ilmu pengetahuan ini, paling tidak, didukung oleh dua hal yaitu :

1. Terjadinya asimilisasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan 'Abbasiyah, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilisasi ini berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia terlihat dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra, pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi, sedangkan pengaruh Yunani terlihat di berbagai bidang ilmu, terutama dalam bidang filsafat dan kedokteran.

2. Adanya gerakan penterjemahan yang mendapat dukungan penuh dari khalifah dan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama berlangsung dari masa Khalifah al Manshur hingga Khalifah Harun al Rasyid. Pada fase ini, yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai dari masa Khalifah al Makmun hingga tahun 300 H (912 M). Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, dan bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan pun semakin luas.

Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, yang masuk melalui assimilasi ataupun melalui gerakan penterjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.

c). Tokoh-Tokoh Ilmuan Yang Terkenal

(1). Bidang Ilmu Pengetahuan Umum Dalam bidang ilmu pengetahuan umum atau 'Ulum al 'Aqliyah, tingkat

perkembangannya baru dalam tahap mempelajari dan menterjemahkan buku-buku asing, belum banyak sarjana muslim yang menyusun kitabnya sendiri. Kegiatan penterjemahan ini telah dilakukan pada zaman khalifah kedua, al Manshur. Penterjemahan pertama tampaknya dilakukan oleh 'Abdulah Ibn al Muqaffa (106 - 142 H / 724 - 759 M), yang menterjemahkan buku sastra ' Kalilah wa Dimnah " dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab (Zainal Abidin Ahmad. III : 244).

Pada tahun 148 H / 765 M, Khalifah al Manshur jatuh sakit, sehingga Kepala Rumah Sakit Yundishapur, Girgis dipanggil untuk mengobatinya. Sejak itu, Girgis ini menjadi dokter istana Khalifah 'Abbasiyah dan ilmu kedokteran mendapat perhatian, bahkan Khalifah al

Manshur juga memerintahkan untuk menterjemahkan buku-buku kedokteran ke dalam bahasa Arab (Musyrifah Suanto, 82 - 83).

Pada tahun 154 H / 771 M, seorang pengembara dari India memperkenalkan buku tentang astronomi yang berjudul ' Shidanda " di kota Baghdad. Khalifah al Manshur memerintahkan kepada Muhammad ibn Ibrahim al Fazariy (wafat 180 H / 796 M) untuk menterjemahkan buku tersebut ke dalam Bahasa Arab, dan al Fazariy ini tercatat sebagai ahli astronomi yang pertama dalam Islam. Setelah itu, muncullah 'Ali ibn 'Isa al Asthurlabiy (w. 830 M), yang menyusun buku tentang astrolobe (alat pengukur tinggi suatu tempat). Pada tahun 217 H / 832 M di masa al Makmun, untuk kepentingan lembaga ilmu pengetahuan Bayt al Hikmah, dibangun observatorium astronomi dekat pintu gerbang Syamsiah, sebelah barat Baghdad. Obsrvatorium ini dipimpin oleh Sind ibn Ali dan Yahya ibn Abi Manshur. Para astronomnya tidak hanya membuat perhitungan sistematis terhadap gerakan benda-benda langit di jaga raya, tetapi juga membuktikan elemen-elemen fundamental yang terdapat dalam Almagest dengan tepat, yakni garis gerak benda-benda langit yang tidak beraturan, garis edar matahari, panjang tahun Syamsiah, garis edar bulan dan lain-lain sebagainya.

Gerakan penterjemahan ini terus berlangsung pada masa-masa khalifah yang berikutnya dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah al Makmun. Al Makmun ini pada tahun 217 H / 832 M mendirikan Sekolah Tinggi Penterjemahan di Baghdad, yang dilengkapi dengan lembaga keilmuan yang dinamakan Bayt al Hikmah, yang selain memiliki observatorium astronomi, juga dilengkapi dengan perpustakaan dan dewan penterjemah. Salah seorang tokohnya adalah Hunayn ibn Is-haq, yang telah menterjemahkan buku-buku kedokteran Yunani, buku-buku Gallen dalam lapangan pengobatan dan filsafat serta buku Plato. Hunayn ini selain menterjemahkan buku asing, juga menyusun bukunya sendiri dalam Bahasa Arab dan Persia (Musyrifah Sunanto, 80).

Ilmuan muslim pertama yang mencurahkan perhatiannya dalam bidang filsafat adalah Abu Yusuf Ya'qub ibn Is-haq al Kindiy (180 - 260 H / 796 - 873 M). Keluarganya berasal dari Kindah Yaman, yang kemudian pindah ke Irak, sehingga al Kindiy ini dilahirkan di Kufah. Setelah dewasa, al Kindiy ini pindah ke Baghdad dan berhasil mendapatkan fasilitas dari Khalifah al Makmun dan kemudian al Mu'tashim. Al Kindiy ini pada mulanya turut aktif dalam kegiatan penterjemahan, namun kemudian usahanya lebih banyak dalam menarik kesimpulan dari terjemahan-terjemahan tersebut. Al Kindiy banyak mengarang buku dalam Ilmuan muslim pertama yang mencurahkan perhatiannya dalam bidang filsafat adalah Abu Yusuf Ya'qub ibn Is-haq al Kindiy (180 - 260 H / 796 - 873 M). Keluarganya berasal dari Kindah Yaman, yang kemudian pindah ke Irak, sehingga al Kindiy ini dilahirkan di Kufah. Setelah dewasa, al Kindiy ini pindah ke Baghdad dan berhasil mendapatkan fasilitas dari Khalifah al Makmun dan kemudian al Mu'tashim. Al Kindiy ini pada mulanya turut aktif dalam kegiatan penterjemahan, namun kemudian usahanya lebih banyak dalam menarik kesimpulan dari terjemahan-terjemahan tersebut. Al Kindiy banyak mengarang buku dalam

Ilmu kimia juga telah dikenal pada Periode Pertama ini, dengan tokohnya Jabir ibn Hayyan, yang wafat di Kufah sekitar tahun 159 H / 776 M. Jabir ini, seperti halnya para pendahulunya orang-orang Mesir dan Yunani, bertolak dari satu asumsi bahwa lagam-logam dasar seperti timah, timah hitam, besi dan tembaga dapat dirobah menjadi emas atau perak, karena adanya satu substansi yang misterius. Dia mencurahkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk melakukan penelitian dan membuat berbagai macam percobaan untuk membuktikan dugaannya itu.

(2). Bidang Ilmu Pengetahuan Agama Ilmu pengetahuan agama atau 'Ulum al Naqliyah mengalami kemajuan pesat pada

zaman 'Abbasiyah Periode Pertama ini, sebab dasar-dasarnya sudah ada semenjak dahulu, walaupun perkembangannya itu ada juga yang dipengaruhi oleh filsafat dan logika yang datang dari luar Islam.

(a). Bidang Fiqh Perkembangan pesat terjadi dalam bidang fiqh atau hukum Islam. Imam-imam ahli

hukum yang hidup pada Periode Pertama pemerintahan 'Abbasiyah ini sangat banyak. Yang paling terkenal adalah Empat Orang Imam Madz-hab, yakni :

1. Imam Abu Hanifah al Nu'man ibn Tsabit al al Taymiy Kufiy (80 - Rajab 150 H / 699 - Agustus 767 M), yang pendapat hukumnya banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu Mazhab ini lebih banyak memahami suatu nash secara konstekstual dibandingkan pemahaman secara tekstualnya.

2. Imam Abu 'Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik al Ashbahiy al Madiniy (97 - 14 Shafar 179 H / 715 - 9 Mei 795 M), yang lebih banyak memahami nash secara 2. Imam Abu 'Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik al Ashbahiy al Madiniy (97 - 14 Shafar 179 H / 715 - 9 Mei 795 M), yang lebih banyak memahami nash secara

3. Imam Abu 'Abdillah Muhammad ibn Idris al Syafi‟iy (150 - 29 Rajab 204 H / 767 - 19 Januari 819 M), yang dapat dikatakan mengambil jalan tengah antara jalan Abu Hanifah dan jalan Malik.

4. Imam Abu 'Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal al Baghdadiy (163 - 12 Rabi' al Awwal 241 H / 779 - 31 Juli 855 M), yang walaupun lahir dan hidup di kota Baghdad, namun sangat teguh memegang sunnah.

Selain empat orang imam tersebut, pada masa ini banyak lagi mutjahid mutlak lainnya yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula, seperti Imam Abu 'Amr 'Abd al Rahman ibn 'Amr al Awza'iy (88 – 2 Shafar 157 H / 706 - 23 Desember 773 M) dan Imam Abu Sa'id Sufyan ibn Sa'id al Tsawriy (97 - 161 H / 715 - 777 M). Akan tetapi, karena pengikutnya tidak banyak, maka pemikirannya pun tidak berkembang luas, sehingga mazhab itu akhirnya hilang bersamaaan dengan berlalunya zaman.

b). Bidang Hadits Penelitian dan pembukuan hadits juga mengalami perkembangan yang sangat pesat,

karena pada zaman ini hidup ulama-ulama besar ahli hadits yang menjadi panutan bagi ulama-ulama yang datang kemudian. Imam Madz-hab yang empat orang di atas, juga ahli hadits yang terkenal. Imam Malik menyusun kitab hadits al Muwaththa ', yang dipandang sebagai kitah hadits shahih yang pertama, sedangkan Imam Ahmad menyusun kitab al Musnad , yang merupakan kitab hadits terbesar yang sampai ke tangan umat Islam. Imam Abu Hanifah memang tidak langsung menyusun kitab hadits, tetapi hadits-haditsnya itu dihimpun oleh muridnya Abu al Mu-ayyad Muhammad ibn Mahmud al Khawarizmiy dalam sebuah kitab yang dinamakan Musnad al Khawarizmiy . Imam al Syafi'iy juga tidak langsung menyusun kitab hadits, namun hadits-haditsnya itu dihimpun oleh muridnya Rabi' ibn Sulayman al Muradiy di dalam sebuah kitab yang dinamakannya Musnad al Syafi'iy . (al Siba'iy : 365 – 403).

Selain Imam Yang Empat di atas, masih sangat banyak lagi Imam-Imam Hadits yang hidup pada periode ini. Di antaranya adalah Imam Abu Sa'id 'Abd al Rahman ibn Mahdiy ibn Hassan ibn ''Abd al Rahman al Bashriy (198 H / 813 M) dan Abu Sa'id Yahya ibn Sa'id al Qaththan (198 H) yang mengkhususkan penelitiannya dalam bidang rijal al hadits, Imam Abu

Zakariya Yahya ibn Ma'in al Baghdadiy (241 H / 855 M) yang menekuni bidang rijal dan 'ilal al hadits, serta Imam 'Ali ibn 'Abdillah ibn Ja‟far al Madiniy (234 H / 848 M) yang dipandang

sebagai tokoh pertama yang mengklasifikasikan hadits menjadi shahih, hasan dan dha'if. c). Bidang Tafsir

Dalam bidang tafsir, pada masa ini sudah dikenal dua macam metode penafsiran, yakni tafsir bi al-ma ;tsur dan tafsir bi al- ra’yi. Tafsir bi al-ma ;tsur adalah metode penafisran yang bertumpu langsung kepada interpretasi dari Nabi SAW dan para sahabat, sedangkan tafsir bi al- ra’yi adalah metode penafsiran yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan fikiran daripada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang sudah berkembang, namun selama Periode Pertama ini belum ada mufassir yang menyusun kitab tafsir tersendiri.

d). Bidang Bahasa Pada masa ini ilmu bahasa Arab juga berkembang pesat dengan berbagai macam

cabangnya. Ilmu Nahwu dengan tokohnya 'Isa ibn 'Umar al Tsaqafiy (149 H / 765 M), 'Ali ibn Sulayman al Baghdadiy al Akhfasyiy (177 H / 793 M), Ahmad ibn Muhammad al Khuza-iy, yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn Syibawayh (180 H / 796 M), Abu Ja'far al Ru-asiy (182 H / 798 M), Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad al Nahwiy al Farra; (208 H / 823 M) serta Bakr ibn Muhammad al Maziniy (247 H/ 860 M) yang banyak mengarang tentang nahwu.

Ilmu Sharaf dengan tokohya Abu Muslim Mu'adz ibn Muslim al Kufiy al Nahwiy al Hara; (187 H / 802 M), dan dialah yang mula-mula menyusun tashfrif, Abu Bakr Muhammad ibn Ibrahim al Kasa-iy (190 H / 806 M) yang mengarang kitab tata-bahasa Arab.

e). Bidang Sejarah Pada masa ini pulalah Ilmu Sejarah dipisahkan dari Ilmu Hadits. Pada mulanya,

sejarah itu tercakup saja dalam hadits, karena pembahasannya hanya berkisar tentang sejarah kehidupan (sirah) Nabi Muhammad SAW saja, sehingga dalam kitab-kitab hadits itu terdapat satu bab yang khusus mengenai Sirat an Nabiy , atau kadang-kadang disebut juga Bab al Maghaziy wa al Siyar . Kemudian timbullah pemikiran dari para ahli sejarah Islam untuk menyusun Sirat al Nabawiy itu dalam sebuah kitab tersendiri, yang dinamakan kitab al sirah. Kitab sirah yang pertama ini disusun oleh Abu 'Abdillah Muhammad ibn Is-haq ibn Yassar al Madiniy (152 H / 768 M), sehingga terkenal dengan nama Sirah Ibn Is-haq . Kitab ini sejarah itu tercakup saja dalam hadits, karena pembahasannya hanya berkisar tentang sejarah kehidupan (sirah) Nabi Muhammad SAW saja, sehingga dalam kitab-kitab hadits itu terdapat satu bab yang khusus mengenai Sirat an Nabiy , atau kadang-kadang disebut juga Bab al Maghaziy wa al Siyar . Kemudian timbullah pemikiran dari para ahli sejarah Islam untuk menyusun Sirat al Nabawiy itu dalam sebuah kitab tersendiri, yang dinamakan kitab al sirah. Kitab sirah yang pertama ini disusun oleh Abu 'Abdillah Muhammad ibn Is-haq ibn Yassar al Madiniy (152 H / 768 M), sehingga terkenal dengan nama Sirah Ibn Is-haq . Kitab ini

Setelah kitab Sirat al Nabawiyah ini tersusun, para ahli sejarah Islam itu memandang bahwa pembahasan sejarah Islam ini tidak mungkin hanya berkaitan dengan masa Nabi SAW saja, tetapi juga mesti mencakup masa-nasa selanjutnya. Karena itu perlu disusun kitab yang berisikan sejarah Islam secara umum, yang tidak hanya berisikan sirah Nabi SAW saja, tetapi juga tokoh-tokoh Islam lainnya. Kitab sejarah yang pertama ini berjudul Tarikh al Kabir , disusun oleh Abu 'Abdillah Muhammad ibn 'Umar al Waqidiy (208 H / 823 M). Kitab ini menjadi rujukan bagi ulama dalam penyusunan Sejarah Islam untuk masa-masa selanjutnya.

f). Bidang Kesusasteraan Pada masa ini kesusasteraan juga berkembang dengan pesat, di Baghdad berkumpul

para seniman ternama, seperti Abu 'Ali al Hasan ibn 'Ali al Hakimiy yang lebih terkenal dengan sebutan Abu Nuwas. Salah satu karya sastera yang terkenal adalah kitab Alf al Laylah wa al Laylah (Seribu Satu Malam), yang menceritakan tentang keindahan dan kejayaan kota Baghdad.

g). Bidang Teologi Aliran-aliran teologi memang sudah ada pada masa Bani Umayyah seperti Khawarij,

Murijah dan Mu‟tazilah, akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi Mu‟tazilah muncul di akhir pemerintahan Bani Umayyah, namun pemikiran pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan 'Abbasiyah periode pertama, setelah terjadinya kontak dengan pemikiran Yunani. Tokoh perumus

pemikiran Mu‟tazilah yang terbesar adalah Abu Huzayl al 'A‟llaf (135 - 235 H / 752 - 849 M) dan Abu Is-haq Ibrahim ibn Sayyar al Nazhzham (185 - 221 H / 801 - 836 M).

Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam Dawlah 'Abbasiyah pada periode pertama, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga umat Islam pada masa ini berada dalam masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Namun sayang, setelah periode pertama ini berakhir, umat Islam mengalami kemunduran.

Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dawlah 'Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok dan sangat mubazir. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Sebagai akibat dari kehidupan yang bermewah-mewah itu timbullah aliran zuhud, yakni orang-orang yang meninggalkan kehidupan dunia dan masyarakat untuk memfokuskan diri kepada kegiatan ibadah pribadi. Zahid yang terkenal pada waktu itu adalah Ja'far al Shadiq (148 H / 765 M), Ibrahim ibn Ad-ham (162 H / 778 M), muridnya Syaqiq al Balakhiy (194 H / 809 M), serta Rabi'ah al 'Adawiyah (185 H / 801 M), seorang wanita, yang katanya sangat mencintai Tuhan dengan ajaran mahabbah- nya, sehingga tidak mau lagi menerima cinta manusia.